Selasa, 19 September 2017

Pidato Pelengkap Nawaksara Presiden Sukarno tentang G30S/PKI

19 September 2017 17:24 WIB

Presiden Sukarno (Foto: belajar.kemendikbud.go.id)

Tahun 1965 hingga tahun 1967 mungkin menjadi tahun paling berat bagi Presiden Sukarno sebelum tumbang dari kekuasaan. Sukarno diminta memberikan pertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) terkait G30S/PKI tahun 1965.
Pada tanggal 22 Juni 1966, Sukarno memberikan pertanggungjawaban rutin pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut bernama Nawaksara, karena terdapat sembilan hal yang dibahas.
Isinya, mulai dari retrospeksi diri Sukarno sebagai pimpinan pemimpin besar revolusi, mandataris MPRS, dan presiden seumur hidup, hingga permasalahan pembangunan, hubungan politik dan ekonomi, dan pelaksanaan UUD 1945.
Namun, pidato tersebut ditolak oleh MPRS karena dinilai tidak bisa memberikan pertanggungjawaban secara politis terhadap kehidupan bangsa Indonesia saat itu. Dalam pidato tersebut tidak dijelaskan secara terperinci kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan G30S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak.
MPRS yang diketuai AH Nasution akhirnya mengeluarkan nota Pimpinan MPRS No Nota 2/Pimp. MPRS 1966 perihal melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai Keputusan MPRS No 5/MPRS 1966.
Partai Komunis Indonesia (PKI) (Foto: Wikipedia)
Pada tanggal 10 Januari 1967, Sukarno akhirnya melengkapi laporan pertanggungjawaban dalam pidato Nawaksara. Dalam pidato pelengkap Nawaksara ini, Sukarno sempat mengkritik MPRS yang meminta keterangan lebih lanjut dari seorang mandataris MPRS, yakni seorang presiden.
"Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum Sidang Umum ke IV, tidak ada ketentuan bahwa mandataris harus memberikan pertanggunganjawaban atas hal-hal yang cabang. Pidato saya yang saya namakan 'Nawaksara' adalah atas kesadaran dan tanggung jawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai macam 'progress-reports sukarela' tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu," ujar Soekarno, dikutip kumparan dari pidato Pelengkap Nawaksara, Selasa (19/9).
Demi memenuhi permintaan anggota MPRS mengenai G30S/PKI, Sukarno kembali menegaskan bahwa dirinya mengutuk G30S/PKI atau Sukarno menyebutnya dengan istilah Gestok (Gerakan Satu Oktober). Hal ini ia tegaskan setelah dirinya mengutuk G30S/PKI pada saat berpidato pada tanggal 17 Agustus 1966 dan dalam pidato 5 Oktober 1966.
Dalam forum tersebut, Sukarno juga menceritakan bahwa Jenderal Soeharto yang mengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) juga meyakini bahwa Sukarno memang benar-benar mengutuk G30S/PKI. Berdasarkan cerita Sukarno, Soeharto menyampaikan hal tersebut kepada dirinya pada malam peringatan Isra' Mi'raj di Istana Negara.
"Setelah saja mencoba memahami pidato Bapak Presiden (Sukarno) pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966, dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya (Soeharto) sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi oleh PKI berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah Gestok," ujar Sukarno ketika membacakan pernyataan Soeharto.
Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Sukarno, munculnya G30S/PKI disebabkan oleh tiga hal. Yakni, keblingeran pimpinan PKI, subversi nekolim atau unsur asing, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.
Munculnya G30S/PKI disebabkan oleh tiga hal. Yakni, keblingeran pimpinan PKI, subversi nekolim atau unsur asing, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.
- Presiden Sukarno
Sukarno juga mempertanyakan kenapa hanya dirinya yang diminta memberikan pertanggungjawaban terkait G30S/PKI. Padahal menurutnya, selama ini tidak pihak yang bertanggung jawab atas rencana pembunuhan dirinya selama ini.
"Kalau saya disuruh bertanggung jawab atas terjadinya G30S/PKI, maka saja menanya siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas usaha pembunuhan kepada Presiden/Pangti dalam tujuh peristiwa selama ini?" tanya Sukarno kepada anggota MPRS.
"Kalau bicara tentang kebenaran dan keadilan, maka saya pun minta kebenaran dan keadilan," imbuh Sukarno.
Pidato pelengkap Nawaksara ternyata masing menggantung bagi anggota MPRS yang pada saat itu telah diisi oleh pihak militer Angkatan Darat (AD) yang kontra terhadap Sukarno. AH Nasution menyatakan bahwa melalui pidato pelengkap tersebut, Sukarno masih terlihat meragukan keharusan untuk memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS.
"MPRS sependapat dengan penolakan-penolakan itu, sebagaimana yang kami simpulkan dalam rapat pula 10 Januari 1967," tegas Nasution.
Dengan adanya penolakan Pidato Nawaksara dan pelengkapnya, gagal sudah Sukarno mempertahankan dirinya sebagai Presiden RI. Pada tanggal 20 Februari 1967 diumumkan Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS tentang penyerahan kekuasaan kepada Pengemban Ketetapan MPRS IX/MPRS/1966 yang dulu sebelum di kukuhkan masih berbentuk Surat Perintah Supersemar kepada Jenderal Soeharto.
Berikut naskah pidato Pelengkap Nawaksara:
Jakarta, 10 Januari 1967
Kepada Yth.
Pimpinan MPRS
di Jakarta
Saudara-saudara,
Menjawab nota Pimpinan MPRS. No Nota 2/Pimp MPRS 1966 perihal melengkapi laporan pertanggungan-jawab sesuai Keputusan MPRS No 5/MPRS 1966, maka dengan ini saja nyatakan:
I) Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan M.P.R.S. sebelum Sidang Umum ke IV, tidak ada ketentuan bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan-jawab atas hal-hal jang cabang. Pidato saya jang saya namakan “Nawaksara” adalah atas kesadaran dan tanggung jawab saja sendiri, dan saja maksudkannya sebagai macam “progress-reports sukarela” tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saja terima terdahulu.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan bahwa MPRS menentukan garis-garis besar haluan negara, dan tentang pelaksanaan garis-garis besar haluan negara inilah mandataris harus mempertanggungjawabkan (Lihatlah UUD pasal 3). Juga dalam penjelasan daripada pasal 3 UUD ini nyata benar, bahwa Mandataris harus mempertanggungjawabkan tentang pelaksanaan keputusan M.P.R.S. mengenai garis-garis besar haluan negara itu, dan tidak tentang hal-hal lain.
Namun, “for the sake of state-speech-making”, maka atas kehendak saja sendiri syja mengucapkan “Nawaksara” itu.
II) Sebagai pemenuhan daripada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hubungan fungsionil antara Presiden/Mandataris M.P.R.S., maka –setelah berkonsultasi dengan Presidium Kabinet Ampera, khususnya dengan pengemban SP 11 Maret 1966, dan para Panglima Angkatan Bersenjaata beberapa kali- dengan ini saja menjampaikan penjelasan-penjelasan sebagai pelengkapan Nawaksara sebagai berikut :
Pertama-tama saja mengajak Saudara dan segenap Rakyat Indonesia untuk menyadari bahwa situasi politik di tanah air kita adalah gawat, sehingga kita bersama harus berusaha sekuat tenaga untuk meniadakan situasi konflik, demi untuk menyelamatkan Revolusi kita.
Untuk itu, maka perlu kita kembali kepada prinsip perjuangan yang berulang-ulang saja tandaskan, yaitu : pemupukan persatuan dan kesatuan di antara segenap kekuatan progresif revolusioner di kalangan Rakyat Indonesia, serta menekankan kepada kewaspadaan istimewa terhadap bahaya kekuatan-kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri dan bahaja kekuatan subversif kontrarevolusioner dari luar negeri.
Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G.30.S, maka saya nyatakan :
A. G.30.S adalah satu “complete overrompeling” bagi saya.
B. Saya, dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutuk Gestok. 17 Agustus 1966 saja berkata : “Sudah terang, Gestok kita kutuk. Dan saja, saja mengutuknya pula”.Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa “Yang bersalah harus dihukum. Untuk itu kubangun MAHMILUB”.
C. Saya telah memberi autorisasi kepada pidato Pengemban SP 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara yang lalu, jang antara lain berbunji :
“Setelah saja mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966, dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan-30-September yang didalangi oleh PKI berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah Gestok.”
Autorisasi ini saja berikan kepada Jenderal Soeharto, pagi sebelum ia mengucapkan pidato itu pada malam harinya di Istana Negara. Saya memang selalu memakai kata Gestok. Pembunuhan kepada jenderal-denderal dan ajudan-ajudan, terjadi pada 1 Oktober pagi-pagi sekali. Saja menyebutkannya “Gerakan Satu Oktober”, singkatannya Gestok.
PKI sendiri menjebutkannya (demikian ternyata dari penyelidikan) : Gerakan Tiga Puluh September. Kalau kita singkatkan kata-kata ini, maka seharusnja mendjadi “Getipus”, tidak “Gestapu”.
D. Penyelidikanku yang seksama menunjukkan, bahwa peristiwa G.30.S itu ditimbulkan oleh “pertemuannya” tiga sebab, yaitu : a. keblingeran pimpinan PKI; b. kelihaian subversi Nekolim; c. memang adanya oknum-oknum yang tidak benar.
E. Kenapa saya saja yang diminta pertanggungan-jawab atas terjadinja G.30.S atau yang saja namakan Gestok itu? Tidakkah misalnya Menteri Hankam (waktu itu) djuga bertanggung-jawab? Sehubungan dengan ini, saja mau menanya:
Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh Presiden/Pangti dengan penggranatan hebat di Cikini?
Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh saya dalam “Peristiwa Idhul Adha”?
Siapa yang bertanggung jawab atas pemberondongan dari pesawat udara kepada saya oleh Maukar?
Siapa yang bertanggung jawab atas penggranatan kepada saja di Makassar?
Siapa jang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saja di Selatan di dekat gedung Stanvac?
Siapa jang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di Selatan Cisalak?
Syukur Alhamdulillah, saya dalam semua peristiwa ini dilindungi oleh Tuhan. Kalau tidak, tentu saja sudah mati terbunuh. Dan mungkin akan Saudara namakan suatu “tragedi nasional” pula.
Tetapi sekali lagi saja menanya : kalau saja disuruh bertanggung jawab atas terjadinya G30S/PKI, maka saja menanya: siapa yang harus dimintai pertanggungan jawab atas usaha pembunuhan kepada Presiden/Pangti dalam tudjuh peristiwa jang saja sebutkan di atas itu?
Kalau bicara tentang “Kebenaran dan Keadilan”, maka saja pun minta “Kebenaran dan Keadilan”.
F. Adilkah saja sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan di bidang ekonomi? Marilah kita sadari, bahwa keadaan ekonomi suatu bangsa atau negara, bukanlah disebabkan oleh satu orang saja, tetapi adalah satu resultante daripada proses faktor-faktor objektif dan tindakan-tindakan daripada keseluruhan aparatur pemerintahan dan masyarakat.
Satu contoh pertanyaan : Siapakah yang bertanggung jawab atas terus menanjaknya harga-harga dewasa ini, dan macetnya banyak perusahaan-perusahaan swasta?
Sebagaimana telah saja dikemukakan dalam salah satu pidato saja, maka saja mengkonstantir bahwa dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti DI/TII/OKI-Madiun, Andi Azis, RMS, PRRI/Permesta (duga di sini saja menanya : siapa tang bertanggung jawab?), -maka kita tidak boleh tidak tentu mengalami di segala bidang. Dengan sendirinya kemunduran itu menyangkut pula pada bidang ekonomi.
G. Tentang “kemerosotan akhlak”? di sini djuga saya sendiri saja jang harus bertanggung jawab?
Mengenai soal akhlak, perlu dimaklumi bahwa keadaan akhlak pada suatu waktu adalah hasil perkembangan daripada proses kesadaran dan laku-tindak masyarakat dalam keseluruhannya jang tidak mungkin disebabkan oleh satu orang saja.
Satu contoh pertanyaan misalnya : Siapakah yang bertanggung jawab bahwa sekarang ini puluhan pemudi sekolah menengah dan Mahasiswa-wanita, hamil di luar pernikahan?
H. Dus :
Dengan menyadari adanya faktor-faktor jang kompleks, yang menjadi sebab-musabab dari terjadinya peristiwa-peristiwa sebagai termaktub di atas, demikian pula mengingat kompleksitas dari pengaruh-pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut kepada segala bidang, maka tidak adillah kiranya hal-hal itu ditekankan pertanggungan jawabnya kepada satu orang saja.
I. Demikianlah jawaban saja atas surat Saudara-saudara tertanggal 22 Oktober itu. Hendaknya dawaban saja ini Saudara anggap sebagai pelengkapan Nawaksara yang Saudara minta, sebagai pelaksanaan daripada Keputusan MPRS No 5/MPRS/1966.

Sumber: Kumparan 

0 komentar:

Posting Komentar