Rabu, 18 Oktober 2017

Pembantaian 1965, Amerika Serikat, dan Soeharto

Amerika Serikat membuka dokumen telegram rahasia kedutaan besarnya di Indonesia sesaat dan setelah peristiwa 30 September 1965. Soeharto tercatat memerintahkan pembantaian massal yang mengikuti peristiwa itu.

AH Nasution dan Soeharto/postgazette
Pembantaian massal antara 1965-1966 itu terjadi di berbagai daerah, dari Medan Sumatera Utara hingga Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari Surakarta di Jawa Tengah hingga Den Pasar di Bali.
Pada 1 November 1965, sebulan setelah peristiwa 30 September yang kelak dicap sebagai pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu, Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green mengirim telegram rahasia ke atasannya di Washington DC sana. “Ada sekitar 600 orang anggota atau simpatisan PKI ditangkap dan dipenjara di Sumatera Selatan—termasuk pengurus organisasi buruh SOBSI yang bekerja di perusahaan Shell, Stanvac dan pabrik pupuk PUSRI,” tulis Green.
Puluhan orang dari Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang dianggap komunis, diangkut dengan truk dari kilang minyak Plaju dan Prabumulih dan dibawa entah ke mana, tak pernah pulang lagi.
Green mengambil data itu berdasarkan kunjungan Atase Tenaga Kerja AS ke Sumatera Selatan. Green juga mengutip salinan laporan rahasia dari intelijen Angkatan Udara Indonesia yang dikeluarkan 29 Oktober 1965, hampir satu bulan pasca-G30S. Solo, dianggap sebagai salah satu basis PKI, dalam kondisi genting. Pertentangan antara partai-partai nasionalis serta partai agama terhadap PKI. Aksi demonstrasi terus meningkat.
Tentara (ABRI) lalu membentuk Staf Gabungan Keamanan untuk mengendalikan situasi. Setelah itu terjadi apa yang disebut aksi massa, berujung penculikan dan tewasnya puluhan orang hanya dalam kurun waktu tiga hari (22-24 Oktober 1965), dari kelompok pro maupun anti-PKI.
Sepekan kemudian, telegram Kedubes AS pada 4 November menyebutkan adanya peningkatan aksi pembersihan PKI di sejumlah wilayah di Jawa, khususnya di kampung-kampung yang dianggap menjadi basis PKI di Surabaya dan Blitar, Jawa Timur.
Telegram Green itu bisa diakses publik mulai pekan lalu. Sebanyak 39 dokumen setebal 30.000 halaman catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968 dibuka ke publik pekan ini. Dokumen-dokumen dalam bentuk PDF itu dibuka oleh lembaga nonprofit National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Yang terakhir ini adalah lembaga nonprofit di bidang kajian deklasifikasi dokumen, dan berperan penting dalam memindai dokumen-dokumen tersebut menjadi dokumen digital, supaya bisa diakses publik.
Dokumen itu dinyatakan tidak lagi rahasia (deklasifikasi) mulai Selasa, 17 Oktober 2017 pukul 09.00 waktu Amerika Serikat. Namun sampai saat ini jumlah yang dibuka hanya sebagian kecil dari total 30 ribu halaman itu. Sisanya baru akan dikeluarkan lagi sebagian pada awal 2018 mendatang.
Isi dokumen antara lain soal konflik antara tentara (terutama Angkatan Darat) dengan PKI, dan pembantaian orang-orang PKI setelah konflik itu.
Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal yang selalu didengungkan bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis.
“Mereka bingung dan mengaku tak tahu soal 30 September,” tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965, soal reaksi kader-kader PKI setelah kudeta gagal itu.
Dalam telegram tanggal 20 November 1965, dituliskan kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat Amerika dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya. Jurnalis yang disebutkan itu adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. “Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah,” tulis laporan itu.
Dalam kabel diplomatik Kedutaan Amerika untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri Amerika di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa, “Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu.”
Dalam telegram itu juga disebutkan, “Jika itu terlaksana, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil.”
Angkatan Darat mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya dari negara-negara Barat setelah tindakan itu terlaksana.
Telegram itu dikirim setelah AD, pada 10 Oktober 1965, menghadap Soekarno dan melaporkan keterlibatan PKI pada kejadian 30 September. Soekarno menolak membaca dan memarahi mereka karena menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan namanya itu kemudian meninggalkan Soekarno dengan jengkel.
Soeharto
Dalam belantara dokumen itu ternyata ada salah satu yang menyebut nama Soeharto. Ia dicatat di sana memerintahkan pembantaian massal itu.
Laporan Joint Weeka (koleksi laporan mingguan Kedubes AS), terbit 30 November 1965, Soeharto dilaporkan memerintahkan pembunuhan massal terhadap pendukung atau anggota PKI.
“Dalam serangkaian pertemuan dengan sejumlah tokoh pemuda dan partai politik, Jenderal Nasution mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan upaya untuk menekan PKI, yang sudah sampai tahap eksekusi massa di sejumlah provinsi di Indonesia—tampaknya atas perintah Jenderal Soeharto, setidaknya di Jawa Tengah,” tulis Joint Weeka.
Dalam periode akhir November itu, sejumlah provinsi mulai memberlakukan larangan keberadaan PKI, dan penggantian pemimpin daerah yang dianggap pro-PKI, seperti di Sumatera Utara dan Bali. Sementara itu, di Makassar terjadi aksi anti-China, dimana massa menyerbu dan merusak sekitar 90 persen rumah dan pertokoan di wilayah itu.
Sementara itu, militer juga membekali anggota Pertahanan Sipil (Hansip) di pelosok-pelosok desa di Sumatera dengan senjata, untuk memperluas jangkauan militer menekan PKI.
Telegram Kedubes AS tanggal 6 Desember 1965 menyebutkan bahwa militer ‘memperkuat cengkeramannya ke semua aspek kehidupan politik.” Militer juga membentuk “organisasi payung Islam, guna merangkul dan mengontrol ormas Islam.”
Laporan Joint Weeka edisi 7 Desember 1965 menyebutkan pembersihan terhadap PKI terus berlanjut. Sedikitnya 34 ribu orang di Pulau Jawa yang dianggap anggota PKI ditangkap, sebagian dieksekusi di tempat. Pelarangan PKI juga terus terjadi di berbagai tempat, seperti di Kalimantan Barat, Batak Karo (Sumatera Utara) hingga Yogyakarta.
Setelah terjadi perburuan dan pembantaian massa PKI selama sekitar dua bulan, tentara Indonesia mulai kalem. Di beberapa tempat di mana PKI sudah hancur—seperti di Kediri—tentara mulai berusaha menghentikan aksi pembunuhan massal.
Pembersihan juga dilakukan oleh pejabat pemerintah pendukung tentara terhadap para pejabat yang diduga terlibat PKI.
Hingga pertengahan Desember 1965, jumlah orang yang dibunuh karena dianggap terlibat PKI atau G30S mencapai sedikitnya 100 ribu orang. Angka itu disebut dalam laporan rahasia mingguan (Joint Weeka) yang dikirim Kedubes AS pada 21 Desember 1965.
Namun mulai awal Desember, menurut data National Security Archive (NSA) pembunuhan massal terhadap PKI di Bali mulai terjadi, yaitu ketika pasukan para komando dan Brawijaya pimpinan Sarwo Edhie Wibowo tiba di pulau itu. “Aksi pembunuhan berlangsung selama beberapa bulan, hingga jumlah orang yang dibunuh mencapai sekitar  80 ribu orang,” tulis NSA.
Menurut NSA sekitar 500 ribu orang yang diduga terlibat organisasi PKI sejak hari itu hilang dari muka bumi Indonesia. Sisanya, sebagian besar dipenjara tanpa pengadilan selama bertahun-tahun. Sejak hari itu salah satu bagian dari generasi anak bangsa ini lenyap. [DAS]
Sumber: Suluh Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar