Jumat, 20 Mei 2016

Beda Pandangan Diskusi Rekonsiliasi 65 di UGM

REKONSILIASI: Diskusi ke 2 mengangkat tema rekonsiliasi 1965 yang digelar di kampus UGM (20/5) , sekaligus bertepatan dengan satu bulan setelah Simposium Nasional "Bedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" di Jakarta. [Foto: De Cahya]
 
Hari Kebangkitan Nasional yang ke 108 yang jatuh pada 20 mei 2016 diperingati oleh civitas akademia Fisipol UGM dalam diskusi yang bertajuk “Rekonsiliasi Itu Ada di Hati Bangsa Ini”. 
 
[YOGYAKARTA]-Diskusi ini diselenggarakan oleh Sociology Research Center (Sorec) Fisipol UGM, Gerakan Ekayastra Unmada, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Meski rekonsiliasi masih menjadi perdebatan bagi bangsa ini, diskusi yang digelar di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM melihat pentingnya membaca rekonsiliasi dalam perspektif kemanusiaan. 

Sebagai narasumber, hadir Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri (Wakasad periode 2000-2002), Miftahul Munir (Dosen ISI Yogyakarta), Lambang Triyono (Sorec Fisipol UGM) dan Sri Nurhantanto (Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Bagi Kiki Syahnakri, rekonsiliasi bangsa merupakan suatu keharusan. Namun, formula rekonsiliasi sendiri telah berkembang sehingga tidak perlu dilakukan lagi. Salah satu buktinya yaitu anak-anak PKI sudah ada yang menjadi anggota DPR, partai politik, mahasiswa dll. 

Beda Pandangan

Berbeda dengan Kiki Syahnakri, Lambang Triyono menyebut bahwa rekonsiliasi yang transformatif harus dilakukan, termasuk harus ada permintaan maaf yang didahului oleh pengungkapan kebenaran dan transparansi. Terlebih, Lambang Triyono melihat bahwa peristiwa 65 merupakan peristiwa kudeta. 

Senada dengan Lambang Triyono, Sri Nurhantanto menyebut bahwa periswita G30S adalah tragedi kemanusiaan di satu sisi dan merupakan pelanggaran HAM berat di sisi lainnya. Karenanya, rekonsiliasi yang bersensivitas terhadap korban harus dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap rezim otoriter sebelumnya. 

Dialog terbuka yang sehat memang penting untuk membuka pemahaman bersama yang adil dalam melihat sejarah bangsa sendiri. Ada keinginan yang besar berpendar dari pertama kali digelarnya Simposium Nasional mengenai Tragedi 1965, yang secara resmi dihelat oleh negara di Jakarta. Dari simposium nasional ini memang diharapkan ada upaya dialog terbuka yang sehat di daerah-daerah se Indonesia.   

Namun tampaknya proses ini mengalami kemunduran ketika bermunculan aksi-aksi kelompok intoleran yang rupanya sengaja dipelihara untuk merecoki keinginan luhur rekonsiliasi dan pemulihan kehidupan demokrasi. Aksi pembubaran diskusi, acara nonton film, dan bahkan sweeping terhadap buku-buku kiri yang berhaluan marxismen dan komunisme; adalah indikasi adanya pihak-pihak .

Padahal tidak ada masalah dengan komunisme, sebagaimana yang dikemukakan oleh Miftahul Munir. Menurut dosen ISI Yogyakarta ini, adanya doktrin bahwa komunis memusuhi agama adalah upaya politik adu domba. 

Ketakutan akan komunisme semestinya sudah tidak ada lagi. Dan upaya rekonsiliasi yang sudah menjadi fenomena internasional, semestinya didukung untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di rezim orde baru. Bukan malah menghidupkan kembali karakter otoritariannya.
[ded/bre]  

0 komentar:

Posting Komentar