Senin, 08 Oktober 2018

Bedah Buku Dibalik Tragedi 1965


October 8, 2018 - Meisa Clarita Arifiani

Judul Buku    : Dibalik Tragedi 1965
Penulis           : Sulastomo
Penerbit         : Yayasan Utama Ummat
Tahun Terbit  : 2006
Jumlah Halaman : xi+179 hlm, 14,5 cm x 21 cm

Peristiwa G30S ini terjadi 40 tahun yang lalu, namun sekarang sudah muncul kabut yang menyelimuti bahwa peristiwa itu adalah sebuah kudeta PKI sudah mulai dipersoalkan. Teori lain mengatakan bahwa tragedi itu justru merupakan upaya Bung Karno untuk menyingkirkan pimpinan teras Angkatan Darat yang sering dikesankan tidak sejalan dengan kebijakan Pemimpin Besar Revolusi. Komandan operasi Gerakan 30 September, Letkol. Untung dan pelaksana operasi Gerakan 30 September sebagian besar adalah pasukan Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Pribadi Presiden, sehingga bisa saja diperintahkan untuk melakukan tujuan itu, sudah tentu skenario apapun yang berjalan semuanya ditutupi dengan langkah-langkah lain yang tersamar. Karena itu tidak mudah untuk menyimpulkan peristiwa itu, selain mungkin keterbatasan fakta yang diperlukan untuk mendukung sebuah teori politisasi peristiwa itu juga bukan suatu kemustahilan. Sebagai peristiwa politik yang besar peristiwa itu tentunya merupakan puncak dari sebuah pergulatan politik, Pergulatan politik itu tentu sudah selalu terkait dengan kekuasaan dan jalan kekuasaan pasti bukan sebuah proses yang tiba-tiba muncul. Ada pergulatan taktik, strategi diantara berbagai pihak yang terkait kekuasaan dan lebih dari itu juga ada pergulatan ideologi, cita-cita atau program, bagaiamana sebaiknya menyelenggarakan Negara dan apa yang terjadi di tahun 1965 sesungguhnya sangat terkait dnegan seluruh perjalanan bangsa itu sejak tahun 1945 bahkan sebelum itu. Tokoh-tokoh yang menjadi kunci dari peristiwa itu adalah tokoh-tokoh yang sejak Indonesia merdeka 1945 yang telah ikut berjuang dan memikirkan kehidupan bangsa ini dan memang telah saling mengenal. Pak Harto yang disaat peristiwa tragedi 1965 itu terjadi adalah Panglima Kostrad dan menjadi tokoh yang menggagalkan G30S, telah mengenali Syam Kamaruzaman yang kemudian dikenal sebagai Ketua Biro Khusus PIKI, keduanya adalah termauk anak-anak muda yang ikut berkumpul di Phatuk, Jogya pada sebuah forum/kursus politik bagi anak-anak muda diawal kemerdekaan. Pak Harto mengenal Syam sebagai anak buahnya sering dikenal sebagai seorang tokoh partai Sosialis ketika Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia (14 Nopember 1945-12 Maret 1946). 

Namun setelah itu Pak Harto tidak pernah bertemu lagi apalagi berhubungan dnegan Syam sampai akhirnya diketahuinya Syam sebagai tokoh Biro Khusu PKI. Syam memang anggota Partai Sosialis tetapi bukan PSI-nya Sjahrir Partai Sosialis diawal kemerdekaan memang dipimpin oleh Sjahrir dan Amir Syarifudin. Namun menjelang pemberontakan PKI di tahun 1948 Amir Syarifudin bergabung dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang ternyata dipengaruhi PKI dan kemudian menjadi salah satu tokoh dalam pemberontakan itu. Semula Syahrir dan Amir Syarifudin memang berada dalam satu kelompok bersama Soekarno/Hatta didalam menyikapi kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah diawal kemerdekaan yang lebih menekankan perlunya jalan perundingan dengan Inggris dan AS yang hal ini ditentang oleh Tan Malaka. Mengenai Letkol. Untung anggota pasukan pengawal Presdien (Cakrabirawa) yang menjadi tokoh Gerakan 30 September dan Ketua Prseidium Dewan Revolusi, Pak Harto telah mengenalinya sebagai anak buahnya di kesatuan yang dipimpinannya di Solo. Menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965 berbagai isu telah berkembang di masyarakat, yang mengindikasikan akan terjadinya peristiwa politik yang benar. Aksi-aksi sepihak terjadi dimana-mana seperti Jawa Tengah, jawa Timur dan juga Sumatera Utara. Aksi-aksi sepiak itu berupa perebutan hak atas tanah yang dinilai telalu besar dan dimiliki oleh perseorangan. Di Jawa Tengah dan jawa Timur perebutan hak atas tanah-tanah wakaf yang dimiliki oleh pesantren-pesantren telah menimbulkan konflik terbuka dengan kalangan umat Islam. Meskipun semua itu sebenarnya merupakan sebuah indikasi akan terjadinya suatu peristiwa politik yang besar, ternyata banyak juga yang tidak menyadari bahwa hal itu akan terjadi dalam waktu yang dekat. Kalangan militer khususnya TNI/Angkatan Darat sangat yakin bahwa apapun yang terjadi PKI tidak mampu melakukan kudeta. Padahal di masyarakat politik setidaknya telah beredar rumor bahwa “clash” antara Angkatan Darat dan PKI tinggal menunggu waktu saja. PKI sendiri nampaknya juga semakin yakin bahwa kemenangan itu sudah diambang pintu, PKI semakin berani hendak memksa kehendaknya terhadap Bung Karno. Apabila selama ini PKI hanya melalui “jalan belakang”, melalui lobi atau konsep-konsep yang disodorkan kepada Bung Karno PKI merasa sudah saatnya secara terbuka hendak memaksakan keendaknya pada Bung Karno. Mungkin juga sebuah test-case terhadap Bung Karno sejauh apa keterikatan Bung Karno terhadap garis politik PKI. Menjelang peristiwa tragedi G30S adalah sebuah realitas dari sejarah bangsa Indonesia yang masih menjadi subyek interpretasi yang kontroversial dan penuh dengan misteri. Berbagai versi muncul berkaitan dengan siapakah dalang di balik peristiwa G30S? Siapakah aktor kunci di balik misteri tragedi G30S? Namun demikian, versi resmi “Orde Baru” yang telah memvonis PKI sebagai dalang satu-satunya di balik G30S, masih terus membelenggu memori kolektif sebagian masyarakat bangsa ini. Implikasinya, bangsa ini terus “terpenjara” dalam ingatan sejarah masa silam yang kelam dan terus menerus hidup dalam sebuah relasi yang “sakit” (abnormal). Pada peristiwa 30 September 1965 terdapat berbagai isu telah berkembang di masyarakat, yang mengindikasikan akan terjadinya peristiwa politik yang besar. Di surat kabar “Bintang Timur”, para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) juga telah ikut mengindikasikan akan adanya peritiwa besar. Sajak-sajak yang dimuat dilembar kebudayaan surat kabar itu antara lain adalah: Kunanti Bumi yang memerah Darah, oleh Mawie (Bintang Timur, 21 Maret 1965). Selain itu lembaran “Lentera” Surat kabar Bintang Timur juga dimuat sebuah naskah judul: Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total”, yang ditulis oleh Pramudya Ananta Tor (9 Mei 1965). Kedua tulisan itu merupakan isyarat bahwa sebuah peristiwa besar akan terjadi. Tahun 1965 merupakan tahun pembabatan secara total, sampai keakar-akaranya, terhadap lawan-lawan PKI. Sudah tentu selain menimbulkan pertanyaan mengapa mereka sudah tau juga sangat menggelisahkan dunia seniman dan cendekiawan, namun, indikasi yang paling jelas terjadi hanya beberapa hari sebelum G30S, Brigjen Sugandhi, melampirkan percakapan dengan Sudisman dan DN Aidit, keduanaya tokoh PKI (27 Sepetember 1965) bahwa PKI akan melancarkan “Kudeta”, meskipun tidak memperoleh respons yang memamadai dari Bung Karno. Kepada Brigjen Sugandhi mengatakan, DN Aidit memang menolak istilah “kudeta” dan mengatakan, langkahnya itu adalah untuk membersihkan “Dewan Jenderal” (yang akan melakukan kudeta) yang dalam hal ini juga dibantah oleh Sugandhi, oleh karena Dewan Jenderal itu dikatakannya sebagai tidak ada. Bung Karno bahkan menganggap Sugandhi telah dihinggapi penyakit komunis topobia, sebuah sebutan yang sangat popular diwaktu itu bagi orang-orang yang mewaspadai bahayanya kaum komunis. 

Dikalangan pimpinan Angkatan Darat, meskipun laporan – laporan serupa juga sempat disampaikan pada pimpinan Angkatan Darat, ternyata juga tidak mendorong langkah untuk mewaspadai peristiwa seperti itu. Penanganan terhadap para pemimpin Angkatan Darat juga berjalan seperti biasa. Hal ini terbukti dengan keberhasilan Gerakan 30 September untuk menculik para Jenderal pimpinan Angkatan Darat dalam waktu ynag secara singkat. Isu Dewan Jenderal yang sudah beredar sejak bulan Mei 1965, seolah-olah sudah selesai dengan telah dijelaskannya masalah isu Dewan Jenderal kepada Bung Karno oleh Jenderal Ahmad Yani. Demkian juga Dokumen Gilchrist yang mengindikasikan kemungkinana perebutan kekuasaan dengan dibantu oleh “our local army friends”. Di kalangan Angkatan Darat ada keyakinan yang dibantah oleh Bung karno yang masih memimpin bangsa ini PKI tidak akan dapat merebut kekuasaan Negara. Demikian juga bagi Mayjen Soeharto Panglima Kostrad di waktu itu ketika Kol. Latief menemui Pak Harto di RS Gatot Soebroto tanggal 30 September malam, Pak Harto tidak menganggap serius laporan Kol. Latief. Ketika itu Kol. Latief melaporkan akan terjadinya kudeta Dewan Jenderal yang dibantah oleh Pak Harto karena Dewan Jenderal yang dimaksudkan Kol. Latief itu tidak ada. Meskipun Kol Latief berusaha meyakinkan, Pak Harto tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang serius. Meskipun semua itu sebenarnya merupakan sebuah indikasi akan terjadinya suatu peristiwa politik yang besar ternyata banyak juga yang tidak menyadari bahwa hal itu akan terjadi dalam waktu yang dekat. Kalangan militer, khususnya TNI/Angakatan Darat sangat yakin bahwa apapun yang terjadi PKI tidak mampu melakukan kudeta. Ternyata antara lain dipicu oleh sakitnya Bung Karno pada tanggal 4 Agustus 1975. Berita yang beredar Bung Karno telah jatuh pingsan. Siapa yang akan mendahului seandainya bung Karno wafat atau tidak bisa melaksanakan seandainya sebagai Presiden sementara antara PKI dan TNI/Angakatan Darat sudah tidak mungkin dipertemukan? Kenyataan seperti itu sudah tentu menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak termasuk Negara adikuasa, Blok Barat dan Timur didalam mempererat strategis. PKI sendiri nampaknya juga semakin yakin bahwa kemenangan itu sudah diambang pintu. PKI semakin berani hendak memaksakan kehendaknya terhadap Bung karno. Apabila selama ini PKI hanya melalui “jalan belakang” melalui lobi atau konsep-konsep yang disodorkan kepada Bung Karno, PKI merasa sudah saatnya, secara terbuka hendak memaksakan kehendaknya pada Bung Karno. Mungkin juga sebuah test-case terhadap Bung Karno, sejauh apa keterikatan Bung Karno terhadap garis politik PKI.  Bung Karno, kemudian juga menganugerahkan Bintang maha Putera kelas III bagi DN Aidit, ketua CC PKI pada tanggal 13 September 1965, hanya dua minggu sebelum Gerakan 30 September 1965, hanya dua minggu sebelum Gerakan 30 September meletus, atas contoh kepahlawanan dan teladan dalam kepemimpinan politik. Selanjutnya pada tanggal 29 September 1965, Konsentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) sebuah orgnaisasi mahasiswa ekstra-universiter, onderbouw PKI, menyelenggarakan Kongresnya, yang dibuka dengan rapat umum di Gelora Bung Karno. Lebih 10.000 masa mahasiswa dan pemuda hadir digedung olahraga itu. Bung Karno Wakil Perdana Menteri Dr. Leimana dan Ketua CC PKI, DN Aidit hadir disana setelah berhasil mengeluarkan HMI dari PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia) pada tanggal 21 Oktober 1964, CGMI/PKI hendak memaksakan tuntutan pembubaran HMI. Pergulatan isu pembubaran HMI, nampaknya sudah sampai pada “hidup atau mati”. PKI tidak menduga akan memperoleh perlawanan begitu besar. Sebagai Ketua Umum PB HMI mencermati kebijakan PKI bahwa itu langkah yang hanya satu taktik dari sebuah strategi besar merebut kekuasaan di negeri ini sebab bukan HMI yang mampu mencegah strategi itu tetapi Bung Karno dan Angkatan Darat dengan isu pembubaraan HMI menjadi berhadapan secara langsung dengan PKI. 

Selain itu HMI juga harus pandai menempatkan diri sebagai bagian dari kekuatan yang progresif revolusioner. Konsisten terhadapnya sebagai kader umat dan bangasa. HMI harus melibatkan diri dalam seluruh perjuangan bangsa. Misalnya ketika Bung Karno menyiarkan untuk mengganyang Malaysia antara lain dengan membentuk sukarelawan Dwikora. Sebagai ketua PB HMI ikut bergabung sebagai sukarelawan dokter Dwikora, mengikuti militer, dan siap untuk diberangkatkan ke garis depan. Bung Karno akan sulit menolak tuntutan pembubaran HMI yang disampaikan secara terbuka di Gelora Bung Karno oleh DN Aidit dan CGMI. Seandainya HMI gagal menempatkan diri sebagai bagian dari kekuatan progresif revolusioner dan merupakan organisasi mahasiswa yang dinamis. Terakhir adalah solidaritas yang diberikan oleh seluruh partai, organisasi dan generasi muda islam yang menolak tuntutan pembubabaran HMI (Mei, 1965). Partai-partai dan organisasi Islam itu tentunya tidak akan membela HMI, apabila HMI gagal menempatkan diri sebagai masalah nasional, bahkan menjadi pertaruhan nasional sehingga menghasilkan sebuah kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatan PKI. Semua itu menunjukkan bahwa PKI ternyata telah kecele dengan kebijaksanaannya untuk membubarkan HMI. Kekeliruan ini juga merupakan salah satu sebab mengapa Gerakan 30 September dapat cepat ditangkal dan memperoleh perlawanan dari organisasi politik dan kemasyarakatan. Antara lain karena kesiapan HMI, PMKRI dan kelompok lainnya, di dalam menghadapi  kemungkinan yang terburuk sejak 1 Oktober 1965.

Detik-detik di sekitar peristiwa G30S pada hari Jum’at 1 Oktober 1965. Pagi-pagi salah seorang Ketua PB NU, berada di rumah Subchan di Jalan Banyumas 4 Magelang, Menteng. Sekitar jam 07.30 telepon berdering ternyata Syarifuddin Harahap salah seorang Ketua PB HMI memberikan kabar bahwa ada kudeta. Pernyataan Syarifuddin Harahap itu berdasar pengumuman RRI yang berbunyi sebagai berikut : “Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibukota Republik Indonesia Jakarta telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan lainnya. Gerakan 30 September yang dikepalai oleh Letkol Untung Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Bung Karno ini ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota apa yang menanamkan dirinya “Dewan jenderal”. Sejumlah Jenderal telah ditangkap dan alat komunikasi yang penting – penting serta obyek-obyek vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan G30 September. “Dewan Jenderal adalah gerakan subsersif yang disponsori oleh CIA dan waktu belakangan ini sangat aktif terutama dimulai ketika Bung Karno menderita sakit yang seirus pada minggu pertama di bulan Agustus yang lalu. Harapan mereka bahwa Bung Karno akan meninggal dunia sebagai akibat dari penyakitnya tidak terkabul”. 
Oleh karena itu untuk mencapai tujuannya Dewan Jenderal merencanakan pameran kekuatan pada Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober yang akan datang dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa tengah dan Jawa Barat. Dengan konsentrasinya kekuatan militer besar ini di Jakarta, dewan jenderal bahkan telah merencanakan untuk mengadakan coup kontrarevolusioner. Letkol. Untung telah mengadakan gerakan yang ternyata telah berhasil dengan baik. Menurut keterangan yang didapat dari Letkol. Untung Komandan Gerakan 30 September gerakan ini semata-mata gerakan dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan Jenderal yang telah berbuat mencemarkan nama Angkatan Darat, bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Bung Karno. Letkol. Untung pribadi menganggap gerakan ini adalah suatu keharusan baginya sebagai warga Cakrabirawa yang berkewajiban melindungi keselamatan Presiden dan Republik Indonesia. 
“Komandan Gerakan 30 September itu selanjutnya menerangkan bahwa tindakan yang telah dilakukan di Jakarta terhadap Dewan Jenderal akan diikuti tindakan-tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki tangan dan simpatisan-simpatisan Dewan Jenderal yang ada di daerah-daerah. Letkol Untung sebagai Komandan Gerakan 30 September menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia supaya terus mempertinggi kewaspadaan dan membantu Gerakan 30 September dengan sepenuh hati untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari perbuatan-perbuatan jahat Dewan Jenderal dan kaki tangannya agar dapat melaksanakan penderitaan rakyat dalam arti kata yang sesungguhnya. Kepada para Perwira, Bintara dan Tamtama Angatan Darat di seluruh tanah air, Komandan Letkol. Untung menyerukan supaya bertekad dan berbuat untuk mengikiskan habis pengaruh-pengaruh Dewan Jenderal dan kaki tangannya dalam Angkatan Darat, jenderal-jenderal dan perwira yang gila kuasa, yang menelantarkan nasib anak buah, yang diatas penderitaan anak buah hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya menghina kaum wanita dan menghambur-hamburkan uang Negara harus ditendang keluar dari Angkatan Darat dan diberi hukuman setimpal. Angkatan Darat bukan jenderal-jenderal tapi milik semua prajurit Angakatan Darat yang setia pada cita-cita revolusi Agustus 1945. Kepada pasukan-pasukan Angakatan Bersenjata diluar Angkatan Darat, Komandan Letkol. Untung menyatakan terimakasihnya atas bantuan mereka dalam tindakan pembersihan dalam Angakatan Darat dan mengharapkan supaya dalam Angkatan masing-masing diadakan pembersihan terhadap kaki tangan dan simpatisan-simpatisan Dewan jenderal.  Dalam waktu yang singkat Komandan Letkol. Untung akan mengumumkan Dektit I tentang Dewan revolusi Indonesia yang kemudian akan disusul oleh dekrit-dekrit lain itulah sekelumit gambaran keadaan di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Tidak ada yang menduga, bahwa sebuah peristiwa politik besar telah terjadi. Dimulai pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, diawali dengan penculikan dan pembunuhan terhadap para pemimpin teras TNI/Angakatan Darat, yaitu Jenderal Ahmad Yani, Mayjen S.Parman, Brigjen Panjaitan, Brigjen Sutoyo, Mayjen Haryono, Mayjen Suprapto, dan Jenderal Nasution. Jenderal Nasution berhasil lolos, namun ajudannya Mayor Pierre tendean dan seorang puterinya, Ade Irma Suryani Nasution menjadi korban. Tujuan Gerakan 30 September sebagaimana di katakan dalam pengumuman RRI itu adalah hendak menggagalkan kudeta Dewan jenderal bersamaan dengan HUT TNI/ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Isu Dewan jenderal ini beredar sejak sekitar bulan Mei 1965 disebarkan oleh kalngan PKI namun tidak jelas dari mana sumbernya. Demikian juga Isu Dokumen Gilchrist yang mengindikasikan adanya perebutan kekuasaan yang direkayasa asing dengan dukungan “our local army friends” yang sebuah dokumen yang sebenarnya tidak layak untuk dipercayai. Untuk serangkaian G30S melakukan pertemuan yang berlangsung sejak 6 September sampai menjelang tanggal 30 Spetember 1965, diikuti dan diarahkan oleh Syam Kamaruzaman dan Soepono yang kemudian hari dikenal sebagai anggota Biro Khusus PKI. Serangkaian pertemuan-pertemuan itu menyimpulkan bahwa Dewan jenderal harus diselesaikan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pesan DN Aidit, Ketua CC PKI yang disampaikan oleh Syam pada pertemuan-pertemuan itu untuk itu juga diperlukan mobilisasi kekuatan militer dan rakyat, kekuatan militer dari berbagai angkatan, sedangkan kekuatan sipil bertumpu pada Pemuda Rakyat. Demikianlah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal pimpinan teras TNI/Angkatan Darat itu berlangsung. Sehingga hari itu terjadi kudeta sudah merupakan kesimpulan banyak kalangan, Mayjen Soeharto, yang diwaktu itu adalah Panglima Kostrad, bahkan telah menyimpulakn bahwa PKI berada dibalik peristiwa Gerakan 30 September itu. Mayjen Soeharto mencermati peristiwa itu dari serangkaian peristiwa yang mendahului peristiwa itu misalnya maraknya aksi-aksi sepihak oleh BTI/PKI dan juga pengenalannya dengan tokoh-tokoh Gerakan 30 September termasuk tokoh utamanya yaitu Letlkol. Untung. Apa yang terjadi pada tanggal 30 September itu ternyata telah membuka halaman baru bagi sejarah Indonesia. 

Banyak pandangan bahwa suasana politik diawal 1965 memang sudah sangat kondusif bagi PKI kejalan ekkuasaan di Indonesia. seandainya tidak terjadi peristiwa Gerakan 30 September PKI mungkin akan dapat mewujudkan jalan ke kekuasaan dengan jalan damai. Hampir semua isu politik sudah sejalan dengan garis perjuangan PKI, namun begitu jauh peran PKI dalam penyelenggaraan Negara sebenarnya masih sangat terbatas. Bung Karno meskipun sejak 1965 telah melontarkan gagasan “Kabinet Kaki-Empat” namun segitu jau PKI baru menduduki portofolio ysng tidak strategis atau penting. Bung Karno masih belum memberi peluang kepada PKI untuk menduduki posisi yang strategis dalam kabinet. Dalam aspek ini jalan kekerasan mungkin salah satu alternatife yang memang menjadi pertimbangan bagi PKI hanya mungkin terlalu pagi jalan kekerasan itu ternyata berdampak fatal. Sebab ABRI khususnya TNI/Angkatan Darat tidak hanya merupakan kekuatan yang masih belum dapat dikuasainya bahkan menjadi lawan politiknya. Gerakan 30 September tidak hanya telah menggagalkan sebuah impian yang selama bertahun-tahun ingin mewujudkan tetapi juga telah menghancurkan Partai Komunis terbesar ketiga didunia hanya dalam waktu sekejap. Pada tahun 1948 usai di Indonesia menghadapi pemberontakan PKI 1948, Belanda melancarkan penyerbuan ke Indonesia yang dikenal sebagai perang kemerdekaan  kedua. Mengapa tokoh PKI antara lain DN Aidit, Alimin dan Tan Ling Djie dapat lepas dari pertanggungjawaban peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 dan keluar dari Penjara Wirogunan. DN Aidit lah yang kemudian membangun PKI diawal tahun 1950-an dan ketika pemilu berlangsung untuk pertama kalinya (1955) PKI berhasil keluar sebagai pemenang keempat pemilu itu, PKI menampilkan strategis yang jitu yaitu memperkenalkan tanda gambar “Palu Arit” sebagai gambar tanda PKI dan orang-orang tidak berpartai. PKI memperoleh suara 6.176.914 atau 16,4% tetapi suara yang diperoleh oleh PKI ini untuk Pulau Jawa melampaui suara yang diperoleh oleh Masyumi yang keluar sebagai pemenang kedua setelah PNI. Bung karno mengesankan mengajak PKI untuk masuk dalam kabinet hal ini kalau tidak pernah dilakukannya termasuk ketika seluruh kekuatan sudah berada ditangannya pasca Dekrit Presiden 1959 dan menjelang Gerakan Tigapuluh September disaat Bung Karno sangat membutuhkan dukungan PKI sekalipun hanya menempatkan tokoh-tokoh PKI dalam portofolio “Menteri Negara” misalnya DN Aidit yang menduduki jabatan menteri karena DN Aidit adalah Wakil Ketua MPRS. Sementara itu setelah Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat (1962) sudah tentu saatnya untuk membangun Indonesia sangat terbuka luas, tetapi perkembangan politik regional dan internasional ternyata lain. 

Pada awal 1964 Indonesia keluar dari PBB sikap Indonesia itu disebabkan karena PBB telah menerima Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB karena itu Bung Karno mengatakan bahwa Malaysia adalah proyek Nekolim (Inggris dan sekutunya). Suatu hal yang tidak mustahil untuk membendung teori domino berikan komunisme ke Selatan, Bung Karno kemudian juga mencanangkan untuk menggalangnya “The new Emerging Forces” dengan markas besarnya di Jakarta Gedung DPR/MPR yang berdiri sekarang sebenarnya dirancang untuk menandingi markas besar PBB di New York. Dengan kebijakan politik seperti itu bung Karno sudah tentu memerlukan dukungan kekuatan dalam juga luar negeri termasuk Negara-negara yang sedang berlembang. PKI sebagai bagian kekuatan komunisme Internaisonal, sudah tentu memiliki akses keduanya, memiliki jaringan dan kekuatan politik yang riil di dalam negeri serta mempunyai pengaruh di luar negeri melalui kerja sama kaum Komunis Internasional. Selain itu sejak bulan Mei 1965 beredar dua isu yang menyelimuti udara politik di Jakarta yang sudah semakin panas itu, dua isu adalah Dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno. Dokumen Gilchrst adalah sebuah copy radiogram dari Dubes Inggris di Jakarta, Tuan Gilchrist yang ditujukan kepada menteri Luar Negeri Inggris, Dokumen diketik pada sebuah kop surat Kedutaan Besar Inggris di Jakarta yang konon ditemukan di rumah Bill Pamlmer, seorang pengusaha film AS ketika rumahnya digrebek oleh masa pemuda. Dokumen itu kemudian diterima oleh Wakil Perdana Menetri Subandrio lewat pos, istrinya seolah-olah ada komitmen antara AS dan Inggris untuk melaksanakan Komitmennya itu kemudian diinterpretasikan sebagai perebutan kekuasaan terhadap Bung Karno. Dokumen itu konon di produsir oleh intelijen Cekoslovakia dibantu oleh dinas rahasia Uni Soviet sedangkan isu Dewan Jenderal yang juga akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno tidak jelas dari mana asal usulnya, konon isu Dewan Jenderal itu awalnya justru dari DN Aidit. Kedua isu itu nampaknya dipercayai sebagai benar dampaknya sudah tentu membuat suasana politik semakin panas. Masyarakat politik tentu diarahkan pada apa yang bakal terjadi dengan berbagai isu itu sementara di permukaan terasa PKI semakin melakukan ofensifnya terhadap lawan-lawan politiknya antara lain melalui aksi-aksi sepihak, tuntutan terhadap pembentukan Angkatan Kelima, mempersenjatai rakyat disamping ABRI, Nasakomisasi disegala bidang termasuk pada Angkatan Bersenjata serta tuntutan terhadap pembubaran HMI. Kekerasan juga sudah tidak ada terelakkan demikian juga konflik-konflik dengan memiliki tanah yang luas hal itu menandai konflik yang sudah terbuka antara PKI dan kekuatan anti-PKI termasuk dengan Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani Menteri Panglima Angkatan Darat meskipun tidak menentang secara frontal selalu membelokkan berbagai isu itu. Jenderal Ahmad Yani tidak mau dikesankan sebagai melawan sikap Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi dan Panglima Tertinggi angkatan Bersenjata Republik Indonesia terhadap tuntutan Nasakomisasi ABRI, Jenderal Ahmad Yani mengakatakan bahwa ABRI sudah berjiwa Nasakom (dengan pengertian Nasasos) karena itu tidak diperlukan Nasakomisasi sedangkan mengenai pembentukan Angkatan Kelima, jenderal Ahmad Yani mengatakan bahwa semua kelompok rakyat akan dipersenjatai tidak hanya satu Angkatan Kelima yang hendak mempersenjatai Pemuda Rakyat gagal. 

Dengan suasana politik yang semakin panas munculah berita bahwa Bung Karno sakit keras, diberitakan pingsan (collaps) pada tanggal 4 Agustus 1965. DN Aidit sepulang dari kunjungan ke RRC ternyata membawa 5 (lima) orang dokter dari Cina untuk ikut memberi pertolongan kedokteran kepada Bung karno. Mereka menyimpulkan bahwa kesehatan Bung karno dapat membahayakan kelangsungan kepemimpinannya dan hal itu dapat terjadi setiap saat yang tidak dapat diduga sebelumnya informasi seperti inilah yang agaknya menjadi kunci peristiwa selanjutnya yang merubah perjalanan bangsa Indonesia. G30S adalah Persoalan Intern TNI/Angakatn Darat bahwa persoalan intern Angkatan Darat sebagaimana dikemukakan oleh apa yang kemudian dikenal sebagai “Cornel Paper”. Selain oleh kenyataan bahwa G30S itu dilakukan dan dipimpin oleh kalangan Angkatan Darat dalam pengumumamn Dewan Revolusi dan dekrit I juga tersirat rasa ketidaksenangan kalangan perwira progresif revolusioner terhadap para jenderal yang dianggap sebagai merugikan nama baik Angkatan Darat dengan lebih suka berfoya-foya dan lain sebagainya. Bahwa dalam gerakan tersebut dimotivasi oleh adanya kudeta Dewan Jenderal kiranya dapat dipahami sebagai isu yang menarik mengingat kesetian rakyat kepada Bung Karno yang sangat besar sehingga dapat dijadikan motivasi yang kuat di internal G30S disamping adanya harapan untuk memperoleh dukungan rakyat untuk itulah G30S mengklaim Bung Karno berada dalam keadaan aman dan dalam perlindungannya meskipun pada kenyataan tidak seperti itu. Sejak peristiwa G30S meletus dipagi buta tanggal 1 Oktober, Bung Karno tidak pernah berhubungan apalagi dalam perlindungan G30S. namun teori G30S sebagai peristiwa intern Angkatan Darat sebenarnya sudah terpatahkan dengan Dekrit I Dewan Revolusi yang menyimpulkan bahwa G30S mempunyai jangkauan yag sangat jauh terkait dengan kekuasaan, tidak sekedar menyingkirkan Dewan Jenderal yang dikatakan akan melakukan kudeta terhadap Bung karno sebab G30S itu sendiri ternyata merupakan sebuah gerakan untuk perebutan kekuasaan. Hal ini disimpulkan dari Dekrit I Dewan Revolusi itu sendiri : 
1.      Bahwa Dewan jenderal Revolusi akan dibentuk di seluruh Indonesia sampai kedesa-desa dan akan merupakan sumber segala kekuasaan
2.      Bahwa Kabinet Dwikora dinyatakan demisioner
3.      Nama Soekarno tidak terdapat dalam Dewan Revolusi
Dengan memperhatikan isi Dekrit I itu memang dapat menimbulkan pertanyaan siapa yang memperiapkan Dekrit I itu? tentunya ada dua alternative :
1.      Dipersiapkan oleh Gerakan 30 September sendiri. Kalau benar demikian berarti Gerakan 30 september adalah sebuah kudeta militer
2.      Dipersiapkan oleh kelompok/orang lain yang berada dibelakang layar G30S. realita ini diakui oleh Letkol Untung. Dekrit I Itu dipersiapkan Biro Politik (Syam Kamaruzaman). Naskah itu ditanda tangani pada pagi hari sebelum ada tanda-tanda kegagalan G30S. 

Dapat disimpulkan bahwa jangkauan G30S tidak hanya terkait dengan internal TNI/Angkatan Darat tetapi terkait dengan sebuah perebutan kekuasaan politik di negeri ini, hal ini terlepas bahwa G30S telah memanfaatkan keadaan internal TNI/Angkatan Darat untuk menjadi motivasi gerakannya. Kudeta Soeharto terhadap Soekarno bahwa sebuah rangkaian peristiwa itu adalah sebuah kudeta Pak harto terhadap Bung karno. Teori ini berdasar realita bahwa akhir dari semua peristiwa itu adalah jatuhnya Bung Karno dan munculnya Pak Harto sebagai Presiden kedua RI, teori ini banyak dipercayai sebagai teori yang benar oleh kalangan yang dekat dengan Bung karno dan juga oleh kalanagan eks-tahanan politik G30S, teori ini percaya bahwa Pak Harto sudah tau atau sudah diberitahu oleh Kol. Latief salah satu penggerak G30S hanya beberapa jam sebelum G30S berlangsung namun membiarkan peristiwa itu terus berlanjut. 
Sepintas teori tersebut sangat logis, namun apa yang terjadi sesungguhnya tidak sederhana teori itu proses pegantian berjalan sangat yang alot bahkan melelahkan. Sebabnya karena Pak Harto disaat itu belum siap atau bahkan tidak bersedia untuk pergantian kekuasaan. Pak Harto sebenarnya sangat loyal kepada Bung Karno. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Pak Harto telah memiliki firasat bahwa PKI berada dibalik Gerakan 30 September sejak awal ketika ia diberitahu oleh Mashuri. Tetangganya di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Hari itu juga pada jam 06.30 pagi Pak Harto telah berada di Markas Kostrad dan sesuai dengan konvensi yang berlaku ia mengambil keputusan untuk mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat. Meskipun tidak menolak dengan tegas, Pak Harto juga mengabaikan pengangkatan karakter Pimpinan Angkatan Darat, Jenderal Pranoto Reksosamodra yang diangkat oleh Bung Karno setelah mengetahui bahwa jenderal Ahmad Yani telah tiada sikap seperti ini dikalangan Angkatan Darat bukan hal luar biasa ketika dirasakan Negara dalam krisis sebagaimana juga pernah dilihatkan oleh Jenderal Soedriman terhadap Bung karno diawal revolusi. Jenderal Soeharto juga tidak dapat memenuhi panggilan Bung karno untuk datang ke Halim oleh karena Halim adalah wilayah yang telah dijadikan markasnya G30S. 

Sementara itu begitu peristiwa G30S meletus desakan rakyat agar Pak Harto segera mengambil alih kekuasaan semakin lama semakin besar, namun proses itu baru terjadi pada tahun 1967 dua tahun setelah peristiwa G30S dikalangan aktivis mahasiswa sikapnya sering dinilai sangat lamban. Pada tanggal 2 Oktober telah keluar pernyataan organisasi/ partai politik untuk menuntut pembubaran organisasi-organisai yang mendukung G30S dan pada tanggal 4 Oktober sebuah rapat umum telah berlangsung di Taman Suropati menuntut pembubaran PKI. Peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi awal berdirinya Komando Aksi Pengganyangan G30S/PKI yang kemudian dikenal sebagai KAP Gestapu atau Front Pancasila, KAP Gestapu/Front Pancasila ini dipimpin oleh Subchan ZE, seorang Ketua PB. NU dengan Sekjen Harry Tjan Silalahi dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang kemudian menjadi Sekjen Partai katolik. Setelah itu lahirlah berbagai Kesatuan Aksi, termasuk KAMI (Kesatuan Mahasiswa Indonesia) yang kesemuanya kemudian melahirkan suatu gelombnag yang dasyat gelombang tuntutan terhadap pembubaran PKI. Nampaknya ada stigma ideology yang masih menyelimuti Pak Harto disebabkan adanya konflik ideologi yang sangat tajam menjelang G30S karena itu nama KAP Gestapu kemudian juga dilengkapi dengan “Front Pancasila”. Front ideologi yang berlawanan dengan Komunisme yang tidak Pancasilais. 

G30S adalah rekayasa Soekarno teori ini mengatakan bahwa Gerakan 30 September merupakan rekayasa Bung Karno untuk menyingkirkan pimpinan TNI/Angkatan Darat (Ahmad Yani dkk) dengan menggunakan Letkol. Untung Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa pasukan pengawal pribadi presiden digambarkan apa yang dilakukan oleh Letkol Untung adalah perintah Bung Karno. Teori ini dilandasi oleh asumsi bahwa TNI/Angkatan Darat belum sepenuhnya mendukung kebijakan Bung Karno baik dalam konfrontasi dengan Malaysia maupun dengan berbagai isu politik yang dilontarkan Bung Karno misalnya dengan nasakomisasi di segala bidang pembentukan Angkatan Kelima dan lain sebagainya. Tujuannya untuk menyingkirkan TNI/Angkatan Darat suatu hal yang sebenarnya sangat naïf sebab Bung Karno mengetahui Jenderal Ahmad Yani sering “membandel” dengan gagasan yang dilontarkan Bung Karno, Jenderal Ahmad Yani adalah sangat loyal kepadanya Bung Karno bahkan membiarkan Ahamad Yani bersikap seperti itu dalam rangka menjaga keseimbangan politik yang diperankannya. Dalam teori ini dikesankan Bung karno telah mengetahui terlebih dahulu rencana G30S namun  bukan maksud Bung Karno untuk membunuh Jenderal, terbunuhnya Jenderal sebenarnya diluar analisis teori itu. 

G30S adalah Konspirasi DN Aidit/Soekarno dan Mao Ze Dong dalam analisis atau teori ini digambarkan bahwa telah terjadi kesepakatan antara Bung karno, DN Aidit dan Mao Ze Dong tentang masa depan Indonesia terkait dengan sakitnya Bung karno. Kepada DN Aidit dan Mao Ze Dong menganjurkan untuk mendahului perebutan kekuasaan dengan atau tanpa Bung Karno. Gerakan 30 September merupakan awal pelaksanaan analisis/teori itu yang kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Gotong Royong dimana DN Aidit menjadi Perdana Menteri dan Omar Dhani menjadi presiden sedangkan Bung karno direncanakan untuk beristirahat di sebuah danau : ”Swan Lake” di China menyembuhkan penyakitnya. Pelaksanaan analanisis teori itu dikatakan dengan 3 alternatif :
Seluruh analisis/teori mengikut sertakan Bung Karno dari awal sampai akhir. Hal ini akan terjadi kalau Bung karno menyetujui “komitmennya: yaitu Operasi G30S berjalan sesuai dengan rencana Bung Karno mendukung G30S dan Bung Karno bersedia melakukan pembentukan Kabinet Gotong Royong
Sebagian analisis/teori bersama Bung karno dan sisanya tanpa Bung Karno 
Tanpa Bung Karno sejak awal.

G30S adalah Provokasi Asing bahwa ditengah puncak perang dingin antar Blok Barat (Inggris dkk) dan blok Timur (Komunisme Internasional) diwaktu adalah sangat wajar apabila Negara-negara adikuasa berkepentingan terhadap masa depan Indonesia dalam pertarungan untuk memenangkan sebuah strategi merebut Indonesia sudah tentu banyak interaksi berbagai kepentingan. Peran intelijen asing itu sudah tentu berusaha untuk mempengaruhi sikap Indonesia ditengah pergolakan Internasional diwaktu itu. PKI dibalik G30S tragedi 1965 selama ini dipercayai sebagai sebuah kudeta PKI bahwa PKI berambisi mencapai puncak kekuasaan, sebenarnya adalah wajar dan bahkan hak PKI. Kalangan luas masyarakat kita juga sudah menyadari kemungkinan itu masalahnya apakah ambisi itu akan dicapai dengan jalan damai atau melalui sebuah jalan kekerasan sebagaimana peristiwa 1948. Persiapan kearah jalan kekuasaan sebenarnya dengan sangat rapi memang dipersiapkan oleh PKI sejak tahun 1954 ketika diselenggarakan pemilu yang pertama PKI telah memperkenalkan sebuah strategi yang jitu. Tanda gambar : “Palu Arit” diperkenalkan sebagai gambar PKI dan orang-orang tidak berpartai, dengan tujuan untuk merangkul orang-orang yang belum tergabung dalam salah satu partai politik yang ada. 

Hasilnya sangat mengejutkan PKI keluar sebagai pemenang keempat pemilu, jauh melampaui PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang diwaktu itu diprediksikan akan memperoleh suara yang bermakna.

~ Meisa Clarita Arifiani

SekarangTau 

0 komentar:

Posting Komentar