Selasa, 10 Oktober 2017

Membongkar Sambil Mengukuhkan Kekerasan Budaya

oleh Hikmat Darmawan* | 10 Oktober 2017


Buku ini terbit perdana dalam bahasa Inggris di Jerman pada 2011. Edisi bahasa Indonesia terbit pada November 2013.

Sewaktu kesadaran akan betapa degilnya kuasa Orba (Orde Baru) mulai terbentuk, saya sering membayangkan dalam menonton Pengkhianatan G 30 S/PKI yang wajib-tayang setiap tahun hingga akhir kuasa Orba, bagaimana ya perasaan Arifin C. Noer ketika membuat film itu?

Kita tahu belaka, itu film propaganda. Sedang Arifin C. Noer pada saat itu adalah seorang seniman progresif yang berkutat dalam pembaharuan-pembaharuan di seni teater dan film. Bayangan saya, semacam romantisasi, seakan ada pistol kekuasaan menodong kepala Arifin untuk membuat film itu. Saya tak bisa membayangkan bahwa Arifin secara aktif menyediakan diri jadi alat kekuasaan untuk propaganda degil tersebut. Saya membayang-bayangkan dilema Arifin di saat itu—mempertahankan integritas moral sebagai seniman mandiri, dengan risiko mendapatkan kekerasan dari rezim; atau, menerima tawaran, dengan risiko tak mandiri lagi sebagai seniman.

Berita di dunia maya yang saya temui saat ramai lagi pemutaran film Pengkhianatan G 30 S/PKIJajang C. Noer menyatakan bahwa tak ada intervensi politis dalam pembuatan film tersebut, sambil terlontar juga bahwa yang memodali film itu adalah Soeharto dan ada tentara di tempat syuting (menurut Jajang, untuk menjagai mereka). Jajang menyatakan bahwa almarhum Arifin membuat film itu karena "kecintaannya pada bangsa." Arifin, menurut Jajang, hanya tak menyangka bahwa film itu akan jadi tontonan wajib setiap tahun.

Jadi, pandangan romantik saya terhadap dilema Arifin itu tak tepat. Arifin secara aktif, rupanya dengan penuh percaya, mencipta karya yang hakikatnya adalah sebuah pembenaran akan kekerasan terhadap para anggota (atau yang dituduh anggota) PKI pada 1965-1966. Maka, masalah yang terpapar adalah: bagaimana bisa seorang seniman progresif dalam hal senirupa modern secara aktif mendukung wacana yang jadi dasar pembenaran pembantaian sejumlah besar orang di Indonesia?

Agaknya, jadi relevan untuk membicarakan kembali buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang. Buku ini tampaknya memberi jawaban yang pas dan rapi tentang gejala seperti kasus Arifin C. Noer di atas. Tesa utama Herlambang adalah: (1) antikomunisme adalah ideologi yang jadi wacana utama masyarakat Indonesia sejak awal sejarah Orde Baru; (2) sesudah pembantaian terhadap para anggota PKI pada 1965, ada kekerasan bahasa dan kekerasan budaya untuk membenarkan dan menormalisasi pembantaian itu.

Kebanyakan ulasan dan pembicaraan tentang buku ini sibuk dengan hal-hal "ke-orang-an" dalam sejarah gelap kita itu: bagaimana Goenawan Mohamad  (GM) jebulnya dalam struktur pembayaran CIA, lewat CCF (Congress for Cultural Freedom) dengan direktur CCF untuk Asia, Ivan Kats. GM dituliskan sebagai bagian dari konspirasi CIA untuk menyingkirkan komunisme dari ranah kebudayaan Indonesia, antara lain dengan membiayai penerjemahan karya-karya liberal seperti novel dan esai-esai Albert Camus, serta mengirimkan para intelektual muda belajar ke Eropa dan Amerika.

Pembicaraan tentang GM sebagai "agen CIA" mendominasi percakapan tentang buku ini di media sosial, bisa ditebak, karena GM dianggap representasi dari elite kebudayaan yang saat ini mendominasi sastra dan kesenian di Indonesia. Dengan posisinya sebagai pemilik salah satu media terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia, grup Tempo, GM tak bisa dipandang sekadar "Sang-Penyair".

Pada masa gerakan pro-demokrasi semakin menemukan momentum di masa-masa menjelang kejatuhan Soeharto, GM semakin mengukuhkan diri sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam politik maupun kebudayaan Indonesia. Misalnya, ia adalah tokoh di pusat pendirian Teater Utan Kayu (TUK), yang pada masa jelang dan sesudah Reformasi 1998 jadi payung para sastrawan dan seniman yang terhitung elite-elite kebudayaan di Jakarta/Indonesia. TUK juga jadi payung untuk AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang sering menentang pemerintah, ISAI (Institut Studi Arus Informasi), Radio Utan Kayu, Jurnal Kalam dan serangkaian buku-buku terbitannya, dan Jaringan Islam Liberal (JIL).

Buku ini, khususnya Bab 3, memang cukup berhasil mengulik alur sejarah kucuran dana dan sumber daya dari CIA (Amerika Serikat) ke para tokoh kebudayaan di Indonesia dalam sebuah "perang kebudayaan" antikomunisme. Para tokoh Manifesto Kebudayaan seperti Wiratmo Soekito, Arief Budiman, GM, HB Jassin, dan lain-lain pun diulas sebagai bagian dari sirkulasi dana dan sumber daya CIA itu. 
Dan, satu tokoh yang muncul sangat penting di buku ini sebagai pembawa agenda CIA untuk memenangkan kepentingan-kepentingan liberalisme ekonomi Amerika Serikat (AS) adalah Mochtar Loebis—jurnalis dan sastrawan yang terkenal menentang keras Soekarno dan komunisme.

Bab yang membahas alur kucuran dana dan sumber daya dari CIA ke para tokoh kebudayaan di Indonesia.

Bab yang membahas alur kucuran dana dan sumber daya dari CIA ke para tokoh kebudayaan di Indonesia.

Loebis terutama penting sebagai pendiri Yayasan Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia yang banyak menerjemahkan dan memproduksi karya-karya dengan ideologi yang berlawanan dengan ideologi sastra yang digadang-gadang PKI dan Lekra. Jelasnya, karya-karya sastra dan budaya berideologi humanisme universal. Di dalam konstruksi sejarah Herlambang, ideologi (ataukah lebih tepat, estetika?) "humanisme universal" menjadi sebuah kata yang degil. 
Begitulah pula kira-kira paham itu dirundung oleh para seniman dan budayawan Lekra di media-media mereka: diperlakukan sebagai sebuah kata kotor.

Tentu ada bedanya. Arsip-arsip polemik Realisme Sosialis vs Humanisme Universal mencatat perdebatan dan perundungan keras atas paham Humanisme Universal sebagai bagian dari sebuah kompetisi ideologi yang riuh. Sementara, Humanisme Universal dalam konstruksi sejarah Herlambang terasa degil karena dikaitkan dengan kekerasan (pembantaian) pasca-1965. Tapi, perlakuan paham Humanisme Universal sebagai sebuah kata kotor dalam buku ini menguak sesuatu yang mengganggu saya: apakah sebuah perlawanan akan kekerasan budaya harus dengan cara melakukan kekerasan budaya juga?

Hal serupa semakin tajam saya rasakan, ketika dalam beberapa bagian bukunya, Herlambang memperlakukan kata "kebebasan berekspresi" juga seakan sebuah kata kotor. Sebab, agenda "kebebasan berekspresi" dikonstruksikan dalam buku ini sebagai bagian dari agenda CIA memberantas komunisme. Baca saja halaman 86 buku ini.
Di situ, Herlambang memang mencatat HB Jassin yang disebut penganut paham "Humanisme Universal", mengkritik konsep "kebebasan berekspresi" yang diasosiasikan dengan paham "seni untuk seni" dan tidak bermakna "anti-rakyat". Tapi, sebelum catatan tentang HB Jassin itu, Herlambang menyatakan, "Dalam praktiknya, konsep kebebasan dalam humanisme universal dimaksudkan sebagai senjata untuk menandingi gagasan komitmen politik di dalam seni." (halaman 86)

Dan pada halaman 89, Herlambang menyanggah kesimpulan Benedict Anderson bahwa kelompok Manifes Kebudayaan dan para pendukungnya tak memiliki kekuatan politis. Herlambang menulis, "…wacana ideologis yang dibangun oleh pendukung Manifes Kebudayaan—dengan dukungan dan akomodasi kekuatan militer serta pemerintah AS—membuat kekuatan politik di belakang gerakan kebudayaan ini riil dan sangat memengaruhi pembentukan wacana anti-komunis di kemudian hari." (halaman 89)

Dengan bingkai pemahaman demikian, maka konsep "kebebasan berekspresi" menjadi sebuah paradoks: bagi Herlambang, konsep ini adalah tak lebih wacana rekayasa CIA untuk membasmi kaum komunis. Jika kita terapkan kerangka pikir ini dalam situasi terkini di Indonesia, kita akan menjumpai paradoks lain. Konsep "kebebasan berekspresi" kini justru digunakan para aktivis pro-demokrasi untuk melawan, antara lain, berbagai tekanan pada kegiatan seni dan ilmu yang hendak menyanggah dan melawan wacana anti-PKI neo-Orba.

****
Bagian paling penting dari buku ini memang bab-bab tentang sirkulasi uang dan sumber daya CIA untuk membangun wacana anti-komunis lewat kebudayaan di Indonesia. Tapi, bab 4 dan 5, tentang "normalisasi kekerasan 1965-1966 melalui sastra" dan tentang "narasi utama Orde Baru" juga penting: di sinilah tesis kekerasan budaya, serta kekerasan bahasa, dilakukan oleh banyak kelompok dan aktor kebudayaan yang berada di arus utama pemikiran kebudayaan di Indonesia setelah penumpasan PKI harus diuji.

Saya tak akan berpanjang lebar mengujinya dari segi sejarah (di luar kapasitas saya), atau segi tekstual sastra (lain kali saja), apalagi sekadar memperpanjang pergosipan tokoh dalam dunia sastra Indonesia. Saya hanya akan menguji dari segi penghadapan pengalaman individual saya yang tumbuh dan terbentuk oleh bacaan-bacaan yang telah dibongkar oleh Herlambang.

Jika karya-karya yang diampu oleh HB Jassin, majalah Horison, intelektual-intelektual berlatar PSI (Partai Sosialis Indonesia) dari Sjahrir, Soedjatmoko, hingga, ya, Goenawan Mohamad, adalah serangkaian panjang instrumen kekerasan budaya, apakah saya pun seorang pelaku kekerasan budaya? Praktisnya: apabila saya menggemari serta menjunjung puisi-puisi Sutarji Calzoum Bachrie dan cerpen-cerpen Danarto yang nyeleneh, saya sedang (ikut) jadi pelaku kekerasan budaya dan menyuburkan normalisasi kekerasan terhadap korban pembantaian 1965-1966?

Tesis kekerasan budaya, serta kekerasan bahasa, dilakukan oleh banyak kelompok dan aktor kebudayaan setelah penumpasan PKI harus diuji.

Tesis kekerasan budaya, serta kekerasan bahasa, dilakukan oleh banyak kelompok dan aktor kebudayaan setelah penumpasan PKI harus diuji.

Ini masalah yang genting buat saya: seluruh tenunan kenyataan kebudayaan saya sedang menghadapi pilihan untuk (1) mengakui diri sebagai sebuah kenyataan kebudayaan yang lancung dan berdarah, atau (2) menutup diri, menyanggah sehebat-hebatnya adanya hubungan antara kenyataan kebudayaan saya dengan gelombang kekerasan 1965-1966. Sebagai "anak Orba" (seseorang yang lahir dan dibesarkan di masa Orde Baru), saya tak bisa lari dari pertanyaan ini. Banyak hal dalam diri saya yang didefinisikan oleh momen kelam 1965-1966.

Isi kepala saya tumbuh dan terbentuk, antara lain oleh tulisan-tulisan Mochtar Loebis, HB Jassin, Soedjatmoko, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, Iwan Simatupang, buku-buku Obor, majalah Horison, Taufik Ismail, Arifin C. Noer (tapi juga oleh buku-buku Pramodya Ananta Toer). Karya-karya Sutarji Calzoum Bachrie, Putu Wijaya, Danarto, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Teguh Karya, Sjumandjaja, Rendra—apakah karena mereka berakar dari iman pada keunikan visi individu, lantas mereka juga racun kekerasan budaya yang menggerogoti isi kepala saya?

Di titik ini, saya harus menerima dua hal—kekerasan fisik, sosial, dan budaya, memang terjadi sejak kelahiran Orba hingga kini ketika sisa kekuatan Orba masih punya pengaruh politik; tapi, ideologi "antikomunis" dan "normalisasi kekerasan" itu juga telah dilawan di dalam kepala dan hidup saya justru oleh modalitas budaya semasa Orba tersebut.

Konsep "kebebasan berekspresi" misalnya, adalah hal yang membuat saya secara emosional mengutuk penggerudukan LBH baru-baru ini, pelarangan segala hal yang berhubungan dengan 1965 dan PKI yang meningkat beberapa tahun belakangan ini, dan meningkatnya perundungan berbasis hoaks bangkitnya PKI di pemerintahan Jokowi dan di dalam masyarakat "liberal" (di kalangan tertentu, anggapan "PKI = Liberalisme" memang dianggap logis dan nyata).  

Konsep, dan praktik, "kebebasan berekspresi" juga yang bisa jadi pintu kita sebagai masyarakat untuk bisa membicarakan dan membongkar berbagai kekerasan yang telah terjadi itu. Dalam konteks inilah, saya merasakan benar bahwa konstruksi Herlambang tentang kekerasan budaya pasca-1965 terasa bulat dan rapi mendefinisikan semesta kekerasan dan para pelakunya.

Saya kira, itu sebabnya dalam konstruksi rapi itu, Herlambang tak membahas cerpen-cerpen Umar Kayam, Bawuk dan Musim Gugur Telah Kembali di Connecticut serta novelnya, Para Priyayi yang menyentuh para korban kekerasan 1965. Juga tak terbahas, novel Ronggeng Dukuh Paruk serta film Sang Penari, yang secara terbuka menggambarkan keterlibatan TNI dalam penyiksaan dan pembunuhan PKI.
Konstruksi yang rapi mendefinisikan para antagonis dalam persoalan ini berpeluang menghadirkan kekerasan dalam sisi kebalikan. Persis seperti rasialisme di Amerika, misalnya, menghasilkan juga rasialisme terbalik: diskriminasi kaum kulit hitam masa kini terhadap kaum kulit putih. Begitu lawan telah jelas, kekerasan lebih mudah.
Bab 7 buku ini, yang mencatat pergulatan wacana antikomunisme di masa menjelang Reformasi 1998 yang menumbangkan Soeharto hingga kini, adalah bab penting lain. Dinamika terkini para aktor kebudayaan yang membidani Orba (khususnya GM dan "onderbouw"-nya vs lawan-lawan kultural GM) tercatat. Tapi, saya yang menyaksikan dari pinggiran pergulatan tersebut, melihat sisi lain dari persoalan kebangkitan neoliberalisme: perlawanan-perlawanan terhadap neoliberalisme dan agen-agennya dilakukan dengan menggunakan kekerasan bahasa.

Lihatlah gaya Saut Situmorang dalam memuncratkan makian dan pelabelan negatif kepada lawan-lawan pikirannya di media sosial dan buletin boemiputra. Pada halaman 258, Herlambang menuliskan hasil wawancaranya dengan tokoh boemiputra, Wowok Hesti Prabowo yang menyatakan buletin sastra buruh itu dibuat untuk jadi "media provokasi". Buletin boemiputra, kata Wowok, adalah media perlawanan terhadap imperialisme Barat dan memandang Komunitas Utan Kayu (KUK) sebagai agen imperialisme Barat. Saut malah lebih tegas menyatakan, tujuan utama boemiputra memang ingin menghancurkan KUK dan Goenawan Mohamad.

Tak pelak, saya berpikir-pikir, apa yang bisa dilakukan oleh kelompok yang berpikir seperti Saut dan Wowok jika memegang tampuk kekuasaan? Dengan mendefinisikan lawan secara sangat spesifik, pembasmian kelompok tertentu seperti yang telah terjadi pada 1965, adalah sebuah hal yang logis dan mudah terjadi lagi. Kekerasan dilawan dengan kekerasan—dan pikiran saya meronta, mencari jalan lain.

Buku ini memang penting. Setidaknya, ia membantu saya melihat bahwa kekerasan budaya memang terjadi, masih terjadi, dan sedang jadi lingkaran setan di dalam kebudayaan kita saat ini. 

***

*) Hikmat Darmawan adalah kritikus film dan Ketua Komite Film DKJ (2015-2018). Ia juga pakar komik dan pengamat budaya pop. Tulisan-tulisannya dimuat di Koran Tempo, Gatra, majalah Tempo, dan Kompas.

Kekerasan Budaya Pasca 1965
Wijaya Herlambang
Penerbit Marjin Kiri
Edisi Kedua, Maret 2015

Sumber: Jurnal Ruang 

0 komentar:

Posting Komentar