Selasa, 26 September 2017

Baperki, Komunitas Tionghoa, dan G30S di Kota Medan

Dian Purba


Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
SAAT berita tentang G30S sampai di Medan pada 1 Oktober pagi 1965, pejabat resmi daerah masih belum mengetahui begitu jelas perihal kejadian di Jakarta. Pada malam harinya, Konsul Amerika di Medan mengirim telegram ke kedutaan di Jakarta menanyakan ijin menyediakan “informasi yang tak sensitif” kepada Mayjend A.J. Mokoginta, Komando Antar Daerah 1 Sumatera (Koanda 1), untuk “membantu element anti-komunis di sini mengambil keputusan yang tepat”.[1] Pagi keesokan harinya, pejabat senior militer di Koanda 1, bersama dengan Wakil Komandan Kostrad Brigjend Kemal Idris, berkesimpulan bahwa G30S adalah gerakan yang dilakukan oleh orang kiri bersama Menteri Luar Negri Subandrio, yang pada saat gerakan itu terjadi sedang berada di Medan. Pada sore harinya, Komando Aksi Pemuda (organisasi yang belum lama dibentuk), dipimpin oleh Pemuda Pancasila (sayap pemuda Ikatan Penerus Kemerdekaan Indonesia, IPKI), mengadakan aksi massa ke pusat kota menentang PKI.[2]
Pada 5 Oktober, Komandan Teritorium Sumatra Mayjend A.J. Mokoginta berpidato di Medan mengutuk Gerakan 30 September sebagai “kontra-revolusioner”. Dia menggambarkan gerakan itu sebagai “alat negara asing”, merujuk kepada Tiongkok. Mokoginta menuding Tiongkok berada di belakang gerakan ini.[3] Mokoginta menilai gerakan itu hendak menghancurkan revolusi Indonesia.[4] Bersamaan dengan kutukan Mokoginta terhadap G30S tersebut, Komando Aksi Pemuda mengadakan aksi massa lanjutan. Kali ini mereka menuntut agar PKI dilarang. Massa tersebut kemudian berbuat kekerasan. Mereka menghancurkan jendela dan menjarah kantor pusat provinsi PKI. Namun dilaporkan, mereka tidak menghancurkan dokumen yang berisi daftar-daftar anggota PKI. Mereka juga menghancurkan rumah-rumah yang dimiliki oleh pemimpin PKI, begitu juga dengan rumah pimpinan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan sekolah Hua Zhong.[5]
Brigjend Darjatmo, Komandan Kodam Bukit Barisan, pada 29 Oktober, diganti oleh Brigjend Sobiran. Sobiran menurut pejabat Amerika Serikat adalah orang yang dikenal sangat anti-komunis.[6] Tidak menunggu waktu terlalu lama, pada 2 November militer menginisiasi demonstrasi besar-besaran. Dilaporkan sekitar 10.000 orang berdemonstrasi di pusat kota Medan menuntut pelarangan PKI, mengganti Gubernur Ulung Sitepu, memutus hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina, juga melarang Baperki dan menyita semua properti Baperki.[7]
Pada 6 November terjadi demonstrasi rakyat di Medan terhadap Konsulat Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Mereka menuntut agar seluruh warga negara asing, khususnya RRT, untuk tidak melakukan insinuasi, apalagi ikut campur tangan dalam masalah dalam negeri Indonesia. Demonstrasi itu tidak perlu terjadi, kata Selamat Ginting, Wakil Ketua Komisi A (bidang luar negeri) DPRGR apabila RRT dapat menempatkan dirinya dalam perkembangan-perkembangan yang terjadi di Indonesia. Mereka menganggap RRT adalah “musuh utama kita, jaitu nekolim dan kontra revolusi”.[8] Laporan Keduataan Amerika pada 8 November melaporkan bahwa di Sumatera Utara terjadi penghancuran sistemik terhadap PKI dan terjadi pembunuhan besar-besaran.[9]

Baperki dan Orang Tionghoa di Medan
Tindakan lain yang dilakukan Brigjen Sobiran adalah memerintahkan penyitaan semua properti Baperki, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, dan Partindo dan memblokir rekening bank kedua organisasi tersebut.[10] Baperki dan Partindo dikenal sangat dekat. Salah satu pimpinan Partindo, Oei Tjoe Tat, menjadi wakil ketua umum Baperki.[11] Namun, untuk wilayah Medan, keterkaitan antara G-30-S dengan Baperki di satu sisi dan dengan orang Tionghoa di sisi yang lain harus diterangkan lebih lanjut. Apa yang membuat tentara dan massa mengidentikkan, bahkan menuduh, Baperki dan orang Tionghoa mendalangi G30S? Bagaimana kemudian posisi Baperki Medan setelah G30S terjadi di Jakarta? Dan di mana posisi orang Tionghoa Medan saat itu?
Untuk Baperki di Sumatera Utara, pertentangan Baperki dengan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) tidak sepanas di Jakarta. Hampir tidak ditemukan penolakan secara tegas terhadap kehadiran LPKB di Medan oleh Baperki dan juga organisasi-organisasi kiri. Demikian juga sebaliknya. Bagi Lekra Medan, misalnya, orang-orang yang duduk dalam kepengurusan LPKB Medan sering diplesetkan sebagai laki palak kepingin bini. “Bini” yang dimaksud adalah orang Tionghoa. Jadi, kata seorang anggota Lekra, orang-orang LPKB Medan yang di dalamnya juga terdapat angkatan darat (AD) memaksakan orang Tionghoa mengganti nama dan kemudian kawin campur, tidak lebih karena mereka menginginkan orang Tionghoa menjadi istri mereka.[12]
Baperki Medan memiliki kedekatan dengan organisasi-organisasi kiri. Hubungan dengan—terlebih melalui organisasi pemudanya, PPI[13] (Permusyawaratan Pemuda Indonesia)—Lekra terjalin melalui kerja bersama dalam kegiatan pers dan kesenian. Harian Harapan, harian yang dikenal sebagai harian PKI, diisi oleh wartawan-wartawan Lekra dan Baperki. Demikian juga di Harian Gotong Royong. Di harian ini wartawannya lebih beragam dari Harian Harapan. Selain dari Lekra dan Baperki, wartawannya juga berasal dari PKI dan Partindo. Di bidang kesenian, Lekra dan PPI berkolaborasi dalam beberapa pementasan drama. Sebut saja saat Lekra hendak memanggungkan drama yang disadur dari cerita rakyat Mongolia. Orang-orang Tionghoa di PPI mereka anggap sangat tepat mengisi aktor-aktor untuk cerita itu karena warna kulit mereka sangat mendukung untuk itu. Selain perkara penyediaan aktor, orang-orang Tionghoa juga sangat menguasai alat musik. Mereka bermain lebih piawai ketimbang anak-anak Lekra. Astaman Hasibuan menyebut mereka menguasai musik secara akademis. Untuk keperluan mengiringi musik pementasan tersebutlah mereka kemudian bekerja sama. Demikian juga ketika PPI mementaskan Gadis Teratai, drama Korea, mereka meminta orang Lekra mengisi beberapa peran. Astaman menilai kerjasama Lekra dan PPI didasarkan atas saling membutuhkan. “Orang itu butuh kita, kita juga butuh orang itu.”[14]
Kerja sama kesenian lain yang penting disebutkan adalah kerja sama di Ansambel Njanji dan Tari Madju Tak Gentar. Ansambel ini sesungguhnya tidak hanya diisi oleh orang PPI dan Lekra. Orang Nahdlatul Ulama juga ada di dalamnya. Bahkan, putra gubernur Sumatera Utara Ulung Sitepu, yang tidak punya organisasi apa pun, terlibat di dalamnya karena kepintarannya bernyanyi. Ansambel ini sangat terkenal sehingga kerap diundang Sukarno ke Istana Negara di Jakarta untuk perayaan 17 Agustus, atau untuk menyambut tamu negara. Astaman Hasibuan mengingat ansambel ini pun diundang saat pembukaan Ganefo di Jakarta.[15] Ide awal pembentukan ansambel ini muncul atas inisiatif misi kesenian Sumatera yang diketuia Banda Harahap (dikenal juga sebagai Hr. Bandaharo) ketika melakukan lawatan persahabatan ke RRC, Korea Utara, dan Republik Demokratik Vietnam pada tahun 1959.[16]
Baperki Medan sendiri, seperti sudah disinggung di atas, tidak hanya diisi oleh orang Tionghoa. Beberapa pengurus inti berasal dari orang Batak (Baktiar Sibuea), orang Aceh (Sjahriar Sandan), orang India (Krisna).[17]Dari segi organisasi, Baperki Medan juga berasal dari organisasi atau partai politik. Hal yang lumrah semata ketika dalam Baperki terdapat orang PKI, orang Lekra, orang Partindo. Demikian juga sebaliknya.[18]
Pada awal tahun 1964, Baperki membuka cabang Universitas Res Publica, Ureca, di Medan dengan membuka tiga fakultas, yakni sastra, kimia, dan ekonomi. Mahasiswanya terdiri dari banyak suku, meski yang jumlah terbanyak adalah orang Tionghoa.[19] Namun, Astaman Hasibuan memperkirakan perbandingan jumlah mahasiswa Tionghoa dengan mahasiswa dari suku lain tidak terpaut jauh. Astaman memberikan alasan karena banyak orang Tionghoa disekolahkan orangtuanya ke luar negeri.[20] Tenaga pengajar di Ureca Medan diambil dari berbagai universitas yang ada di Medan, seperti Universitas HKBP Nommensen dan Universitas Sumatera Utara. Pada Agustus 1965, saat Ureca Medan menambah satu lagi fakultasnya yakni fakultas kedokteran, tenaga pengajarnya diambil dari Rumah Sakit Elisabeth Medan. Namun, fakultas ini tidak berlangsung lama karena peristiwa G30S. Sementara pendanaan Ureca Medan, selain bantuan dari pusat, ditopang oleh sumbangan dari para pengusaha Tionghoa di Medan. Jumlah mahasiswa Ureca Medan sekitar 200 orang.[21]
Sekolah-sekolah Baperki diharapkan menjadi tempat bertemunya beragam suku dan ideologi. Mahasiswa Ureca Medan berasal dari beragam suku yang ada di Medan.[22] Bagi orang Tionghoa yang tidak diterima di perguruan tinggi negeri, atau mereka yang keadaan ekonominya tidak cukup kuat, Ureca menjadi alternatif. Sementara bagi anggota Lekra seperti Astaman Hasibuan, Ureca menjadi tempat mencari jodoh. Astaman mengatakan, “Seandainya tidak terjadi peristiwa itu (G30S), kemungkinan besar akan banyak dari kami (Lekra) menikah dengan orang Tionghoa.”[23]
Meski begitu, stigma Baperki dan lembaga-lembaga pendidikannya hanya dikhususkan untuk orang Tionghoa tetap didengung-dengungkan oleh mereka yang tidak suka dengan Baperki. Sekolah-sekolah Baperki dituduh eksklusif. Siauw Giok Tjhan, ketua Baperki, melihat tuduhan itu sesungguhnya berisi pengakuan atas keberhasilan lembaga pendidikan mereka. Namun, di sisi lain, Siauw melihat tudingan itu sebagai sesuatu yang serius. Karena itu Baperki kemudian membatasi penerimaan mahasiswa keturunan Tionghoa. Mula-mula 10 persen, kemudian dikurangi terus-menerus. Siauw memandang usaha-usaha yang dilakukan Baperki adalah bagian dari membantu negara mewujudkan janji konstitusionalnya. Dengan demikian, Baperki sedang melaksanakan amanat UUD 1945 untuk mewujudkan kehidupan berkeadilan dengan dengan menyediakan kesempatan pendidikan terbuka untuk semua warga-negara tanpa ada pembatasan. Karena itu, di satu kesempatan, Sukarno mengapresiasi usaha-usaha Baperki tersebut:
Apakah bahayanya BAPERKI, yang sebagai organisasi massa berusaha mengerahkan massa untuk mempercepat pelaksanaan janji yang dikemukakan dalam Manifesto Politik RI dan mendukung usaha RI untuk melaksanakan pembangunan atas dasar prinsip berdiri di atas kaki sendiri?! Hanya orang keblinger saja yang menganggap BAPERKI merugikan pelaksanaan UUD 45![24]
Kembali ke prahara 1965. Sumatera Utara adalah daerah yang sangat kuat pendukung PKI-nya. Tidak hanya kuat pada basis tradisionalnya—buruh dan petani—di sini mereka menikmati perkembangan pesat dukungan dari eselon atas di pemerintahan, termasuk dari gubernur Sumatera Utara Ulung Sitepu. PKI juga memiliki pengaruh kuat dalam pers, kantor berita Antara, radio, dan organisasi-organisasi pemuda. Pada tahun 1965 diperkirakan anggota PKI di Sumatera Utara berjumlah 120.000 orang, jumlah cabang PKI terbesar di luar Jawa.[25]
Yen-ling Tsai mengatakan ada beberapa orang Tionghoa di Medan menjadi anggota PKI. Namun, yang paling kelihatan jelas adalah orang Tionghoa Medan terbelah antara pendukung Republik Tiongkok dan Taiwan. Sementara itu, mereka merasakan tetap diperlakukan diskriminatif dengan menyebut mereka “orang asing”. Hal ini kemudian membuat mereka harus menunjukkan loyalitasnya dengan menjadi warga negara Indonesia. Pada titik inilah Baperki berperan. Baperki membantu banyak orang Tionghoa yang belum fasih berbahasa Indonesia mengurus kewarganegaraan Indonesia. Tidak heran kemudian Baperki Sumatera Utara dianggap sebagian orang Tionghoa sebagai “biro layanan”.[26]

Komunitas Tionghoa Setelah Prahara 1965
Hingga 28 Oktober belum terjadi pembunuhan terhadap orang PKI dan simpatisannya di Sumatera Utara. Beberapa demonstrasi dilakukan oleh pemuda anti-komunis ke kantor konsulat RRC. Mereka marah karena konsulat menolak mengibarkan bendera setengah tiang. Para pemuda juga menyerang kantor Baperki. Mereka memprotes siaran-siaran Radio Peking yang mereka anggap sangat provokatif dan dianggap mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Pada 25 Oktober dilaporkan dua orang pemuda anti-komunis meninggal karena bentrok dengan Pemuda Rakyat. Situasi drastis berubah ketika pada 29 Oktober Komandan Bukit Barisan Brigjen Darjatmo yang dikenal kiri diganti dengan Brigjen Sobiran yang oleh Amerika disebut seorang yang “violently anti-Communist” Tiga hari setelah menjabat, pada 2 November, sekitar 10.000 orang berpawai di pusat kota Medan. Mereka menuntut PKI dibubarkan, gubernur Ulung Sitepu dicopot, pemutusan hubungan diplomatik dengan Tiongkok, dan juga menuntuk Baperki ditutup serta semua aset mereka disita. Seorang pejabat Amerika mengatakan pada akhir November pejabat militer di Sumatera melaporkan bahwa tentara mendorong orang Muslim membunuh kader PKI. Laporan itu juga mengatakan dalam sehari ratusan orang terbunuh setiap harinya di Sumatera Utara.[27]
Pada tanggal 10 Desember 1965, konsulat Tiongkok di Medan dihujani batu dan bata, jendela-jendelanya hancur dan tiga orang di antara staf konsulat mengalami luka-luka. Selama demonstrasi ini dilepaskan tembakan, tampaknya oleh polisi, ke arah rombongan demonstran. Karena menyangka tembakan itu berasal dari konsulat, para demonstran “mengamuk ke seluruh kota, menyeret orang Tionghoa dari becak dan sepeda motor, menikam mereka dengan pisau panjang, menjarah kios-kios mereka di Pusat Pasar, membunuh atau melukai semua saja yang melawan.[28]
Namun, Coppel mengatakan, pendapat yang menyebut orang Tionghoa sebagai target utama pembunuhan massal tidaklah tepat. Pembunuhan orang Tionghoa, menurut Coppel, berlangsung sporadis dan tidak dilakukan secara sistematis. Coppel lebih lanjut menulis, dari massalnya pembunuhan yang terjadi pada bulan-bulan pasca-G30S, golongan Tionghoa terkena relatif kecil. Orang Tionghoa yang terbunuh bukanlah karena yang bersangkutan orang Tionghoa, tapi lebih karena dia menjadi anggota PKI atau organisasi yang dianggap simpatisan PKI.[29] Sjahriar Sandan mengingat seorang teman Tionghoanya, Tan Foe Kiong, wartawan Harian Harapan, diculik di satu malam dan tidak pernah muncul kembali. Sjahriar mengatakan Tan diculik bukan karena dia Tionghoa, tapi karena dia anggota PKI.[30] Hasil penelitian Yen-ling Tsai mengatakan kekerasan terhadap orang Tionghoa hanya sebatas pada penghancuran, penyitaan, pembekuan rekening, dan pengambilalihan kepemilikan properti. Tidak ada usaha sistematis untuk menahan atau membunuh etnis Tionghoa.[31] Coppel memperkirakan jumlah orang Tionghoa dibunuh tak lebih dari 2000 orang.[32]
Lalu, tanya Coppel, mengapa pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa tidak terjadi? Coppel memberikan beberapa alasan. Pertama, pembunuhan besar-besaran terjadi untuk sebagian besar di daerah pedesaan Jawa dan Bali, di mana golongan Tionghoa kurang terwakili dalam jumlah penduduk secara keseluruhan, dan bukan di pusat-pusat pertokoan utama, di mana mereka diwakili dalam jumlah yang lebih besar. Kedua, orang Tionghoa yang terdapat di daerah-daerah, di mana pembunuhan biasa terjadi, cenderung merupakan kelas pemilik toko yang relatif kaya. Dengan kekayaan itu mungkin sekali beberapa di antara mereka mengadakan pengaturan perlindungan dengan pejabat militer dan sipil setempat. Alasan lainnya adalah kebanyakan di antara mereka mungkin sekali mempunyai sanak keluarga di pusat-pusat perkotaan yang lebih besar, ke mana mereka dapat melarikan diri untuk mencari keselamatan, dan mempunyai cara untuk berbuat demikian.[33] Alasan berikutnya menurut Robert Cribb dan Charles Coppel adalah kurangnya kesempatan melakukan pembunuhan. Hal ini disebabkan oleh PP 10 yang menyebabkan sekitar 85.000 pedagang keturunan Tionghoa meninggalkan desa-desa menuju ke kota propinsi atau kabupaten. Sementara pembunuhan besar-besaran tahun 1965 terjadi di pedesaan.[34]

Siauw Giok Tjhan, Ketua Baperki Pusat. Kredit ilustrasi: PinterPolitik.com

Dengan demikian, orang Tionghoa sebagai orang Tionghoa yang tidak terlibat dalam organisasi apa pun dan juga orang Tionghoa yang terlibat dalam organisasi seperti Baperki, Lekra, dan PKI di Medan harus dipisahkan satu sama lain. Untuk pembahasan berikut, akan dijelaskan tentang tindakan yang dilakukan terhadap orang-orang Tionghoa yang terlibat dalam organisasi politik, terlebih Baperki dan bagaimana mereka menyikapi situasi tersebut.
Sjahriar Sandan saat itu menjabat sebagai sekretaris fakultas ekonomi Universitas Res Publica cabang Medan. Dekan fakultas ekonomi sendiri dijabat oleh keturunan Tionghoa. Sandan juga tercatat sebagai anggota Baperki Medan dan ditempatkan di biro hukum. Baperki Medan menjadi bagian dari organisasi yang dituduh membiayai G30S. Bersama beberapa pengurus Baperki, mereka diharuskan melapor ke Tim Pemeriksa Daerah di Jalan Sena. Orang-orang Baperki tidak ada yang diculik. Setelah diperiksa beberapa kali, mereka kemudian disuruh membawa perlengkapan pakaian dan perlengkapan tidur. Sandan dan ratusan orang Tionghoa anggota Baperki ditahan di TPUD (tempat perlindungan utama daerah) di Jalan Merbabu. Tempat itu dijadikan pusat penahanan tahanan-tahanan anggota Baperki.[35]
Tahanan orang Tionghoa anggota Baperki mendapat perlakuan berbeda dari tahanan PKI. Bahkan terdapat seorang pengusaha Tionghoa yang memiliki hubungan bisnis dengan pejabat militer. Bisnisnya berjalan seperti biasa dengan mendapat jaminan dari pejabat militer tersebut.[36] Dari sekitar 200 orang penghuni TPUD tersebut, Sandan memperkirakan tahanan non-Tionghoa sekitar 20 orang. Sandan mengaku semua tahanan di sana tidak pernah mendapatkan siksaan. Mereka bahkan diijinkan membuka dapur umum sehingga mereka bisa memasak untuk mereka sendiri. Mereka juga diperkenankan menerima bantuan dari keluarga mereka di luar. Di malam hari mereka bisa “makan angin” di lantai atas gedung itu sambil bermain harmonika. Bahkan, per dua minggu, komandan TPUD memberlakukan ijin keluar bergilir. Artinya mereka bisa keluar dari rumah tahanan dan pulang ke rumah mereka dan sore harinya kembali ke rumah tahanan. Mereka disebut “tahanan berdikari”.[37] Oei Tjoe Tat dalam tugasnya sebagai anggota Fact-finding Commission yang dibentuk Sukarno membenarkan “keistimewaan” yang diterima para tahanan Baperki. Oei merasa heran dengan sambutan hangat tentara dan juga para tahanan di Medan. Di tempat penampungan tahanan itu, Oei dibebaskan mewawancarai para tahanan yang kebanyakan adalah anggota Baperki dan Partindo. Bahkan, Oei terharu dan tak bisa menahan air mata ketika hendak meninggalkan tempat itu para tahanan dengan khidmat tanpa terlalu tertekan mengumandangkan “Indonesia Raya”.[38]
Sementara itu, perlakuan yang sangat berbeda dialami tahanan orang-orang kiri yang dipusatkan di Jalan Gandhi. Rumah tahanan berlantai dua ini dikenal sebagai neraka bagi para tahanan. Di sana berkumpul sekitar 1.800 tahanan. Selama interogasi mereka disiksa. Lalu mereka dimasukkan ke toilet penuh tinja dan tidur di sana. Seorang mantan tahanan di sana mengatakan seorang perwira militer yang dituduh PKI bahkan ditahan di dalam toilet bertinja itu selama tiga tahun. Bagi warga Medan kini, tempat ini dikenang melalui sebuah lagu yang cukup terkenal, Abang Pareman. Liriknya:
Kalau abang masuk Jalan Gandhi
Badan abang habis dipukuli
Pulang-pulang tinggal holi-holi (tengkorak)[39]
Kekerasan berlanjut setelah Suharto menerima Surat Perintah 11 Maret di Jakarta. Surat itu menjadi pemantik demonstrasi dan kekerasan di Medan dan di daerah lainnya di Sumatera Utara. Antara 26 hingga 31 Maret 1966, pemuda mengambil alih gedung dan sekolah milik 13 organisasi Tionghoa di Medan. Paling tidak sebanyak 31 gedung sekolah berhasil direbut. Kekerasan lainnya ditujukan kepada ribuan pengungsi Tionghoa dari Aceh. Pengusiran besar-besaran orang Tionghoa pada April 1966 dari Aceh menyebabkan mereka mengungsi ke Medan. Mereka dikumpulkan di barak-barak di pinggiran kota Medan. Mereka dilempari batu oleh ratusan pemuda. Mereka hidup dalam ketakutan. Pada bulan Mei 1966, pemerintah RRC berjanji akan mengirim kapal untuk mengangkut mereka ke Tiongkok. Tidak semua bisa diangkut karena hanya empat kapal yang dikirim. Para pengungsi yang naik ke kapal dilempari oleh ratusan pemuda yang anti-Cina.[40]
Hal lain yang harus disebutkan adalah dinamika pers di kota Medan menjelang dan sesudah G30S. Kota Medan menjelang tahun 1965 ditandai dengan sengitnya “pertengkaran” antara media yang dikatakan media PKI atau media yang dekat dengan PKI dengan media yang berseberangan dengan PKI. Media yang dekat dengan PKI seperti Bendera Revolusi, Harian Harapan, Gotong Royong, dan Obor Revolusi[41]. Sementara media yang berseberangan seperti Waspada, Mimbar Umum, Bintang Indonesia, Pembangunan, Indonesia Baru, Sinar Masyarakat, Tjerdas Baru, Waspada Taruna, Mimbar Teruna, Suluh Massa, Duta Minggu, Genta Revolusi, Resopin, Siaran Minggu, dan Mingguan Film.[42] Kedua belah pihak saling memberitakan di harian masing-masing kritik keras ke pihak yang lainnya. Bahkan, Arif Lubis dari Mimbar Umum harus berhadapan dengan pengadilan karena memplesetkan nama Yusuf Ajitorop, kader PKI, menjadi Yusuf Ajikurap.[43]
Para wartawan dari berbagai surat kabar tersebut kemudian menggabungkan diri ke BPS (Badan Pendukung Sukarno) daerah. BPS dibentuk 28 September 1964. BPS Sumatera Utara dipimpin oleh Arif Lubis (Mimbar Umum). Tidak ada tujuan yang lebih besar yang ditetapkan oleh BPS Sumatera Utara selain melawan PKI, yang menurut mereka, sedang giat-giatnya mengkomuniskan Indonesia. Karena itu, BPS dijadikan sebagai “tali pengikat” antar-surat kabar untuk menegakkan Pancasila dan Sukarnoisme untuk menghadang penyebaran Marxisme.[44] Pada 17 Desember 1964, BPS dibubarkan oleh Sukarno. Tidak bersurut langkah, BPS Sumatera Utara mengatakan keteguhan sikap.
Pada 21 Desember 1964, mereka mengeluarkan seruan yang dimuat di Mimbar Umum berjudul “Madju Terus!”. Seruan itu mereka mengatakan tetap menjadi murid/prajurit Sukarno yang militan dalam menyebarluarkan Sukarnoisme. Pembubaran BPS dijadikan bahan olok-olokan oleh media lawan BPS. Di satu pojok di Harian Harapan ditulis[45]:
Sebaik BPS dibubarkan Presiden Sukarno, spanduk-spanduk yang menganggarkan dia anggota BPS mulai kemarin turun panggung dari muka badak harian-harian BPS Medan.
Selamat berpisah, sampai tidak akan pernah berjumpa lagi.
Pasca peristiwa G30S juga ditandai dengan pemberangusan pers oleh Suharto. Seperti ditulis David T. Hill, “Begitu naik ke tampuk kekuasaan di awal pemberontakan 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto dan Orde Baru yang ia proklamirkan sendiri langsung membelenggu surat kabar-surat kabar yang ada di negeri ini. Dalam upaya pemberantasan yang tak ada tandingannya di Negara ini, nyaris sepertiga dari seluruh surat kabar ditutup. …”[46] David Hill mencatat, 46 dari 163 surat kabar ditutup karena surat kabar tersebut diduga terkait atau jadi simpatisan PKI dan onderbouw-nya. Ratusan staf redaksi di tahan dan wartawan-wartawan “kiri” di dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dipecat. Tidak sedikit kemudian wartawan-wartawan itu yang dibunuh.[47]
Di Medan sendiri, peristiwa G30S berdampak pada wartawan-wartawan yang dicap kiri. Juga peristiwa itu menjadi pemicu hilangnya wartawan-wartawan orang Tionghoa. Pada 19 Oktober 1965, sebanyak 29 orang wartawan yang diantaranya terdapat orang Tionghoa dipecat dari kepengurusan PWI Medan. Mereka dipecat karena dikatakan terlibat dalam “G30S PKI”. Mereka adalah: KH. Long, Sampit Ginting, Malim Tarigan, Onon Gusri, Sin Thian Siong, Chaidir, Tan Foe Kiong, Abdullah Nasution, Sunaryo K., Liem Bwan Tju, Mawardi, Syaifuddin, Zul Iskandar, S.R. Syam, Rumandang, Suheimi, Emas Djas, Bambang Budi Ardjo, Bonar Simanjuntak, Imran Zouny, Tong Lie Tek, Chang Chi Sek, M. Usman, Miswarbay, Nazariah Res, Senen Ahmad, Zuber AA., Cholid Hamid, Sy. Andjarasmara. Setelah itu PWI Medan periode 1965-1967 dijabat oleh Ka. Pendam I Bukit Barisan Mayor AR Surbakti.[48]
Dampak lain turut juga dirasakan oleh orang-orang Tionghoa yang kuliah di Universitas Sumatera Utara, terlebih mahasiswa kedokteran. Beberapa dari mereka terlibat dalam organisasi intra dan ektra kampus. Organisasi ekstra kampus besar kampus seperti HMI, CGMI, dan GMNI. Untuk yang disebutkan kedua terakhir inilah mahasiswa keturunan Tionghoa melibatkan diri. Untuk CGMI sendiri, jumlah orang Tionghoa yang menjadi anggota tidak lebih banyak daripada yang di GMNI. Seorang mahasiswa kedokteran saat itu mengingat dua orang teman Tionghonya yang menjadi anggota CGMI tiba-tiba saja tidak tampak lagi di kampus pada akhir bulan Oktober. Dia memperkirakan mereka korban penculikan.[49]
Dari buku peringatan 25 tahun kedokteran Universitas Sumatera Utara, kita mendapatkan dampak lain yang ditimbulkan peristiwa 1965. Semenjak fakultas kedokteran dibuka tahun 1952, terdapat dua orang mahasiswa Tionghoa.[50] Jumlah ini meningkat di penerimaan tahun berikutnya menjadi enam orang. Tahun ajaran 1954-1955, jumlahnya lima orang. Tahun 1956-1957, jumlahnya menjadi dua kali lipat, 12 orang. Jumlah mahasiswa Tionghoa untuk tahun-tahun berikutnya sangat fluktuatif. Di tahun ajaran 1960-1961, misalnya, hanya terdapat dua orang mahasiswa Tionghoa. Pada tahun ajaran 1965-1966 hanya terdapat dua mahasiswa Tionghoa. Dari tahun 1968 1971, tidak ditemukan seorang pun mahasiswa Tionghoa. Pada tahun ajaran 1971-1972, terdapat dua mahasiswa Tionghoa. Namun, nama Tionghoa mereka dicantumkan di dalam kurung setelah nama Indonesia, atau nama Indonesia digabung dengan nama Tionghoa, seperti: Jensen Lautan (Tan Tjun Po), Untung Chew (Tjiu Tjeng Un).[51] Dr. Alfred mengatakan, mahasiswa Tionghoa pasca-1965 di Universitas Sumatera Utara tidak mengalami penurunan drastis. Mereka tetap berkuliah tapi dengan nama yang baru.[52]***

Penulis adalah Alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah, UGM

——–
[1] Yen-ling Tsai and Douglas Kammen, “Anti-communist Violence and the Ethnic Chinese in Medan, North Sumatra” dalam Douglas Kammen and Katharine McGregor (editor), The Countours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. (Singapore: NUS Press, 2012), hlm. 138.
[2] Ibid.
[3] Jess Melvin, Why Not Genocide? Anti-Chinese Violence in Aceh, 1965-1966Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, hlm. 74.
[4] Yen-ling Tsai dan Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 138.
[5] Ibid., hlm. 138-139.
[6] Ibid., hlm. 141.
[7] Ibid.
[8] Sinar Harapan, 8 November 1965, Demonstrasi Rakjat Medan, Peringatan Bagi Semua Negara Asing.
[9] Yen-ling Tsai dan Douglas Kammen, Op.cit., hlm. 141.
[10] Ibid., hlm. 142.
[11] Oei Tjoe Tat, Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno, ed. Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo. (Jakarta: Hasta Mitra, 1995), hlm. 73-85.
[12] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, mantan anggota Lekra Medan, 27 April 2015.
[13] Keanggotaan PPI Medan didominasi oleh orang Tionghoa. Satu nama anggota PPI yang non-Tionghoa yang sangat melekat di benak Astaman Hasibuan adalah Ten Sembiring. Ten bekerja sebagai guru di sekolah Andalas, salah satu sekolah yang berada di naungan Yayasan Baperki Medan. Ten yang orang Karo mengajar bahasa Mandarin di sekolah tersebut. Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.
[14] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.
[15] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.
[16] Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Bersama LEKRA dan ansambel; Melacak panggung musik Indonesia, dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (penyunting), Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965.(Denpasar: Pustaka Larasan-KITLV-Jakarta, 2011), hlm. 482.
[17] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, pengacara dan mantan anggota Baperki Medan, 16 Mei 2015.
[18] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015; Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.
[19] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.
[20] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.
[21] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.
[22] Wawancara Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.
[23] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.
[24] Tjan, Siauw Giok, Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (Jakarta-Amsterdam: Yayasan Teratai, 1981), hlm. 257-258.
[25] Tsai, Yen Ling and Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 133-134.
[26] Ibid., hlm. 135-136.
[27] Ibid., hlm. 140-141.
[28] Charles A. Coppel, Op. cit., hlm. 128.
[29] Ibid., hlm. 125.
[30] Wawancara dengan Sjariar Sandan, 16 Mei 2015.
[31] Tsai, Yen Ling and Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 142.
[32] Charles A. Coppel, Op. cit., hlm. 125.
[33] Ibid.
[34] Robert Cribb & Charles A. Coppel (2009), A genocide that never was: explaining the myth of anti-Chinese massacres in Indonesia, 1965-66, Journal of Genocide Research, 11:4, 447-465. http://www.tandfonline.com/loi/cjgr20 , diakses 11 Desember 2016), hlm. 450.
[35] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.
[36] Tsai, Yen Ling and Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 148-149.
[37] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.
[38] Oei Tjoe Tat, Op. cit., hlm. 183-190.
[39] Kurniawan, et al.Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965. (Jakarta: Tempo Publishing, 2013), hlm. 101-103.
[40] Tsai, Yen Ling and Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 150-153.
[41] Bendera Revolusi pada awalnya bernama Harian Patriot. Setelah Imran Zounty memimpin koran tersebut berganti nama menjadi Bendera Revolusi pada 31 Mei 1959. Harian Harapan terbit sejak 1 Juni 1959. Chang His Shek adalah pimpinannya dan pemimpin redaksinya Tan Fhu Kiong. Gotong Royong terbit pada 4 Oktober 1961, dipimpin oleh Suhaimi dan Umar Baki. Sementara Obor Revolusi dipimpin oleh Rumiati, kader Gerwani Sumatera Utara. Muhammad TWH, Perlawanan Pers Sumatera Utara terhadap Gerakan PKI. (Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 1996), hlm. 192-193.
[42] Ibid., hlm. 209.
[43] Ibid., hlm. 193.
[44] Ibid., hlm. 195-196. Pengurus BPS Sumatera Utara ditentukan sebagai berikut. Ketua: Tribuana Said (Waspada); Wakil Ketua: Ismail A.U. (Pembangunan, kemudian membelot); Sekretaris: Arshad Yahya (Waspada Teruna); Bendahara: Arif Lubis (Mimbar Umum); Biro Ideologi/indoktrinasi/pendidikan: Tribuana Said; Biro luar negeri: Soffyan (Antara); Biro dalam negeri: Yohannis Isya (Mingguan Film); Biro Research, bimbingan, pendidikan: Amir Hasan Lubis (Mimbar Teruna); Biro keuangan: Arif Lubis; dan Biro penyiaran/humas/rekreasi/olahraga: Haris Muda Nasution (Suluh Massa). Ibid., hlm. 201.
[45] Ibid., hlm. 209-210.
[46] David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 1.
[47] David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 33-34.
[48] Muhammad TWH, Op. cit., hlm. 141-142.
[49] Wawancara dengan dr. Alfred, mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara saat peristiwa 1965 terjadi, 6 Mei 2017.
[50] Jumlah ini di dapat dari menghitung nama-nama yang menggunakan nama Tionghoa, misalnya Vincent Gan Ho San. Tidak menutup kemungkinan jumlah yang disebutkan di sini bertambah karena orang Tionghoa yang tidak lagi menggunakan nama Tionghoa.
[51] Buku Peringatan 25 Tahun Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. (t.t), hlm. 295-328.
[52] Wawancara dengan dr. Alfred, 6 Mei 2017.

Sumber: IndoProgress 

0 komentar:

Posting Komentar