Sabtu, 30 September 2017

Review 'Pengkhianatan G30S/PKI' dari Orang Yang Belum Pernah Nonton Filmnya Seumur Hidup


Seriusan, aku baru 21 tahun. Selama sekolah ataupun di rumah, enggak pernah ada yang nyuruh aku nonton. Pas kemarin Presiden Jokowi bilang perlu dibuat versi millenial-nya, jadi penasaran dong.



Pihak militer Indonesia mengatakan akan menggelar nobar film itu untuk mengingatkan penduduk Indonesia pada sejarah bangsa "yang benar." "Kita harus kembali meluruskan sejarah bangsa," kata panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada seperti dikutip Jakarta Globe.

Keriuhan tentang nobar Pengkhiatan G30S/PKI menarik perhatian Presiden Jokowi. Dalam satu kesempatan, Jokowi menganjurkan film keluaran 1984 ini, yang wajib diputar setiap 30 September selama Suharto berkuasa, segera dibikin ulang agar bisa dinikmati generasi milenial. Usulan Jokowi ini memicu perdebatan panas tentang apa fungsi film propaganda ini.
D.N. Aidit memimpin rapat persiapan kudeta dalam film itu.
Film yang disutradarai oleh mendiang Arifin C. Noer itu tak pernah dirancang sebagai film hiburan, seperti dijelaskan Rektor Institut Kesenian Jakarta, Seno Gumira Ajidarmama.
"Pengkhianatan G30S/PKI menarik untuk dipelajari sebagai kasus saja, bukan untuk dinikmati, apalagi untuk mencari fakta sejarah," ungkap Seno seperti yang dikutip kantor berita Antara.
G30S/PKI dikenang sebagai film yang menggambarkan secara brutal kudeta gagal yang digalang Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965. Salah satu bagian yang paling membekas dari film itu adalah adegan penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Anggota PKI, baik laki-laki atau perempuan, yang haus darah digambarkan menyiksa para korban dengan sadis sebelum memberondong mereka dengan peluru dan melemparkan jasad para jendral itu ke dalam sebuah sumur mati yang pengap dan sempit di dekat bandara Halim Perdanakusuma.
Nyatanya, bagian ini pun terus ramai diperdebatkan. Sejarawan Ben Anderson menulis jenderal-jenderal mati ditembak, sama sekali tak mengalami penyiksaan. Keterangan ini ditemukan dari sebuah fotokopi laporan otopsi resmi atas mayat para jenderal angkatan darat yang tewas di Lubang Buaya. Cerita tentang penyiksaan kejam yang dialami para jendral yang diedarkan oleh koran milik angkatan bersenjata akhirnya berfungsi sebagai senjata psikologis yang manjur untuk menakuti penduduk Indonesia. Sejarawan John Rossa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal menulis sekitar setengah juta orang jadi korban operasi penumpasan PKI yang berlangsung tak lama setelah upaya kudeta terjadi.

Namun, pihak militer dan anggota keluarga Suharto, keukeuh mengklaim sejarah dalam film GS30/PKI sudah sesuai. Tak ayal, belakangan ini ketertarikan menonton, atau bahkan menggelar nobar, film tersebut melonjak akhir-akhir ini.
Lalu, kenapa sih film ini begitu ramai diperbincangkan? Jujur saja, saya enggaktahu. Film ini pernah jadi tontonan wajib anak yang duduk di bangku sekolah selama Orde Baru. Setiap malam 30 September, film tak akan absen dari layar kaca. Semua orang sepertinya sudah pernah menonton film ini. Kecuali saya.
Beneran. Saya lahir tahun 1996. Sekarang saya berumur 21 dan sampai saat ini, saya belum pernah nonton film kontroversial itu barang sekalipun. Kamu pasti penasaran, kok bisa-bisanya saya melewatkan film 'kolosal' yang wajib ditonton sebagai propaganda Suharto ini?
Adegan pasukan Tjakrabirawa menggiring pengawal para jenderal
Begini ceritanya.
Ketika saya duduk di kelas 4 SD, orang tua saya memindahkan saya dari sekolah Islam Negeri ke sebuah sekolah swasta umum yang pengantarnya berbahasa Inggris. Sekolah baru saya ini tak pernah mewajibkan siswanya nonton GS30/PKI. Di kelas, tak pernah ada diskusi tentang kudeta PKI. Walhasil, sampai pekan lalu, pengetahuan saya tentang film terlaris sepanjang pemerintahan Suharto nihil. Lalu, saat film ini ramai diberitakan, saya mulai bertanya-tanya apa sih yang sebenarnya sudah saya lewatkan.
Kayaknya sih banyak. Sepulang dari luar negeri, saya berusaha mengatasi ketertinggalan. Saya sempat masuk sekolah swasta dan tinggal di luar Indonesia selama beberapa tahun. Akhirnya, untuk pertama kalinya, saya duduk dan menghabiskan lebih dari tiga jam untuk menonton GS30/PKI.
Adalah penulis Leila Chudori yang pertama memperkenalkan saya dengan warisan Orde Baru yang satu ini. Waktu itu, Leila berada di sebuah museum di Seattle untuk membahas novelnya, Pulang, yang berkisah tentang para eksil yang tak bisa kembali pulang selepas insiden 30 September 1965.
Saya kemudian bertanya pada ibu tentang film ini. Ibu saya, yang lahir pada 1965, cuma bilang nonton film ini di TV pada masa orde baru. Lewat sebuah pesan whatsapp, saya bilang pada ibu kalau saya bakal nonton film ini. Pesan saya di-read doang. Ibu tak membalasnya.
Saya sangat optimistis bisa melewati film panjang ini. hampir tiap hari, saya terjebak dalam kemacetan jahanam Jakarta, jadi, pikir saya, apa susahnya menghabiskan 3 jam setengah untuk menonton sebuah film?
Tone film ini yang gelap dan bikin merinding sudah digeber dari adegan pertama. Massa PKI di Kanigaro menyerang sebuah masjid ketika jemaah di dalamnya sedang menunaikan salat subuh. Anggota partai terlarang ini digambarkan menyerang mereka yang sedang salat, membunuh sang Imam dan merobek-robek Quran dengan celurit. adegan segamblang ini jelas bikin saya lekas sadar kenapa orang punya fobia yang begitu mengakar terhadap PKI. PKI, dalam film ini, digambarkan sebagai sebuah partai ganas yang menentang kapitalisme, pemerintah yang sah dan, ini yang paling sering disalahpahami, agama. Dengan penggambaran seperti ini, mudah memahami mengapa fobia terhadap PKI terus subur di Indonesia.
Putri D.I. Panjaitan digambarkan membasuh wajah dengan darah ayahnya. Adegan paling epic di filmnya mendiang Arifin C. Noer.
Hal kedua yang menarik perhatian saya dari film ini adalah nilai estetikanya. desain set film ini memukau. Scoring yang bikin bulu kuduk merinding di sepanjang film membuat G30S/PKI layak digolongkan sebagai film horor. Belum lagi pemilihan busana. siapa pun yang bertanggung jawab atas fesyen di film ini punya mata dan selera yang adiluhung. meski digarap lebih dari dekade lalu, saya masih mengagumi pemilihan kemeja turtleneck yang dipakai oleh salah satu anggota Biro Chusus PKI.
Dari menit pertama, saya sadar betul bila saya sedang nonton film propaganda untuk memantik ketakutan akan paham komunisme. tapi, apa boleh buat, saya hanyut dalam dalam film itu. Orkestra yang tak berhenti bermain sepanjang film, teknik zoom-in ke mulut yang tak henti-hentinya menggayang rokok bak kereta api, hingga teknik kamera fly-in-the-wall (menurut saya semua aspek ini berhasil dimaksimalkan dengan baik) membuat saya merasa teriris melihat masing-masing jendral dibunuh atau dijemput paksa dari rumahnya
Sayang, daya magis film ini lenyap dan menguap begitu saja ketika koneksi internet saya putus. "gangguan kecil" ini memberi saya ruang untuk menelaah bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film G30S/PKI. Istri-istri para petinggi Angkatan Darat digambarkan sebagai perempuan yang lemah lembut. Mereka bahkan tetap kalem ketika suami dan anak mereka diculik atau ditembak pasukan Tjakrabirawa.
Dalam hati saya berujar, "Suatu saat aku bakal jadi seperti mereka."
Sementara itu, di kawasan Lubang Buaya, anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dekat PKI, tampak garang, brutal dan berisik. Gampangnya, gambaran perempuan seperti ini menggambarkan betapa kerasnya keinginan sineas film ini untuk merepresentasikan anggota Gerwani sebagai perempuan yang merongrong nilai-nilai keluarga tradisional Indonesia.
Anggota Gerwani memang digambarkan kejam dan haus darah. Namun, justru karakter anak perempuan salah seorang jenderal yang diculiklah yang mencuri perhatian, dalam kasus adegan yang melibatkan darah. Putri Mayjen D.I. Panjaitan berlari menuruni tangga sambil menangis melihat ayahnya tumbang diberondong peluru di garasi rumah. "Bapak! Bapak!" jerit sang putri sambil membasuh wajahnya dengan darah sang ayah yang diseka dari lantai.
Saya terperangah, teringat kalau dulu film ini ditonton oleh anak SD Ingusan. saya lantas bertanya, bagaimana caranya seorang anak SD yang masih polos mencerna adegan se- gory ini?
Lalu, jangan lupakan adegan penyiksaan di Lubang Buaya. Seorang anggota Gerwani menyilet wajah salah satu jenderal. setelah itu, montase adegan penyiksaan dimulai. para jenderal dipukli, ditusuk bayonet, disayat dan disundut rokok. Puncaknya, ketika semua jenderal itu menghembuskan nafas terakhir, jasad mereka dilempar, kepala terlebih dulu, ke dalam sebuah sumur mati.
Seorang kawan pernah bilang bahwa adegan penyiksaan ini adalah bagian dari film Pengkhianatan G30S/PKI yang paling populer di sekolah-sekolah di Indonesia. Para guru, saat menayangkan film ini umumnya mempercepat film sampai tiba di adegan Lubang Buaya, baru film dibiarkan berjalan dengan kecepatan normal.
Saya terus menonton meski, setelah dua jam, konsentrasi saya buyar. Tapi, demi menyelesaikan film ini untuk pertama kali, saya gigih, terus menonton dan berusaha merefleksikan apa yang saya tonton sampai ke bagian plot yang menarik lagi: adegan pasukan militer mengambil jenazah para jenderal. Lagi-lagi, teknik zoom-in kembali muncul. objeknya kali ini adalah jenazah yang diambil dari berbagai sudut. Akibatnya, bekas luka yang membusuk dan lalat yang berterbangan di sekitarnya terlihat jelas.
Yuck!
Suara pembaca berita radio yang menyesakkan menyertai montase upacara penguburan para jenderal yang muncul sesaat sebelum film tamat. G30S/PKI sedikitpun tak menyentuh pembantaian menyusul geger 30 September 1965. film ini malah ditutup dengan monolog tentang gugurnya para jendral.
Jadi, bagaimana pendapat saya tentang film? bagi saya, G30S/PKI adalah film penuh kekerasan yang diselingi adegan zoom-in mulut-mulut yang tak berhenti bicara dan mengeluarkan asap rokok. namun, menonton film ini adalah cara yang lumayan menarik untuk membuang 3 jam setengah dari hidupmu. Saya, dari awal, memang tak pernah mencari akurasi sejarah dalam film. sekali lagi, tujuan saya nonton film ini adalah berusaha memahami ketakutan generasi orang tua saya dan mencicipi apa yang teman-teman saya rasakan ketika harus menonton film ini saban tahun.
Saya adalah salah satu generasi milenial Indonesia, seorang perempuan yang tumbuh dewasa pasca reformasi, di masa ketika The Act of Killing dan The Look of Silence menunjukkan dengan gamblang yang terjadi setelah 30 September 1965. Saya juga mendapat privilese belajar di luar Indonesia dan sedikit banyak belajar tentang komunisme tanpa takut diamuk massa. Intinya, saya cuma mau bilang: saya mungkin bukan audiens ideal film ini. Namun, itu bukan berarti film G30S/PKI tak mengajarkan apa-apa tentang sejarah film dan hal-hal yang masih kita berusaha pahami sampai hari ini.
Berikut hasil penilaian saya
Plot: 7/10 
Desain set: 9/10 
Scoring: 10/10 
Minat nonton lagi: 8/10 (dengan syarat, semua bagian yang membosankan dari film ini di-skip dan ada diskusi sejarah serius setelahnya). 
Perlu dibikin ulang buat millenial: 0/10
Vice 

0 komentar:

Posting Komentar