Rabu, 03 Oktober 2018

Anak Njoto, Svetlana: Bapakku Orang Sabar dan Penyayang


Pebriansyah Arief - Rabu, 03 Oktober 2018 | 13:12 WIB

Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto. [Suara.com/Abdus Somad]

Svetlana sebagai anak pertama Njoto menceritakan semua yang dilakukan Njoto tidak bisa lepas dari nalurinya untuk peduli antar sesama bahkan mempunyai karakter kuat untuk menyanyangi semua manusia.

Suara.com - Sebagai seorang anak yang lahir dari seoarang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) banyak hal yang didapat seperti pengetahuan, kebahagiaan sampai penderitaan. Itulah yang dirasakan oleh Svetlana anak dari Njoto yang merupakan pemimpin PKI.

Di balik kecerdasannya Njoto yang telah mendirikan Lembaga Kebudyaan Rakyat (Lekra) menghidupkan kembali semangat juang PKI sampai pada memberikan napas pemersatu rakyat yang berorientasi pada kesejahteraan bagi rakyat Indonesia berjuang bersama rakyat. Njoto adalah orang yang sabar dan penyayang.

Ia membuat segalanya untuk keluarga, di saat ia senggang waktu dibuat untuk keluarganya.

Svetlana sebagai anak pertama Njoto menceritakan semua yang dilakukan Njoto tidak bisa lepas dari nalurinya untuk peduli antar sesama bahkan mempunyai karakter kuat untuk menyanyangi semua manusia.

Namun sayangnya keberadaanya tak dapat diketahui sampai saat ini. Ia hilang setelah peristiwa G 30 September (Gestok) terjadi. Meskipun sempat menengok keluarga pada dua hari setelah Gestok terjadi, Njoto dalam pengakuan Svetlana tidak pernah bertatap muka maupun berkomunikasi kembali bahkan sampai saat ini.

Suara.com menemui Svetlana yang berada di Yogyakarta dari ceritanya kita mengetahui lebih dekat bagaimana Njoto dari kaca mata seorang anak yang kala itu masih berusia 9 tahun.

Bapak Anda pada saat kabinet Soekarno menjabat sebagai menteri. bagaimana Anda melihat hal itu?

Kami dapat mobil dinas menteri, bapakku nggak bisa nyopir jadi selalu ada sopirnya, sudah gitu saja, yang lainya normal nggak seperti menteri-menteri di era kemudian yang mengalami kenyamanan hidup. Bapak saya biasa saja wong ke sekolah saya diantar naik becak. Itupun kalau jadwalnya berdekatan dengan bapak, kalau di jemput juga naik becak.

Bapak saya pernah melihat tukang becak yang biasa mangkal di depan rumah, sama bapak malah dikasi tempat tidur di belakang rumah, nah tukang becak itu yang biasa antar dan jemput saya.

Njoto (kanan berkacamata) dan Ketua CC PKI DN Aidit. [Dok. majalah Life]

Nah bicara soal sabar tadi sabar tadi pernah suatu ketika saya bermain di tempat kerja bapak saya, saat itu saya recokin kerjaan bapak saya tapi dia gak pernah marah. Saya malah dipangku disuruh ngetik bersama, belajar nulis.

Pokoknya sabar banget. Banyangkan dulu kalau salah ngetik pakai mesin ketik kan susah banget memperbaiki, akan tetapi bapak mau melakukan itu. Ia sabar ketika direcokin.

Bagaimana kesan Anda melihat bapak Anda?

Ayah saya itu buat saya setelah dewasa itu ia sabar dia penyanyang kepada semua orang, tidak hanya kepada anak. Itu juga saya ketahui setelah tinggal di Solo. Bahkan ponakan saya sangat sayang dan hormat pada bapak saya.
Biasanya balik ke Indonesia atau pulang dari luar negeri selalu ada buah tangan yang di bawa untui dibangikan kepada ponakannya dan bapak ingat apa yang disenangi ponakannya. Selain itu bapak saya senang main musik, kalau berada di rumah ngajak bernyanyi.

Kalau di rumah bapak sering main akordian dan piano meskipun di rumah itu ada seksofon. Dulu sering dimainkan lagu anak-anak. Bahkan diajarin main piano. Kalau bapak senggang dia milik keluarga.

Kalau perkara minta jangan minta mainan akan jarang dikasi, sesekali kalau pergi luar negeri kalau minta bacaan pasti dibelikan. Dari hal itu saya terbiasa membaca.

Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto, berpose bersama anggota Gerwani yang menjadi tahanan politik. [dok. Svetlana]

Anda juga kenal dan tahu D. N Aidit saat Anda masih kecil?

Tahu, saya kenal namanya teman-teman bapak saya sering ke rumah saya jadi tahu, tapi kegiatan apa yang dilakukan saya nggak tahu. Di rumah itu saling berkunjung itu biasa, pernah om Lukman, om Aidit. Pak Hesri ingat bapakku ketika ada tamu saya sering lari-lari di ruangan kerja bapakku.

Anda juga sering diajak ke Sekretarian pusat Lekra di Cidurian 19?

Iya, pada waktu itu kan anak kecil hanya main-main, saya memang tahu kegiatan seni, di sana itu kadang ada yang nyanyi, ada yang melukis ada yang sedang membuat patung-patung sering kali karnyanya Lekra ada disana, waktu itu usiaku masih 9 tahun, saya di ajak bapak.

Saya kalau sekolah lalu pulang gak sempat ada yang jemput, saya biasanya di Cidurian 19 sampai tukang becak jemput dan ibu saya jemput baru pulang. Jaraknya TK Melati dengan rumah saya lumayan jauh sih.

Bicara soal TK Melati, itu sekolah siapa yang menderikan?

Belakangan saya tahu TK milik ibu-ibu Gerwani, tapi di sana itu tahunya gurunya bebas. Ketika tidak ada guru pernah ibu saya ngajar, saya gak ingat banget di TK itu. Namun saya ingat di sana itu sih main-main, nyanya-nyanyi, kadang melipat kertas.

Seingat saya juga anak-anak yang bersekolah di sana kebanyakan anak-anak yang orang tunya ikut partai, akan tetapi ada juga yang di luar partai itu bagi anak-anak yang rumahnya dekat dengan sekolah TK Melati.

Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto. [Suara.com/Abdus Somad]

Saat peristiwa G 30 September (Gestok) itu terjadi, apa yang Anda ketahui?
Saya tidak tahu apa-apa, saya ingat bapak saya sedang dinas di Sumatera. Peristiwa terjadi saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya ingat tanggal 1 Oktober anakanya saudara saya ulang tahu. Karena tidak ada bapakku, saya kemudian diajak nginep di rumah saudara untuk merayakan ulang tahun sepupu. Saya dan ibu kemudian bermalam di sana.

Pas tanggal 1 oktober juga, masih dalam suasana ulang tahu, ibu saya dikasi tahu saudara untuk pulang, pesan itu didapat dari tantenya yang suaminya tentara. Kamu pulang, Menurut ibu saya jalannya sepi banget.

lalu Tanggal 2 Oktober 1965 bapak saya pulang, kita dibawa pergi dari rumah. Di sana kita mulai berpindah-pindah. Pagi hari di sini, malam hari di mana, pokoknya berpindah-pindah.

Sampai akhirnya saya terpisah dari bapak. Sedangkan saya dan ibu beserta anak-anak yang lainnya-adik saya tinggal di sebuah rumah yang terletak di Gunungsari, itu dulu kontrakannya CMGI. Di sana saya agak lama tinggal.
Lama tinggal di sana, tiba-tiba kami digrebek tentara Angkatan Darat (AD) kemudian kami semua dibawa ke penjara termasuk saya sebab ibu saya tidak mau meninggalkan anak saya sendiri. Ibu saya bilang ke tentara itu,” Saya mau ikut asal anak-anak saya di bawa nah saat itu kami dibawa.

Digrebek Tentara Angkatan Darat, kapan itu terjadi?

Saya ingatnya bulan Oktober tahun 1966 setahun setelah Gestok. Peristiwa selalu terjadi rata-rata malam. Saya ingat malam itu tidak terlalu larut banget. Kala itu saya main screbel bersama adik-adik, datang seorang tentara bernama Kapten Suroso yang kemudian mendekati tempat bermain screbel dan menyusun huruf berbentuk bapak saya - Njoto. Ia menyusun itu maksudnya dia tahu kami anaknya.

Mulai saat itu kami dibawa ke Kodim 0501, Kodim air mancur namanya, sekarang kalau nggak salah dekat dengan Gedung BI yang ke arah Kebun Siri.

Svetlana Dayani, Putri Njoto

Nah saat dibawa kami dimasukkan ke sel perempuan di sana kami jadi satu ada banyak tahanan. Selnya lumayan besar namun ketika hendak tidur harus berimpitan. Sel yang kami tempati benar yang bentuknya jeruji besi.
Nah di sana deket dengan kantor yang dipakai introgasi saya tahu lokasiny dekat sekali.

Jadi orang habis disiksa serta diintrogasi darahnya yang berserakan dilap itu bagian yang membuat saya trauma. Saya melihat orang berdarah-darah kadang diseret, kadang dipapah. Perempuan yang selesai disiksa masuk kembali ke sel kami di sana mereka diobati sama teman-temanya di rawat.

Ibu saya dan adik saya kalau tidur kadang terbangun dan nangis karena ada bunyi sabetan serta teriakan yang jelas banget terengar, wong itu deket, saya bahkan menatap langsung orang yang disiksa.

Anda katakan ada siksaan, alat apa saja yang digunakan pada saat itu?

Macam-macam yang saya lihat dengan nyata dan pahami waktu itu cambuk yang bentuknya ikan pari. Kan itu ada di meja nah saya setiap pagi bersihakan meja di sana juga ada puntung rokok.

Saya sering bersihkan untuk tugas pagi itu dilakukan karena saya membantu tahanan perempuan yang bertugas. Bahkan ada kabar juga ada yang diinjak kukunya di duduki pakai kaki meja, lalu disundut pakai rokok. Saat saya bersihkan itu saya lihat ekor pari masih berdarah-darah sih jumlahnya hanya satu sampai dua.

Selama dalam tahanan, Anda melihat bapak Anda?

Di tahanan bapak tidak ketemu lagi terkahir di Gunugsari, itupun sempat tenggok malam sekali. Udah itu saya gak tahu lagi bapakku ada di mana. Waktu itu sempat melihat Martin Aleida lalu Putu Oka, bahkan ibu saya ingat ada Sudisman ditangkap dan dibawanya ke situ.

Teman-teman bapak Anda juga tidak pernah cerita di mana keberadaan Njoto?

Nggak ada sama sekali, terkahir itu diketahui jelas saat ada sidang kebinet terkahir di Bogor. Itu sidang kabinet Soekarno terakhir. Orang bilangnya peristiwa itu terjadi pada 6 Oktober, itu sidang terkahir bersama Lukman.

Nah kalau lukman anaknya sendiri yang tahu kalau Lukman dieksekusi di depan rumahnya di Kebayoran, kalau bapak saya nggak tahu.

Kembali bicara soal Anda ditahan, kalau boleh cerita berapa tahun ada ditahan saat itu?

Nggak lama kami sekitar 3 bulan atau lebih saya agak lupa waktunya apa akhir tahun apa awal tahun. Saat itu kami dijemput kakak saya di Solo kami boleh pulang ke Solo entah bagaimana menjaminya.

Lalu selama di Solo apa yang Anda lakukan?

Ibu saya kan masih di tahan beberapa kali, setelah di Solo dua tahun kemudian saya masuk SD, saya lulus SD masuk SMP. Saya waktu kelas 1 SMP harus mengurus adik-adik saya yang jumlahnya lima. Saya nggak ngerti bagaimana saja menjadi ibu dari adik saya meksipun ada bule saya ada pembantu dan ada saudara yang ikut membantu, namun saya berpikiran apa yang aku bisa lakukan, saat itu aku paling bisa memberi contoh yang baik pada adikku dan aku sekolah yang benar.

Saya mulai berpikiran harus berupaya untuk meringankan beban keluarga. Saya punya kesadaran untuk membelikan adik saya alat tulis. Dari sana saya mulai bekerja, dari kelas 1 SMP saya sudah kerja, kerja pertama itu menempelkan amplop.

Dari sana saya dapat uang. Selain itu kadang membantu teman belajar sehabis belajar bareng kadang dikasi uang hanya nemani belajar tetangga. Pernah juga saya merajut pakaian bayi lalu dikardusin, satu set ada baju ada sarung tangan, dari situ saya dapat uang lagi.

Selain itu kalau adik saya sakit, saya disuruh bawa ke dokter waktu itu saya yang bawa. Bulek saya kan sibuk karena harus nengok anaknya di Riau.
Ibu saya kan di tahan lagi kemudian dibawa ke Semarang. Adik saya yang bungsu dibawa ibu saya ke tahanan Mbulu setelah itu dipindah lagi dari Semarang ke Bukit Duri. Ibu saya bebas tahun 79. jadi hidup saat itu benar-benar mandiri.

Anda tahu bapak Anda adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia?

Saat kecil ya ndak tahu, saya tahu bapak saya ikut partai waktu duduk dibangku SMP, tepatnya di SMP Negeri Solo. Itupun saya taju dari buku sejarah, di buku itu ada tulusan Aidit, Lukman Njoto gembong PKI, tulisannya gitu.

Saya berpikiran, wau ini berarti yang menyebabkan saya seperti ini sekarang. Saya sebelumnya tidak mengerti kenapa bapak saya dicari-cari, saya sendiri tidak pernah tahu kenapa pindah rumah, saya tidak mengerti sama sekali. Owh ternyata karena bapak.
Meskipun saya tidak percaya bapakku ada kaitannya dengan pembunuhan Jenderal, akan tetapi saya jadi mengerti ini lho peristiwa yang menyebabkan hidup saya seperti ini.

Sampai saat ini meskipun sistem reformasi serta demokrasi diterapkan, Anda masih mengalami Stigma?

Masih dirasakan, ada pihak tertentu yang tahu siapa saya, namun saya bersyukur keluarga kami memahami, di luar saya ada banyak keuarga lain tidak diterima bahkan diusir karena takut itu ada.

Bagaimana dengan diskriminasi?

Saya merasa kadang seperti saya punya penyakit disingkirkan orang diaggap bagaimana gitu, dilihat bagaimana gitu, sekarang pun gitu.
Saya pernah satu keluarga pergi dari rumah selama beberapa bulan karena ada FAKI. Saat itu sedang ada kegiatan diskusi kejadiannya tangga 27 Oktober 2013. Orang FAKI mengrebek diskusi itu.

Saya lalu diminta berlindung, saya-pun pergi tanpa bawa-bawa apa-apa dan itu bersama anak saya saya pergi dari rumah. Saya merasakan tepat 48 tahun sama seperti apa yang saya alami dulu. Saya merasa anak saya juga merasakan diskriminasi. Banyak yang hilang dari hidup ini, seperti kesempatan hilang, saya mencari kerja terbatas, sekolah juga saya terbatas.
 Namun saya tetap bersyukur menjalani hidup ini.

Kontributor : Abdus Somad

0 komentar:

Posting Komentar