Selasa, 02 Oktober 2018

Begini Kisah Sarwo Edhie Wibowo Mertua SBY Saat Detik-Detik 1 Oktober 1965


K. Tatik Wardayati - Selasa, 2 Oktober 2018 | 06:30 WIB


Intisari-Online.com – Ketika membicarakan upaya memberantas Gerakan 30 September, peran Sarwo Edhie Wibowo tidak bisa dikesampingkan.

Secara khusus Majalah HAI pernah menurunkan artikel tentang sosok mertua Susilo Bambang Yudhoyono itu saat menumpas  pemberontakan Gerakan 30 September.

Berikut ini tulisan Detik-detik 1 Oktober 1965 yang ditulis oleh Lili dan dimuat di Majalah HAI  edisi  no. 37/IX Oktober 1985

Kisah-kisah mengenai hari bersejarah, 1 Oktober 1965, sudah banyak dibaca, didengar maupun dilihat orang.

Melalui buku-buku, cerita dari para saksi mata, dan puncaknya — mungkin — melalui film panjang Pengkhianatan G 30 S/PKI.

Tetapi tokoh hidup masih menarik untuk dimintai keterangan.

Kalau sudah begini, akan terfokus kepada figur Sarwo Edhie Wibowo yang ketika meletusnya G 30 S tahun 1965 menjabat sebagai Komandan RPKAD (sekarang Kopasus), sebuah pasukan yang berdiri paling depan dalam menumpas gerombolan komunis itu.

Peristiwa ini memang sudah lama terjadi, tapi Pak Sarwo, begitu panggilan akrabnya, masih ingat adegan peradegan ketika ia masih memimpin pasukan memberantas PKI.

Terutama peristiwa di hari 1 Oktober 1965. Kenangan ini oleh Pak Sarwo diibaratkan sebagai suatu tonggak bersejarah, baik oleh dirinya maupun oleh bangsa dan negara.

Cilllitan

Ketika bergejolak Gerakan 30 September, Pak Sarwo masih berpangkat Kolonel. Pangkat itu menurutnya sebagai jenjang pangkat yang terpendek. Karena setahun kemudian, ia menjadi Brigadir Jendral.

Tengah malam (tanggal 1 Oktober), Sarwo Edhie mendapat perintah untuk menyerbu Halim Perdana Kusuma.

Perintah itu datang dari Pak Harto, dan didapat di kantor KOSTRAD, di mana waktu itu Pak Nasution hadir juga.

Dipilih waktu malam atau tepatnya menjelang dinihari menuju Halim adalah untuk menghindari jatuhnya korban.

Pasukan ke Halim ini dipecahkan menjadi dua poros. Dari arah timur bergerak lima tim RPKAD dengan satu kompi panser.

Sedangkan satu lagi dari arah Cawang bergerak batalyon Raider yang diperkuat 22 buah tank. Kesemuanya ini di bawah komando Sarwo Edhie.

Sampai di daerah Halim, matahari hampir muncul, sehingga pelaksanaan penyerangan menjadi tergesa-gesa. Ada panser yang nyasar masuk ke Halim lebih dulu dan sebagainya.

Salah satu tujuan penyerangan ke Halim ini adalah untuk mencari para jenderal yang diculik.

Namun setelah Halim berhasil diduduki, nasib para jenderal belum diketahui. Ketika itu Pak Sarwo mendapat informasi bahwa Pak Harto diminta menghadap Presiden Sukarno di Bogor.
"Karena tugas ke Halim adalah atas perintah Pak Harto, maka saya pun menyusul beliau ke Bogor. Dalam arti sebelum Pak Harto berjumpa dengan Bung Karno, akan saya laporkan perkembangan Halim kepada beliau. Namun ternyata di Istana Bogor saya tidak berhasil menjumpai Pak Harto, karena beliau belum datang. Saya kembali ke Halim dan kemudian melanjutkan perjalanan ke KOSTRAD. Pada saat itu KOSTRAD sudah kosong dan sudah pindah ke Senayan. Ternyata Pak Harto sudah menuju Bogor melalui darat, sedangkan saya mempergunakan helikopter. Hal ini saya laporkan kepada Pak Nasution dan Pak Sarbini yang berada di KOSTRAD Senayan waktu itu."
Namun akhirnya Sarwo Edhie berhasil juga menjumpai Pak Harto, meski ia harus mencegat rombongan Pak Harto di tengah jalan, ketika Pak Harto pulang dari Bogor, tepatnya di daerah Cililitan Jakarta Timur.

Jasa anggota Polisl

Pak Sarwo menyebutkan, jasa yang amat besar dalam menemukan areal penculikan para jenderal sebenarnya berada dalam diri seorang polisi.
Peristiwa itu terjadi setelah pasukannya berhasil menduduki Halim.
Di rumah Pak Sarwo ada tamu seorang anggota intel Kostrad bernama Sukitman, anggota polisi berstatus 'agen'.

Polisi ini menceritakan bahwa ketika lewat di suatu tempat, dia ditahan oleh gerombolan G 30 S.

Dia dianggap membahayakan. Ketika terjadi tembak menembak antara pasukan Sarwo Edhie dengan anggota raider yang memihak G 30 S, Sukitman pun berusaha meloloskan diri dan berhasil.

Dari Sukitman inilah diketahui bahwa ada seorang pria ditutup matanya, digiring ke samping rumah, dan terdengar rentetan tembakan diiringi sorak sorai.

Tempat terjadinya peristiwa ini di Lubang Buaya, dan diduga bahwa pria itu adalah salah seorang jenderal yang ditangkap gerakan G30S.
Melalui keterangan dan penunjuk polisi ini, berangkatlah pasukan RPKAD menuju Lubang Buaya. Sampai di tujuan, ternyata jejak yang dicari mengabur.

Areal pohon karet itu tanahnya sudah dipasirkan, sehingga sukar dilacak lubang yang diduga sebagai tempat penanaman mayat. Pekerjaan ini dilakukan pula bersama rakyat sekitar Lubang Buaya.

Pencarian berhasil, setelah seorang anggota RPKAD melakukannya dengan bayonet seperti mencari ranjau. Pada bagian tanah dirasakan keempukan, lalu pencarian dilakukan dengan tangan.

Keadaan mencurigakan pada bagian tanah itu semakin dalam, manakala pada lapisan-lapisan penggalian ditemukan tali-tali berwarna kuning dan dedaunan yang masih berwarna hijau.

Pekerjaan yang dimulai dari sore hari itu dihentikan pada malam hari, manakala seorang penduduk yang ikut menggali jatuh pingsan melihat kaki manusia pada galiannya.

Tempat sekitar pun menjadi ramai, segera Sarwo Edhie melaporkan kejadian itu pada Pak Harto.

Keesokan harinya Pak Harto langsung yang memimpin penggalian sumur di Lubang Buaya.

Sedangkan Pak Sarwo minta izin kepada Pak Harto untuk menghadiri sidang Kabinet di Bogor.

Tanggal 5 Oktober bertepatan dengan HUT Angkatan Bersenjata R.I, suatu peringatan sekaligus duka menghantar kepergian pahlawan revolusi ke Kalibata.

0 komentar:

Posting Komentar