Minggu, 07 Oktober 2018

Sukarno Menyesal Atas Kematian Amir Sjarifuddin

Catatan: Martin L 


AMIR SJARIFUDDIN: Makam Amir Sjarifuddin di Karanganyar, Surakarta. Foto diambil belum lama berselang [Kredit Foto: Kostrad Prija]

Awal Oktober tahun 1950, Zaenah isteri Amir Sjarifuddin bertemu dengan Presiden Sukarno. Kepada Sukarno, Zaenah menyampaikan keinginannya yang terpendam selama hampir dua tahun. Zaenah menginginkan suaminya dimakamkan kembali secara layak.

Sejak dieksekusi mati pada malam peralihan tanggal 19-20 Desember 1948, jenazah Amir bersama sepuluh orang kawannya ditimbun begitu saja dalam satu lubang di desa Ngaliyan, Karanganyar. Tidak ada batu nisan atau tanda nama diatas gundukan tanah sepanjang tujuh meter yang menutupi lubang itu. Rerumputan liar yang tinggi telah menutupi gundukan tanah itu dari pandangan mata. Pada pertengahan September 1950 Zaenah bersama para janda kawan-kawan Amir sudah meminta ijin kepada Perdana Menteri Natsir untuk memakamkan kembali Amir dkk. Natsir tidak bisa memberi kepastian kapan pemakaman itu dilaksanakan. Karena tidak mendapat jawaban memuaskan dari Natsir, Zaenah meminta tolong kepada Sukarno.

Air mata Sukarno bercucuran saat mendengar keinginan Zaenah. Dengan suara tersendat-sendat, Sukarno berkata pada Zaenah: 
”Aku menyesal atas kematian Bung Amir. Dia tidak bersalah.” 
Sukarno berjanji untuk memakamkan Amir dan kawan-kawan secara layak.

Atas perintah Presiden Sukarno, pada tanggal 15 Nopember 1950 lubang tempat Amir dan kawan-kawan dikuburkan digali kembali. Hari itu dimulai proses identifikasi terhadap tulang-belulang mereka. Sukarno menunjuk Dokter Walter Tambunan memimpin proses identifikasi ini. Menurut rencana, selesai diidentifikasi tulang-belulang Amir akan diserah-terimakan kepada keluarga masing-masing untuk dimakamkan dengan upacara penghormatan di tempat itu juga. 

Tanggal 19 Nopember 1950, tulang-belulang Amir dkk siap untuk dimakamkan. Di tepi liang lahat, dijejerkan sebelas peti kayu berisi tulang-belulang dan pada setiap peti ditaruh potret berukuran besar. Di sebelah selatannya didirikan panggung dengan podium berhiaskan karangan bunga berwarna merah membentuk bintang berukuran 1 meter. Bendera Merah Putih dan Palu Arit dinaikkan setengah tiang disekitar lokasi pemakaman. 

Tulang-belulang Amir dkk dimakamkan berdasarkan tata-cara keluarga masing-masing; ada yang secara Kristen, ada yang secara Islam, ada pula dua keluarga yang menggunakan tatacara pemakaman Tionghoa. Pihak keluarga Amir yang diwakili oleh Diaken F.K.N Harahap memakamkan Amir secara Kristen. Peti berisi tulang-belulangnya dimasukkan ke sisi paling barat dalam lubang yang sama dengan sepuluh orang kawannya. Kurang lebih 20.000 orang menghadiri pemakaman itu. Untuk menjamin keamanan, pemerintah mengirimkan ratusan tentara berjaga-jaga di sepanjang 5 kilometer jalan raya yang menghubungkan kota Karanganyar dengan Desa Ngaliyan. 

Presiden Sukarno berada di kubu seberang PKI dalam Peristiwa Madiun. Pukul 20:00 malam tanggal 19 September 1948, Sukarno menyerukan supaya segenap rakyat dan tentara bersatu merebut Madiun dari tangan pemberontak. Namun belakangan Sukarno merasa bersalah karena seruannya ini. 

Tidak lama sesudah Putusan KMB diteken, Sukarno bertemu dengan SK Trimurti. Trimurti menyatakan, kejadian-kejadian yang menyulut insiden militer di Solo yang merembet ke Madiun, yang kemudian dituduhkan sebagai pemberontakan PKI itu semestinya bisa diselesaikan secara damai. Tapi Sukarno bertindak terburu-buru, menyerukan perebutan atas Madiun tanpa menyelidiki latar-belakang kejadian disana. Akibatnya ribuan nyawa yang tak bersalah melayang, termasuk nyawa Amir. Mendengar kata-kata Trimurti, Sukarno menangis.

Sebenarnya beberapa hari sesudah operasi militer terhadap Madiun digelar, Sukarno sudah menerima keluhan-keluhan atas jalannya operasi tersebut. Mr. Susanto Tirtoprodjo bersama kalangan hukum yang menolak diadakannya hukuman mati terhadap para pelaku Peristiwa Madiun, menyampaikan keberatan atas penyiksaan-penyiksaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap tahanan PKI di berbagai tempat.

Jenderal Sudirman mengeluhkan Status Darurat Militer di Surakarta dan Jawa Timur membuat para bawahannya seperti Kolonel A.H Nasution, Kolonel Gatot Subroto dan Kolonel Sungkono lebih berkuasa daripada Panglima Besar di kedua wilayah tersebut. Dirinya tidak mampu menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh tentara atas nama Pemerintahan Darurat Militer.

Presiden Sukarno tidak bisa mencampuri urusan pemerintahan Perdana Menteri Hatta yang menetapkan Darurat Milliter di Surakarta dan Jawa Timur. Sukarno juga tidak bisa mencampuri proses hukum terhadap mereka yang ditangkap atas kasus Peristiwa Madiun. Dia hanya memiliki hak veto mengampuni nyawa orang-orang yang dianggap bersalah dari hukuman mati.

Tanggal 6 Desember 1948, Sukarno mendapat kabar Amir ditahan di Benteng Vredeburg, tepat didepan Istana Negara. Sukarno meminta Amir diperhadapkan untuk mendapatkan pengampunan nyawa darinya. Tetapi Amir menolak bertemu Sukarno. Amir merasa terhina atas perlakuan tentara sehari sebelumnya yang mengarak-arak dirinya berkeliling kota Yogyakarta dalam keadaan tangan terborgol diatas truk terbuka. Amir mengatakan hutang nyawanya kepada Sukarno yang membuatnya terhindar dari hukuman mati Jepang telah lunas ketika menyelamatkan Sukarno dari Kudeta 3 Juli 1946. 
Bagi Amir, tidak perlu berhutang nyawa untuk kedua kalinya. 


Sukarno tetap berusaha menyelamatkan nyawa Amir. Menjelang Belanda melancarkan Agresi Militer II, Hatta memimpin rapat darurat kabinet di Istana Negara. Salah satu materi rapat itu membahas nasib para pimpinan PKI (Amir dkk) yang ditahan. Dari 12 menteri yang hadir, 4 orang mengatakan Amir dkk harus ditembak mati, 4 menolak hukuman mati dan 4 lainnya abstain. Sukarno mengeluarkan veto: menolak hukuman mati bagi Amir dkk. Namun veto Sukarno tidak diindahkan. Amir dkk ditembak mati. 


Meski sudah berjuang menyelamatkan nyawa Amir, Sukarno merasa turut bersalah atas kematian mantan Perdana Menteri RI tersebut. Bila ada orang yang bertanya atau bercerita tentang Amir, Sukarno suka tercenung. Hatinya diliputi kesedihan mendalam bila teringat akan nasib Amir yang malang itu. 


Sumber: Kesaksian S. Kardiman, 21 Maret 2011—Kesaksian Tukiran Hs, 17 April 2011--Kesaksian A. Lukito, 12 Mei 2012--Kesaksian Soemarsono, 11 Juli 2013--Frederiek Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin: Tempatnya Dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, hlm. 198--Sitor Situmorang, Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba, hlm. 181.

0 komentar:

Posting Komentar