Selasa, 17 Oktober 2017

Izin Pembunuhan Massal - Dokumen AS Pasca-Tragedi G30S (4)

Agus Lukman | Selasa, 17 Okt 2017 21:33 WIB


“Umumnya, korban dibawa keluar dari permukiman sebelum dibunuh, dan jenazahnya dikuburkan, tidak dibuang ke sungai,” tulis telegram Kedubes AS tertanggal 27 Desember 1965.



Tentara menangkap anggota PKI pada Oktober 1965. (Sumber: NSA)

Pembunuhan massal terhadap anggota maupun simpatisan PKI terus berlanjut hingga Desember 1965, meski intensitas mulai menurun.
Bila pada awal-awal pembunuhan massal pada Oktober-November 1965 jenazah korban pembunuhan massal dibuang ke sungai, belakangan jenazah mulai dikuburkan.
“Umumnya, korban dibawa keluar dari permukiman sebelum dibunuh, dan jenazahnya dikuburkan, tidak dibuang ke sungai,” tulis telegram Kedubes AS tertanggal 27 Desember 1965.
Telegram itu mengutip sumber Nahdlatul Ulama yang merupakan anggota DPRD Jawa Timur, bahwa gerakan pembersihan PKI yang dilakukan NU sudah menyebar ke seluruh wilayah Jawa Timur.
“Di Madiun---menurut sumber---para anggota PKI yang semula hanya ditahan, kini diserahkan kepada warga sipil untuk dibunuh. Kemungkinan petinggi militer di daerah ingin mematuhi perintah dari atasan mereka untuk menghentikan pembunuhan, namun mereka menghadapi masalah,” tulis Telegram Kedubes AS itu.
“Sangat sulit untuk menghentikan pembunuhan massal,” kata Sumarsono, Kepala Kepolisian Jawa Timur seperti dikutip dalam telegram Kedubes AS tertanggal 27 Desember 1965.
Banyak petinggi dan anggota PKI dikabarkan masih bersembunyi di Surabaya. Meski begitu, Kedubes AS tidak lagi menerima laporan pembunuhan dari sekitar kota itu.
Telegram pada 21 Desember 1965 menyebutkan Kedubes Amerika Serikat menerima laporan dari Konsulat Jepang di Bali, bahwa aksi anti-Tiongkok terus berlanjut dengan perusakan dan pembakaran pertokoan milik pengusaha Tionghoa. Penembakan gelap juga terus terjadi di malam hari.
Kedubes AS melaporkan warga Indonesia keturunan China di Bali meminta ke Kedutaan Besar RRC agar mereka dievakuasi ke daratan China.
Hingga Nusa Tenggara Timur
Jika pembantaian massal PKI di Pulau Jawa mulai berkurang di akhir 1965, kondisi berbeda di luar Jawa. Setidaknya yang terekam dalam telegram Kedubes AS pada 3 Agustus 1966. Telegram itu didasarkan pada laporan antropolog Amerika Serikat James Fox dan istrinya yang mengunjungi wilayah Nusa Tenggara Timur.
Menjelang James Fox kembali ke kampusnya di Inggris, ia dipanggil Kedubes AS di Jakarta. Menurut laporan James Fox, seperti ditulis telegram itu, pada sekitar Januari atau Februari 1966 tentara Indonesia datang ke Pulau Rote di NTT, dan mengeksekusi tokoh PKI lokal beserta Sukirno, tokoh PKI dari Jakarta.
“Setelah itu tentara ditarik pulang, namun  mereka kembali lagi ke Rote pada pertengahan Maret, dan mengeksekusi antara 40 hingga 50 anggota komunis dari Pulau Rote, beserta sekitar 30-an anggota komunis dari pulau-pulau sekitarnya seperti Pulau Sawu. Gelombang ketiga kedatangan tentara ke Rote terjadi pada Juni, dan kembali mengeksekusi beberapa orang yang sudah ditangkap sebelumnya,” begitu tulis Telegram Kedubes AS, 3 Agustus 1966.
Antropolog James Fox juga mengatakan telah mendengar informasi dari misionaris di Pulau Timor, bahwa ada sekitar 30 ribu orang dieksekusi di pulau itu. Setelah Fox mendatangi Pulau Timor dan mengkonfirmasi, ia memperoleh data total ada sekitar 800 orang atau maksimal seribu orang telah dieksekusi di Pulau Timor, Sumba, Alor, Rote, Sawu dan beberapa pulau lain di NTT.
Fox menyebut kedatangan Indonesia ke NTT---tanpa mengindahkan adat dan sensitifitas lokal itu membuat citra tentara di NTT merosot, dengan menganggap ada pendudukan tentara. (Tamat)

Sumber: KBR.ID 

0 komentar:

Posting Komentar