Kamis, 21 September 2017

Chaos Untuk Coup?

Ruth Indiah Rahayu

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

Mempelajari Pola Operasi Militer Di Surakarta 1965-1966 
Pengantar
TITIK pijak perbincangan di seputar peristiwa G30S ini, pertama saya berpijak pada tesis Benedict Anderson dan Ruth McVey[1], bahwa peristiwa G30S dan kampanye anti-PKI yang disertai kekerasan massal sesudah peristiwa tersebut (fakta faktualnya setelah 10 Oktober 1965) merupakan fenomena politik yang sama sekali terpisah. Namun versi resmi rezim Orde Baru mengampanyekan bahwa fenomena keduanya merupakan kesatuan, yaitu PKI makar dan menimbulkan reaksi massa yang melawannya.
Kedua, saya berpijak pada tesis John Roosa[2] bahwa peristiwa G30S tidak punya dalang utama yang tunggal, baik berupa tokoh maupun gugus tugas yang terorganisir. Tesis ini, menurut hemat saya, memperkuat argumen bahwa G30S dan kampanye anti-PKI yang disertai kekerasan massal memang logis sebagai fenomen politik yang terpisah. Itulah sebabnya, menurut Roosa, G30S bersifat misterius justru karena tidak ada kepemimpinan tunggal dalam gerakan ini.
Meski fakta faktual yang menjadi sumber informasi ketiga Indonesianis itu berasal dari elit Jakarta, namun kemisteriusan terpisahnya G30S dan kekerasan massal sesudah 10 Oktober 1965, serta tidak ada kepemimpinan yang tunggal dapat dibuktikan berdasarkan kejadian-kejadian seputar G30S dan kekerasan massal sesudahnya di daerah-daerah. Berdasarkan investigasi Syarikat Indonesia di 18 kabupaten di Jawa, menunjukkan fakta faktual bahwa kekerasan massal yang terjadi sesudah 10 Oktober 1965 timbul ketika RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) masuk kota/kabupaten. Fakta faktual itu sama persis dengan hasil penelitian Institut Sejarah Sosial (ISSI) pada 2005 di Surakarta. Apa faktanya? Pada saat 30 Oktober 1965 belum muncul kejadian di daerah, melainkan masyarakat hanya mendengar adanya pembunuhan terhadap tujuh jenderal di Jakarta dari RRI yang disiarkan pada 1 Oktober 1965. Bahkan berita dari RRI itu terkesan tidak koheren, apalagi hubungan antara RRI di Jakarta dan daerah sempat terputus jaringannya.
Tulisan ini bermaksud untuk meneguhkan tesis Anderson, McVey dan Roosa yang berujung pada kudeta yang dipimpin Suharto (dengan menggunakan alat RPKAD) melalui narasi sejarah lokal di Surakarta sejak sebelum G30S sampai Maret 1966. Narasi sejarah lokal ini disusun berdasarkan tuturan perempuan, yaitu warga yang menjadi saksi mata di kampungnya[3]

Aksi Adu Ejek dan Masuknya “orang Asing” Sebelum G30S
Sekitar Agustus 1965, para ibu rumah tangga dan anak-anak perempuan yang sehari-harinya lebih banyak mendiami kampung-kampung di Surakarta, menyaksikan adu ejek antar aktivis Pemuda Marhaen[4] dan Pemuda Rakyat. Kedua organisasi itu beranggotakan para pemuda (laki dan perempuan) yang massanya cukup banyak di kampung-kampung Surakarta. Mulanya para saksi menganggap adu ejek itu merupakan hal yang lumrah terjadi di kalangan anak muda yang masih temperamental. Isi ejekan itu berkaitan dengan yel-yel masing-masing organisasi, tetapi yang mengherankan para saksi, bahwa adu ejek itu makin masif terutama dari Pemuda Marhaen kepada Pemuda Rakyat.
Bagi saksi yang tinggal di Pasar Kliwon, di mana merupakan basis organisasi pemuda Islam (bukan NU), suasana berbeda lagi. Tiba-tiba kampung-kampung di Pasar Kliwon dimasuki orang-orang tak dikenal, dan “orang asing” ini lalu lalang dengan pemuda-pemuda setempat. Ciri “orang-orang asing” tersebut bertubuh tegap dan berambut cepak dan belakangan diketahui mereka dari RPKAD. “Orang-orang asing” itu mendekati aktivis pemuda kampung dan seringkali terlihat ada obrolan-obrolan dengan mereka. Anehnya, “orang-orang asing” itu tidak mendekati aktivis Pemuda Rakyat.

Simpang Siur G30S dan Terputusnya RRI Jakarta-Solo
Keanehan-keanehan itu berkembang menjadi desas-desus yang meresahkan ketika pada 1 Oktober 1965, RRI mengumumkan adanya peristiwa G30S, tentang Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal. Kira-kira pukul 19.00 WIB, RRI Solo menyiarkan pernyataan sejumlah perwira militer Jawa Tengah yang ditandatangai Letkol Iskandar bahwa militer mendukung Dewan Revolusi yang dipimpin Letkol Untung di Jakarta. Pada saat yang hampir berbarengan, Kolonel Ashari[5] berupaya membuat jajak pendapat melalui pamflet: apakah rakyat mendukung Dewan Rakyat, Dewan Jenderal atau berada di belakang Sukarno? Ada saksi yang mengingat, kira-kira pada pukul 01.00 WIB (2 Oktober dinihari), Oetomo Ramelan, selaku walikota Surakarta, membuat siaran di RRI Solo untuk menyatakan dukungan terhadap Dewan Revolusi. Dalam sejumlah desas desus yang beredar, kabarnya Dewan Revolusi bertujuan menyelamatkan Sukarno (artinya pidato Oetomo Ramelan yang mendukung Dewan Revolusi bertujuan menyelamatkan Sukarno).
Sebenarnya hubungan RRI di Jakarta dan Solo saat itu terputus. RRI Solo hanya menyiarkan kabar lokal saja. Sementara berkembang desas desus bahwa terjadi perebutan kekuasaan di RRI Pusat. Tetapi tak seorang pun dapat mengklarifikasi semua desas desus yang didengarnya. Sementara kabar-kabar lokal itu sangat simpang siur.
Ketegangan lantas mendera aktivis Pemuda Rakyat. Pada waktu itu rombongan Paduan Suara Pemuda Rakyat, yaitu Gita Patria, dan rombongan penari yang sedang dalam perjalanan menuju Jakarta pada 2 Oktober, setiba di Cirebon kereta apinya diperintahkan kembali ke Solo karena Jakarta konon sedang geger. Namun ketika kereta api sampai di Tegal, gerbong yang ditumpangi rombongan itu dilempari batu sehingga banyak anggota rombongan yang terluka. Sesampai di Solo, rombongan menuju kantor Pemuda Rakyat, dan kantor itu sudah dijaga anggota Pemuda Rakyat itu sendiri dan semua wajah yang ada di sana dalam keadaan tegang. Sejak itu tak ada aktivitas di kantor Pemuda Rakyat sampai kemudian terjadi penangkapan dan pembantaian massal atas diri mereka.
Setelah 2 Oktober 1965, para saksi melihat pasukan RPKAD dari Jakarta memasuki Surakarta tanpa mengenakan seragam resmi (preman) dan tidak melapor pada garnisun setempat. Sebagian masuk ke kampung-kampung di Kecamatan Jebres, Laweyan, Banjarsari, dan Pasar Kliwon. Sementara desas desus tentang Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal makin santer tanpa jelas siapa komandan utamanya, bagaimana keterorganisasiannya hingga rantai komandonya ke daerah-daerah, dan apa tujuannya. Sebagian saksi di Solo berusaha untuk mengetahui di mana posisi Sukarno di antara Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal.

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
Masuknya RPKAD dan Radikalisasi Kebrutalan Sesudah 10 Oktober 1965
Kejadian demikian cepat berlangsung namun tetap dalam ketegangan dan keresahan. Pendeknya warga Surakarta masih berada dalam kebingungan mengetahui: siapa Dewan Revolusi dan siapa Dewan Jenderal, Sukarno di pihak mana, serta apa kaitannya dengan kejadian pada 30 September 1965.
Setelah 10 Oktober 1965, ada seorang ibu yang sedang melahirkan di rumah sakit, dan ia mendengar dari RRI tentang keterlibatan Gerwani dalam membunuh tujuh jenderal pada 30 September 1965. Ibu ini terheran-heran dengan berita tersebut. Sebab kampungnya merupakan basis kuat Gerwani, dan ia mengenal mereka sebagai tetangga-tetangganya yang pada 30 September 1965 hanya melakukan kegiatan rumah tangga di kampung saja.
Pada saat yang sama, saksi yang tinggal di Pasar Kliwon menyaksikan tetangganya yang aktif di Pemuda Marhaen Pasar Kliwon mendapat uang Rp 40.000,- sebagai honor telah menunjukkan rumah-rumah “orang PKI”. Orang-orang RPKAD pun mangkal di rumah orang tersebut, seringkali makan dan minum di rumah itu sebelum berkeliling Pasar Kliwon bersama informan tersebut. Keanehan ini menjadi bahan pertanyaan dan gosip di Pasar Kliwon.
Pertanyaan masyarakat itu seperti memperoleh jawaban ketika konvoi pasukan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edhi Wibowo memasuki Kota Solo dari arah Semarang pada 20 Oktober 1965. Pasukan ini mengepung stasiun Balapan dan menangkap peserta pemogokan yang dilakukan oleh anggota serikat buruh kereta api sejak 16 Oktober 1965. Serikat buruh ini merupakan pendukung Dewan Revolusi. Inilah penangkapan pertama yang dilakukan RPKAD terhadap anggota serikat buruh. Sebelumnya, pada 11 Oktober 1965, juga terjadi penangkapan terhadap seorang militer yang loyal terhadap Sukarno. Penangkapan ini kurang jelas, apakah merupakan bagian dari pembersihan Kodim Surakarta dari pendukung Sukarno, atau hanya penangkapan individu dengan alasan yang kurang jelas pula. Penangkapan lainnya dilakukan terhadap penduduk laki dan perempuan di kampung Balong, Kecamatan Solo Jebres, oleh Hanra (Pertahanan Rakyat) yang didampingi sejumlah orang bersenjata.
Saat itu pula ditetapkan jam malam antara pukul 18.00 – 05.00 WIB yang diumumkan lewat selebaran. Lalu tiap sudut jalan yang strategis dijaga oleh RPKAD yang dibantu pasukan Hanra dan beberapa dari Pemuda Marhaen. Penjagaan itu mengawasi aktivis kiri, dan kemudian muncul desas desus yang meresahkan bahwa akan ada aksi pembakaran dan penangkapan di seluruh Solo. Ada seorang tukang pijat yang pulang malam yang ditangkap dan dibawa ke Balaikota. Rupanya di Balaikota Solo sudah banyak terkumpul perempuan-perempuan yang ditangkap dengan tuduhan sebagai Gerwani (pelaku pembunuhan tujuh jenderal).
Setelah pasukan RPKAD resmi masuk ke Solo, muncullah gelombang demonstrasi untuk membubarkan PKI. Pada 23 Oktober 1965 diadakan apel akbar di alun-alun kota, di halaman Masjid Agung yang dihadiri ormas-ormas yang mendeklarasikan dirinya sebagai pembantu operasi militer untuk membersihkan kampung-kampung Solo dari “PKI”. Kabarnya, sehari sebelum rapat, akbar diadakan pertemuan antara RPKAD dan perwakilan ormas-ormas yang dipimpin oleh Sarwo Edhie dan Kolonel Ashari untuk mengadakan aksi show of force di Kota Solo. Setelah apel akbar, massa melakukan reli sepanjang Kota Solo. Setiap ormas pendukung RPKAD diwajibkan mengerahkan massa dari kampungnya masing-masing untuk aksi show of force ini.
Ada massa demonstran yang bertolak dari di Alun-alun Utara dan melakukan reli ke jurusan Gladak, lalu menuju ke Balaikota. Mereka dikawal pasukan 425 RPKAD yang berkendaraan jip dan membawa senjata. Sepanjang jalan massa berteriak “Sate Gerwani!”, “Ganyang PKI!”, “Gantung Aidit!”, “Bubarkan PKI!”, “Anjing Aidit!” Kemudian muncul massa demonstran dari arah timur ke barat di wilayah Pasar Singosaren, yaitu pusat pertokoan yang kebanyakan pemiliknya orang Tionghoa. Sembari melewati daerah pertokoan itu, massa membakar Toko Obral di Coyudan, lalu menjarah Bank Mekar Nugroho, pertokoan Pasar Legi, Pasar Pon, Pasar Besar, Kantor SOBSI, Kantor CR (Central Resort) PKI. Aksi brutal ini tetap dalam pengawalan RPKAD. Adapun massa dari Pasar Legi reli menuju ke Warung Pelem dan membakar toko Babah Setu hingga merembet ke toko lainnya. Di belakang gereja BPK penabur juga terjadi pembakaran. Tiba-tiba meluncur peluru timah mengenai salah seorang peserta demonstran dari PII (Pemuda Islam Indonesia) yang memakai ikat kepala bertuliskan Arab. Entah siapa penembaknya, di sekitar itu ada pasukan kavaleri dan panser.
Terjadilah radikalisasi kebrutalan di sana sini. Sembari meneriakkan “Allahu Akbar” mereka keluar dari pintu timur Mangkunegaran dan menghancurkan Pusat Koperasi Konsumsi yang berdiri atas inisiatif PKI. Ketua ini diseret keluar oleh massa dan dianiaya hingga tewas ketika dibawa ke rumah sakit. Selain dia ada banyak staf koperasi yang luka-luka. Selain itu juga terjadi pembakaran atas Universitas Pemerintah Kotapraja Solo (UPKS). Pada saat yang berbarengan, warga Singosaren dipaksa untuk menandatangai pernyataan yang isinya menyebutkan bahwa pelaku pembakaran adalah orang-orang PKI. Menurut saksi mata, aksi pembakaran-pembakaran di seluruh Kota Solo itu terjadi sampai 25 Oktober 1965.
Mengetahui adanya kekacauan itu, Pemuda Rakyat Kecamatan Brebes melakukan pengamanan kampung untuk mencegah massa demosntran masuk ke kampung mereka. Di Kampung Sewu, di tepi Bengawan Solo, alkisah Karno Gejig, seorang jawara simpatisan Pemuda Rakyat dan anak buahnya menghadang Pemuda Marhaen yang baru saja melakukan aksi pembakaran dan penjarahan. Terjadilah bentrok yang terkenal disebut kejadian Kedung Kopi. Namun, isu yang dimunculkan dalam peristiwa ini bahwa Karno Gejig dan anak buahnya adalah pembakar Kota Solo yang berusaha dihentikan oleh Pemuda Marhaen. Nantinya, Karno Gejig dan kawan-kawannya selama beberapa hari disiksa dan dipertontonkan kepada publik di halaman Balaikota.
Di tengah aksi-aksi demonstasi itu ada mobil yang berkeliling kampung yang mengumumkan agar organisasi-organisasi kiri membubarkan diri dan aktivisnya menyerahkan diri. Lalu terjadi pembubaran PKI di Balai Desa Tegal Kembang, Kecamatan Serengan, dan pembubaran itu diumumkan keliling kampung. Di tengah pembubaran itu telah terjadi secara masif pemanggilan dan penangkapan orang-orang dan aktivis yang dikaitkan dengan PKI, baik secara massal maupun perorangan, di kampung-kampung seluruh Surakarta. Pemanggilan-pemangilan laki-laki dilakukan pada malam hari oleh Hanra dan organisasi pemuda setempat, lalu orang-orang itu dibawa dengan truk besar ke tujuan yang tak diketahui oleh saksi-saksi di kampung.
Jadi sejak RPKAD secara resmi masuk Surakarta pada 20 Oktober 1965, sejak saat itu tegangan dan keresahan akibat desas desus mengenai Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal yang simpang siur seperti dijawab melalui show or force kekerasan yang dipimpin oleh RPKAD. RPKAD mengerahkan ormas-ormas setempat untuk melakukan aksi ganyang PKI. Kemudian sejak 23 Oktober 1965 itu, dimulailah aksi pengejaran, penangkapan dan penahanan terhadap ribuan orang dari ormas-ormas yang mempunyai koneksi ideologi dengan PKI. Bahkan orang-orang yang tak ada hubungan sama sekali dengan kegiatan politik keormasan juga diciduk untuk alasan yang tak jelas. Oetomo Ramelan, selaku walikota Solo, pun kemudian ditangkap dan ditahan. Apakah kejadian-kejadian ini menyingkapkan Dewan Jenderal memperoleh kemenangan atas Dewan Revolusi? (merujuk pada Oetomo Ramelan yang pernah pidato di RRI untuk mendukung Dewan Revolusi).
Pada masa ini suasana kampung dilanda ketakutan, hubungan antar tetangga terputus, dan ibu-ibu rumah tangga bahkan tak berani berbelanja kebutuhan makan. Semua kejadian penangkapan dan kekerasan mereka catat di dalam ingatan dan bisik-bisik dalam rumah. Radikalisasi kekerasan berlangsung sampai Maret 1966, ketika tanggul Bengawan Solo di Kusumadilagan dan Demangan (Pasar Kliwon) jebol dan menimbulkan banjir Kota Solo.

Analisa Koherensi Logis
Banyak saksi mata menduga, operasi inteligen di Solo sebenarnya telah berlangsung sebelum 30 September 1965, dan operasi itu untuk menciptakan kontradiksi di kalangan organisasi pemuda yang sebelumnya telah ada persaingan memperebutkan massa di kampung-kampung. Jika pun telah terjadi operasi inteligen itu tak jelas siapa yang mengomandoinya. Lalu apa hubungan operasi inteligen ini dengan pembunuhan tujuh jenderal dengan Dewan Jenderal dan RPKAD? Yang jelas, fakta faktual dari sejarah lokal di Surakarta ini menunjukkan bahwa antara 30 September (1 Oktober 1965) sampai kedatangan RPKAD, belum terjadi radikalisasi kebrutalan dan kampanye pembubaran PKI. Kurun waktu hampir tiga minggu itu sangat simpang siur, meski tampak ada persiapan-persiapan yang dilakukan “orang asing” bertubuh tegap untuk mendekati pemuda kampung-kampung. Maka kurun waktu ini, menurut hemat saya, merupakan situasi yang vakum kepemimpinan (baik di pusat maupun daerah), dimana berbagai kejadian sangat dimungkinkan, yang menurut tesis Anderson, McVey, Roosa dan Saskia Wieringa[6], dalam berbagai kemungkinan itu adalah sebuah kudeta yang dipimpin Suharto.
Jika kita runut fakta faktual sejarah lokal di Surakarta yang terurai di atas, skema kudeta itu dapat dibaca berdasarkan koherensi logis sebagai berikut:
Pertama, ada fenomen-fenomen sejak sebelum G30S, antara 1 Oktober 1965-20 Oktober 1965, dan 20 Oktober 1965-Maret 1966, yang koheren (ajeg).
Kedua, fenomen-fenomen itu meliputi fase penciptaan tegangan dalam bentuk meruncingkan kontradiksi di kalangan organisasi pemuda; fase vakum tanpa komando yang jelas, antara pusat dan daerah, sementara orang diresahkan oleh kabar tentang Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal; fase antagonis atas kontradiksi yang dipimpin oleh RPKAD yang disertai radikalisasi kebrutalan dan kampaye anti-PKI; dan radikalisasi kebrutalan itu berlangsung sampai Maret 1966 (yang di Surakarta ditandai oleh banjir Bengawan Solo).
Ketiga, keajegan (koherensi) dari fase penciptaan kontradiksi di kalangan organisasi pemuda (kiri vs kanan) dan fase antagonis (meledakkan kontradiksi) yang dipimpin RPKAD menunjukkan adanya operasi tersembunyi di tengah pergumulan politik di tingkat nasional (Sukarno, PKI, Angkatan Darat). Operasi tersembunyi itu kemenangannya ditunjukkan oleh keterpimpinan RPKAD dalam melakukan radikalisasi kebrutalan dan mengganyang semua pendukung Sukarno dan PKI.
Keempat, radikalisasi kebrulatan yang dipimpin RPKAD itu berhenti sampai Maret 1966 (Super Semar), yaitu ketika terjadi serah terima mandat de facto dari Sukarno kepada Suharto.
Maka fase vakum selama 1 Oktober 1965–20 Oktober 1965 di Surakarta itu menyisakan banyak pertanyaan yang masih bersifat misteri, meski telah banyak penelitian untuk mengungkapkan apa yang sedang terjadi di kalangan politik elit nasional. Kiranya skenario “untuk mengamankan chaos” (baca: menyingkirkan unsur kekuatan Sukarno dan PKI) yang dipimpin oleh Suharto melalui RPKAD merupakan permulaan kudeta di tengah kontestasi elit politik yang berlangsung saat itu.

Penutup
Sekait dengan upaya untuk merekonstruksi keadilan sejarah dalam bentang sejarah Indonesia, penelitian untuk pengungkapan kebenaran masih relevan dilakukan hingga saat ini, terutama untuk menggali kejadian-kejadian lokal di seputar G30S. Fakta faktual yang bersifat lokal itu diperlukan untuk membaca fakta logis guna menguji “kebenaran” baik sebagai sebuah metode ilmu, maupun sebagai urusan politik. Masalahnya dalam urusan politik mengenai G30S antara fakta kebohongan dan kebenaran bertumpang-tindih. Karena itu menurut hemat saya, tak cukup dengan pengungkapan fakta, melainkan juga sangat perlu untuk melakukan inovasi metodologis dan etik dalam pengungkapan kebenaran mengenai sejarah 65 ini. Saatnya perihal pengungkapan kebenaran ini masuk ke ranah filsafat.
***
————-
[1] Benedict Anderson dan Ruth McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1971).
[2] John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2008).
[3] Narasi sejarah lokal mengenai G30S dan aksi kekerasan sesudahnya ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Lingkar Tutur Perempuan (LTP) dari Institut Sejarah Sosial Indoensia (ISSI) sepanjang 2005-2006. Penulis merupakan bagian tim LTP-ISSI untuk menghimpun fakta faktual yang berasal dari memori sosial warga kampung-kampung di Surakarta (yang sebagian menjadi korban penahanan Orde Baru). Dokumen sejarah ini milik ISSI yang ditulis-ulang (diinterpretasikan) oleh penulis.
[4] Organisasi Pemuda yang mempunyai koneksi dengan PNI, terutama PNI sayap Osa Maliki. Organisasi pemuda ini cukup kuat di Solo dan bersaing ketat dengan Pemuda Rakyat yang mempunyai koneksi dengan PKI.
[5] Tentang Kolonel Ashari ini menurut sumber: ia orang Kodim Surakarta, namun tidak jelas divisinya.

[6] Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Garba Budaya dan Kalyanamitra, 1999).

Sumber: IndoProgress.Com 

0 komentar:

Posting Komentar