Jumat, 19 Oktober 2018

Empat Tahun sebagai Presiden, Jokowi Dinilai Tak Serius Ungkap Pelanggaran HAM


Arie Firdaus, Jakarta - 2018-10-19

Pemerintah dinilai masih terkesan tebang pilih terkait hak asasi manusia.

Koordinator Kontras Yati Andriyani saat memaparkan evaluasi empat tahun pemerintahan Jokowi di Jakarta, Jumat, 19 Oktober 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Empat tahun berselang usai terpilih sebagai presiden, Joko "Jokowi" Widodo dinilai tidak serius menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lampau.

Padahal dalam kampanye jelang pemilihan presiden pada 2014, Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla sempat mengatakan bahwa isu HAM akan menjadi salah satu prioritas.
"Jokowi masih tetap memainkan politik populisme dalam konteks HAM," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani dalam pemaparan evaluasi empat tahun Jokowi-Jusuf Kalla dalam sektor HAM di Jakarta, Jumat, 19 Oktober 2018.
"Isu-isu yang sensitif, kontroversial, atau rentan dijadikan isu lawan politik justru dihindarkan."
Menurut Yati, indikasi politik populisme dalam isu HAM itu, antara lain, terlihat dalam pengungkapan tragedi 1965-66 terkait pembunuhan orang-orang yang diduga terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).

Adapula kasus penembakan misterius di sepanjang 1982-1985, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti 1998, insiden Semanggi I dan II, peristiwa Wasior Wamena di Papua pada 2000-2003, dan pelanggaran HAM di Aceh ketika daerah itu masih diamuk konflik bersenjata.
"Jadi, tebang pilih. Hanya yang mudah dan aman dikerjakan, seperti harmonisasi antarlembaga," tambah Yati.
Hal sama disampaikan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufik Damanik, yang menyebut pemerintahan Jokowi belum melakukan apapun untuk memenuhi janji kampanyenya terkait masalah pelanggaran HAM.
"Nilai merah (penyelesaian kasus HAM masa lalu). Sama sekali tidak ada kemajuan," katanya.
Padahal, terang Ahmad Taufik, Komnas HAM telah memberikan hasil investigasi penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada pemerintah.
"Tapi sampai sekarang belum ada langkah kongkret dari Jaksa Agung untuk menidaklanjuti ke tahap penyidikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000," lanjutnya.
Dalam beleid yang disebut Ahmad Taufik, Kejaksaan Agung memang diamanatkan sebagai pihak yang berwenang untuk menyidik kasus, melakukan penuntutan, hingga nantinya diselesaikan lewat pengadilan HAM.

Janji Nawacita

Janji pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu dituangkan Jokowi-Jusuf Kalla dalam poin keempat  dari sembilan janji kampanye yang dikenal dengan Nawacita.

Dalam janji itu, Jokowi-Jusuf Kalla mengatakan bahwa mereka berkomitmen untuk menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bangsa.
"Seperti kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965," demikian bunyi poin tersebut
Pada April 2016 Pemerintahan Jokowi mendukung diadakannya simposium nasional Membedah Tragedi 1965 yang sempat diharapkan menjadi awal pengungkapan kebenaran dibalik peristiwa yang disebut menewaskan sekitar setengah juta orang itu.

Namun rekomendasi simposium tersebut tidak pernah ditindaklanjuti bahkan tidak lama setelah itu ada simposium tandingan yang digelar sejumlah pensiunan jenderal dan ormas yang mengimbau pemerintah untuk tidak lagi mengungkit dugaan pelanggaran HAM 1965.

Jokowi yang merupakan presiden yang paling sering berkunjung ke Papua dibandingkan presiden-presiden sebelumnya, juga telah membebaskan sejumlah tahanan politik di Papua, disamping meningkatkan pembangunan infrastruktur di Bumi Cendrawasih itu. Namun demikian sejumlah kasus pelanggaran HAM di wilayah tersebut belum terungkap.

Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, pada Agustus lalu mengatakan bahwa pemerintah bukan tidak serius menuntaskan kasus-kasus HAM tersebut.
"Jangan ada salah sangka bahwa pemerintah ingin menunda-nunda. Ini kan semuanya perlu satu penyelesaian yang baik," kata Wiranto.
Hanya saja, jalur yang hendak ditempuh adalah lewat non-yudisial atau tanpa melalui pengadilan HAM, ihwal yang selalu ditolak pegiat HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM.

Ahmad Taufik mendesak pemerintah tak menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu lewat jalur non-yudisial.
"Karena melalui pengadilan, pemerintah dapat memberikan kepastian hukum kepada korban maupun keluarganya," terangnya.
"Kami tidak akan mengambil peran kalau itu (penyelesaian) di luar UU Pengadilan HAM."

Tanggapan pemerintah

BeritaBenar mencoba menghubungi juru bicara Istana Kepresidenan Johan Budi, terkait penilaian para pegiat HAM. Namun telepon dan pesan singkat yang dikirim tidak beroleh balasan.

Adapun Koordinator Staf Khusus Presiden, Teten Masduki di laman Kompas menepis Jokowi mengesampingkan perkara HAM dan hanya berfokus pada pembangunan ekonomi.

Menurutnya, pembangunan ekonomi justru tidak dapat dipisahkan dari hak-hak politik atau hak hidup layak.
"Kedua kategori itu saling terkait dan bergantung," kata Teten.
"Penekanan Pak Jokowi pada pembangunan infrastruktur seharusnya dipahami juga sebagai pemenuhan atas hak atas pendidikan, kesehatan, dan hidup yang layak."
Sedangkan, Ferry Juliantoro, juru bicara Badan Pemenangan Nasional pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menuding Jokowi telah menipu rakyat dengan tidak memenuhi janji kampanye berupa penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.

Kini dengan sisa waktu kepemimpinan sekitar setahun, kata Ferry, kecil kemungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu bakal terwujud.
"Sudah enggak ada waktu lagi," ujar Ferry, seperti dikutip dari laman CNN Indonesia.
Prabowo sendiri dituding terlibat dalam penculikan sejumlah aktivis pro-demokrasi pada 1998 yang hingga kini nasib sebagian dari mereka belum diketahui.

0 komentar:

Posting Komentar