Sabtu, 30 September 2017

Brigjen Katamso, Korban Tragedi 1965 di Yogyakarta

Reporter: Iswara N Raditya | 30 September, 2017

Katamso Darmokusumo. FOTO/id.wikipedia.org
  • Komandan Korem 072/Yogyakarta, Kolonel Katamso, diculik dan dibunuh oleh para bawahannya sendiri
  • Jasad Kolonel Katamso baru ditemukan 10 hari setelah kejadian pembunuhannya
Brigjen Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono dibunuh di Yogyakarta sebagai dampak lanjutan tragedi G30S 1965 di Jakarta.

Tanggal 1 Oktober 1965 pagi itu kebingungan melanda kalangan tentara. Tak hanya di Jakarta, para prajurit di berbagai daerah pun turut bertanya-tanya. Di Yogyakarta, Katamso Darmokusumo selaku Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro juga belum mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya telah terjadi di ibukota.

Kegelisahan bertambah ketika pukul 08.00 WIB, terdengar siaran RRI Semarang yang mengatakan bahwa Dewan Revolusi Daerah Jawa Tengah sudah terbentuk, menyusul Dewan Revolusi di Jakarta yang satu jam sebelumnya telah dideklarasikan oleh Letkol Untung dari pusat.

Katamso, yang saat itu masih berpangkat kolonel, segera menggelar rapat staf dan akhirnya mengutus ajudannya berangkat ke Semarang untuk mencari informasi lebih lanjut. Kolonel Katamso sendiri sudah dijadwalkan menghadiri rapat penting dengan Pangdam Diponegoro, Brigjen Suryosumpeno, di Magelang pada hari itu juga.

Pengkhianatan Militer

Bakal perginya Kolonel Katamso ternyata sudah diamati oleh sebagian orang militer di Yogyakarta sendiri, yakni para tentara yang ditengarai telah berkubu dengan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam rantai Dewan Revolusi. Ketiadaan Kolonel Katamso sebagai orang yang paling berwenang di Korem 072 Yogyakarta membuat Mayor Mulyono dan kawan-kawan dengan leluasa menjalankan rencana mereka. 

Upaya pengambilalihan kuasa militer di Yogyakarta justru direncanakan oleh bawahan Kolonel Katamso. Kepala Seksi (Kasi) Korem 72/Pamungkas Mayor Mulyono bertindak sebagai pimpinannya, dibantu oleh Mayor Kartawi, Mayor Daenuri, Kapten Kusdibyo, Kapten Wisnuaji, Sertu Alip Toyo, Peltu Sumardi, Pelda Kamil, Praka Anggara, Praka Sudarto, Praka Sugimin, dan lainnya (Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI 1965 di Yogyakarta dan Sekitarnya, 2000).

Kolonel Katamso yang tiba dari Magelang pada pukul 2 siang rupanya belum sadar betul bahwa beberapa anak buahnya sudah mengakuisisi Korem 72/Pamungkas. Ia tidak kembali ke kantor, melainkan langsung pulang ke rumah dinasnya yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 48 Yogyakarta.

Dari kediamannya, Kolonel Katamso membahas hasil pertemuan dengan Pangdam Diponegoro bersama beberapa staf Korem 72/Pamungkas, termasuk Mayor Kartawi yang sebetulnya adalah bagian dari kelompok pengkhianat. 

Ada dua poin penting yang diperintahkan oleh Pangdam Diponegoro dalam pertemuan di Magelang pagi tadi, yakni (1) Pangdam sedang berusaha melakukan kontak dengan pusat atau Jakarta, dan (2) Pangdam memerintahkan kepada seluruh korem yang berada dalam wewenangnya untuk tetap waspada, tenang, dan jangan mengambil tindakan sendiri-sendiri.

Kolonel Katamso sempat menerima dua tamu di rumahnya usai rapat tersebut, yakni Mayor Sutomo (Komandan Batalyon C/Klaten) dan Kapten Rahmat (Kepala Penerangan Korem 72/Pamungkas). Hingga kemudian, dimulailah rencana pembunuhan sang komandan pada sore harinya.

Rencana Pembunuhan

Sekitar jam 5 petang tanggal 1 Oktober 1965 itu, sebuah mobil rantis berjenis Jeep Gaz memasuki halaman depan kediaman Kolonel Katamso. Kendaraan khas militer itu rupanya tak sendiri. Di belakangnya sudah bersiaga dua truk dengan bak yang dipenuhi oleh prajurit bersenjata lengkap. 

Dua orang bergegas turun dari mobil, yakni Peltu Sumardi dan Pelda Kamil. Keduanya masuk ke rumah dan langsung menodongkan senjata ke arah Kolonel Katamso, memintanya untuk ikut dengan mereka (Taufik Abdullah, dkk., Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, 2012:117).

Kapten Rahmat yang masih ada di situ berusaha menenangkan situasi, namun justru kena bentak. Demi menghindari terjadinya kericuhan, Kolonel Katamso bersedia ikut dengan para penodong yang ternyata sudah dikenalnya itu. Kapten Rahmat turut dibawa, tapi kemudian dilepaskan.

Jeep yang diikuti dua truk itu membawa Kolonel Katamso Markas Komando Yon L di daerah Kentungan, terletak di utara Kota Yogyakarta (Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, 2008:273). Kolonel Katamso kemudian ditahan di ruang Komandan Batalyon.

Dalam buku berjudul Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI 1965 di Yogyakarta dan Sekitarnya terbitan Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta (2000) yang ditulis berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait para oknum militer yang terlibat, diceritakan bahwa pada malam harinya, sejumlah tentara berkumpul untuk membahas rencana pembunuhan Kolonel Katamso.

Ada yang mengusulkan agar sang komandan langsung ditembak mati saja, namun ada pula yang menginginkan kematian dengan cara yang lebih sadis, seperti menjerat leher Kolonel Katamso dengan kawat, atau memukul kepalanya dengan benda berat. Usai rundingan itu, beberapa tentara mulai menggali kubur di belakang markas. Rencana pembunuhan siap dilaksanakan.

Eksekusi

Sebagai eksekutor, ditunjuklah Sertu Alip Toyo, Komandan Regu Montir 8 Kompi Bantuan. Kolonel Katamso kemudian dibawa ke lokasi pembantaian dengan tangan terikat dan mata tertutup, ia dibiarkan berjalan. Baru beberapa langkah, Sertu Alip Toyo menghantam kepalanya dari belakang dengan kunci montir seberat 2 kilogram.

Kolonel Katamso terjatuh dengan kepala berlumuran darah. Namun, sang komandan masih bernapas dan sempat mengucapkan kata-kata terakhirnya, bahwa ia masih mencintai Bung Karno, Presiden Republik Indonesia. Pukulan kedua pun dilakukan, dan gugurlah Kolonel Katamso pada dini hari tanggal 2 Oktober 1965 itu.

Eksekusi serupa juga terjadi kepada Letkol Sugijono yang menjabat sebagai Kepala Staf Korem 072/Pamungkas. Aksi pembunuhan dilakukan di tempat yang sama dalam waktu yang berdekatan, juga dengan rincian yang nyaris serupa. 

Setidaknya itulah kronologi penculikan serta pembunuhan terhadap Kolonel Katamso—dan Letkol Sugiyono—yang tertulis di banyak buku terbitan era Orde Baru. Apa yang sesungguhnya terjadi pada malam itu sulit dilacak karena hampir semua referensi yang ada, termasuk arsip dokumentasi militer, koran semasa, maupun wawancara dengan pelaku sejarah, sejauh ini mengamini kronologi itu.


Brigjen Katamso, Korban Tragedi 1965 di Yogyakarta

John Rossa (2008) melalui buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, juga menyinggung tragedi di Yogyakarta ini. Namun, tidak dikisahkan secara spesifik tentang kronologi pembunuhan Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono. Dengan versi yang sedikit berbeda, John Rossa hanya menyebutkan:

“Mayor Mulyono memimpin pasukan pemberontak menggerebek rumah komandan mereka, Kolonel Katamso. Mereka menculiknya dan juga kepala stafnya, Letnan Kolonel Sugiyono, yang kebetulan ada di rumah itu ketika para pemberontak datang.”

“Mereka membawa dua perwira itu ke sebuah kota kecil di utara Yogyakarta, Kentungan, dan menahan mereka di tangsi batalion militer di sana. Kemudian mereka membunuh kedua perwira tersebut.” 

Jasad Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono baru ditemukan pada 12 Oktober 1965. Sedangkan penggalian kubur di Kentungan itu dilakukan 8 hari berselang. Keduanya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta, dan kemudian ditetapkan sebagai pahlawan revolusi, serta memperoleh kenaikan pangkat anumerta, Brigadir Jenderal (Brigjen) untuk Katamso dan Kolonel untuk Sugijono.
 
Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar