Senin, 01 Oktober 2018

Pertanyaan yang Belum Terjawab dalam Peristiwa G30S 1965

Reporter: Ryan Dwiky Anggriawan
Editor: Ninis Chairunnisa
Senin, 1 Oktober 2018 09:52 WIB

Warga nonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di Lapangan Hiraq Lhokseumawe, Aceh (23/9) malam. ANTARA FOTO

TEMPO.CO, Jakarta - Rae Sita Michel, perempuan kelahiran 16 April 1994, mendengar kisah tentang gerakan 30 September 1965 atau G30S 1965 ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Oleh pemerintah kala itu, gerakan itu dilabeli G30S PKI.
"Waktu pelajaran PPKN, G30S itu kaya ada tujuh orang TNI atau ABRI dibunuh sama PKI terus mereka dimasukin ke Lubang Buaya," kata Rae pada sebuah wawancara dengan Tempo Institute pada 2012.
Ia lupa apa alasan ketujuh jenderal itu dibunuh, ia hanya ingat kisah G30S memiliki berbagai macam versi. Versi pertama, peristiwa G30SPKI terjadi karena ada keterlibatan Soekarno pada PKI. 
"Terus ada juga yang bilang kalau itu cuma akal-akalannya presiden Soeharto supaya dapat kuasa gitu," ujarnya.
Rae juga pernah mendengar Soeharto mengeluarkan Undang-Undang untuk siapapun yang pernah terlibat dalam PKI, baik langsung maupun tidak, untuk dilarang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Menurut Rae, ia merasa kasihan pada siapapun yang terdampak dengan kebijakan tersebut. "Kan itu mungkin kaya kesalahan nenek moyang kok kena juga sebagai generasi muda?"

Di akhir wawancara, Rae berpesan pada generasi muda seperti dirinya untuk lebih peka dengan sejarah negara sendiri. Menurut dia, sejarah adalah apa yang membentuk identitas diri dan membentuk bangsa ini. "Kita harus tahu sejarah yang sebenarnya," ujarnya.

Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan sejarah peristiwa G30S 1965 memang masih menyisakan pertanyaan. Setidaknya menurut dia ada dua hal yang belum terjawab secara jelas, yaitu jumlah korban dan siapa yang bertanggungjawab atas peristiwa itu.

Mengenai jumlah korban, kata Asvi, ada banyak versi yang beredar. Angka terendah dari Komisi Pencari Fakta yang pernah dibentuk presiden Soekarno menyebut korbannya mencapai sekitar 78 ribu orang.

"Angka yang paling tinggi sampai 3 juta (jumlah korban) oleh Sarwo Edhi," ujarnya.
Sarwo Edhi Wibowo adalah mantan Komandan Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). RPKAD adalah pasukan yang berperan dalam penumpasan PKI pada 1965. Sedangkan Komnas HAM yang melakukan pencarian fakta pada 2008-2012 menyebut jumlah korban berkisar 500 ribu hingga 3 juta orang.

Seperti jumlah korban, persoalan siapa yang bertanggungjawab pun masih menjadi pertanyaan. Namun menurut Asvi, teka-teki tersebut makin jelas dengan ditemukannya bukti-bukti baru. Ia menyebut salah satunya adalah temuan peneliti Australia Jess Melvin dalam buku The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder.

Melvin menemukan sejumlah dokumen militer yang berisi perintah pemusnahan PKI sampai ke akar-akarnya. Surat pertama muncul dari Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) kepada Komandan Militer Wilayah Aceh Ishak Djuarsa pada pagi hari, 1 Oktober 1965. Dia mengabarkan telah terjadi kudeta di Jakarta di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung.

Surat tersebut kemudian direspon oleh Komandan Mandala I (Panglatu) Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta dengan surat perintah pemusnahan PKI yang berbunyi "Segenap anggota Angkatan Bersenjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk pencianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja."

Menurut Asvi, Melvin beruntung bisa mendapat dokumen tersebut karena ini adalah kali pertama analisa peristiwa 1965 didasarkan pada dokumen militer sendiri.
"Laporan ini sangat rinci menjelaskan secara rinci operasi militer, waktu, kronologi, tempat dan jumlah korban" ujarnya.
Saat ini, sejarah mengenai peristiwa G30S 1965 didasarkan pada versi pemerintah Orde Baru bahwa PKI adalah dalang terjadinya serangkaian pembantaian. Karena itu, kata Asvi, peristiwa itu disebut G30S PKI seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah. 
"Padahal yang benar seharusnya G30S, bahwa dalangnya itu PKI atau yang lainnya itu bisa diperdebatkan," ujarnya
Sumber: Tempo.Co 

0 komentar:

Posting Komentar