Minggu, 20 Mei 2018

Cukupkah Hanya Reformasi?

Mei 20, 2018 | Ali Akbar*

gbr-google.com
Kekuatan gerakan rakyat berhasil menumbangkan rezim otoriter meliteristik orde baru hingga melahirkan sebuah angin segar yang bernama Reformasi. Keran demokrasi yang sebelumnya di bungkam akhirnya berhasil terbuka. Namun perjuangan menumbangkan rezim militer otoriter orde baru tidak melahirkan sebuah pemimpin yang benar-benar berasal dari rakyat. Malah justru angin segar reformasi itu di bajak oleh oligarki.
Reformasi yang seharusnya menjadi nafas baru bagi rakyat Indonesia dengan harapan hidup yang lebih berkeadilan tapi ternyata masih saja sama dengan rezim mileteristik Soeharto. Enam agenda reformasi justru tidak membawa dampak perubahan sedikitpun bagi rakyat Indonesia. Karena rakyat semakin menderita secara ekonomi-politik. Bahkan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sampai saat ini tidak pernah di selesaikan. Bahkan kasus pelanggaran ham justru semakin banyak terjadi di era reformasi.
Reformasi justru semakin menguatkan ekonomi-politik kapitalisme. Pembangunan infrastruktur seperti bandara, pabrik semen, tambang, pendidikan semakin mahal, upah buruh semakin murah, outsorcing, sistem kerja kontrak, korupsi, kekerasan seksual terhadap perempuan, konflik agraria dan perampasan tanah rakyat, dan lain-lain hanya untuk melanggengkan kepentingan kapitalisme. Untuk itu tidak cukup hanya dengan reformasi,  menolak kembali orde baru tapi juga bukan berarti bertahan di era reformasi. Kita harus punya ide dan agagsan-gagasan lain sebagai alternatif untuk melampaui itu.

Belajar Dari Amerika Latin
Awal tahun 1990 an, Francis Fukuyama, ahli sosiologi dan politik Amerika mengatakan bahwa akhir dari sejarah umat manusia adalah kemenangan bagi Demokrasi Liberal (the end of histori and last man). Fukuyama ingin mengatakan bahwa kapitalisme (imperialisme) yang akhirnya menang dalam percaaturan politik internasional, perang ideologi dan sebagainya. Hal ini terutama setelah Soviet jatuh, Lenin tiada dan runtuhnya termbok Berlin.
Tapi pernyataan dan teori Fukuyama ini sendiri tidak cukup mampu meyakinkan bagian Amerika lainnya. Terutama Amerika Latin. Karena justru Amerika Latin semakin massif mengusir neoliberalisme ala AS. Amerika Latin bahkan mencari alternatif lainnya yang menurutnya  harus lebih berkesinambungan, lebih mewujudkan keadilan, kesejahteraan serta kesetaraan bagi rakyat.
Kemudian dibangunlah demokrasi kerakyatan (partisipatif) dan sistem ekonomi politik ala sosialisme sebagai alternatif yang coba dilakukan oleh Amerika Latin. Hal ini tak lain karena proyek neoliberalisme yang coba di praktikkan di Amerika Latin bukan membawa kesejahteran tapi justru membuat rakyat Amerika Latin menderita hingga timbul banyak perlawanan. Sampai pada perjuangan merebut kekuasaan menggantikan para pemimpin yang sangat patuh pada kapitalisme dengan pemimpin yang patuh pada kepentingan rakyat tertindas. Seperti Hugo Chaves yang berhasil memenangkan pemilihan umum Venezuela tahun 1998. Kemudian pada 2002 Ricardo Lagos menjadi presiden Chile dan Luis Inácio Lula da Silva terpilih di Brazil. Néstor Kirch-ner memenangkan pemilihan umum presiden di Argentina pada 2003, dan Tabaré Vázques menang di Uruguay pada 2005. Pada 2006 Michelle Bachelet menang di Chile, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ekuador, dan Daniel Ortega terpilih di Nicaragua. Pada 2007 Cristina Fernán-dez menang di Argentina dan Álvaro Colom menang di Guatemala. Tahun 2008 Fernando Lugo menang di Paraguay, dan tahun 2009 Mauricio Funes menang dalam pemilihan umum di Uruguay, dan Evo Morales terpilih kembali dengan mayoritas besar di Bolivia (Lih. Martha Harnecker, Sosialisme abad 21).
Perjuangan rakyat Amerika Latin dalam mengusir neoliberalisme semakin masif. Bahkan neoliberalisme tidak memdapat legitimasi meskipun beberapa negara yang lainnya masih dalam cengkraman neoliberalisme. Martha Harnecker, mengatakan bahwa gerakan yang muncul dalam menentang imprealisme di Amerika Latin adalah gerakan yang sangat mejemuk, dimana unsur-unsur Teologis Pembebasan, Nasionalisme Revolusioner, Marxisme, Indigenisme, dan Anarkisme hidup berdampingan. Ini yang kemudian dikenal sebagai Sosialisme abad 21. Dan ini benar-benar menjadi alternatif di Amerika Latin. Seperti yang diungkapkan Chaves bahwa ‘kita tidak boleh terperosok ke dalam kesalahan-kesalahan masa lampau, ke dalam penyimpangan Stalinis yang membirokratiskan partai dan berakhir dengan lenyapnya protagonisme rakyat.
Dan sampai hari ini, Amerika Latin tetap yakin pada pilihan sosialismenya. Sifat dasar demokrasi justru diyakini ada dalam sosialisme itu sendiri. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Benarkah demokrasi kita sudah berjalan sesuai kebutuhan dan kehendak rakyat? Atau justru melegitimasi kapitalisme, neoliberalisme itu sendiri dengan kedok demokrasi? Mampukah kita melahirkan alternatif lainnya yang kemudian bisa dijadikan sebagai rujukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini? Itu yang akan menjadi tugas berama kita hari ini. Termasuk bahwa reformasi harus di tuntaskan.
*Ali Akbar, Cakrawala Mahasiswa JOGJA

Sumber: Suluh Pergerakan 

0 komentar:

Posting Komentar