2 August 2015 - Arman Dhani
MUKTAMAR Nahdlatul Ulama (NU) ke 33 yang diselenggarakan
di Jombang, Jawa Timur, semestinya menjadi momen penting bagi perdamaian.
Selayaknya, jika memang ingin mencatatkan sejarah, ajang
pertemuan para nahdliyin ini digunakan untuk membahas permasalahan bangsa.
Mulai dari isu sektarian yang makin mengkhawatirkan, pengentasan kemiskinan,
pemberdayaan perempuan, peningkatan kualitas pendidikan melalui pondok
pesantren dan isu tentang rekonsiliasi 65.
Isu terakhir barangkali salah satu yang paling tidak
populer di antara isu-isu yang lain. Apalagi setelah NU mengeluarkan buku Benturan
NU-PKI sebagai jawaban atas wacana rekonsiliasi kepada korban pembunuhan
1965.
Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Aly,mengatakan, pembuatan buku dilakukan
karena ada desakan agar NU meminta maaf kepada korban pembunuhan 1965.
Alasannya menarik, menurut As’ad,
“Ada yang mendiskreditkan NU dan mendelegitimasikan NU.” Gerakan neoliberal, ujar As’ad lagi, sebagai biang keladi untuk mendiskreditkan NU. “Ada liberalisasi agama, ingin kebebasan agama a la barat. Agar penghujatan atas Tuhan itu boleh dan hujatan atas agama itu boleh,” katanya.
Sebagai salah satu organ dengan masa sangat besar, NU pun
masih memiliki ketakutan terhadap ideologi. Gerakan neoliberal yang dimaksud
ini juga semestinya bisa ditelisik lebih jauh, dijabarkan dan dipertanyakan
sosoknya. Ketua
tim penulisan buku putih Abdul Mun’im DZ mengatakan, buku Benturan
NU-PKImemaparkan tragedi 1965 dari sudut pandang NU dalam menghadapi PKI
sebagai kelompok “bughot” (subversif). Jika demikian maka semestinya ada usaha
untuk membuka kembali dokumen sejarah terkait relasi NU dan mereka yang
tertuduh PKI.
Memang sejauh ini masih ada silang sengketa tentang
keterlibatan NU sebagai organ dalam pembantaian orang-orang yang dituduh
sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Asvi Warman Adam, peneliti sejarah
politik LIPI mengatakan, akar permasalahan gerakan NU-PKI harus dirunut dari
tahun 1948 dan 1965. Asvi beranggapan, benturan NU-PKI yang pertama dimulai
sebelum tahun 65, ketika aksi sepihak PKI/Barisan Tani Indonesia (BTI).
“Ada UU yang mengatur tentang pembatasan tanah warga, land reform. Itu mengatur tanah yang bisa dikuasai warga saat itu, pelaksanaan UU ini didukung oleh PKI dan BTI,” katanya.
Sejauh ini Nahdlatul Ulama masih menjadi salah satu
lembaga yang konsisten membela kemanusiaan dan akal sehat. Ketika kelompok lain
gemar mengkafirkan dan menyesatkan, NU masih menjadi organ yang kerap melakukan
pembelaan terhadap kelompok minoritas. Bahkan banyak intelektual muda mereka
yang menjadi pembela kelompok Syiah, Ahmadiyah dan kristen. Namun masih sedikit
yang bersuara tentang korban 65.
Salah satu tugas besar intelektual NU, saya kira, adalah
untuk meluruskan persepsi tentang komunisme yang sinonim dengan ateisme. Karena
selama komunis dianggap sinonim dengan ateis maka pembenaran terhadap
pembantaian kelompok PKI pada 65 akan tetap dilakukan. Sejauh ini beberapa
kelompok masyarakat masih berpikir bahwa pembantaian 65 merupakan bagian dari
penegakan aqidah yang membantai kaum murtad.
Isu 65 memang masih sangat sensitif. Tidak terhitung
penulis, intelektual dan kelompok masyarakat yang disakiti dan diserang tanpa
ada pembelaan. Beberapa waktu lalu, acara arisan keluarga dan anak-anak eks
tahanan politik (tapol) 65 yang dilangsungkan di Yogyakarta, dibubarkan
kelompok tertentu. Pembubaran tersebut sempat diwarnai dengan aksi pemukulan
terhadap salah satu peserta arisan dan hingga saat ini tidak ada tindakan dari
pihak kepolisian.
Kelompok yang membawa label agama juga kerap melakukan
penyerangan terhadap kelompok minoritas, termasuk keluarga korban 65. Nahdlatul
Ulama sejauh ini masih menjadi kelompok yang cukup netral, malah pada satu
titik, menjadi teladan dengan melakukan pendekatan personal terhadap keluarga
yang diberi label PKI.
Beberapa kawan saya berkelakar, jika kamu ingin melakukan
tindakan kriminal, seperti membunuh, merampok, atau memperkosa tuduh saja
korban kamu sebagai syiah, ahmadiyah atau komunis niscaya kamu akan selamat
dari jeratan hukum. Saya menolak percaya hal ini, namun melihat bagaimana
negara berpihak, saya pesimis bahwa memang negara ini ada untuk membela warga
negaranya.
Gus Dur pada 14
Mei 2000 dalam acara Secangkir Kopi, TVRI mengatakan bahwa
pengertian rekonsilasi yang benar adalah mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas
oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari. Di
sinilah letak keadilan yang harus ditegakkan di Bumi Nusantara. Belum tentu
orang-orang yang dituduh komunis bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. Sikap
ini adalah sebuah terobosan penting dalam usaha menegakkan suara jernih dalam
kebisingan sejarah.
Namun, sayang, inisiatif Gus Dur untuk melakukan
rekonsiliasi kerap ditentang dan dianggap angin lalu. Bahkan permintaan maafnya
tidak ada yang mau mengakui, apakah permintaan maaf itu diberikan atas nama
presiden atau atas nama NU. Kini setelah Gus Dur mangkat, hampir tak ada suara
dari tubuh NU untuk kembali membahas usaha rekonsiliasi ini. Apapun itu, semoga
muktamar kali ini berjalan lancar. Dan siapapun kelak yang memimpin NU semoga
bisa membawa kebaikan.
***
0 komentar:
Posting Komentar