Utami Diah Kusumawati, CNN
Indonesia | Senin, 03/08/2015 15:23 WIB
Keluarga korban pelanggaran
HAM dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana
Negara, Kamis, 23 Oktober 2014. (CNN Indonesia/ Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Penelitian Korban
Pembunuhan 65 (YPKP 65) membantah pihaknya telah memasang bendera berwarna
merah berlogo palu dan arit yang sedang ramai dibicarakan di sosial media
Twitter. Ketua YPKP Bejo Untung menegaskan nama lembaganya hanya dicatut untuk
memperkeruh dan memanaskan situasi pre-temu nasional YPKP di Salatiga.
"Kami memang akan mengadakan temu nasional pada tanggal 7 dan 8 Agustus ini di Salatiga. Namun, kami tidak pernah mengibarkan bendera apapun terkait komunisme, " kata Bejo saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (3/8). "Itu tidak benar, sebuah manipulasi serta provokasi."
Bejo mengatakan sejak lembaganya dibentuk, tidak pernah
mereka menggunakan istilah komunisme ataupun menyertakan logo dan simbol
terkait komunisme, seperti palu dan arit, dalam setiap acara atau aktivitas
yang mereka lakukan.
Aktivitas YPKP, kata Bejo, berkaitan dengan perjuangan pemulihan bagi korban-korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 65, terutama untuk mereka yang sudah terstigma atau diperlakukan tidak adil oleh pemerintah di masa lalu.
Aktivitas YPKP, kata Bejo, berkaitan dengan perjuangan pemulihan bagi korban-korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 65, terutama untuk mereka yang sudah terstigma atau diperlakukan tidak adil oleh pemerintah di masa lalu.
"Misalnya, salah seorang teman saya, yang karena distigma akhirnya tidak bisa mendapatkan uang pensiun. Padahal, dia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sama seperti yang lainnya," ujar Bejo Untung. "Kesamaan hak dan keadilan tanpa stigma itu yang kami perjuangkan.
Bejo mengatakan memang
ada pihak-pihak tertentu yang tidak suka dengan acara yang diselenggarakan oleh
YPKP. Dia mencontohkan pertemuan YPKP pada awal Februari tahun lalu di Bukit
Tinggi, dibubarkan paksa oleh warga Kelurahan Bukik Cangan Kayu Ramang,
Kecamatan Guguak Panjang, setelah warga diprovokasi oleh pihak-pihak
tertentu.
Alhasil, pertemuan saat itu, yang turut dihadiri oleh Komnas HAM, LPSK serta beberapa kuasa hukum ternama seperti Nursyahbani Katjasungkana batal terlaksana.
Oleh karena itu, untuk menghindari kejadian serupa terulang lagi pada bulan ini, Bejo mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait. Izin acara, kata Bejo, juga sudah didapatkan dari Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan serta Walikota Salatiga.
Alhasil, pertemuan saat itu, yang turut dihadiri oleh Komnas HAM, LPSK serta beberapa kuasa hukum ternama seperti Nursyahbani Katjasungkana batal terlaksana.
Oleh karena itu, untuk menghindari kejadian serupa terulang lagi pada bulan ini, Bejo mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait. Izin acara, kata Bejo, juga sudah didapatkan dari Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan serta Walikota Salatiga.
"Kami juga sudah mengirimkan surat kepada Mabes Polri dengan surat tembusan ke Kapolda Semarang, Polres dan Polsek Salatiga," ujar Bejo.Sebelumnya, sempat beredar kabar di beberapa akun di sosial media seperti Twitter dan Facebook yang menyatakan adanya bendera berlogo palu dan arit dipasang di daerah di Salatiga, Jawa Tengah. Ada juga yang menyebutkan bendera tersebut dipasang oleh YPKP 65 dalam rangka pre-temu nasional mereka yang akan diselenggarakan pada awal Agustus ini.
Harapan ke Presiden
Lebih jauh, Bejo mengatakan dalam pertemuan nasional YPKP yang rencananya akan turut dihadiri perwakilan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK serta perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM tersebut akan membahas tindak lanjut dari keputusan pemerintah membentuk Komite Rekonsiliasi pada tahun ini.
Komite Rekonsiliasi dibentuk setelah beberapa elemen pemerintah seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI dan Komnas HAM mengadakan pertemuan bersama.
"Kami akan membahas lebih mendalam. Kami tidak akan menolak komite tersebut karena merupakan peluang penyelesaian atas kasus pelanggaran HAM," kata Bejo.Selain itu, pihaknya nanti juga akan membuat pernyataan untuk mendorong Presiden Joko Widodo agar segera menerbitkan Keputusan Presiden Rehabilitasi Umum sebagai pengganti Undang-Undang KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang keburu batal digunakan.
"Bagi kami selain proses rekonsiliasi dan rehabilitasi, pemerintah sebaiknya tidak melupakan payung hukum untuk melaksanakan hal-hal yang perlu dilakukan," ujarnya.Dengan demikian, YPKP bersama dengan organisasi lainnya, seperti KONTRAS, berada di jajaran mereka yang menolak penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak menyentuh ranah yudisial atau semata-mata melalui rekonsiliasi saja. (utd/utd)
0 komentar:
Posting Komentar