Minggu, 28 Oktober 2018

Amir Sjarifoeddin, Tokoh Kongres Pemuda II Yang Diabaikan

28 OKTOBER 2018 | 10:27



Amir Sjarifoeddin, tokoh yang perjuangannya dikubur dalam lubang hitam sejarah karena peristiwa Madiun 1948, adalah pelaku sejarah Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 27-28 Oktober 1928.

Kongres yang melahirkan ikrar “Sumpah Pemuda” ini merupakan tonggak sejarah yang penting bagi kelahiran Indonesia. Sungguh menakjubkan, di masa sebelum ada gadget dan google, anak muda dari berbagai suku, agama, ras dan aliran politik bisa berkumpul bersama, meleburkan ide dan cita-cita, dan berikrar: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: INDONESIA.

Di panggung Kongres sejarah itu, peran Amir bukan di pinggiran, bukan tukang sorak, tetapi sangat strategis: bendahara. Dia duduk sebaris dengan Ketua Kongres, Soegondo Djojopuspito, dan Sekretaris Kongres, Mohammad Yamin.

Malahan, seperti dicatat Hans Van Miert dalam Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia 1918-1930, Amir punya peran sangat penting di Kongres itu. Diceritakan, ketika Yamin membuat konsep resolusi Kongres, yang kelak dinamai Sumpah Pemuda itu, dia terlebih dahulu meminta paraf Ketua Kongres, Soegondo, lalu kepada Amir.

“Soegondo membaca surat itu, memandang ke arah Yamin yang tersenyum manis, membubuhkan parafnya, dan menyodorkan ke Amir Sjarifoeddin. Amir berbuat serupa, dan sesudah dia menyusul para anggota Komite Kongres yang lain,” tulis Van Miert.

Jadi, Amir termasuk tiga orang pertama yang membubuhkan tandatangannya di atas draft resolusi Sumpah Pemuda, bersama Soegondo dan Mohammad Yamin.
Lantas, bagaimana ceritanya Amir bisa mengambi peran besar di Kongres Pemuda?

Amir, yang lahir pada 27 April 1907 di Medan, sempat melanjutkan pendidikan di Leiden, Belanda. Dia sempat terdaftar di sebuah Gymnasium di Leiden. Lalu, pada 1925, dia pindah ke Gymnasium di Haarlem. Di sini dia aktif di perhimpuan siswa Gymanasium Haarlem.

Sayang, di 1927, karena masalah keluarganya di Medan, Amir menghentikan studi dan kembali ke tanah air. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (sekarang Jakarta).

Selama belajar di Jakarta, Amir tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Dia ditampung oleh kawan sekampusnya, Mohammad Yamin. Saat itu, Yamin sendiri sudah aktif di pergerakan pelajar, Jong Sumatranen Bond (JSB), dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).

PPPI ini penting dibahas, karena menjadi tenaga penggerak Kongres Pemuda di tahun 1928. Organisasi pemuda lintas etnik ini terbentuk di akhir 1926. Didirikan oleh mahasiswa dari Sekolah Tinggi Hukum Jakarta dan STOVIA.

PPPI hendak menerobos sekat-sekat etnis, yang kerap memisah-misahkan pergerakan pelajar kala itu. Selain berpandang jauh ke depan, PPPI juga bersifat politis dan budaya. Cita-cita bersanya adalah menyatukan (fusi) semua organisasi pemuda kala itu.

Karena tinggal seasrama dengan aktivis PPPI, juga kampusnya menjadi basis penting organisasi itu, tidak sulit bagi Amir untuk menjadi bagian dalam PPPI.
Disamping di PPPI, Amir juga menjadi pengurus Jong Batak atau Jong Bataks Bond. Organisasi ini berdiri di tahun 1925 (?), setelah kemunduran Jong Sumatranen Bond (JSB), oleh pemuda-pemuda Batak di Batavia.

Dengan perannya di dua organisasi itu, Amir tentu menyumbang banyak keringat dan pikiran demi terlesenggaranya Kongres Pemuda ke-2. Dan karena perannya itu, dia didaulat menjadi Bendahara Kongres mewakili PPPI dan Pemuda Batak.

Usai Kongres, peranan Amir tidak surut. Dia menjadi pemimpin redaksi koran Indonesia Raya, milik PPPI, yang memencar-luaskan gagasan-gagasan Indonesia merdeka.

Tahun 1930-an, Amir makin menceburkan diri dalam pergerakan politik kemerdekaan. Dia menjadi Propagandis partai nasionalis kiri, Partai Indonesia (Partindo). Lalu, di akhir 1930-an, dia menjadi tokoh penting Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).

Dari 1942-1943, Amir memimpin gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang. Tetapi keburu ditangkap Jepang tahun 1943. Tahun1944, dia dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang. Namun, berkat campur tangan Sukarno, eksekusi mati itu tidak dilaksanakan.

Pasca Kemerdekaan, Amir menduduki banyak jabatan politik penting Republik yang diperjuangkannya, dari Menteri Penerangan (1945-1946), Menteri Pertahanan (1945-1948), hingga Perdana Menteri (1947-1948).
Rudi Hartono

Sumber: Berdikari 

0 komentar:

Posting Komentar