Jumat, 18 Mei 2018

Keadilan Tak Kunjung Datang Bagi Korban Perkosaan Massal Mei 98

Arzia Tivany Wargadiredja


Laporan resmi lembaga negara sudah menegaskan 300 kasus pemerkosaan terhadap mayoritas perempuan Tionghoa dilakukan secara sistematis. Pemerintah RI tak kunjung merespon.




Berkendara melewati jalan layang Slipi tidak akan pernah sama rasanya bagi Siska*. Hingga kini Siska terpaksa hidup dengan ingatan kelam suatu siang, 19 tahun lalu, ketika Ia dan Erna, teman sekelasnya di Fakultas Kedokteran universitas swasta di Jakarta, dipaksa masuk ke mobil Kijang hitam. Para pelakunya adalah empat laki-laki berkulit gelap yang tak dikenal. Saat itu, Siska dan Erna sebetulnya tengah menunggu bis yang seharusnya mengantar mereka pulang kuliah.
Setelah dipaksa masuk ke mobil, tubuh Siska dan Erna diraba-raba oleh keempat lelaki itu. Sekuat tenaga mereka coba berontak. Namun, seketika dunia Siska berubah gelap, tatkala salah satu pria menusuknya. Slipi-Kebon Jeruk cukup ditempuh selama 30 menit berkendara naik mobil. Di jarak sedekat itu, dalam waktu yang nisbi singkat, dua perempuan nyaris kehilangan segalanya. Mereka dibuang di Kebon Jeruk, Jakarta Barat dengan luka berat di dada, berlumuran darah. Hingga akhirnya seorang tukang ojek datang menolong mereka.
Bagi Siska, butuh dua tahun mengumpulkan nyali kembali melewati jalan layang Slipi. "Kalau ingat peristiwa itu rasanya aku benci pada payudaraku sendiri," ungkap Siska sesaat setelah melewati Jembatan Layang Slipi menuju Ancol. "Saat-saat awal aku sering menjerit kalau lewat sini. Aku menangis keras sekali."
Siska, yang namanya telah disamarkan atas alasan keamanan, menceritakan ulang pengalaman traumatik itu pada Komisi Nasional Perempuan. Kisahnya masuk dalam laporan resmi terkait pemerkosaan massal menimpa ratusan perempuan etnis Tionghoa sepanjang kerusuhan Mei 1998. Cerita tragis Siska kemudian diabadikan dalam buku 'in Denial!' yang diluncurkan lima tahun setelah tragedi menjelang jatuhnya Orde Baru berlalu. Sampai sekarang, para pemerkosa Siska dan Erna tak pernah tertangkap ataupun diadli.
Kerusuhan Mei 98 adalah salah satu periode sejarah terburuk dalam Indonesia modern. Ketidakpuasan masyarakat pada kebijakan Presiden Soeharto mengelola krisis ekonomi berujung pada pecahnya kekerasan, penjarahan, pembunuhan, serta pemerkosaan di berbagai kota Tanah Air. Setahun sebelum tragedi Mei terjadi, Indonesia dihantam jatuhnya nilai tukar dan gagal bayar utang luar negeri. Tak sampai 12 bulan, Produk Domestik Bruto Indonesia terpangkas 13,5 persen. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Nilai tukar Rupiah anjlok, menembus lebih dari Rp16 ribu per Dollar Amerika. Dalam situasi sulit, Orde Baru justru memaksakan kebijakan tidak populer, dengan menaikkan harga jual BBM hingga 70 persen. Mahasiswa segera bergerak, tak berapa disokong warga sipil lainnya, menuntut perubahan rezim.
Di tengah bermacam impitan dan tekanan rakyat, aktor-aktor intelektual dalam rezim Orde Baru mengalihkan rasa frustrasi masyarakat pada satu kambing hitam: etnis Tionghoa. Meluasnya sentimen anti-Cina pada awal Mei 1998 menurut banyak pakar merupakan hasil operasi yang rapi dan terstruktur. Orang Indonesia keturunan Cina dianggap biang kerok yang membuat Indonesia terpuruk dalam krisis ekonomi.
Kerusuan rasial pertama pecah di Kota Medan, Sumatra Utara pada 4 Mei 1998, setelah seorang pelajar terbunuh karena digebuk tabung gas air mata oleh personel militer. Kerusuhan kemudian pecah di Ibu Kota, setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak mati oleh aparat yang berjaga di dekat unjuk rasa. Sejak itulah, spiral kekerasan berkembang dan tiba-tiba menyasar semua yang berbau Tionghoa. Lebih dari seribu orang tewas, itu baru angka di Jakarta, dalam rangkaian kekerasan yang terjadi sepanjang kurun 13-19 Mei. Soeharto mundur dari posisi Presiden pada 21 Mei 1998.
Di tengah situasi penuh kekacauan, akhirnya tak banyak yang sadar telah terjadi tragedi lainnya. Yakni pemerkosaan menimpa 168 perempuan di berbagai lokasi di Jakarta. Lebih dari 300 kasus lainnya dilaporkan dari kota-kota lain. Nyaris semua korban adalah perempuan etnis Tionghoa.
Pada 15 Juli 1998, beberapa bulan setelah kekacauan sepanjang Mei, B.J Habibie mengeluarkan surat atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia mengutuk tindakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam kerusuhan Mei. Habibie berjanji akan mengarahkan seluruh aparat hukum agar mengambil tindakan proaktif memastikan tidakan serupa tidak berulang dalam sejarah bangsa.
Berselang nyaris enam bulan setelah kerusuhan, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, Radhika Coomoraswamy, datang ke Jakarta setelah ditunjuk menangani isu kekerasan pada perempuan. Coomoroswamy melaporkan adanya terror dan intimidasi yang ditujukkan kepada lembaga-lembaga non-pemerintah yang menginvestigasi kasus-kasus kekerasan perempuan adalam kerusuhan Mei 98. Dalam laporannya, Coomoroswamy meyakini adanya perkosaan massal secara taktis dan sadar, menyasar perempuan etnis Tionghoa. Coomoroswamy menyebutkan tidak adanya korban yang melapor ke polisi karena hampir semua korban mendapatkan ancaman pembunuhan lewat surat kaleng. Merespons laporan tersebut, pemerintah membentuk Komisi Nasional Perempuan berdasarkan Keputusan Presiden yang diteken Habibie. Tugas Komisi ini secara khusus mengungkap pemerkosaan massal yang dialami banyak perempuan.
Kini, 19 tahun setelah surat tersebut ditandatangani Habibie, belum ada tindak lanjut dari pemerintah Republik Indonesia. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), kelanjutan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), merilis laporan yang membuktikkan kekerasan seksual termasuk perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 benar-benar terjadi, dilakukan terhadap sejumlah perempuan oleh sejumlah pelaku di berbagai tempat berbeda dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan. Temuan tim menyatakan, mayoritas korban perkosaan adalah etnis Tionghoa. Laporan TGPF tidak mengubah kenyataan bahwa negara absen memperjuangkan keadilan bagi korban. Hanya ada peringatan tahunan yang tidak bermakna apa-apa, seperti yang nampak dalam penutup laporan tersebut:
Kenyataannya, sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang berarti dari pihak negara untuk dapat mendekatkan kita pada pertanggungjawaban para pelaku dan direalisasikannya keadilan bagi para korban.
Laporan yang menyesakkan dari TPGF dilansir Mei 2003. Mariana Amiruddin, salah satu komisioner Komnas Perempuan, mengakui perkembangan pengungkapan kasus pemerkosaan massal serta pelanggaran HAM berat lainnya pada Tragedi 98, tak mengalami kemajuan berarti sejak laporan itu dirilis.
"(Perkembangan kasus perkosaan) berhenti sejak peristiwa itu sendiri karena banyak penyangkalan," Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan kepada VICE Indonesia di kantornya. "(Perkosaan) ini enggak diakui, dianggap bohong cerita itu, disangkal aja, pokoknya dianggap tidak ada".
Saat saya menemuinya, Mariana baru saja selesai memimpin rapat peringatan peristiwa 98 bersama dengan para keluarga korban. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Komnas Perempuan, pegiat HAM, dan keluarga korban menggelar peringatan di Taman Pemakaman Umum Pondok Rangon, Jakarta Timur. Di sanalah terkubur ratusan korban tanpa identitas akibat kerusuhan Mei 98. Mantan Presiden B.J Habibie turut hadir dalam acara terbut.
Di depan para keluarga korban, Habibie berjanji akan menyampaikan semua dokumen terkait kerusuhan 1998 kepada Presiden Joko Widodo. Dalam kesempatan yang sama, sambil dikawal ketat Paspampres, Habibie dicegat wartawan yang memberondongnya dengan pertanyaan. Ketika ditanya reaksinya terkait tidak adanya penyelidikan lebih lanjut soal kasus 1998, Habibie beralasan tidak ingin mengorbankan persatuan bangsa. Secara tidak langsung, Habibie mengatakan jika dalang kerusuhan dan pemerkosaan diungkap, maka stabilitas politik nasional bisa terancam, berujung pada perpecahan Republik Indonesia yang kerap dijuluki proses 'Balkanisasi'. Habibie menolak mengelaborasi pernyataannya lebih lanjut.
"Ya memang ada (pemerkosaan). Memang ada. Saya tidak tahu apa yang dilaksanakan dan masalah-masalah apa saja yang dihadapi (pemerintahan saat ini)," kata Habibie "Apa gunanya konsentrasi pada satu masalah tapi saya biarkan kita terpecah."
Mariana menilai sumber daya penyelidikan selama ini lebih banyak diarahkan untuk mengungkap kasus penembakan mahasiswa di Trisakti. Sementara pengungkapan pemerkosaan massal perempuan di saat bersamaan sangat diabaikan.
"Yang punya wewenang itu kan Komnas HAM, jadi kelihatannya Komnas HAM lebih fokus pada tragedi Semanggi I, Trisakti, lebih pada penembakan, penculikan. Tapi yang perkosaan itu memang enggak pernah di follow up sama pihak manapun," kata Mariana.
Sempat ada titik terang, ketika salah satu saksi pemerkosaan massal bernama Ita Martadinata—pelajar 18 tahun—hendak bersaksi di hadapan Kongres Amerika Serikat. Beberapa hari sebelum terbang, dia dibunuh, ditusuk berkali-kali di kamar tidurnya. Polisi mengklaim pelaku adalah perampok yang panik melihat aksinya ketahuan. Namun para aktivis meyakini Ita dibungkam selama-lamanya agar tidak bersaksi.
"Pak Habibie kan membentuk itu untuk penyelidikan tentang perkosaan dan korbannya sudah trauma, jadi mereka pun mau bersaksi dibunuh yang Ita Martadinata itu. Berhenti sama sekali, dan yang cuma bisa membuktikan adanya perkosaan itu ya Komnas Perempuan," ungkap Mariana.
Sandyawan Sumardi, romo Katolik yang terlibat dalam TPGF korban pemerkosaan Mei 98, berulang kali menerima ancaman pembunuhan. Pria akrab disapa Romo Sandi itu termasuk salah satu dari sekian relawan yang terlibat dalam hampir seluruh proses penanganan korban pemerkosaan. Dia bergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan, turut serta dalam Tim Gabungan Pencari Fakta, ikut mendampingi para korban maju ke sidang PBB di Swiss hingga mendatangi Kongres Amerika Serikat.
"Mungkin di antara semua anggota tim relawan, saya yang paling banyak ketemu [korban]," kata Romo Sandi kepada VICE Indonesia. Ia pernah bertemu langsung enam korban perkosaan. Awalnya, tidak banyak korban yang ditemukan, tapi pada akhirnya para aktivis perempuanlah yang aktif mencari dan mendata korban. Sandyawan bercerita ketika itu, kantor TRuK menempati sebuah rumah sederhana yang juga kantor Institut Sosial Jakarta di kawasan Gang Arus yang menerima sekitar 200 pengaduan berbagai jenis kekerasan setiap harinya, termasuk perkosaan.
Sandyawan mengidentifikasi ada tiga kategori korban perkosaan Mei 98. Kategori pertama yakni korban perkosaan remaja di usia remaja, yang kebanyakan tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Trauma mereka relatif lebih cepat hilang, tetapi setelah beberapa bulan kebanyakan dari mereka lantas mempersepsi diri sebagai pribadi yang tidak layak dan "murahan". Kategori kedua menurut Sandy, adalah korban ibu-ibu yang sudah menikah, kebanyakan dari mereka lebih sanggup bertahan dan melanjutkan hidup karena pengalaman sebagai seorang istri atau ibu cukup membantu. Terakhir, kategori perempuan dewasa yang belum menikah, umumnya sangat sulit menghilangkan trauma. Nyaris semua korban perkosaan Mei yang pernah Sandyawan temui, rata-rata berkeinginan bunuh diri.
Sambil menceritakan detail-detail perkosaan tersebut, Ia beberapa kali menghentikan wawancara, menyeka pilu dan bulir air mata, kemudian menjawab kembali pertanyaan. "Saya tidak menyangka sudah hampir dua puluh tahun, ternyata saya masih semarah ini."
Setelah kejadian nahas di Jembatan Slipi, tanpa tiket ataupun paspor, Siska dilarikan ke Singapura oleh sebuah maskapai asing bersama ibu dan tantenya. Tiba di Singapura, Siska menjalani operasi dua kali, di antaranya adalah operasi pembentukan payudara baru. Selama dua tahun, Ia tidak kembali ke Jakarta dan menghabiskan waktu di Singapura untuk menjalani proses penyembuhan secara fisik dan kejiwaan. Di saat kondisinya belum stabil, Siska pernah mencoba bunuh diri menggunakan silet. Proses penyembuhannya butuh waktu setahun lebih di Negeri Singa itu.
"Pada saat awal aku bisa histeris lima sampai enam kali sehari, persis seperti orang gila," kata Siska, "Aku mencakari muka, rambut, dan perutku sendiri. Setiap hari aku memandangi payudaraku berjam-jam di cermin kamar mandi sambal menunjuk-nunjuk payudaraku 'gara-gara kamu aku jadi begini. Kamu yang dipotong aku yang merasakan sakitnya. Aku yang sakit… bukan kamu, tahu!'"
Setelah masa-masa depresi terlewati, Siska dilibatkan dalam berbagai kegiatan mulai dari mengisi kegiatan sukarela di Panti Jompo, bekerja di toko kosmetik pusat perbelanjaan di Singapura. Dia juga sempat bekerja di salah satu RS Singapura bagian layanan untuk orang asing. Akhirnya Siska berani kembali ke Indonesia di akhir 1999, menyelesaikan sekolahnya di Fakultas Kedokteran dalam waktu relatif cepat. Sisa-sisa teror mengerikan kerusuhan 98 masih ada dan membekas. Siska merasa tubuhnya, seksualitasnya, dijadikan panggung kontestasi dan sumber dari ketakutan massal oleh aktor-aktor intelektual degil yang memanfaatkan momentum kekacauan jatuhnya rezim Orde Baru.
"Entahlah. Karena aku Cina, ke manapun aku pergi aku merasa diawasi banyak orang. Aku merasa bisa dianiaya lagi setiap waktu," Kata Siska pada Zara, pendampingnya selama momen trauma healing di Tanah Air.
"Sepanjang orang tidak tahu siapa aku, aku merasa tenang."
*Cerita Siska dicuplik dari buku Komnas Perempuan 'Disangkal!". Nama Siska diubah untuk melindungi identitasnya.
Vice.Com

0 komentar:

Posting Komentar