Sabtu, 07 Oktober 2017

Kisah Tragedi Kanigoro, Kras 7-Habis | Bibi Sempat Beritahu Ada Pengepungan

Sejumlah perempuan jadi saksi mata peristiwa
SABTU, 07 OCT 2017 16:01 | EDITOR : ADI NUGROHO

SAKSI SEJARAH: Pengendara melintas di depan Masjid At-Taqwa, Kanogoro, Kras, yang pernah dikepung massa PKI pada 1965. (M. Fikri Zulfikar - RadarKediri/JawaPos.com)
Sejumlah perempuan jadi saksi mata peristiwa pengepungan massa PKI terhadap PII di Ponpes Al-Jauhar, Kanigoro. Seperti apa kisahnya?
Tidak hanya Ibrahim yang menjadi panitia training center Pelajar Islam Indonesia (PII) di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras dan mengalami penganiayaan hingga intimidasi massa Partai Komunis Indonesia (PKI). Sunarsih yang saat itu berada di asrama putri pun mengalami langsung kelamnya peristiwa pengepungan pada 13 Januari 1965 di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Jauhar itu.
Ditemui di rumahnya, Desa Banjaranyar, Kecamatan Kras, dia masih ingat betul suasana mencekam tersebut. Setelah salat Subuh di asrama putri, menurut Sunarsih, sekitar 30-an pelajar perempuan peserta training kaget melihat banyak laki-laki tiba-tiba masuk.
Sontak jeritan membahana. Apalagi mengetahui yang masuk dari PKI. Mereka memaki-maki dengan kata-kata kotor dan menebar ancaman. “Kami juga mendapatkan penganiayaan Mas,” ujar nenek yang saat itu juga menjadi panitia training ini.
Tak hanya dimaki dan dianiaya, Sunarsih mengungkapkan, beberapa peserta perempuan mendapat perlakukan tak senonoh dari massa Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat. Namun mereka tak kuasa melawan. “Kami semua takut sekali saat itu,” ungkap perempuan 67 tahun ini.
Sunarsih masih ingat, saat peristiwa itu ia masih SMP. Massa PKI memaksa para peserta perempuan keluar asrama menuju halaman masjid pondok. Intimidasi terus dilakukan di sana. “Saat di depan masjid itu, dulu kita juga melihat guru-guru kita diperlakukan kasar. Seperti Haji Said hingga Haji Jauhari juga dipaksa keluar dan diikat,” beber Sunarsih
Sehari sebelum pengepungan itu, Sunarsih sebenarnya sudah curiga. Karena pada 12 Agustus atau sehari sebelum kejadian sorenya, dia pulang ke rumahnya di Banjaranyar. Lokasinya dekat dengan Kanigoro. Dalam perjalanan pulang dia melihat banyak orang dari luar daerah berpakaian hitam-hitam. Dia menduga mereka massa dari BTI. “Sore itu saya melihat banyak orang. Ada di sawah-sawah sekitar Kanigoro hingga Banjaranyar,” ujar nenek kelahiran 10 Oktober 1950 ini.
Sunarsih pulang karena ingin bertanya ke ayahnya yang Lurah Banjaranyar kala itu. Sebab sebelumnya menjanjikan menyembelih dua kambing untuk peserta training PII. Namun sampai di rumah, Sunarsih kaget melihat Suryadi, Ketua Pemuda Rakyat Cabang Kras, ada di ruang tamu rumahnya. Rupanya dia akan menemui ayahnya.
“Saya tanya mengapa Suryadi ada di rumah. Lalu bapak saya jawab bahwa Suryadi minta uang Rp 600 ribu yang katanya untuk acara rapat Pemuda Rakyat,” kenangnya.
Sebelum kembali ke asrama untuk ikut training, Sunarsih sebenarnya telah diberitahu bibinya bahwa sore itu banyak massa BTI dan Pemuda Rakyat di Kanigoro. Besoknya mereka mau ngedrop atau mengepung training PII.
Mendapat kabar tersebut, Sunarsih pun cepat-cepat kembali. Sesampai di Kanigoro, dia langsung mencari panitia seksi keamanan. “Saya kabarkan pada senior saya bahwa ada kabar akan ada pengepungan. Maka saya sarankan minta bantuan ke Polisi Pare (Polres Kediri),” terang perempuan berkerudung itu.
Sayang laporan ke panitia seksi keamanan tak dianggap serius. Mereka menganggap tidak akan ada penyerangan dan aman-aman saja. Namun keesokan harinya barulah diketahui ternyata benar terjadi. Hingga kini Sunarsih masih ingat sekali peristiwa kelam itu.
(rk/fiz/die/JPR)
Sumber: JawaPos 

0 komentar:

Posting Komentar