| Agustus 31, 2015
Ahmad Yani
Kesaksian mantan Menteri Pengairan Dasar
zaman Orde Lama HARYA SUDIRJA bahwa Bung Karno menginginkan Menpangad
Letjen Achmad Yani menjadi Presiden kedua bila kesehatan Proklamator itu
menurun, ternyata sudah lebih dahulu diketahui isteri dan
putra-putri pahlawan revolusi tersebut.
“Bapak sendiri sudah cerita kepada kami (isteri dan putra-putri Yani) bahwa dia bakal menjadiPresiden.Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang lain”, ujar putra-putri Achmad Yani : Rully Yani, Elina Yani,Yuni Yani dan Edi Yani – Sebelumnya diberitakan dalam acara diskusi “Jakarta – Forum Live, Peristiwa G-30S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran” terungkap kesaksian baru, yaitu beberapa hari sebelum peristiwa kelam dalam sejarah republik ini meletus, Bung Karno pernah meminta Menpangad Letjen Achmad Yani menggantikandirinya menjadi presiden bila kesehatan proklamator itu menurun.
Kesaksian tersebut disampaikan salah satu
peserta diskusi: Harya Sudirja. Menurut mantan Menteri Pengairan Dasar
zaman Orde Lama ini, hal itu disampaikan oleh Letjen Achmad Yanisecara
pribadi pada dirinya dalam perjalanan menuju Istana Bogor tanggal 11
September 1965.
Putra-putri Achmad Yani kemudian menjelaskan, kabar baik
itu sudah diketahui pihak keluarga 2 (dua) bulan sebelum meletusnya
peristiwa berdarah G-30S/PKI.
“Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara, Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden”, kenang Yuni Yani, putri keenam Achmad Yani.
“Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga
menceritakan itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami
bertanya, “Benar nih Pak?” Jawab Bapak ketika itu, “Ya”, ucapnya.
Menurut Yuni, berita baik itu juga mereka dengar dari ajudan Bapak yang
mengatakan Bapak bakal jadi presiden. Makanya ajudan menyarankan supaya
siap-siap pindah ke Istana.
Sedangkan
menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun
buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai
salah satu nara sumber.
“Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh dan AH Nasution”, katanya. “Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi Presiden”, kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.
Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak
keluarga senang mendengar berita Bapak bakal jadi Presiden. Namun ibunya
(Alm.Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam membuat ramalan bahwa
kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh.
“Ternyata ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno, Bapak dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami. Untung dan Eddy. “Kalau Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangendi (bahasa Jawa artinya: kemana) bisa dibunuh”, kata Nyonya Yani seperti ditirukanYuni. Lalu siapa pembunuhnya ?
Menurut Yuni, Ibu dulu mencurigai dalang
pembunuhan ayahnya adalah petinggi militer yang membenci Achmad Yani.
Dan yang dicurigai adalah Soeharto. Mengapa Soeharto membenci A.Yani ?
Yuni mengatakan,sewaktu Soeharto menjual pentil dan ban yang menangkap
adalah Bapaknya.
“Bapak memang tidak suka militer berdagang.Tindakan Bapak ini tentunya menyinggung perasaan Soeharto”.
“Selain itu, usia Bapak juga lebih muda, sedangkan jabatannya lebih tinggi dari Soeharto”, katanya.Sedangkan Rully Yani (putri sulung) yakin pembunuh Bapaknya adalah prajurit yang disuruh oleh atasannya.
”Siapa orangnya, ini yang perlu dicari”, katanya.Mungkin juga, lanjutnya, orang-orang yang tidak suka terhadap sikap Bapak yang menentang upaya mempersenjatai buruh, nelayan dan petani.
“Bapak dulu kan tidak suka rakyat dipersenjatai. Yang bisa dipersenjatai adalah militer saja”, katanya.Menurut dia, penjelasan mantan tahanan politik G-30S/PKI Abdul Latief bahwa Soeharto dalang G-30S/PKI sudah bisa menjadi dasar untuk melakukan penelitian oleh pihak yang berwajib.
“Ini penting demi lurusnya sejarah. Dan kamipun merasa puas kalau sudah tahu dalang pembunuhan ayah kami”, katanya.
Dia berharap, kepada semua pelaku sejarah yang masih hidup
bersaksilah supaya masalah itu bisa selesai dengan cepat dan tidak
menjadi tanda tanya besar bagi generasi muda bangsa ini. Kesaksian istri
dan putra-putri A.Yani bahwa Bapaknyalah yang ditunjuk Bung Karno
untuk jadi Presiden kedua menggantikan dirinya, dibenarkan oleh mantan
Asisten Bidang Operasi KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Marsekal Madya
(Purn) Sri Mulyono Herlambang dan ajudan A.Yani, Kolonel (Purn) Subardi.
Apa yang diucapkan putra-putri Jenderal A.Yani itu benar. Dikalangan
petinggi militer informasi tersebut sudah santer dibicarakan. Apalagi
hubungan Bung Karno dan A.Yani sangat dekat, ujar Herlambang. Baik
Herlambang maupun Subardi menyebutkan, walaupun tidak terdengar langsung
pernyataan Bung Karno bahwa dia memilih A.Yani sebagai Presiden
kedua jika ia sakit, namun keduanya percaya akan berita itu.
“Hubungan Bung Karno dengan A.Yani akrab dan Yani memang terkenal cerdas, hingga wajar jika kemudian ditunjuk presiden”, kata Herlambang.
“Hubungan saya dengan A. Yani sangat dekat, hingga saya tahu betapa dekatnya hubungan Bung Karno dengan A.Yani”, ujar Herlambang yang saat ini sedang menyusun buku putih peristiwa G-30S/PKI. Menyinggung tentang kecurigaan Yayuk Ruliah A.Yani (istri A.Yani), bahwa dalang pembunuh suaminya adalah Soeharto, Herlambang mengatakan bisa jadi seperti itu. Pasalnya 2 (dua) bulan sebelum peristiwa berdarah PKI, Bung Karno sudah menunjuk A.Yani sebagai penggantinya.
Tentu saja hal ini membuat iri orang yang berambisi jadi presiden.Waktu itu peran CIA memang dicurigai ada, apalagi AS tidak menyukai Bung Karno karena terlalu vokal. Sedangkan Yani merupakan orang dekat Bung Karno. Ditambahkan Herlambang, hubungan A.Yani dengan Soeharto saat itu kurang harmonis. Soeharto memang benci pada A.Yani. Ini gara-gara Yani menangkap Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban. Selain itu Soeharto juga merasa iri karena usia Yani lebih muda, sementara jabatannya lebih tinggi.
Terlebih saat A.Yani menjabat Kepala Staf
Angkatan Darat (KASAD), Bung Karno meningkatkan status KASAD menjadi
Panglima Angkatan Darat.
“Dan waktu itu A.Yani bisa melakukan apa saja
atas petunjuk Panglima Tertinggi Soekarno, tentu saja hal ini
membuat Soeharto iri pada A.Yani.
Dijelaskan juga, sebenarnya mantan
presiden Orde Baru itu tidak hanya membenci A.Yani,tapi semua Jenderal
Pahlawan Revolusi. D.I. Panjaitan dibenci Soeharto gara-gara persoalan
pengadaan barang dan juga berkaitan dengan penjualan pentil dan ban.
Sedangkan kebenciannya terhadap MT. Haryono berkaitan dengan hasil
sekolah di SESKOAD. Disitu Soeharto ingin dijagokan tapi MT.Haryono
tidak setuju. Terhadap Sutoyo, gara-gara ia sebagai Oditur dipersiapkan
untuk mengadili Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban itu.
Menurut Subardi, ketahuan sekali dari
raut wajah Soeharto kalau dia tidak menyukai A.Yani. Secara tidak
langsung istri A.Yani mencurigai Soeharto. Dicontohkan, sebuah film
Amerika yang ceritanya AD disuatu negara yang begitu dipercaya
pemerintah, ternyata sebagai dalang kudeta terhadap pemerintahan itu.
Caranya dengan meminjam tangan orang lain dan akhirnya pimpinan AD
itulah yang menjadi presiden. “Peristiwa G-30S/PKI hampir sama dengan
cerita film itu”, kata Nyonya Yani seperti ditirukan Subardi.
Catatan penulis:
Saya ambil artikel ini dari berbagai sumber dan milis-milis dengan
harapan klarifikasi dari para pembaca yang budiman. Sampai saat ini
masih menggelayut pertanyaan di setiap kepala rakyat Indonesia tentang
bagaimana fakta yang sebenarnya dari peristiwa kelam ini. Masih ada
tokohtokoh dan narasumber dari kisah kelam sejarah masa lalu ini yang
masih hidup.
Disinilah perlunya penuntasan 100% dan jawaban yang adil dan
penyelidikan yang transparan bagi masalah yang menyangkut peristiwa
G30S. Masih diperlukan penyelidikan lanjutan yang independen untuk
menyingkap fakta-fakta seputar sejarah kelam ini.
JASMERAH : Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah! demikian kata Bung Karno.
__________
***
Dalam pembelaannya, Kol. Latief menyatakan, bahwa tidak ada maksud
untuk membunuh para jendral, tetapi hanya ingin menghadapkannya kepada
Presiden Sukarno untuk mengklarifikasi tentang adanya berita tentang
rencana kudeta oleh Dewan Jendral yang akan dilakukan pada tgl 5.Oktober
1965.
Belakangan terungkap, bahwa yang menyuruh agar membunuh para jendral ternyata Komandan pasukan yang bernama Doel Arif.
Lettu. Doel Arif adalah
tokoh yang bertanggung jawab dalam menangkap jenderaljenderal Angkatan
Darat yang diduga akan membentuk Dewan Jenderal dalam peristiwa Gerakan
30 September 1965.
Sebagai komandan Pasukan Pasopati yang
menjadi operator G30S, ia adalah tokoh kunci. Ia bertanggung jawab
terhadap operasi penculikan jenderal-jenderal pimpinan AD.
Belakangan terungkap, bahwa Doel Arif
adalah seorang kepercayaan, malah dibilang anak kesayangan Ali Murtopo.
Dan Ali Murtopo bersama Yoga Sugama adalah dua tokoh utama yang bersama
Suharto sebagai Trio (Suharto-Ali Murtopo-Yoga Sugama) yang berperan
menentukan dalam setiap langkah Suharto dalam melancarkan
kudeta merangkak, dengan dukungan Blok Barat dibawah pimpinan CIA /AS
menggulingkanpemerintahan Presiden Sukarno.
Nasib Lettu. Doel Arief, yang ditangani langsung oleh Ali Moertopo,
hilang bak ditelan bumi, sampai sekarang tidak ada yang tahu.
Sumber : OchaSaja
Kenapa Suharto pantas diduga sebagai dalang dibalik G30S ?
Pada tanggal 21
September 1965, Kapten Soekarbi mengaku menerima radiogram dari Soeharto
yang isinya perintah agar Yon 530 dipersiapkan dalam rangka HUT ABRI
ke- 20 pada tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan perlengkapan tempur
garis pertama.
Setelah persiapan, pasukan diberangkatkan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 25,26,dan 27 September.
Pada tanggal 28 September pasukan
diakomodasikan di kebun Jeruk bersama dengan Yon 454 dan Yon 328.
Tanggal 30 September seluruh pasukan melakukan latihan upacara. Pukul
tujuh malam semua Dan Ton dikumpulkan untuk mendapatkan briefing dari
Dan Yon 530, Mayor Bambang Soepono.
Dalam briefing tersebut disebutkan
bahwa Ibu kota Jakarta dalam keadaan gawat. Ada kelompok Dewan Jenderal
yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan RI yang sah.
Briefing berakhir pada pukul 00.00. Pukul dua pagi tanggal 1 Oktober,
Kapten Soekarbi memimpin sisa Yon 530 menuju Monas. Di kompleks Monas
mereka berkedudukan di depan istana. Pada saat itu, karena kedudukan
mereka dekat Makostrad, pasukan pun sering keluar masuk Makostrad untuk
ke kamar kecil. Karena tidak ada teguran dari Kostrad, berarti Kostrad
tahu bahwa mereka ada di sana.
Pukul setengah delapan Kapten Soekarbi melapor pada Soeharto tentang
keadaan ibu kota yang gawat serta adanya isu Dewan Jenderal. Namun
Soeharto menyangkal berita tersebut.
Kapten Soekarbi sendiri mengaku tidak
mengetahui terjadinya penculikan para Jenderal. Ia tetap merasa aman
karena Pangkostrad Soeharto telah menjamin keadaan tersebut. Namun ia
berpendapat bahwa Soeharto pasti lah tahu tragedi penculikan
para Jenderal tersebut. Karena pada tanggal 25 September Kolonel Latief
telah memberikanmasukan tentang keadaan yang cukup genting tersebut
kepada Soeharto. Jadi sebenarnya mustahil apabila Soeharto tidak
mengetahui tragedi tersebut.
Yang patut dipertanyakan lagi adalah
mengapa Soeharto tidak melakukan pencegahan terjadinya tragedi tersebut.
Kebiasaan dalam militer, apabila ada gerakan yang disinyalir akan
membunuh atasan akan langsung dicegah. Namun kenyataanya Soeharto tidak
sedikit pun mengambil sikap. Padahal apabila ditelusur ia sangat mampu
mencegah kejadian tersebut. Pada saat itu, mereka sedang
mempersiapkan HUT ABRI. Kostradlah yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan acara tersebut. Jadi semua pasukan di Jakarta berada di
bawah kendali Kostrad. Seharusnya Soeharto bisa memerintahkan pasukan
untuk mencegahnya.
Dalam cerita versi Soeharto dan Orde Baru
disebutkan terdapat pasukan liar di sekitar Monas. Kesaksian Kapten
Soekarbi juga mematahkan pernyataan tersebut. Soeharto sendiri yang
mengirimkan radiogram pada Kapten Soekarbi untuk mendatangkan pasukannya
ke Jakarta. Tentunya ia mengenali pasukan siapa yang berada di
Monas kala itu. Kostrad pun mengetahui kehadiran Yon 530. Namun pada
kenyataannya Soeharto membiarkan pernyataan yang mengatakan bahwa
terdapat pasukan liar pada saat itu.
***
Kejanggalan lain tampak dalam beberapa
pengakuan Soeharto adalah pengakuan dan perkiraannya tentang kedatangan
Kolonel Latief saat menjengu anaknya, Tomy Soeharto di Rumah Sakit Gatot
Subroto. Dalam versinya ia hanya mengaku hanya melihat Kolonel Latief
di zaal dimana anaknya dirawat. Namun kejadian yang sebenarnya adalah
mereka sempat berbincang-bincang. Pada saat itu Kolonel
Latief melaporkan bahwa besok pagi akan ada tujuh jenderal yang akan
dihadapkan pada presiden. Namun pada saat itu Soeharto tidak bereaksi.
Ia hanya menanyakan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Tapi dari hasil
wawancara Soeharto dengan seorang wartawan Amerika, ia
mengatakan”…….Kini menjadi jelas bagi saya, bahwa Latief ke rumah sakit
malam itu bukan untuk menengok anak saya, melainkan sebenarnya
untuk mengecek saya. Rupanya ia hendak membuktikan kebenaran berita ,
sekitar sakitnya anak saya, ……”.
Sedangkan dalam majalah Der Spiegel
(Jerman Barat) Soeharto berkata.”Kira-kira jam 11 malam itu, Kolonel
Latief dan komplotannya datang ke Rumah Sakit untuk membunuh saya,
tetapi tampaknya ia tidak melaksanakan berhubung kekhawatirannya
melakukan di tempat umum.” Dengan demikian ada tiga versi
yang dikeluarkan oleh Soeharto sendiri tentang pertemuannya dengan
Kolonel Latief. Hal ini sangat lah memancing kecurigaan bahwa Soeharti
hanyalah mencari alibi untuk menghindari tanggung jawabnya.
***
Penyajian adegan penyiksaan ke enam
jenderal dalam film G/30/S/PKI ternyata juga dapat digolongkan sebagai
salah satu kejanggalan cerita versi Soeharto. Serka Bungkus adalah
anggota Resimen Cakrabirawa. Pada saat itu ia mendapat tugas
”menjemput” M.T Haryono.
Ia turut menyaksikan pula penembakan keenam
Jenderal di Lubang Buaya. Ia menyatakan bahwa proses pembunuhan keenam
Jenderal tidak melalui proses penyiksaan seperti pada film G/30/S/PKI.
Satu per satu Jenderal dibawa kemudian duduk di pinggir lubang setelah
itu ditembak dan akhirnya masuk ke dalam Lubang. Serka Bungkus
mengetahui adanya visum dari dokter yang menyatakan tidakada tindak
penganiayaan. Namun sepengetahuannya Soeharto melarang mengumumkan hal
itu.
Selain itu salah satu dokter yang melakukan visum, Prof. Dr. Arif
Budianto juga menyatakan bahwa tidak ada pelecehan seksual dan
pencongkelan mata seperti yang ditayangkan dalam film. Memang pada saat
dilakukan visum ada mayat dengan kondisi bola matanya ’copot’. Tapi hal
itu terjadi karena sudah lebih dari tiga hari terendam bukan karena
dicongkel paksa. Karena di sekitar tulang mata pun tidak adabagian yang
tergores.
Tentu kita tidak dapat menduga-duga apa tujuan dan motif Soeharto
menyembunyikan hasil visum. Dalam hal ini ia terkesan ingin memperparah
citra PKI agar dugaan bahwa PKI lah yang ada di belakang tragedi ini
semakin kuat. Kebencian masyarakat pada PKI pun akan memuncak dengan
melihatnya.
***
Satu hal yang paling menjadi kontroversi
dari tragedi tersebut adalah banyaknya orang-orang yang dituduh
mendukung PKI dan pada akhirnya dijebloskan ke penjara. Antara lain
adalah Kolonel Latief, Letkol Heru Atmodjo, Kapten Soekarbi, Laksda Omar
Dani, Mayjen Mursyid, dan masih banyak lagi. Kebanyakan dari mereka
ditahan tanpa melalui proses peradilan.
Orang- orang tersebut kebanyakan
mengetahui bagaimana sebenarnya hal itu terjadi. Seperti contohnya
Kapten Soekarbi. Ia ditahan setelah membuat laporan tentang kejadian
yang ia alami pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965. Penahanan
tanpa proses peradilan ini dapat disinyalir sebagaisebuah upaya yang
dilakukan Soeharto agar saksi-saksi kunci tidak dapat
menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada khalayak. Ketakutan yang
dialami Soeharto ini tentunya justru semakin memperkuat anggapan bahwa
dialah dalang di balik peristiwa G/30/S/PKI.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar