Aulia Bintang Pratama, CNN
Indonesia | Kamis, 06/08/2015 22:40 WIB
Ketua YPKP 65 Bedjo Untung menegaskan tak ada pembatalan terhadap
semiloka YPKP di Salatiga, melainkan hanya penundaan.(CNN Indonesia/Aulia
Bintang Pratama)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti penundaan acara semiloka yang
digelar Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966. Meski begitu,
dalam pandangannya KontraS memilih untuk berfokus pada penanganan
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia pada 1965.
Menurut salah satu aktivis KontraS, Ferry Kusuma, pengusutan kasus kejahatan HAM di Indonesia khususnya pada 1965 masih belum menemui titik terang. Bahkan, kata dia sampai saat ini penanganannya dari pengusutan tersebut masih dinilai sangat gelap.
Menurut salah satu aktivis KontraS, Ferry Kusuma, pengusutan kasus kejahatan HAM di Indonesia khususnya pada 1965 masih belum menemui titik terang. Bahkan, kata dia sampai saat ini penanganannya dari pengusutan tersebut masih dinilai sangat gelap.
"Masih hitam maka dari itu kita terus dorong agar pengusutan pelanggaran HAM berat bisa selesai, bahkan bukan hanya yang 1965 saja," kata Ferry saat ditemui di Jakarta, Kamis (6/8).
Berangkat dari hal itu, ia kembali
mengingatkan Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara
ihwal komitmen pemerintah untuk mengusut kasus kejahatan HAM
berat yang pernah terjadi di Indonesia.
Pun permintaan tersebut kembali digulirkan menyusul isu yang mengatakan bahwa sang presiden bakal memberikan pernyataan maaf jelang pidato kenegaraannya pada Jumat (14/8) mendatang.
Selain permintaan maaf, tegas Ferry negara juga harus merehabilitasi nama baik para korban khususnya dalam kasus '65.
Ini dilakukan sebagai tindaklanjut dari keluarnya surat dari Mahkamah Agung (MA) mengenai upaya rehabilitasi nama korban yang di era kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono sama sekali tak disinggung.
Pun permintaan tersebut kembali digulirkan menyusul isu yang mengatakan bahwa sang presiden bakal memberikan pernyataan maaf jelang pidato kenegaraannya pada Jumat (14/8) mendatang.
Selain permintaan maaf, tegas Ferry negara juga harus merehabilitasi nama baik para korban khususnya dalam kasus '65.
Ini dilakukan sebagai tindaklanjut dari keluarnya surat dari Mahkamah Agung (MA) mengenai upaya rehabilitasi nama korban yang di era kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono sama sekali tak disinggung.
"Penyataan maaf saja tidak cukup jika tak diikuti langkah hukum. Penyelesaian pelanggaran HAM berat itu tinggal masalah kemauan saja," tandasnya. (sip)
0 komentar:
Posting Komentar