Jumat, 12 Oktober 2018

Neraka 1965

Oktober 12, 2018 


[Judul Buku ; Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 / Penulis; Geoffrey B Robinson / Penerbit; Komunitas Bambu, 2018]

…kami gantung mereka. Kami cekik mereka dengan kawat. Kami penggal leher mereka. Kami tabrak mereka dengan mobil kami. Kami diizinkan untuk melakukanya. Buktinya, kami membunuh orang dan tidak pernah dihukum..(Jagal, Joshua Oppenheimer)
‘….Dalam pembunuhan anti komunis yang beragam, kita dapat melihat adanya konsistensi yang mencolok di seluruh provinsi, yakni menghilangnya orang yang sudah ditangkap…(Geoffrey B Robinson, Musim Menjagal)

***
Tragedi ini dimulai pada malam 30 September. Para Jendral itu diculik kemudian mayatnya dibuang. Kelak di film besutan Orba- Pengkhinatan G 30 S/PKI yang oleh Gatot diminta kita menontonya-diperlihatkan adegan keji. Jendral itu dicincang, diludahi, dicaci hingga tubuhnya dianiaya. PKI disebut sebagai pelakunya. Kisah sempurna yang dipercaya dari generasi ke generasi hingga kita tak lagi sudi mendengar versi lain cerita itu.

PKI tak hanya menculik Jendral tapi juga ingin menggulingkan negara. Ideologi komunis akan dijadikan sebagai ideologi negara. Orang komunis punya perangai buruk: suka memerkosa, keji dan punya keinginan untuk mengenyahkan agama. Diskripsi yang kotor itu muncul tak hanya pada saat itu tapi hingga kini. Sehingga tiap orang yang kena tuduh PKI bisa diperlakukan sewenang-wenang.

Buku ini berusaha untuk menampilkan wacana yang beda: PKI bukan pelaku utama penculikan Jendral, PKI hancur secara organisasi hingga anggota karena dihabisi oleh AD (Angkatan Darat), sedangkan AD yang mengelola hingga mengatur pembantaian orang yang dituduh sebagai PKI. Malah secara komplit buku ini mengungkapan sikap Kedubes Asing atas peristiwa itu. Beberapa tak percaya versi PKI sebagai dalang tetapi ikut memberi dukungan atas pembantaian.

Inilah pembataian yang mengejutkan dunia: tak bisa disandingkan dengan kekejaman Nazi dan lebih mirip dengan konflik etnis di Rwanda atau Kamboja. Dipakainya senjata apa adanya untuk membunuhi orang yang kena tuduh PKI. Malah pembasmian yang mirip dengan genocida itu tak dibimbing oleh visi utopis sama sekali. Nazi misalnya memanfaatkan sentimen keunggulan ras Arya atau suku Rwanda yang menampilkan watak chauvinistiknya.

Pembantaian ini dilakukan di bawah retorika balas dendam. Menjadi malapetaka raksasa karena pembunuhan terjadi pada daerah-daerah yang padat penduduknya: Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Aceh, Sumatera Utara dan sebagian Nusa Tenggara Timur. Saya rasa inilah gempa sosial yang paling keji. Uniknya tak banyak pembantaian di daerah-daerah tertentu, seperti Ibu Kota Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Setidaknya buku ini merinci skala dan waktu pembantaian.

Mula-mula pembunuhan massa pertama terjadi di Aceh, yang berhenti pada bulan November 1965 dengan 10.000 korban tewas. Lalu awal November 1965 menyebar pembunuhan di kota Medan dengan sasaran buruh perkebunan dan lahan pertanian. Korbanya 40.000 orang bahkan mungkin dua kali lipatnya. Kemudian Jawa Tengah dimulai minggu ketiga Oktober dengan korban 140.000. Dilanjutkan bulan Desember di Jawa Timur dengan korban mencapai 180.000 jiwa.

Awal Desember 1965 setelah dua bulan pembantaian terjadi di Bali dengan korban 80.000. disusul NTT pembantaian terjadi bulan Februari 1996 dengan 6000 orang komunis yang tewas. Durasi waktu yang berbeda ini menunjukkan proses perencanaan pembunuhan yang dipusatkan secara nasional dan tak banyak berakar dari konflik lokal.

Yang mencolok-jadi temuan buku ini-pelaku pembunuhan dan sasaran berasal dari kelompok etnis dan agama yang sama. Walau tampak sama tapi ‘keberhasilan’ pembantaian ini juga berkat dukungan dari organisasi militer, paramiliter atau milisi. Terang-terangan buku ini memastikan bahwa milisi yang aktif membunuh adalah Ansor dan Banser dari NU, Pemuda Demokrat serta Pemuda Marhaen dari PNI dan tak lupa Pemuda Pancasila .

Benarkah yang mendasari pembunuhan orang-orang yang kena tuduh PKI adalah sentimen agama? Tak selamanya meskipun ketegangan agama dan etnis lebih memupuk orang untuk bertindak keji. Tapi biasanya pembunuhan ini didasarkan atas konflik yang berbasis kondisi kerja dan lahan. Titik penting untuk memahami bukan hanya pola kekerasan tapi sebaran geografi, yang menentukan pelaku sekaligus korban.

PKI-yang banyak generasi millineal perlu ketahui-lebih tua ketimbang partai komunis Tiongkok. Sebagai Partai Komunis dunia yang besar, pada tahun 1963 sudah memiliki anggota 3,5 juta dan 20 juta merupakan anggota dari organisasi yang berafiliasi denganya. Maka menggelikan jika Partai yang besar anggotanya, bahkan meraih posisi sebagai pemenang dalam Pemilu tiba-tiba memutuskan untuk melakukan kudeta. Maka narasi yang mengatakan PKI lah pemberontaknya jadi sulit dipercaya karena kehilangan unsur namanya ‘motif’. Untuk apa melakukan kudeta kalau berada di jalan legal saja sangat menguntungkan PKI.

Maka pertanyaan yang benar adalah siapakah yang diuntungkan dengan cerita PKI sebagai dalang? Buku ini jadi berarti karena membentangkan peran Kedubes, terutama Amerika dan Inggris, yang sangat anti komunis. CIA yang kala itu memang diberi mandat untuk memerangi ideologi komunis menjadikan AD sebagai sekutu. Posisi sekutu itulah yang memudahkan AD memobilisasi bantuan apa saja. Jadi kepentingan asing dan AD sangat diuntungkan dari hilangnya PKI dalam jagat politik Indonesia.

Buku ini membongkar data-data penting, terutama kabel kabel diplomatik yang jadi sarana pendukung gerakan anti PKI. CIA terbukti sejak September 1964 sudah membentuk koalisi antikomunis yang anggotanya kombinasi antara AD dan unsur sipil. Di bulan yang sama CIA juga memastikan bahwa Soeharto adalah Jendral yang bersahabat. Bahkan buku ini membongkar siasat untuk menghasut PKI agar membuat langkah agresif yang bisa membenarkan tindakan AD. Cara yang benar-benar dijalankan.

Tak hanya itu buku ini memang melihat faktor perang dingin yang membuat sentimen anti PKI dijalankan dengan cara militan. Di samping memang ada langkah-langkah provokatif yang dilakukan oleh Amerika maupun Inggris: seperti pengeboman Vietnam Utara dan pengerahan pasukan darat di Vietnam Selatan pada 1965. Sehingga terus-menerus dilakukan upaya untuk merongrong kekuatan PKI dengan cara apa saja.

Secara dramatik buku ini menunjukkan bagaimana upaya memberantas PKI tak hanya dengan membantainya secara terbuka juga tampil retorika yang kelak dijadikan bahasa politik yang bar-bar: ‘dihancurkan’, ‘dikubur’’, ‘dibinasakan’, ‘dibasmi’, ‘diberantas seakar-akarnya’: bahkan menyebut anggota PKI dengan kata: ‘pengkhianat’, ‘setan’, ‘atheis’, ‘pelacur’, ‘teroris’, ‘binatang’. Provokasi yang mencukupi untu merubah dirikita menjadi pembunuh yang sadis. Entah bagaimana kita yang dikenal sebagai bangsa beradab pada tahun itu menjadi komplotan srigala.

Yang mengejutkan lagi upaya untuk meletakkan PKI sebagai iblis dilakukan dengan cara fitnah: dikirimkan beras dari Amerika untuk bantuan pada pembasmi PKI. Beras itu disimpan di gudang yang nantinya tiba-tiba diserbu lalu dikatakan ke publik kalau itu beras yang sengaja disimpan oleh PKI untuk persiapan pemberontakan. Cara ini manjur sekali: pertama tuduhan PKI itu kejam terbukti dan kedua AD hebat karena mampu membongkar taktik culas ini.

Sepanjang buku ini kita disodori fragmen yang kejam dimana PKI  selalu jadi biang keladinya. Malah pembunuhan atas orang-orang PKI diberi hadiah besar. Misalnya pada akhir Maret 1966, menteri luar negeri AS, Rusk mengirimkan 50.000 ton beras ke Indonesia. Jepang juga memberi bantuan sebesar 30 juta dolar AS dalam bentuk beras dan katun. Singkatnya ada imbalan untuk sebuah pembunuhan massal. Secara terang-terangan buku ini menyebut sejumlah nama yang mendapatkan uang tutup mulut supaya mendiamkan saja pembunuhan massal ini.

Mungkin karena algojo dan milisi mulai capek membunuh maka orang-orang yang kena tuduh PKI di penjara tanpa pengadilan. Motif pemenjaraanya semata-mata politik bukan yudisial. Bayangkan di penjara tanpa diadili. Pada pola penahanan massal ini terungkap koordinasi terpusat yang membuat pola penahanan jadi acak dengan klasifikasi yang rumit, pola pemenjaraan yang diiringi dengan penyiksaan brutal merupakan warisan pendidikan militer terbaik Jepang dan ada varian pemenjaraan di masing –masing daerah yang mengikuti kebutuhan politisi lokal.

Bayangkan dengan kurban sebanyak ini lalu keterlibatan massal penduduk bagaimana kita bisa memastikan perolehan keadilan? Terutama sepanjang Orde Baru dimana propaganda atas kebusukan PKI  terus-menerus dilakukan bahkan kekejamanya diabadikan dalam peringatan Kesaktian Pancasila. Muncullah ketakutan, bahkan pembungkaman massal yang membuat PKI tak lagi dikenal sebagai organ politik tapi monster yang setara dengan zombie.

Beruntungnya Orde Baru tak bertahan lama: cerita PKI monster mulai digugat dan kisah penculikan Jendral mulai disangsikan kebenaran pelakunya. Lebih-lebih muncul sejumlah film yang secara terbuka memperlihatkan bagaimana para algojo yang bertindak berdasar atas perintah, kecemburuan bahkan keinginan untuk berlagak. Setidaknya mulai muncul gugatan terhadap cerita kalau PKI sebagai biang keladi semuanya.

Walau memang tak mudah untuk mengungkap apalagi menyeret pelaku pembantaian. Militer di Indonesia masih memegang peran sentral dalam jagat politik. Keberanian yang dulu dilakukan oleh Abdurrahman Wahid-keinginan untuk mencabut tap MPRS No XXV/1966 hingga permohonan maaf-malah dibayar dengan kudeta atas dirinya. Tetapi itu tak membuat upaya untuk menyeret soal ini berhenti begitu saja.

Dua bab akhir buku ini memberikan gambaran jalan yang ditempuh untuk mencapai keadilan: mencari dukungan International dengan menggelar IPT di Deen Haag hingga munculnya simposium yang secara khusus membahas tentang isu 65. Upaya itu semua memang tak membuahkan hasil memuaskan tapi setidaknya menjadi jalan rintisan untuk menuntut pemerintah bertindak secara adil.

Buku ini sangat berharga untuk memahami kegelapan yang pernah dialami oleh bangsa ini. Sebuah kekejaman yang dimotori oleh aktor-aktor negara yang mendapat dukungan International dengan sasaran rakyat kecil yang tak berdosa. Kebanyakan mereka yang dibunuh, di penjara dan diperkosa itu adalah: seniman, petani, buruh, pegawai kecil, ibu rumah tangga hingga dosen. Tragedi ini bukan hanya menjadi masa lalu yang hitam tapi juga menguji diri kita sebagai sebuah bangsa: berani untuk menghukum yang bersalah atau mendiamkan begitu saja.

Saya kadang memahami semua bencana melalui masa-masa ini. Benarkah kekejaman yang luar biasa itu tak bisa dihukum oleh manusia? Apakah memang kejahatan kemanusiaan yang terjadi begitu besar ini tak mendapatkan hukuman balasan? Bisakah kita percaya kalau semua kekejaman yang terjadi ini hanyalah hukuman yang pantas diberikan kepada mereka yang kena cap PKI? Buku ini menggugah sekaligus menggugat posisi kita sebagai sebuah bangsa.

Buku ini merupakan karya penting untuk memahami peristiwa penjagalan yang dilakukan oleh sesama anak bangsa. Ini bukan episode perang saudara tapi penganiayaan kepada saudaranya sendiri. Dari buku ini kita kemudian tahu kenapa begitu mudah kita saling bunuh-membunuh, berbuat keji bahkan menciptakan desas desus yang berbahaya.

Tanpa bisa mengadili masa lalu niscaya kita dihukum oleh masa lalu. Kita dihukum untuk mengulang peristiwa yang sama: diantara kita mudah bangun rasa curiga, gampang meniupkan prasangka dan suka sekali menciptakan komplotan yang melakukan kekerasan antar sesama. Buku ini mirip cermin yang bisa menunjukkan paras kita sebagai bangsa yang ‘sebenarnya’

Karena cermin pasti menyakitkan bagi yang pernah berbuat salah. Walau dalih kekejaman itu karena kecintaan pada Pancasila atau perintah saat itu, tapi yang namanya dusta tak bisa disembunyikan begitu lama. Bahkan buku ini memberi kisah para algojo yang hidupnya kemudian menderita, dikejar rasa bersalah hingga mengakhiri hidupnya dengan penuh kepedihan.

Jika anda berani bacalah buku ini, sebab kalau anda tidak mau mengerti masa lalu, itu artinya anda tidak berani berhadapan dengan kebenaran.

Sumber: Suluh Pergerakan 

0 komentar:

Posting Komentar