Selasa, 02 Oktober 2018

Prespektif alternatif dalam melihat Peristiwa 1965


Oleh: Usman Hamid*  | 2 Oktober 2018




Politisasi Isu Kebangkitan PKI

Debat film Pengkhianatan G30S/PKI muncul kembali. Pemicunya adalah pernyataan kontroversial mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Ia mendesak pimpinan TNI untuk melepas jabatannya jika tidak berani memerintahkan pemutaran film tersebut ke seluruh prajurit bawahannya.

Kepada media, Gatot beralasan perlu mengingatkan adanya kebangkitan PKI. Tanda-tanda bangkitnya PKI, katanya, terlihat dari upaya-upaya mengubah mata pelajaran tertentu di sekolah.
Indikasi lain adalah adanya upaya mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
”Siapa lagi kalau bukan PKI?” katanya.
Atas pernyataan Gatot, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menganggap bahwa menonton film itu merupakan hak siapa saja dan tidak perlu dipaksakan. Sebuah reaksi yang datar, tetapi jelas memperlihatkan penolakannya atas tantangan Gatot.


Fiksionalisasi sejarah

Bagaimana kita memahami pernyataan Gatot? Benarkah upaya-upaya itu merupakan upaya PKI bangkit sehingga perlu dicegah dengan mengingatkan kekejaman PKI melalui film yang dikesankan Gatot sebagai film dokumenter sejarah?
Guna menjawabnya, saya akan mengulas film G30S/PKI, menunjukkan kebijakan pemerintahan-pemerintahan pasca-Soeharto, dan mengetengahkan kesimpulan.

Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah film garapan sutradara Arifin C Noer yang dibuat secara lebih dramatis berdasarkan sejarah resmi Orde Baru yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto pada 1966.

Film ini semula berjudul Sejarah Orde Baru. Diproduksi pada 1981, disetujui Presiden Soeharto pada 1983, dan ditayangkan resmi lewat televisi nasional sejak 1984 hingga 1997.
Berkisah tentang percobaan PKI dalam mengudeta Soekarno dan membunuh tujuh perwira militer, film yang memahlawankan Soeharto dalam menumpas PKI dipakai untuk mengingatkan masyarakat Indonesia betapa sadis dan brutalnya PKI (perempuan PKI) dalam membunuh dan betapa heroistiknya militer (Soeharto).

Telah banyak kritik ilmiah ditujukan atas versi sejarah yang menuduh PKI sebagai satu-satunya dalang pembunuhan perwira militer dan kejatuhan Soekarno.
Jika pada awal Reformasi terdapat setidaknya lima versi sejarah (Zurbuchen, 2002), kini terdapat delapan versi (Reeve, 2015). Mulai dari menyimpulkan peristiwa itu sebagai hasil pertarungan internal angkatan bersenjata, manuver Soeharto atau setidaknya manipulasi peristiwa itu untuk kepentingannya sendiri, politik keseimbangan Soekarno yang memperburuk dinamika pertarungan internal angkatan bersenjata, hingga operasi intelijen asing untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno yang dianggap kiri.

Penelitian mereka sangat bermanfaat bagi generasi muda dalam memahami dengan baik peristiwa yang terjadi pada 30 September maupun sesudahnya.

Di kalangan eksponen 1998, penjelasan kedua lebih mendominasi perbincangan. Alih-alih bertahan dari kudeta PKI, mereka menunjuk akhir cerita dari tragedi itu adalah berakhirnya kekuasaan Soekarno dan bermulanya kekuasaan Soeharto. Mereka meyakini film ini bukanlah film dokumenter, melainkan sebuah fiksi yang dicampuri dokumen pemberitaan sejarah sehingga membentuk alat propaganda politik untuk melegitimasi naiknya kekuasaan Soeharto yang ditopang militer, melegitimasi pembunuhan massal atas kaum komunis, dan menanamkan ideologi antikomunis kepada seluruh warga Indonesia.

Inilah yang juga hendak diklarifikasi ketika gerakan mahasiswa melahirkan Reformasi 1998 melalui penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, mulai dari Tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, hingga politik represi mahasiswa dan kerusuhan rasial pada 1998. Memaksakan sejarah masa lalu Orde Baru diterima secara tunggal oleh masyarakat melalui film G30S/PKI, hanya memundurkan jarum jam Reformasi.


Klarifikasi reformasi

Lalu bagaimana pemerintahan semasa Reformasi menyikapi sejarah versi penguasa Orde Baru? Semasa kepresidenan BJ Habibie, sejarah versi Orde Baru yang dituangkan dalam buku/film G30S/PKI mulai ditinjau.
Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono membentuk tim khusus untuk mengevaluasi semua buku sejarah dalam versi G30S/PKI. Menteri Penerangan era Habibie pula, yaitu Jenderal (Purn) Yunus Yosfiah, menghapuskan pemutaran tahunan yang wajib atas film Pengkhianatan G30S/PKI.
Ini adalah bentuk keberanian pemerintahan saat itu. Kebijakan semacam itu mencerahkan pemahaman masyarakat bahwa sejarah versi penguasa sebelumnya adalah kekeliruan yang harus dihentikan.

Pada masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), langkah-langkah pemerintahan Habibie dilanjutkan dengan pembebasan tahanan politik PKI. Presiden Wahid selanjutnya mengusulkan pencabutan TAP MPRS/1966 tentang larangan ajaran Marxisme/Leninisme. Wahid juga menyatakan permintaan maaf atas tragedi 1965, mengupayakan rekonsiliasi akar rumput, hingga merehabilitasi nama baik Soekarno dan orang-orang yang pernah diperlakukan sewenang-wenang dengan tuduhan PKI.

Sayang, elite-elite konservatif ketika itu, seperti Ketua MPR Amien Rais dan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, menentang langkah Presiden yang dikenal sebagai ulama karismatik Islam.

Di era kepresidenan Megawati Soekarnoputri, elite-elite konservatif mengesahkan UU yang melarang orang PKI untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum pada 2003. Setahun setelah itu, Mahkamah Konstitusi menilai UU tersebut dibatalkan karena dinilai menyimpangi UUD 1945, sebuah perkembangan politik berharga yang mempersamakan derajat warga negara. Meski mantan PKI dibolehkan mengikuti pemilihan legislatif, masih saja kerap terjadi diskriminasi, terutama karena masih berlakunya Keputusan Presiden Soeharto No 28/1975 tentang Perlakuan atas Tahanan Politik PKI Golongan C.

Konservatisme politik dalam mempertahankan sejarah versi Orde Baru berkembang di era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Muncul tekanan-tekanan massa yang mengatasnamakan Islam memaksa pembatalan suatu pertemuan korban, seminar, hingga pergelaran seni kebudayaan dengan tuduhan PKI.
Jika awalnya aparat keamanan terkesan tak dapat berbuat apa-apa, akhirnya kita melihat pemerintahan ini menolak revisi sejarah.
Pada 2007, misalnya, Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo menarik buku-buku sejarah hasil perbaikan pemerintahan sebelumnya dan melalui Kejaksaan Agung mereka membakar buku-buku itu. Sebuah tindakan tak mendidik dan tak berkebudayaan.

Meski kekuasaan eksekutif jelas konservatif, kekuasaan kehakiman Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2011 berpendapat perlunya rehabilitasi untuk mereka yang diduga terlibat secara tak langsung dalam peristiwa 30 September 1965. Pendapat ini ditujukan agar Keppres No 28/1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C dicabut sehingga mantan tahanan politik PKI atau pegawai-pegawai negeri yang diberhentikan karena tuduhan PKI diberikan rehabilitasi.

Selain mengabaikan MA, pemerintahan SBY justru mengupayakan seorang aktor kunci penumpasan PKI, yaitu mantan Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo, mertua SBY, menjadi pahlawan nasional. Upaya ini gagal menyusul protes masyarakat seperti penggalangan petisi daring oleh seorang anak tahanan politik 1965 yang menetap di Eropa, Soe Tjen Marching.

Presiden Joko Widodo sempat berusaha melanjutkan upaya koreksi kebijakan pemerintahan Orde Baru. Pada awal 2015, Menkumham Yasonna Laoly dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menyiapkan peraturan presiden untuk mencabut Keppres No 28/1975 sehingga diskriminasi atas mantan PKI bisa berakhir. Sayang, elite-elite konservatif melontarkan kampanye insinuatif-manipulatif bahwa rencana tersebut adalah rencana meminta maaf pada PKI.

Propaganda hasil indoktrinasi anti-PKI era Orde Baru membuat tekanan massa selaras dengan resistensi elite militer seperti Gatot akhirnya membatalkan niat pemerintah. Yang terjadi selanjutnya adalah turunnya jaminan kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berkumpul; pelarangan film soal 1965 di Ubud Writers Film Festival, pelarangan karya pers mahasiswa Lentera hingga pelarangan Jakarta Art Festival di Taman Ismail Marzuki menjelang akhir tahun.
Tahun ini Amnesty International menyesalkan betapa penyintas mengalami pelecehan, intimidasi, dan ancaman dalam mengungkap kejahatan massal 50 tahun silam.

Kontestasi dan kontroversi seputar tragedi G30S berlanjut. Dua jenderal militer dan satu jenderal polisi senior (Luhut Binsar Pandjaitan, Agus Widjojo, dan Sidarto Danusubroto) memprakarsai sebuah simposium nasional, April 2016, yang dihadiri pihak-pihak yang merasa dirinya menjadi korban kekerasan militer maupun korban PKI.

Sejumlah pejabat, dari Luhut yang menjabat Menko Polhukam, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, hingga elite partai politik, seperti Romahurmuzy (Ketua Umum PPP) dan Idrus Marham (Sekjen Golkar) ikut menghadiri. Sejumlah ilmuwan melihatnya sebagai kesempatan terakhir Indonesia untuk bersikap jujur pada sejarahnya sendiri. Sayangnya, prakarsa ditolak elite-elite militer konservatif, seperti Kivlan Zen dan Kiki Syahnakri, melalui pengerahan massa dan simposium tandingan. Jenderal Agus Widjojo, yang jelas-jelas menjadi korban karena ayahnya ikut dibunuh dalam peristiwa G30S, dituduh sebagai ”jenderal PKI”, sebuah tuduhan yang didaur ulang untuk menjatuhkan integritasnya sebagai sosok kritis dan cerdas.

Tahun lalu, semasa Panglima TNI Gatot Nurmantyo, terdapat kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh isu ini sehingga terlibat penyerangan Kantor Yayasan LBH Indonesia. Ini adalah bentuk intimidasi terhadap aktivis. Brutalnya tindakan pelaku membuat kewalahan aparat keamanan, baik anggota Polri maupun prajurit TNI yang mengamankan. Beberapa petugas kepolisian bahkan mengalami luka-luka. Pelakunya tidak dihukum. Tahun lalu pula, Budi Pego, seorang petani yang memprotes tambang emas di Banyuwangi, dituduh PKI dan divonis penjara dengan pasal antikomunisme.

Meski survei-survei berskala nasional tetap menunjukkan sedikitnya kelompok masyarakat yang percaya akan bangkitnya PKI (SMRC 2017, 2018), tetap saja politisasi ini terus didaur ulang sehingga memicu ketegangan antar-elite dan kekerasan vigilante akar rumput. Terakhir, tak lama setelah Gatot kembali membuat pernyataan anti-PKI baru-baru ini, sekelompok massa membubarkan Aksi Kamisan di Malang, 27 September lalu, dengan menuduh peserta aksi yang menolak kabar bohong atas tragedi 1965 sebagai ”antek PKI”.

Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan. Pertama, politisasi isu anti-PKI melalui pemaksaan menonton film G30S/PKI adalah upaya memundurkan agenda Reformasi termasuk profesionalisme internal TNI ke belakang dan mengembalikan TNI sebagai pembela penguasa Orde Baru.
Kedua, politisasi anti-PKI adalah upaya menarik TNI ke dalam penyudutan tokoh politik yang bersaing di Pemilu 2019, merepetisi cara-cara licik di Pemilu 2014.
Ketiga, menghidupkan stigma negatif pada penyintas tragedi 1965 untuk menggagalkan rehabilitasi dan penyelidikan pembunuhan massal terkait 30 September 1965.
Keempat, politisasi anti-PKI dipakai demi meredam suara kritis yang mengganggu kepentingan politik dan bisnis besar.
Kelima, politisasi anti-PKI tidak membawa pengetahuan baru apa yang sebenarnya terjadi dalam G30S dan jauh dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Seluruh politisasi anti-PKI diikuti retorika adu domba komunis/China versus agama, pengerahan massa, dan intervensi hukum.

Seorang prajurit militer disebut ”pemberani” atau ”penakut” bukan dengan memaksakan bawahan untuk menerima sejarah versi tunggal penguasa, yang kebenarannya diragukan, melainkan dengan mempersilakan prajurit untuk mempelajari beragam khazanah pengetahuan akan sejarah bangsanya sendiri. Barangkali dengan pengetahuan sejarah yang lebih adil di kalangan militer, agenda pengungkapan kekerasan negara pada masa lalu tak akan lagi terhambat, apalagi terulang. Wallahualam.
__________

*Usman Hamid, Pengajar Sekolah Hukum Indonesia Jentera dan Direktur Amnesty International Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar