Minggu, 28 Oktober 2018

PKI dan HTI


Catatan: Misbach Tamrin

Ilustrasi: Lukisan Misbach Tamrin
Kawan saya pelukis Handogo Sukarno menulis di status FB nya secara singkat. "Dulu.....ada kartu bebas G30S. Sekarang.....perlu kartu bebas HTI. #Bahaya laten HTI".

Saya selaku mantan tapol. Salah seorang korban akibat dibubarkannya Partai Komunis Indonesia ( PKI ) pada peristiwa '65. Merasa tersentuh alias tergelitik oleh imajinasi yang tersunting di balik ungkapan kata dalam tulisan statusnya itu.

Bisa jadi, di luar anggapan. Mungkin hanya sekedar permainan kata "guyon" atau "kelakar canda" semata. Yang menandai perkembangan situasi yang sedang hangat di tengah masyarakat dewasa ini. Maka konten persoalan sebenarnya cukup menarik untuk menggugah pikiran kita.

Terbayang di benak saya. Meski sepintas lalu seakan ada kesamaan nasib. Yang mengilhami tulisan kawan saya itu untuk menarik garis keadilan secara linier. Namun, kesepadanan yang mungkin ia bayangkan. Terasa jauh panggang dari api dalam pengamatan saya. Justru terkait dengan pengalaman langsung yang pernah saya terjuni.

Sebab larangan buat Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI ) sekarang ini, jauh sangat berbeda. Ketimbang dengan larangan terhadap keberadaan PKI di masa lalu. Sangat tidak sama dan tidak adil. Tak serupa, apalagi untuk dikatakan seimbang.

Jika dalam peristiwa '65, semua tokoh-tokoh pimpinan dan pengurus PKI beserta ormasnya dari pusat hingga ranting di daerah-daerah. Diciduk dan ditahan dalam kamp-kamp dan penjara. Untuk waktu tak terbatas dan terukur.

Seluruh pimpinan topnya dihukum mati melalui pengadilan Mahmilub, di samping terbunuh. Ribuan lainnya dibuang ke Pulau Buru. Sebagian terbanyak dilenyapkan nyawanya melalui pembantaian massal (genosida).

Kemudian sesudah dibebaskan. Mantan tapol PKI diberi KTP bertanda ET (Eks Tapol) dan OT (Organisasi Terlarang) buat wajib lapor sekian tahun. Ditambah nasibnya masih entah sampai kapan dikenai diskriminasi dan stigmatisasi yang relatif tak terpulihkan.

Maka pada HTI pengalaman tragis seperti tersebut di atas tak pernah ada dan tak akan dilaluinya. Karena waktu dan sikon -situasi dan kondisi- nya; juga sangat berlainan.

Kalau larangan terhadap PKI sebagai partai yang dibubarkan melalui Tap. MPRS No. XXV/1966. Di bawah kekuasaan rezim otoriter Orba Suharto yang tidak demokratis. Karena dianggap terlibat perkara peristiwa G30S 1965 yang sangat berdarah. Di bawah atmosfer situasi politik "Perang Dingin" dikotomi global dunia.

Maka larangan terhadap HTI selaku ormas yang dibubarkan. Atau dicabut secara resmi status badan hukumnya. Melalui keputusan Kementerian Hukum dan HAM pemerintahan RI, pada tgl 19 Juli 2017. Yang semakin dikukuhkan oleh pengesahan keputusan pembubaran ormas lewat pengadilan PTUN pada tanggal 7 Mei 2018.

Karena dengan alasan dianggap mengusung khilafah yang bertentangan terhadap Pancasila dan NKRI. Pada saat-saat pemerintahan Jokowi berkuasa yang terpilih melalui Pemilu di bawah sistem demokratis. Berlaku sejak tenggang waktu sesudah era Reformasi 1998.

Dengan demikian kita dapat melihat dengan jelas. Di samping relatif terdapat kesamaaan tipis. Juga sangat menonjol perbedaan yang sangat tebal di antara PKI dan HTI dalam banyak hal dan berbagai segi.
Terutama dalam setting risiko dan konsekwensi yang dihadapi pemerintah, negara dan bangsa. Sebagai tanggung jawab atas dampak yang diakibatkan oleh tekanan nuansa represif dari pembubaran organisasi.

Terhadap kedua mereka selaku golongan masyarakat dengan paham keyakinan agama dan ideologi yang terisolasi secara sosial dan politik dalam kehidupan berbangsa.

Tentu saja tidak cukup dengan upaya pencegahan melalui jaminan pengadilan dan kepastian hukum semata. Namun juga dari segi pendekatan kemanusiaan yang demokratis. Sesuai dengan kriteria garis-2 haluan negara : Pancasila, UUD '45, NKRI dan Kebhinnekaan bangsa.

Apalagi terhadap persoalan krusial yang besar telah mengganjal secara kronis. Bahkan amat permanen terpendam selama setengah abad lebih. Menimpa salah satu golongan masyarakat di antara keduanya. Yaitu PKI dengan kaum komunisnya yang hingga kini. Masih tak jelas keberadaan setting penyelesaian hukum dan sosial politik oleh Negara. Terhadap nasib mereka, dalam kehidupan berbangsa.

Sedangkan HTI menerima kemalangan nasibnya semacam itu, baru memulai belum sampai setahun. Betapapun terjadinya berada di bawah naungan sistem demokrasi pemerintahan Jokowi yang relatif santun, toleran dan kerakyatan. Yang jauh berbeda dengan nasib PKI yang menjadi korban tindasan represif kekuasaan rezim otoriter Orba Suharto yang anti demokrasi.

Akhirul kalam, tersisa pertanyaannya yang lama tak terjawab bagi kita semua. Bagaimana nasib atas keyakinan agama dan ideologi yang dipegang teguh suatu golongan masyarakat. Melalui badan organisasi massa PKI dan HTI tersebut. Yang terlarang oleh karena bertentangan dengan kriteria garis-garis haluan Negara RI.

Namun, kita tahu relatif sulit diberantas dengan cara apapun oleh siapa saja, termasuk kekuasaan Negara. Baik secara persuasif, maupun dengan kekerasan represif.

Tatkala Negara kita menyemai kehidupan berbangsa yang demokratis.
Memayungi kebebasan paham agama dan ideologi semua golongan masyarakat dari warga negaranya. Dalam kebersamaan kerukunan nasional yang penuh toleransi. Saling harga menghargai dan hormat menghormati satu sama lain.

Apakah dimungkinkan akan diterima kembali melalui rekonsiliasi dan rehabilitasi oleh Negara. Ketika terjadi proses penyesuaian dari loyalitas ketaatan pihak bersangkutan terhadap garis-2 haluan Negara ?

Bagi mereka sungguh tak terbayangkan sebelumnya. Akumulasi waktu begitu bertimbun terserak menapak perjalanan derita selama setengah abad lebih. Hingga kini harapan masih redup terselubung ketidakpastian. Tanpa pertanda sinyal terang secuwilpun.

Inilah jalan panjang tak berujung yang ditempuh oleh sebuah partai. Jika kita rentangkan waktu, maka telah menapak usia selama 88 tahun (1920 - 2018). Penuh lika-liku rona duka derita perjuangan. Hingga kini, entah dimana dan bagaimana keberadaan nasibnya. Sejak ia terbenam dalam misteri kegelapan. Tanpa identitas yang pasti dan resmi.

Sedangkan HTI baru memulai menerjuni oase pembubaran orrnas khilafahnya. Masih dalam skala alam demokrasi di bawah kekuasaan pemerintahan Jokowi yang moderat dan toleran. Jauh lebih ringan ketimbang dengan tantangan duka derita yang ditanggung PKI. Yang hingga kini tetap diberantas dengan tegas. Tanpa boleh berkutik sedikipun.....

,***
Sumber: Misbach Tamrin 

0 komentar:

Posting Komentar