Jumat, 29 September 2017

Rekonsiliasi 1965, Belajar dari Gus Dur

Jumat 29 September 2017, 11:45 WIB
Munawir Aziz* - detikNews

Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom

Jakarta - Di sebuah pagi yang cerah, Gus Dur menghadiri undangan untuk meresmikan sebuah Yayasan Panti Jompo. Panti ini terletak di kawasan Kramat V, Jakarta Pusat, di gedung bekas kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), pada 8 Februari 2004. Panti Jompo ini dikhususkan bagi perempuan-perempuan bekas tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol). 

Peresmian itu juga dihadiri SK Trimurti —wartawan tiga zaman— yang menjadi saksi sejarah keberpihakan Gus Dur pada perempuan-perempuan jompo yang menjadi korban Peristiwa 1965. Yayasan yang mengelola Panti Jompo itu digerakkan oleh keluarga mantan anggota PKI yang sering dicap negatif. Waluyo Sejati Abadi, nama panti jompo itu, menjadi saksi betapa luasnya bentang kemanusiaan Gus Dur. Di panti itu, perempuan-perempuan eks tapol yang direjam kesakitan pada masa Soeharto, menghabiskan usia dengan secercah cahaya. 

Di hadapan mereka, Gus Dur memotivasi agar tekanan-tekanan masa lalu bisa luluh, berganti dengan keceriaan. 

"Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena dituduh 'terlibat' PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda mereka dirampas. Sementara, stigma mereka adalah pengkhianat bangsa tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini," ungkap Gus Dur.
Di tengah cahaya kisah tentang kebesaran hati Gus Dur menerima persaudaraan dengan keluarga mantan PKI, hari ini kita tersentak dengan isu 1965 yang memanas. Pada September ini, gelombang isu tentang komunisme, PKI dan Tragedi 1965 terus membahana. Minggu (17/09/2017) lalu, massa mengepung kantor LBH Jakarta, yang dianggap menyelenggarakan pertemuan simpatisan PKI. 

Padahal, agenda di LBH merupakan acara kesenian 'AsikAsikAksi', yang salah ditafsir oleh massa. Mulanya 50 orang merangsek, tidak sampai lima jam, datang lebih dari 1.000 orang lintas ormas. Situasi memanas, yang diiringi teriakan kasar, intimidas, dan ucapan 'bunuh, halal darahnya' menggema hingga tengah malam. Betapa, imaji tentang 'hantu komunis' masih menjadi bagian dari rentetan sejarah kekinian bangsa ini. 

Rekonsiliasi, Jembatan Kemanusiaan

Dari serangkaian isu tentang 1965, yang penting untuk direnungkan adalah bagaimana membangun jembatan rekonsiliasi. Almarhum Gus Dur pernah mengupayakan rekonsiliasi nasional, meski mendapat pertentangan dahsyat dari pelbagai pihak. Keberpihakan Gus Dur terhadap korban 1965 sangat jelas. Gus Dur bergerak dalam dimensi kemanusiaan; beliau secara jelas membangun jembatan rekonsiliasi. 

Zastrow el-Ngatawi mengkonfirmasi permintaan maaf Gus Dur. Ia menjadi saksi ketika Gus Dur mengundang Pramoedya Ananta Toer ke Wisma Negara, 27 Oktober 1999. Dalam bedah buku karya Abdul Mun'im DZ, Benturan NU dan PKI: 1948-1965 (2014), Zastrow menjelaskan bagaimana kronologi pemaafan Gus Dur. 

"Saya klarifikasi tentang permintaan maaf Gus Dur itu. Saat itu, pertemuan antara Gus Dur dan Pram. Pram bilang: kita ini sudah dekat kok, tapi kok orang di luar masih ribut. Gus Dur menimpali: ya sudah, saya minta maaf dan kamu juga minta maaf. Setelah itu, Pram mengajukan tanya: kalau saya dengan Gus Dur nggak ada masalahtapi yang di luar itu perlu dijelaskan. Kemudian, Pram bertanya lagi: apa komentar tadi tentang permintaan maaf itu sebagai Gus Dur secara pribadi atau PBNU ataubagaimana? Gus Dur menjawab: ya sudah, kalau nggak mau repot anggap saja itu sebagai komentar dari PBNU."
Dalam agenda Secangkir Kopi bersama Gus Dur yang disiarkan langsung oleh TVRI, Selasa 15 Maret 2000 terhampar kesaksian bagaimana kebesaran jiwa Gus Dur. Di acara itu, Gus Dur secara langsung meminta maaf, kemudian mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Di hadapan Effendy Choirie, Franz Magnis Suseno, dan Noorca M. Massardi, Gus Dur berharap latar belakang sejarah di seputar 1965 harus dibuka secara gamblang. Hal ini penting, agar momen historis di sekitar 1965 tidak menjadi 'kabut sejarah' yang diwariskan dalam periode yang panjang.

Menurut Gus Dur, kabut gelap sejarah masa lampau Bangsa Indonesia harus disikapi secara jernih. "Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi dalam perspektif kemanusiaan, bukannya ideologis" ungkap Gus Dur dalam karyanya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006: 157). 

Lebih lanjut, Gus Dur mendorong rekonsiliasi nasional terhadap keluarga mantan anggota PKI dan DI/TII. Dengan ibarat konglomerat hitam yang mendapat pengampunan, dengan status release and discharge (bebas dari segala tuntutan), Gus Dur mengajak untuk memberi kesempatan yang sama kepada keluarga mantan PKI dan DI/TII. 

Lebih jauh, Gus Dur mengupayakan rekonsiliasi nasional, dengan beberapa langkah mendasar. 


"...mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau ada bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan. Di sinilah, keadilan harus ditegakkan di bumi Nusantara," ungkap Gus Dur.
Mengenai upaya rekonsiliasi nasional yang digagas Gus Dur, Alwi Shihab —yang waktu itu menjadi Menlu— menjelaskan bahwa upaya mencapai rekonsiliasi nasional, yakni membentuk undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tugas utamanya mengusut kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Rekonsiliasi ini, dimaksudkan dalam kerangka pembangunan nasional, integritas teritorial dan integrasi kebangsaan (Tempo, 22/03/2001). Menurut Alwi, rekonsiliasi nasional yang digagas Gus Dur merupakan sebuah cara menggapai reformasi politik, sosial dan ekonomi. 

Isu 1965 hanya akan menjadi 'ranjau sejarah' jika tidak ada upaya untuk mengawali langkah strategis menyelesaikan luka lama. Rekonsiliasi nasional yang dibangun Gus Dur, kemudian diteruskan jaringan anak muda nahdliyyin serta beberapa lingkar komunitas dengan rekonsiliasi kultural menjadi penting digemakan kembali. Upaya pemerintah menyelenggarakan Simposium Nasional 1965 harus diapresiasi sebagai langkah awal mencari titian rekonsiliasi.
Bangsa ini tidak akan bisa belajar dari sejarah, jika sejarah yang diwariskan gelap dan penuh misteri. Saatnya mematahkan warisan ingatan, dengan memulai riset komprehensif dalam bentang sejarah 1948-1965, yang dibarengi dengan keinginan kuat untuk rekonsiliasi nasional, rekonsiliasi untuk semua anak bangsa. 

Munawir Aziz peneliti, aktif di LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama & Jaringan GusDurian. Dapat disapa via@MunawirAziz
(mmu/mmu)
Sumber: NewsDetik 

0 komentar:

Posting Komentar