Senin, 23 Oktober 2017

Penumpasan PKI di Surabaya



Tentara menangkap terduga anggota PKI. Inset: Kolonel Sukotjo, walikota Surabaya (1965-1974). 

Pemberi perintah eksekusi Tan Malaka disebut dalam dokumen rahasia AS. Walikota Surabaya ini membersihkan staf pemerintahan dari unsur PKI hingga ke tingkat RT.


HANYA dalam hitungan hari, sejak Gerakan 30 September (G30S) 1965 meletus, nasib Partai Komunis Indonesia berubah drastis. Anggota dan simpatisannya diuber-uber tentara dan massa untuk dibersihkan. 

Propaganda anti-PKI pun dilancarkan ke berbagai kota, termasuk Surabaya.
Pada 31 Oktober 1965, Mayor Basuki Rahmat, komandan Batalyon 16 Brigade Ronggolawe Divisi Jawa Timur, mengeluarkan edaran yang membandingkan G30S dengan pemberontakan Madiun tahun 1948.

“Gambar-gambar besar mengenai kondisi tubuh keenam jenderal yang meninggal dipasang di sudut-sudut kota, dengan keterangan bahwa Gestapu dan Madiun adalah sama,” tulis telegram bernomor 164 yang dikirim tanggal 4 November 1965 dari Konsulat AS di Surabaya ke Kedubes AS di Jakarta. 

Istilah Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh adalah upaya psywar dari tentara untuk menyamakan G30S dengan Gestapo atau dinas polisi rahasia Nazi-Jerman era Adolf Hitler.

Di Surabaya, menurut Antonius Sumarwan dalam Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ‘65 dan Upaya Rekonsilias, aksi dimulai pada 16 Oktober 1965 dengan pawai akbar dan tindakan terorganisir untuk menghancurkan dan membakar kantor Comite Daerah Besar PKI di Jalan Pahlawan.

“Kemudian walikota sementara, Kolonel Sukotjo, membersihkan staf pemerintahan, Rukun Kampung (RK) dan Rukun Tetangga (RT) dari unsur PKI. Penculikan dan pembantaian dilaksanakan oleh kelompok agama,” tulis Sumarwan.

Sukotjo, komandan Kodim 0830/Kota Surabaya, menggantikan Moerachman sebagai walikota Surabaya yang ditangkap karena memiliki hubungan dengan PKI. “Keterangan yang ada menyebutkan walaupun beliau bukan PKI, tetapi memiliki hubungan yang dekat dengan partai yang pada Pemilu 1955 ini memperoleh suara terbanyak di Kota Surabaya,” tulis Sarkawi B. Husain dalam Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme 
Perkotaan: Surabaya, 1930-1960.

Sukotjo lahir di Tulungagung pada 1921 dan bersekolah di HIS, MULO, dan AMS. Karier militernya dimulai dengan menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang. Pada 1949, dia menjadi staf dalam Kompi Dekking Komando Brigade S dari Batalyon Sabirin kemudian menjadi Batalyon Sikatan di bawah Soekadji Hendrotomo. Kompi ini bertugas di daerah Gunung Wilis, Jawa Timur.

Pada 19 Februari 1949, Sukotjo dan anak buahnya yang berjaga di Desa Selopanggung, Kediri, menangkap seseorang yang kemudian dikenali sebagai Tan Malaka. “Sukotjo memerlukan sedikit waktu sebelum mengambil keputusan: Tan Malaka seorang komunis yang berbahaya, yang terhadapnya harus diberlakukan hukuman militer. Sukotjo memberikan perintah, dan orang yang ditugasi menembak adalah Suradi Tekebek,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia jilid IV 

Selain membersihkan staf pemerintahan Kota Surabaya dari unsur PKI hingga ke tingkat RT, Sukotjo juga mencoba menurunkan harga beras. Pada 22 November 1965, seperti ditulis dalam telegram nomor 183 yang diterima Kedubes AS di Jakarta pada 26 November 1965, Sukotjo memerintahkan kepada segenap pengusaha Tionghoa yang berbisnis beras untuk membuka toko dan menurunkan harga hingga 30 persen. Beberapa hari sebelumnya, banyak toko milik Tionghoa tutup lantaran beredar kabar bahwa tanggal 17 dan 18 November 1965 akan datang serangan dari Ansor, organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama.

Pasukan dari Angkatan Darat di Kota Surabaya juga bertambah. Pada 20 November 1965, Batalyon 507 atau dikenal sebagai Batalyon Sikatan dari Divisi Brawijaya berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
“Batalyon ini akan digunakan untuk ‘penumpasan Gestapu’ di Jawa Timur,” tulis telegram nomor 183 yang menjadi bagian dari 39 dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi.

Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar