Rabu, 20 September 2017

Demonisasi Komunisme di Indonesia


September 20, 2017 - [ Barra ]
  • 52 Tahun yang Lalu, Indonesia Barbar Dirintis Orba

Partai Komunis Indonesia, partai yang besar jasanya bagi kemerdekaan Indonesia sekaligus paling diperlakukan jahat oleh orde baru. Satu-satunya partai yang menggunakan “Indonesia” menjadi nama resmi partai politik jauh sebelum nama Indonesia digunakan menjadi nama bangsa ini; 25 tahun sebelum Indonesia merdeka, tepatnya, sejak tanggal 23 Mei 1920, ketika PKI dibentuk.

30 September 1965, pembunuhan massal menjadi kunci bagi dibukanya gerbang penindasan berikut investasi, konon, pembunuhan massal anggota/simpatisan komunis Indonesia digadang-gadang sebagai pembantaian terkeji dalam sejarah dunia, korbannya melebihi korban perang di Vietnam Selatan.

Siapa yang membunuh? Orde baru (Soeharto dan seluruh anteknya—tentara, golkar, organisasi dan gerakan mahasiswa tahun 66, ormas keagamaan, dll), meski turut menumpas jutaan orang, sampai sekarang tidak ada yang mengaku bertanggung-jawab.

Data korban meninggal adalah 500.000 s/d 3.000.000 jiwa (paling banyak di Jawa, Bali, Sumatera). Kaum komunis Indonesia (dan yang dituduh komunis) dibunuh secara massal dalam periode 1 tahun dengan cara-cara di luar batas kemanusiaan. Tidak hanya orang-orangnya, organisasinya juga dibubarkan. Korban lain, ±300.000 orang harus kerja paksa dalam pengasingan.

Komunisme Dibunuh dan “Dibangkitkan” Orde Baru

Kenapa menuntut pembubaran PKI? Bukankah sudah kalian bubarkan, bahkan orang-orangnya (anggota PKI, simpatisan PKI dan nasionalis kiri loyalis Soekarno) kalian bantai sebanyak 500.000 s/d 3.000.000 manusia? Masih haus darahkah kalian? Luar biasa.

Bagi manusia beradab, rasanya sulit percaya bahwa masih ada manusia Indonesia yang berlaku barbar. Ketika gedung YLBHI dikepung oleh 1000-an massa ormas reaksioner, orang-orang yang terkepung di halaman YLBHI mendengar dan menyaksikan sendiri bagaimana umpatan dan ancaman yang dilontarkan massa kepada peserta seminar;
“Anjing, babi, monyet, taik, muka cacing, bangsat, ganyang PKI, bakar hidup-hidup, gorok lehernya“. (dikutip dari beranda facebook peserta seminar). Beradab kah? Mendekati beradab pun belum.
Membangkitkan PKI sebenarnya adalah sebuah proyek perebutan kekuasaan. Faktanya—agar ada alasan untuk tidak berkembang—komunisme (melalui PKI) itu sendiri ‘dibangkitkan lagi’ oleh orde baru sampai sekarang. Kesalahan lain adalah mengasosiasikan PKI dengan ideologi komunisme. 
Benar bahwa negara komunis runtuh di Soviet yang penyebabnya tidak tunggal (selain ketidakcakapan internal, juga kegagalan menjalankan prinsip ekonomi-politik komunisme dan faktor serangan-serangan yang dilancarkan kapitalisme). Tapi, komunisme di Kuba, Venezuela dan Bolivia sanggup menyelamatkan rakyat dari penindasan kapitalis.

Di Indonesia, tanpa peduli bahwa PKI punya andil besar membangun Indonesia, demonisasi komunisme dibutuhkan orde baru untuk dipaksa hidup dalam ingatan rakyat sebagai sesuatu yang paling buruk, sebagai konotasi segala sesuatu yang paling jahat. Demonisasi dibantu oleh adanya “operasi teoretik” dari filsuf anti-komunis yang bekerja sepanjang paska 65 hingga sekarang (lebih efektif ketika Harto berkuasa).

Operasi pembunuhan massal kaum komunis dan nasionalis kiri berlangsung sangat cepat, bersih dan rapi, dengan mengandalkan provokasi tak berdasar. Hingga, dalam kosakata, rezim pun menabukan seluruh kosakata bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai pilihan kata dalam jargon yang pernah dibuat oleh Partai Komunis Indonesia missal, “rakyat”, “revolusi”, “proletar”, “buruh”.

Saking suksesnya, operasi pembunuhan massal tersebut dijadikan rekomendasi bagi CIA guna menghancurkan kekuatan komunis di Chile tahun 1973, hingga sandi operasi militernya dinamai “The Jakarta Operation”.

Di Indonesia, juga terdapat justifikasi kuktural untuk menguatkan propaganda anti komunisme. Kelompok manifes kebudayaan yang jadi garda depannya. Mereka mendalilkan humanisme untuk melegitimasi pembantaian terhadap kaum komunis. Humanisme universalnya digerakkan dalam rangka nir-humanis. Produksi novel, majalah (Horison), film dan kurikulum sekolah bergerak terorganisir dengan baik disokong oleh logistik besar dari Amerika, tuan budaknya.

Alasan lain mengapa komunisme tak dibunuh agar, kelak jika komunisme sebagai filsafat dan gagasan yang sanggup memerangi kapitalisme dimaknai kembali sebagai pegangan perjuangan rakyat, tentu kepentingan investasi kapitalisme tidak akan stabil, saat itulah hantu komunisme dihidupkan, dilengkapi dengan perangkat jagal dan konstitusinya.

Glorifikasi Pancasila
“Pancasila itu tidak anti kom” (komunis–ed)…. Siapa saja yang mengaku anak Bung Karno, saya tidak mau punya anak yang tidak kiri“, tutur Soekarno dalam pidatonya ketika diundang dalam acara Sekber Golkar.
Harto dan anteknya sangat sukses menjatuhkan kekuasaan Soekarno, dan kekuatan komunis. Dengan segala halnya, demonisasi komunis diawetkan melalui film, diorama museum, monumen peringatan “pancasila sakti”.

Pengetahuan rakyat dimanipulasi melalui alat-alat produksi ideologisnya klas borjuis, di sekolah-sekolah diwajibkan menonton film G/30-S, di tempat ibadah, ceramah hitam mempropagandakan komunisme adalah anti tuhan, di media massa terus diberitakan kejahatan komunis. Dengan begitu, memprovokasi massa untuk membunuh 3.000.000 jiwa seolah berjalan dengan sangat otomatis dan mudah, tidak perlu semua tangan tentara.

Dibantu CIA, Soeharto dan tentara telah menciptakan mesin pembunuh berjumlah jutaan. Itu memudahkan langkah Amerika selanjutnya, Harto sanggup membantuk dirinya sebagai personifikasi pancasila sehingga, segala sesuatu tindakan yang menghujat Harto berarti menghujat pancasila, siapa yang menghina Harto, menghina pancasila, siapa yang mau mengganti Harto, berarti mengganti pancasila, mengkritik Harto, mengkritik pancasila.

Yang diinginkan orba dengan mengkonfrontir antara komunisme versus pancasila agar mendudukkan pancasila sebagai pemenang, sebagai sesuatu yang berkemampuan mistik karena menjaga Indonesia dari hantu komunisme. Mistifikasi pancasila biasanya ditandai dengan mewajibkan upacara bendera dan dijadikan sebagai hari kesaktian pancasila.

Dan itu sukses. Pada kenyatannya, pancasila tidak benar-benar “sakti”, pancasila sekedar dijadikan jargon tunggal bagi ideologi, sebagai alasan untuk mendelegitimasi komunisme, dan mengamankan kekuasaan Harto. Seolah-olah PKI anti pancasila, meski, kalangan komunis juga terlibat dalam perumusan dan pembuatan pancasila.

Memang, pancasila sendiri masih terlalu abstrak untuk bisa menjawab bagaimana kapitalisme (sebagai mode produksi) bisa binasa. Upaya membentengi pancasila dengan mistifikasi “sakti” hanya akan jatuh pada fethisisme, doktrin. Konsekuensi menjadikan pancasila sebagai fethis akan menciptakan manusia barbar jika kelak pancasila dikritik kaidah ilmunya, dikonstruksi filsafatnya, dll.

Padahal seharusnya, ideologi adalah hasil dari upaya pencarian yang sadar atas pertentangan pikiran, bukan dipaksakan untuk dianut, sebagai hasil dari pemenangan propaganda, bukan doktrin yang dipaksa. Ideologi, dalam makna epistemologi adalah sebuah metode berfikir yang harus dicapai dengan ilmu pengetahuan ilmiah (sains).

Kita Adalah Korban Manipulasi Sejarah 65/66

Setelah masa-masa kekacauan yang suram disertai pembantaian, masa dimana informasi serba gelap, diktator Soeharto hanya membolehkan Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata sebagai satu-satunya sumber informasi. Semua media massa yang tidak berafiliasi dengan ABRI dibredel, dilarang terbit. Termasuk lembaga pers mahasiswa.

Narasi tunggal sejarah 65 hanya bersumber dari Pusat Sejarah ABRI yang ditulis Nugroho Notosusanto. Berikutnya, muncullah rencana produksi film G/30S yang dipesan Pusat Sejarah ABRI. Mereka menyetujui rekomendasi Goenawan Muhamad agar Arifin C. Noer menjadi sutradara. Dalam bukunya Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 65, disebut bahwa Arifin juga sukses membuat film Serangan Fajar pada tahun 1981 yang menceritakan kisah kepahlawanan Soeharto dalam perjuangan nasional tahun 1940-an.

Usut punya usut, ternyata selain film Pengkhianatan G/30S dan Serangan Fajar, terdapat proyek film lain yang menceritakan “kehebatan” Soeharto seperti Enam Jam di Jogja, Janur Kuning dan Jakarta 66: Sejarah Perintah 11 Maret. Meski dalam film Serangan Fajar, Arifin C. Noer mengatakan bahwa itu fiksi, segi artistik lebih ditonjolkan daripada akurasi sejarahnya.
“Melalui fiksionalisasi, tokoh-tokoh kunci–terutama Soeharto–sangat menonjol karena karakter mereka ditampilkan melampaui fakta sejarah. Misalnya, peran Soeharto dalam Serangan Fajar digambarkan lebih penting ketimbang peran tokoh-tokoh penting lain seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Sultan Hamengkubuwono IX, bahkan tokoh militer legendaris Jenderal Sudirman” (Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 65). Makin kokohlah pencitraan Soeharto, bukan sebagai jagal, tapi pahlawan.
Bagaimana objektifitas sejarah bisa dilihat jika hanya berangkat dari satu sumber?

Sekarang, 52 tahun berlalu, korban kekerasan 65/66 tidak mendapatkan keadilan, dan terdiskriminasi. Hak mereka masih banyak yang belum dipulihkan. Secara konstitusi, larangan terhadap ajaran komunisme masih melekat dalam produk UU (missal: UU Ormas). Memang rezim jarang memakai aturan tersebut untuk memenjarakan orang namun, eksistensi larangan tersebut sudah merupakan pelanggaran demokrasi, pelanggaran prinsip kemerdekaan berfikir.

Apalagi, di tengah-tengah gempuran lautan sejarah palsu dan bergunung-gunung demagogi yang menyediakan banyak sekali ruang amnesia, pekerjaan merawat ingatan tentang peristiwa anti-kemanusiaan tahun 65/66 menjadi begitu berharga. Atau bahkan bisa jadi hal yang kadarnya bisa dikatakan revolusioner, karena rakyat sudah mulai lupa dan melupakan. Betapapun sulit jalan mengungkap kebenaran, dia harus ditempuh.

Setelah tahun 65/66, Indonesia dibangun di atas jutaan mayat manusia, lalu datanglah malapetaka anti-kemanusiaan: perkosaan massal, peradilan palsu, militerisme, pembungkaman pers, perampasan lahan petani, upah murah, hutang, anti demokrasi, kapitalistik, korupsi-kolusi-nepotisme, liberalisasi sumber daya alam, politik kroni, oportunisme politik dan penghambaan.

Komunisme tidak benar-benar dibunuh oleh orde baru dan penerusnya. Karenanya, kita sekarang semua menjadi korban kekerasan negara 52 tahun silam.

Sebagai generasi yang tidak hidup di jaman itu, hanya akan mendapati manipulasi sejarah, apalagi tidak ada keterbukaan akses ilmiah untuk mengkonfirmasi kebenaran. Bagaimana mungkin kita bisa berlaku adil jika upaya menyodorkan konfirmasi kebenaran terus direpresi selama 52 tahun. Sekali lagi, komunisme, atau apapun itu ideologi, adalah sebuah konsep filsafat yang untuk mencapainya harus melalui sains.

Pekerjaan membongkar sejarah yang jujur harus segera dimulai, sebesar apapun resistensi yang muncul. Dengan memulai, separuh pekerjaan akan selesai. Tinggal meneruskan separuhnya lagi.

0 komentar:

Posting Komentar