Jumat, 29 September 2017

Agus Widjojo: "Generasi Muda Punya Independensi Melihat Tragedi 1965"

Oleh: Mawa Kresna - 29 September 2017

Ilustrasi Agus Widjojo HL
Gubernur Lemhanas ini, yang tahun lalu berperan menggelar Simposium 65, menjelaskan proses rekonsiliasi harus dimulai dengan mengakui kesalahan.
tirto.id - Sebuah telegram dari Panglima TNI, Jendral Gatot Nurmantyo, bocor. Telegram bertanggal 18 September itu berisi instruksi untuk membatasi pemutaran film Senyap (2014) garapan Joshua Oppenheimer dan diskusi terkait peristiwa 1965. Telegram itu keluar tepat sehari setelah penyerangan kantor YLBHI. 

Sesudah itu, Jendral Gatot menginstruksikan anak buahnya untuk memobilisasi kegiatan nonton bareng film Pengkhianatan G30S PKI di banyak tempat terbuka. 

Rentetan kejadian itu dianggap oleh pensiunan Letjen Agus Widjojo sebagai tanda belum siap dalam rekonsiliasi. 
“Ini kontraproduktif terhadap upaya rekonsiliasi,” kata putra pahlawan revolusi Mayjen (anumerta) Sutoyo Siswomiharjo kepada Mawa Kresna dari Tirto, 26 September lalu.
Ketua Panitia Pengarah Simposium 65 ini mengkritik dua sisi dalam perdebatan paling sensitif atas salah satu peristiwa politik terkelam di Indonesia. Menurutnya, rencana seminar soal pengungkapan sejarah atas peristiwa 1965/1966 yang digelar di LBH Jakarta dua hari sebelum penyerangan bisa menggerus, alih-alih memperkuat, rekonsiliasi. 
“Tidak ada satu pihak pun yang punya kewenangan untuk meluruskan sejarah,” ujar Agus.
Di lain pihak, upaya Jenderal Gatot membatasi pemutaran film Senyap dan diskusi terkait tragedi 1965 juga tidak tepat. Menurutnya, bukan tugas dan wewenang TNI untuk membatasi kegiatan seperti itu. Termasuk instruksi Gatot menggelar nonton bareng film produksi Orde Baru itu. 

Lalu bagaimana nasib rekonsiliasi, dan lebih utama juga kebenaran, terkait kekerasan politik pada setengah abad lalu jika polarisasi masih meruncing? Simak wawancara Tirto bersama Agus Widjojo yang menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ke-16 ini.

Soal rekomendasi Simposium 65 tahun lalu yang sudah diserahkan ke presiden, apakah sudah ada respons?

Belum, belum ada.

Sekadar mengingatkan, apa sebenarnya poin penting rekomendasi Simposium itu?

Rekomendasi itu mengikuti alur kaidah rekonsiliasi: Ada pengungkapan kebenaran. Ada persyaratan rekonsiliasi di mana pihak-pihak terkait sudah menyadari posisi kelompoknya untuk menyiapkan diri dalam diskusi pengungkapan kebenaran. Pada hakekatnya itu adalah proses penyembuhan, healing process. Artinya, kedua belah pihak sudah berdamai dengan masa lalu. Setelah itu baru move on

Karena ini ada tindak kekerasan, pasti ada keluarga yang dirugikan. Bukan hanya setelah 1 Oktober 1965, tetapi sepanjang sejarah sampai ke 48, korban-korban oleh PKI.

Sejak kapan rekomendasi itu diserahkan?

Sudah lama. Tapi, kan, orang menyerahkan rekomendasi itu tidak harus langsung diterima dan dilaksanakan. Itu sudah menjadi copyright pemerintah. Dan apakah pemerintah akan melaksanakan atau tidak, itu hak prerogatif pemerintah. 

Jadi kalau belum mau melaksanakan sekarang, tidak mau melaksanakan sekarang, itu sepenuhnya hak prerogatif pemerintah. 

Jadi sekarang realisasi dari rekomendasi ada di tangan Presiden Jokowi?

Ya, kami menyerahkan lewat Menkopolhukam (saat masih dijabat Luhut Panjaitan).

Belakangan mulai muncul isu kebangkitan PKI. Ada penyerangan terhadap LBH Jakarta. TNI mengadakan nonton bareng film Pengkhianatan G30S PKI. Pandangan Anda?

Ini kontraproduktif terhadap upaya rekonsiliasi. Karena itu semua pihak harus menahan diri untuk jangan membuat kegiatan yang bisa menjadi titik pemantik alasan sikap defensif. 

Jadi yang dimaksud "berdamai dengan masa lalu": semua sudah keluar dari posisi atau peran masing-masing di dalam tahun 1965. Itu sudah harus ditinggalkan. Nah, kalau masih bikin kegiatan kumpul-kumpul, dan ini tidak dalam jalur kaidah-kaidah rekonsiliasi, eksesnya: Pertama, jika yang dikumpulin orang-orang yang sepemikiran, ini hanya akan menambah candu, memperlebar jurang pemisah di masyarakat ini. Polarisasi. Yang di LBH itu tidak bicara rekonsiliasi, tapi justru membuka lebar polarisasi. 

Kedua, mereka mengklaim melakukan pengungkapan kebenaran sejarah 1965-1966. Itu juga bukan rekonsiliasi. Jadi itu hanya mengingatkan pihak lain untuk mencari alasan bahwa pihak lain masih bertingkah. Jadi, semua pihak harus punya pengendalian diri. Jangan arogan untuk memberikan titik pemantik.

Sebelum penyerangan di Gedung YLBH, Panglima TNI mengeluarkan telegram yang intinya TNI membatasi kegiatan diskusi soal peristiwa 1965 dan nonton film Senyap

Itu problem juga. Karena proses reformasi TNI dan demokratisasi TNI kita juga belum tuntas. Jadi, campur antara air dan tanah, masih penuh dengan lumpur. Karena yang berwenang untuk melarang itu bukan TNI. TNI sudah tidak punya lagi fungsi untuk masuk ke dalam masyarakat mengenai hal-hal yang di luar fungsi pertahanan. 

TNI menyerukan pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI, bahkan penayangan ini sampai di sekolah-sekolah. Apa tantangan terbesar menuju rekonsiliasi jika generasi muda dibawa-bawa untuk menonton film propaganda Orde Baru tersebut?

Saya yakin cara berpikir generasi sekarang sudah beda dari generasi ketika film itu pertama kali dibuat. Mereka lebih banyak informasi, lebih kreatif, dan lebih independen. Tidak seperti dulu ketika kultur kita masih paternalistik: anak harus mengikuti pendapat orang tua. 

Saya percaya generasi muda sekarang punya independensi untuk menentukan apa yang mereka anggap baik dan bermanfaat, serta apa yang tidak. Dan itu sebuah film, silakan saja kalau mau nonton, kalau senang ya silakan, kalau tidak, ya tidak diharuskan. 

Bagaimana dengan ide Presiden Jokowi membuat film soal peristiwa 1965 agar lebih ramah dengan Generasi Milenial? 

Belum tentu mendukung rekonsiliasi. Memang film itu sebagai medium untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Agar pesan efektif, film harus dekat dengan cara berpikir dan kondisi audiens, dalam hal ini Generasi Milenial. 

Generasi ini sudah berbeda. Dalam pengertian, film itu bisa menyampaikan pesan dan mengingatkan sejarah peristiwa kelam tahun 1965. 

Masalahnya: bagaimana yang dimaksud dengan membuat film baru? Apakah hanya dalam aspek sinematografi? Kalau itu tidak terlalu sulit. Mau bikin kartun itu gampang. Tapi itu mengubah substansi, akan kembali lagi ke garis start perdebatan. Versi siapa ini? Ini yang terjadi sekarang. Dan itu tidak akan mendekat posisi yang lebih dekat pada rekonsiliasi. 


Artinya perjalanan rekonsiliasi masih panjang dan PR besar buat pemerintah?

Masih pekerjaan besar, tapi tetap ada peran masyarakat. Dibantulah pemerintah. Tentu pemerintah punya kewenangan untuk membuat kebijakan. Artinya, masyarakat belum siap untuk rekonsiliasi. Kalau masyarakat masih melihat tragedi 1965 dalam peranan masing-masing, Indonesia sekarang masih ada pada 1965, bukan tahun 2017. Mereka tidak bisa melihat secara reflektif. Jadi kita tidak bergerak maju.

Satu lagi yang ingin saya katakan: rekonsiliasi itu jangan dilihat hanya dari legal. Rekonsiliasi itu lebih banyak sosio-kultural. Akan sangat membantu jika pihak-pihak yang terkait maju dan mengatakan dengan ikhlas bahwa pihak saya bertanggung jawab atas tragedi 1965. Karena dalam sebuah tindakan kekerasan, sampai tingkat tertentu, pihak-pihak yang terlibat dalam tindak kekerasan tersebut, bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. 

Misalnya ada yang bersedia maju lalu mengatakan, katakanlah begini, “PKI yang bertanggung jawab.” 

Dan harus diingat juga: kita harus membahas PKI sebelum 1965 sehingga korban itu ada di mana-mana. Jadi kita harus fair. Kita harus jujur dengan sejarah, termasuk dengan organisasi kita sendiri. Termasuk dari rezim Orde Baru kalau ada warga negara yang ditahan untuk waktu yang tidak terhingga tanpa kepastian di masa depan. 

Maka ada sesuatu yang salah di situ, dalam sistem kenegaraan. Itu juga harus dicari. Jadi kita harus fair dari kedua belah pihak. Jujur dengan diri sendiri terhadap sejarah. Baru kita bisa mengatakan masyarakat sudah siap masuk rekonsiliasi. 

Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam
Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar