24.08.2015
| Fathiyah Wardah
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu secara benar dan tidak berhenti pada
permintaan maaf Presiden Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla
(foto: dok). Kontras mengapresiasi langkah pemerintah yang akan minta
maaf terhadap para korban HAM, namun dinilai tidak cukup.
JAKARTA—Kejaksaan Agung menyebut
Presiden Joko Widodo sebagai wakil negara, akan meminta maaf terkait
dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Crisbiantoro kepada VOA Senin (24/8) mengatakan, lembaganya mengapresiasi langkah pemerintah yang akan meminta maaf terhadap para korban, keluarga koban dan juga masyarakat Indonesia atas peristiwa terjadinya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Meski demikian, dia mengingatkan agar pemerintah tidak berhenti sampai permintaan maaf saja karena permintaan maaf merupakan bentuk pengakuan dari negara atas terjadinya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pemerintah, lanjutnya, harus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara tuntas di mana selain melakukan permintaan maaf ada lagi langkah selanjutnya yang harus dilakukan seperti pelaku pelanggaran HAM harus dibawa ke pengadilan HAM, segera membentuk komisi pengungkapan kebenaran dan adanya pemulihan hak korban.
Di negara manapun, orang-orang yang diduga sangat bertanggung jawab pada kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lanjut Crisbiantoro tidak ada yang diberikan amnesti atau pengampunan begitu saja. Menurutnya harus ada alasan yang sangat kuat, apa yang menyebabkan mereka semua diampuni.
"Sebelum rekonsiliasi ada tahapannya, ada public hearing, kebenarannya di ungkap. Misalnya dalam kasus Tanjung Priok. Itu siapa yang memerintahkan penembakan jemaat di Jalan Yos Sudarso pada waktu itu. Oh ternyata yang memerintahkan Tri Sutrisno, misalkan, itu harus diungkap ke publik. Kemudian yang memerintahkan pembunuhan,pembantaian warga Talangsari 1989, itu harus diungkap ke publik. Pada waktu itu Danrem-nya Hendropriyono.
Pengungkapan kebenaran harus didengar dari dua pihak baik dari korbannya maupun dari pelakunya," ujar Crisbiantoro.
Pemerintah berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme non yudisial yang nanti muaranya rekonsiliasi.
Crisbiantoro menambahkan jika tahapan-tahapan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dilakukan secara baik dan tuntas maka tidak sah karena itu tidak bisa dianggap selesai. Hasil rekonsiliasi tidak akan diterima oleh pihak internasional dan juga PBB maupun korban.
"Kita tidak akan bisa mendengar, Indonesia seperti Afrika Selatan, Argentina, Chili yang prosesnya selesai semua karena penyelesaiannya tidak seperti yang akan dilakukan pemerintah Indonesia tanpa dibawa ke pengadilan," tambah Crisbiantoro.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan dalam Undang-undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia dimungkinkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM itu melalui rekonsiliasi sehingga tidak bertentangan dengan hukum yang ada.
Pemerintah nantinya juga akan membentuk Komite Rekonsiliasi untuk menyelesaikan proses kasus pelanggaran HAM ini. Pemerintah memilih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui non yudisial karena menurut Tony sangat sulit mencari alat bukti atas kasus-kasus
tersebut.
"Kita untuk membawa kasus itu ke penuntutan kan perlu alat bukti di penyidikan. Waktu penanganan perkara dari Komnas HAM, kita anggap itu belum cukup alat buktinya untuk ditingkatkan ke penuntutan. Dinaikkan ke penyidikan pun secara teknis pembuktian juga sulit," tutur Tony.
Rencananya pemerintah akan memprioritaskan tujuh kasus pelanggaran berat HAM, yakni kasus Talangsari, Wasior, Wamena, penembak misterius atau Petrus, G30S PKI, kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan orang secara paksa.
Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Crisbiantoro kepada VOA Senin (24/8) mengatakan, lembaganya mengapresiasi langkah pemerintah yang akan meminta maaf terhadap para korban, keluarga koban dan juga masyarakat Indonesia atas peristiwa terjadinya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Meski demikian, dia mengingatkan agar pemerintah tidak berhenti sampai permintaan maaf saja karena permintaan maaf merupakan bentuk pengakuan dari negara atas terjadinya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pemerintah, lanjutnya, harus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara tuntas di mana selain melakukan permintaan maaf ada lagi langkah selanjutnya yang harus dilakukan seperti pelaku pelanggaran HAM harus dibawa ke pengadilan HAM, segera membentuk komisi pengungkapan kebenaran dan adanya pemulihan hak korban.
Di negara manapun, orang-orang yang diduga sangat bertanggung jawab pada kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lanjut Crisbiantoro tidak ada yang diberikan amnesti atau pengampunan begitu saja. Menurutnya harus ada alasan yang sangat kuat, apa yang menyebabkan mereka semua diampuni.
"Sebelum rekonsiliasi ada tahapannya, ada public hearing, kebenarannya di ungkap. Misalnya dalam kasus Tanjung Priok. Itu siapa yang memerintahkan penembakan jemaat di Jalan Yos Sudarso pada waktu itu. Oh ternyata yang memerintahkan Tri Sutrisno, misalkan, itu harus diungkap ke publik. Kemudian yang memerintahkan pembunuhan,pembantaian warga Talangsari 1989, itu harus diungkap ke publik. Pada waktu itu Danrem-nya Hendropriyono.
Pengungkapan kebenaran harus didengar dari dua pihak baik dari korbannya maupun dari pelakunya," ujar Crisbiantoro.
Pemerintah berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme non yudisial yang nanti muaranya rekonsiliasi.
Crisbiantoro menambahkan jika tahapan-tahapan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dilakukan secara baik dan tuntas maka tidak sah karena itu tidak bisa dianggap selesai. Hasil rekonsiliasi tidak akan diterima oleh pihak internasional dan juga PBB maupun korban.
"Kita tidak akan bisa mendengar, Indonesia seperti Afrika Selatan, Argentina, Chili yang prosesnya selesai semua karena penyelesaiannya tidak seperti yang akan dilakukan pemerintah Indonesia tanpa dibawa ke pengadilan," tambah Crisbiantoro.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan dalam Undang-undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia dimungkinkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM itu melalui rekonsiliasi sehingga tidak bertentangan dengan hukum yang ada.
Pemerintah nantinya juga akan membentuk Komite Rekonsiliasi untuk menyelesaikan proses kasus pelanggaran HAM ini. Pemerintah memilih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui non yudisial karena menurut Tony sangat sulit mencari alat bukti atas kasus-kasus
tersebut.
"Kita untuk membawa kasus itu ke penuntutan kan perlu alat bukti di penyidikan. Waktu penanganan perkara dari Komnas HAM, kita anggap itu belum cukup alat buktinya untuk ditingkatkan ke penuntutan. Dinaikkan ke penyidikan pun secara teknis pembuktian juga sulit," tutur Tony.
Rencananya pemerintah akan memprioritaskan tujuh kasus pelanggaran berat HAM, yakni kasus Talangsari, Wasior, Wamena, penembak misterius atau Petrus, G30S PKI, kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan orang secara paksa.
http://www.voaindonesia.com/content/kontras-desak-penyelesaian-kasus-ham-masa-lalu/2930183.html
0 komentar:
Posting Komentar