Jumat, 05 Oktober 2018

Kisah Eks-Cakrabirawa Penjemput Jenderal Nasution Melawan Stigma PKI


Muhamad Ridlo - 05 Okt 2018, 04:01 WIB

Sulemi dan istri adalah sepasang orang tua yang bahagia. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purwokerto - Mendadak Sulemi (77) mengangkat kedua kakinya ke meja. Mantan prajurit Cakrabirawa ini memperlihatkan kedua jempolnya yang bengkok. Kukunya bergelombang dan tumbuh tak normal.

Cacat di jempol kaki dan bekas luka di sekujur tubuhnya itu adalah kenangan yang didapatnya ketika meringkuk di tahanan, sebelum Mahkamah Luar Biasa atau Mahmilub. Ia ditangkap, tepatnya menyerahkan diri, lantaran dituduh terlibat G30S PKI.

Sepanjang waktu selama di tahanan, bekas anggota pasukan elite pengawal presiden ini dipaksa mengaku PKI. Namun, ia bersikukuh bahwa dia hanya menjalankan perintah komandan untuk menjemput Jenderal Nasution.
"Saya prajurit hanya menjalankan perintah atasan. Dalam umur saya, tidak pernah terlibat politik. Kalau perwira menengah, mayor ke atas mungkin," ucapnya bercerita saat diinterogasi Provost.
Tiap jawaban itu meluncur dari mulutnya, ia sadar bakal menghadapi siksaan. Pukulan, tendangan, dipukul popor bedil dan diseret adalah derita yang mesti dirasakan tiap kali diinterogasi.

Bekas prajurit Cakrabirawa dengan pangkat sersan satu ini dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.

Tulang punggungnya patah. Belikatnya melesak remuk ke dada akibat pukulan benda keras dan tendangan bertubi-tubi.

Namun, di antara siksaan yang diterimanya, yang paling menyakitkan adalah ketika jempol kakinya ditindih dengan kaki meja. Lantas, meja itu diduduki oleh interogator.
"Kemudian kukunya dicopot dengan tang. Rasanya seperti disambar halilintar. Sakitnya minta ampun. Kedua bola mata saya seolah copot keluar," kata bekas prajurit Cakrabirawa ini. Dia tak pernah lupa peristiwa ini.

Terlibat Penjemputan Jenderal Nasution

Bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Keadaan lantas membaik saat Palang Merah Internasional berkunjung ke tahanan. Saat itu, ia menyebut sudah tak lagi bisa berjalan. Saat buang air besar, ia mesti merayap seperti kadal.
"Daripada saya mengaku PKI, lebih baik mati," ucapnya tegas.
Akibat terlibat upaya penculikan Jenderal Nasution, ia divonis mati. Seluruh harapannya buyar. Ia mesti melepas istri dan anak semata wayangnya.

Namun, oleh pengacara militernya, ia dibujuk untuk mengajukan banding dan berhasil. Dari vonis mati hukumannya berubah menjadi seumur hidup.

Lantas ia dipindah ke Pamekasan, Madura, bersama 32 tahanan politik lainnya. Selama 15 tahun, ia menghabiskan waktu di balik jeruji penjara hingga akhirnya bebas pada Oktober 1980, bulan ini 38 tahun lalu.

Bebas dari penjara bagi Sulemi bukan berarti lepas dari penderitaan. Pulang ke Purbalingga, ia mendapati kakaknya yang seorang PNS di Dinas Pertanian dipecat. Padahal, sang kakak sama sekali tak tahu peristiwa yang terjadi di Jakarta pada Oktober 1965.

Keluarganya juga mesti menanggung perundungan, lantaran dianggap sebagai keluarga pengikut PKI. Penderitaan itu rupanya mesti ditanggung oleh keluarga besarnya.
"Seharusnya yang dihukum itu pimpinan. DI/TII Kartosuwiryo, yang dihukum juga para pimpinan," dia menuturkan.
Terseok-seok, ia mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan didapat, tak lama kemudian, dipecat begitu bos mengetahui latar belakangnya sebagai bekas prajurit Cakrabirawa.

Secercah Harapan Usai Reformasi 1998


Sulemi dan istri di kediamannya di Purbalingga, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Di kala susah itu, Tuhan memberi secercah berkah dengan mengirimkan sosok Sri Murni, seorang janda. Mantan istri rekannya sendiri.

Berdua, mereka mulai mendayung biduk di tengah gelombang masa 80-an yang tak ramah. Untuk menyambung hidup, ia memutuskan untuk mematung.

Keahlian ini didapatnya ketika dipenjara di Pamekasan. Salah satu napi adalah seniman yang juga seorang dosen seni rupa. Rekannya ini masuk penjara karena menjadi anggota Lekra.

Sesekali, patungnya laku. Tetapi, di saat lain, tak ada yang mencarinya. Singkat kata, mematung tak bisa menjamin dapurnya tetap mengepul.

Lantas, ia dan istrinya sepakat untuk membuat warung makan. Tak mudah untuk hidup dari sektor jasa. Apalagi, usaha ini membuatnya mesti berinteraksi dengan bermacam konsumen.

Ada kalanya, pelanggan tak lagi kembali begitu mengetahui sang pemilik warung adalah bekas prajurit Cakrabirawa, yang pada masa Orde Baru selalu diembuskan berasosiasi dengan PKI. Tetapi, ia selalu berusaha berlapang dada.
"Saya juga beribadah sebagaimana biasa. Kebetulan rumah saya dekat dengan masjid,” tuturnya.
Ekonomi keluarga Sulemi berangsur pulih. Masalah muncul ketika anak-anaknya beranjak besar dan membutuhkan biaya pendidikan. Istrinya rela membuka kios daging di pasar, sendirian.

Kemudian, seperti mimpi, reformasi bergulir. Gus Dur menjadi presiden. Masa ini ditandai dengan pulihnya hak-hak bekas tahanan politik seperti Sulemi.

Perlahan tapi pasti, semuanya membaik. Bahkan, anak bungsunya menjadi aparat. Sesuatu yang amat haram pada masa Orde Baru.


0 komentar:

Posting Komentar