Jumat, 29 September 2017

G30S dalam Pers Belanda

Joss Wibisono | 29 Sep 2017, 08:59

Bagaimana pers Belanda memandang peristiwa berdarah G30S 1965?


Pemberitaan peristiwa 1965 di media massa Belanda.
LIMA puluh tahun G30S menjadi pemberitaan media Belanda, negeri bekas penjajah. Bukan cuma media cetak, tapi juga media elektronik dan media daring.
Harian sore terbitan Amsterdam, NRC Handelsblad, 1 Oktober 2015, menguraikan perbedaan pandangan antara khalayak umum dan kalangan yang disebut “jonge intellectuelen” alias cendekiawan muda. Dalam berita itu, cendekiawan muda diwakili novelis Laksmi Pamuntjak dan Eka Kurniawan serta peneliti Andreas Harsono.
Bagi Laksmi, film indoktrinasi Orde Baru Pengkhianatan G30S/PKI  mengajarkan bahwa PKI batil dan ateis sehingga harus dibasmi. Inilah yang menjengkelkannya. Maka, Laksmi menulis novel Ambayang mengisahkan para tahanan politik 1965. Diterjemahkan sebagai Amba of de kleur van rood, novel ini bisa dinikmati publik pembaca Belanda.
Laksmi tak sendirian. Eka Kurniawan, dengan roman Cantik Itu Luka yang juga terbit dalam bahasa Inggris, tak segan-segan menyentuh pembantaian 1965. Dalam bukunya, tulisHandelsbald, Eka menggambarkan mayat-mayat berserakan di mana-mana: di jalan, di sungai, di atas jembatan, bahkan di semak-semak. Mereka dibunuh tatkala berupaya melarikan diri, tulis Eka –sesuatu yang, menurut NRC Handelsblad, berlawanan dari pesan film propaganda Orde Baru.
Namun, masalah 1965 tetap saja tak dibicarakan secara terbuka oleh khalayak ramai Indonesia. Menurut Andreas Harsono, peneliti pada organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch, banyak orang terlibat. 
“Politisi pada tingkat tertinggi, gubernur, bupati, kepala desa. Masih banyak orang berkuasa yang terlibat secara pribadi, sehingga mereka tak berminat berbicara tentang hal ini.”
Bukan hanya tentara dan preman, demikian NRC Handelsblad, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi muslim terbesar di Indonesia, juga terlibat. Para pemimpin agama melihat perburuan kaum komunis sebagai semacam perang sahid. Namun kenyataan ini ingin dilupakan banyak orang Indonesia.
Sementara koran pagi de Volkskrant, 30 September 2015, menampilkan wawancara dengan dokter Ribka Tjiptaning Proletariyati, yang selalu membanggakan diri sebagai anak PKI. Berita ini bernada suram. Kendati Tjiptaning bisa menjadi anggota DPR, nasib orang komunis dan korban 65 lainnya tidaklah membaik. Mereka tetap dianggap ancaman.

Penelitian Kritis
Pada edisi akhir pekan, 26-27 September 2015, rubrik ilmu pengetahuan harian NRC Handelsbladmenurunkan laporan panjang dengan judul “Bloedbad dat de wereld niet kon schelen”, “Banjir darah yang tak dipedulikan dunia”. Laporan ini mengulas pelbagai teori seputar G30S dari sejarawan Robert Cribb, Gerry van Klinken, dan John Roosa.
NRC Handelsblad menulis, pembunuhan massal kaum komunis Indonesia tak pernah diakui dunia internasional sebagai genosida. PBB hanya mengakui genosida jika terjadi kekerasan sistematis terhadap “kelompok-kelompok nasional, etnis, rasial dan penganu agama tertentu.” Sementara para sejarawan itu berpandangan sebaliknya. Mereka berseru bahwa ada upaya-upaya sengaja untuk membasmi kelompok politik tertentu.
“Roosa, Cribb, dan van Klinken adalah ilmuwan luar negeri yang melakukan penelitian kritis terhadap episode berdarah ini. Sebagian besar ilmuwan Indonesia tetap berpegang teguh pada pendirian yang pernah dikemukakan sejarawan senior Taufik Abdullah. Banjir darah itu adalah ‘konflik horisontal’, amukan spontan massa terhadap kalangan komunis yang memang dibenci,” tulis NRC Handelsblad.
Lembaga penyiaran KRO-NRCV tak mau ketinggalan. Melalui kanal dua (NPO2), gabungan organisasi penyiaran Katolik dan Kristen-Protestan ini menurunkan laporan khusus pada 1 Oktober 2015. Ia menayangkan dokumenter sepanjang 50 menit berisi masa lampau maupun masa kini.
Sebagai organisasi penyiaran agama, mereka tertarik pada Pater Joop Beek, rohaniwan Katolik yang memegang peran besar pada awal Orde Baru. Waktu itu wartawan KRO, Aad van den Heuvel, datang ke Jakarta untuk melaporkan situasi di Indonesia. Ketika berangkat, dia mengantongi nama Joop Beek. Melalui Beek pulalah dia bisa mewawancarai banyak orang, termasuk Soeharto dan Presiden Sukarno.
Suatu sore, van den Heuvel bertanya benarkah Soeharto akan berpidato pada malam harinya. Beek membenarkan. Ketika ditanya apa isi pidatonya, Beek menjawab belum tahu karena pidato itu masih harus ditulisnya. Semula jawaban ini dikira gurauan belaka. Tapi ketika mendapati Soeharto benar-benar membacakan pidato yang ditulis Beek, van den Heuvel segera sadar betapa besar pengaruh Beek. Daftar pertanyaan untuk Soeharto diserahkannya kepada Beek, dan dalam wawancara Soeharto membacakan jawaban yang ditulis Beek.
Dokumenter itu merinci apa saja peran Beek. Beek menggalang demonstrasi mahasiswa menuntut pengunduran diri Sukarno. Ketika Sukarno tumbang dan Orde Baru tegak, Joop Beeklah yang memikirkan pembentukan Golongan Karya. Setelah menyusun struktur partai, ditemuinya Harry Tjan Silalahi agar mendekati Soeharto. Lahirlah Golkar, anak rohani Joop Beek.
Tak semua rohaniwan Ordo Jesuit setuju dengan langkah Beek. Salah satunya Adolf Heuken, seorang pastur asal Jerman yang juga bertugas di Jakarta. Baginya, Beek sudah terlalu dekat dengan kekuasaan; yang berdarah-darah pula! Menurut peraturan gereja Katolik, seorang pastur tak boleh berpolitik praktis. Maka, Adolf Heuken menghubungi Uskup Agung Jakarta. Ketika Beek tak mempedulikan atasannya, Heuken menulis surat ke pembesar Jesuit di Roma. Pembesar Jesuit turun tangan. Joop Beek pindah rumah dan menjauhkan diri dari orang kuat Orde Baru.

Genosida
Organisasi penyiaran lainnya, VPRO, menyiarkan film dokumenter karya Joshua Oppenheimer selama dua malam berturut-turut, 30 September dan 1 Oktober 2015: The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap). Menjelang siaran, VPRO mewawancarai Saskia Wieringa, gurubesar antropologi Universiteit van Amsterdam yang meneliti pemusnahan Gerwani, organisasi perempuan onderbouw PKI. Wieringa juga memimpin IPT65, singkatan dariInternational People’s Tribunal, yang November 2015 di Den Haag akan mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan Indonesia itu.
Sementara Radio 1, pada pembukaan siaran pagi 1 Oktober, mewawancarai Martijn Eickhoff, peneliti Belanda, tentang 50 tahun G30S. Eickhoff menjelaskan kenapa Indonesia tak beranjak dari versi Orde Baru. Dia kemudian membeberkan seminar yang pada hari itu diselenggarakan di Amsterdam. Seminar ini antara lain bertujuan menempatkan pembunuhan massal di Indonesia dalam kerangka genosida.
Tak pelak lagi, pers Belanda (dan juga pers internasional lainnya) punya sudut pandang lain mengenai banjir darah 50 tahun lalu. Mereka memandang pembunuhan anggota PKI dan orang-orang yang diduga simpatisannya merupakan pelanggaran berat hak-hak asasi manusia, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar