Senin, 08 Oktober 2018

Bedah Buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 Karya Rum Aly


October 8, 2018 ~ Rina Novikasari

Nama Buku        : Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966
Penulis               : Rum Aly
Penerbit             : Kata Hasta Pustaka
Jumlah Halaman  : 350 halaman
Tahun Terbit       : 2006

Ternyata harapan yang meluap itu hanya bertahan sebentar, tidak lebih daripada dua tahun (1966-1967). Dua tahun berikutnya (1968-1969) suasana semakin dingin terpantul dari Kompasiana yang mencatat penuh harapan yang hanya sampai akhir 1968. Dari 1969 hingga 1971 dengan puncaknya pemilihan umum, harapan itu sirna sudah.
Sejarah dan pemaparannya hingga sejauh ini, seperti yang digambarkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, ada dalam plot seperti itu. Sejarah dalam konteks plot semacam itu, dengan demikian hanya akan memuat rangkaian peristiwa-peristiwa besar. Karenanya, penulisan sejarah pun seringkali luput menempatkan pada akar-akar dalam perjuangan hidup sehari-hari daripada hal-hal besar secara layak dalam perspektif sejarah. Mereka yang ada dalam posisi sebaliknya, sebagai penguasa yang menindas dalam satu tata feodal nusantara yang berusia panjang dan kaum kolonial yang memperpanjang usia penindasan itu, mendapat perhatian yang lebih baik. Generasi baru yang berada dalam situasi penyebaran informasi yang padat, karenanya memiliki kebebasan dan bisa memperoleh begitu banyak data yang bisa diolah dalam aneka perspektif. Generasi baru Indonesia terbentuk melalui interaksi dengan media massa, antara lain juga seputar musik. 

Peristiwa 30 September 1965 merupakan suatu peristiwa politik yang terkandung sejumlah tindak kekerasan yang merenggut nyawa dan pengambilalihan kekuasaan pemerintahan negara dengan cara yang bertentangan dengan hukum, yang berarti merupakan kejahatan terhadap keamanan negara, maka aspek hukum dari peristiwa 30 September 1965. Adanya tindak kekerasan dalam rangkaian peristiwa yang tidak sulit dibuktikan. Ada serangkaian peristiwa nyata, yakni pembunuhan enam jenderal teras Angkatan Darat bersama seorang perwira pertama ajudan dari Jenderal Abdul Harris Nasution, ditambah terbunuhnya seorang bintara polisi. Akan tetapi di luar aspek hukum ada tidaknya penggulingan kekuasaan rangkaian peristiwa 30 September 1965 merupakan persoalan yang membuka perdebatan tentang beberapa hal yang telah memenuhi unsur perbuatan yang bisa dikategorikan tindakan perebutan kekuasaan dan penggulingan pemerintahan yang sah, terutama setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto padahal pada peradilan saat itu. Sepanjang kekuasaan Orde Baru dikaitkan dengan PKI diakhir tahun 1965 itu pada akhirnya melibatkan gerakan mahasiswa untuk mengakhiri kekuasaan presiden Soekarno dan mengawali naiknya Jenderal Soeharto dengan dukungan mahasiswa dan seluruh kekuatan anti Soekarno dan anti PKI. Dalam situasi tersebut, gerakan mahasiswa yang didirikan oleh kekuatan-kekuatan politik massa, serta dilindungi Angkatan Darat. Pada mulanya tuntutan bukan untuk mengganti presiden Soekarno, melainkan yang menjadi tuntutan utama ialah agar presiden segera membubarkan PKI dan organisasi massa pendukungnya. Tetapi tuntutan pembubaran PKI bagi presiden Soekarno merupakan persoalan yang rumit secara personal dan sebagai Presiden pada waktu itu.

Ketika Supersemar muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi yang khas dan dengan cara yang khas pula. Dalam suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga Jenderal sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan kekuasaan di tahun 1966 itu, melalui dua nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang idealistik, sdang tiga Jenderal berperan dalam titik awal suatu pengalihan kekuasaan yang amat praktis. Ketika Soeharto diangkat menjadi panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat Mayor Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf adalah panglima kodam hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama-sama berkedudukan di Makasar, Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai panglima mandala, konsentrasi Soeharto adalah pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian Barat, sementara sebagai panglima hasanudin, Jusuf ditugaskan untuk menumpas DI-TII pimpinan Kahar Muzakkar dengan catatan jangan sampai masalah DI-TII itu mengganggu tugas-tugas Komando mandala.

Persentuhan antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari setelah peristiwa 30 September, sepulangnya Jusuf dari Peking. Jusuf pada akhir September 1965 termasuk dalam delegasi besar Indonesia yang menghadiri perayaan 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota rombongan termasuk Waperdam III Chaerul Saleh. Mayor Jenderal Basoeki Rachmat adalah yang paling senior dari trio Jenderal 11 Maret ini. Saat peristiwa terjadi ia adalah panglima divisi Brawijaya. Hanya beberapa jam sebelum para jenderal diculik dini hari 1 Oktober, Basoeki Rachmat bertemu dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediaman Jalan Lembang. Ia adalah perwira tertinggi pangkatnya yang teakhir bertemu Ynai dalam keadaan hidup. 

Setelah lengsernya Soeharto dari kekuasaannya, tejadi kesimpangsiuran mengenai Surat Perintah 11 Maret ini. Terutama karena dokumen asli yang ditandatangani Soekarno dinyatakan hilang. Dikabarkan bahwa naskah dokumen asli ada di tangan Jenderal Jusuf. Menurut seorang pejabat tinggi negara yang pernah menjadi Wakil presiden dan dekat dengan Soeharto, hilangnya dokumen itu adalah karena terselip dan sepenuhnya kealpaan manusiawi dari Soeharto sendiri. Tetapi sepanjang pokok-pokok Surat Perintah 11 Maret sebagaimana yang diingat Soebandrio tampaknya tak ada perbedaan esensial dari yang ada dalam versi Sekretariat negara dan versi Jenderal Jusuf. Butir-butir yang terkandung dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Soekarno kepada Soeharto, untuk sebagian adalah butir-butir yang bisa di tafsir baik bagi Soekarno maupun bagi Soeharto. Akhirnya, siapa yang lebih memiliki kekuatan akan menang dalam penafsiran.

Bilamana Soekarno masih memiliki kekuatan lebih, maka Soeharto sebagai pemegang Surat Perintah tersebut, akan menjadi alat keamanan belaka bagi Soekarno. Dan pada waktunya pasti akan dicabut. Tetapi faktanya saat itu kekuatan Soekarni sedang mengalami erosi, meski belum gugur sama sekali. PKI yang menjadi pendukung dan sekutu sedang mengalami proses pembasmian serentak di seluruh penjuru Indonesia, setelah teropinikan sebagai pelaku makar dan pelaku kekejaman yang membunuh enam jenderal dan seorang perwira pertama di Jakarta ditambah dua perwira menengah di Yogyakarta melalui gerakan 30 September. Sedangkan Soekarno tampak bersikeras untuk tidak membubarkan PKI. Dengan surat perintah 11 Maret di tangan nya, letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya.

Sejak gerak cepatnya berhasil membersihkan Jakarta dari gerakan 30 september, Soeharto telah tampil di mata mahasiswa, pelajar, pemuda dan rakyat yang pada umumnya sebagai pahlawan penyelamat. Dan dalam tempo yang cukup cepat dan sistematis mematahkan mitos kekuasaan Soekarno. Konsep surat keutusan pembubaran itu disusun oleh kolonel Sudharmono SH dan Letnan Drs. Moerdiono berdasarkan perintah Soeharto melalui Ketua G-5 KOTI Brigjen Soetjipto. Cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI.
 Setelah RRI melalui warta berita pukul 06.00 pagi Sabtu 12 Maret 1966 mengumumkan bahwa Letnan Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, sejenak Jakarta mendadak diliputi suatu suasana pesta kemenangan. Suasana pesta kemenangan itu dalam pemaparan Yosar yang hiperbolis, tak kalah dengan ketika rakyat London merayakan kemenangan atas kekejaman Nazi Hitler, sama dengan kegembiraan rakyat Paris menyambut pahlawannya Jenderal de Gaulle kembali ke tanah air. 

Chaerul saleh yang tejepit dalam perubahan pertengahan Maret 1966 itu oleh para mahasiswa Bandung digolongkan ke dalam kaum vested interest, yakni yang mempunyai kepentingan tetanam pada suatu keadaan. Ia dikenal sebagai orang yang anti komunis, namun setelah peristiwa 30 September, ia mengikuti sikap Soekarno yang cenderung membela PKI. Dalam masa kekuasaan Soekarno yang sering disebut masa orde lama itu, Chaerul saleh telah merasa terjamin kepentingan-kepentingan politis maupun kepentingan ekonomisnya, sehingga ia mendukung. Meski Soekarno kehilangan sejumlah menteri setianya karena penangkapan yang dilakukan Soeharto, 18 Maret waktu itu tetap dipercaya bahwa bila terhadap Soekarno pribadi dilakukan tindakan yang berlebihan, pendukungnya di Jawa Tengah dan juga di Jawa Timur akan bangkit melakukan perlawanan. Fakta dan anggapan seperti ini membuat Soeharto memilih untuk bersikap hati-hati dalam menjalankan keinginan-keinginannya terhadap Soekarno.
Penyusunan kembali kabinet yang dilakukan tidak memuaskan mereka yang menghendaki perombakan total, namun telah memasukkan pula orang-orang yang diinginkan Soeharto. Yang paling cepat meluncur kepada fase mengakhiri kekuasaan Soekarno dengan segera adalah terutama kelompok mahasiswa di Bandung pada umumnya, yang sejak awal tejadinya peristiwa 30 September yang emnunjukkan sikap anti Soekarno, bukan sekedar anti komunis yang semakin menguat hanya dalam tempo enam bulan hingga maret 1966. Secara historis, sikap anti Soekarno ini bahkan sudah ada bibitnya masih pada zaman nasakom. Pasca Soekarno, pada masa awal orde baru, Bangbayang berbeda sikap dengan kelompok mahasiswa Bandung lainnya mengenai masuknya wakil mahasiswa ke parlemen. Kelompok Bangbayang ini setidaknya yang terlihat pada permukaan memilih untuk lebih cepat meninggalkan kancah politik praktis pasca 1966 dan masuk ke dunia profesional cepat mendorong anggotanya.

Kembalinya kontingen Bandung seakan mengikuti naluri saja karena mamang tampaknya pergerakan berdasarkan idealisme semata pun telah berakhir. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Erna Walinono bahwa pada dasarnya kebanyakan mahasiswa Bnadung bergerak berlandaskan keyakinana sebagai gerakan moral dan bukan gerakan politik. Menjelang sidang umum IV MPRS (20 Juni- 5 Juli 1966) di Jakarta, sikap anti Soekarno makin meningkat dan makin tebuka. KAMI Bnadung mengeluarkan sebuah pernyataan keras, antara lain bahwa demokrasi tepimpin ternyata adalah diktator, dan bahwa presiden harus memberikan pertanggungjawaban mengenai penyelewengan dari UUD 1945, gagalnya politik ekonomi dan kemunduran demokrasi. Mereka menyatakan pula bahwa mitos palsu di sekitar diri presiden adalah salah dan berlawanan dengan UUD 1945 dan karena itu harus diruntuhkan. Keputusan lain yang mengubah situasi kekuasaan saat itu adalah pembubaran kabinet Soekarno oleh MPRSdan dikeluarkannya keputusan meminta Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret yang sudah disahkan melalui suatu Tap MPRS, untuk membentuk suatu kabinet baru yang disebut sebagai kabinet Ampera.
Ditentukan pula agar suatu Pemilihan umum harus diselenggarakan paling lambat 1968. Pembentukan kabinet baru yang wewenangnya berada di tangan Soeharto, membuat segala orientasi akrobatik politik dari semua partai-partai politik terarah kepada Soeharto di satu sisi dan pada sisi yang lain menimbulkan semacam reaksi mengarah kepada kekalapan di antara para pendukung Soekarno yang masih berusaha agar Soekarno tak tersisihkan sama sekali sebagai pusat kekuasaan. Sementara itu, rencana diadakannya pemilihan umum di tahun 1968 telah menularkan suatu demam tersendiri, terutama di kalangan partai politik. Setidaknya selama 5 bulan terakhir tahun 1966, partai-partai politik yang masih mewarisi cara berpolitik lama zaman nasakom minum PKI, mempunyai kesibukan baru, yang kemudian akan berlanjut lagi hingga tahun berikutnya, sampai akhirnya Soeharto memutuskan menunda pelaksanaan pemilihan umum sampai tahun 1971. Semua mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilihan umum yang direncanakan akan diselenggarakan tahun 1968 itu. Sederetan sikap oportunistik partai-partai yang terkait dengan pemilihan umum ini digambarkan dengan baik oleh Rosihan Anwar. Seluruh kegiatan diarahkan dan tunduk kepada strategi memenangkan pemilihan umum dengan cara apapun. 

Pendekatan baru terhadap PNI Soekarno juga mencoba memainkan perimbangan baru antara panglima angkatan yang baru dengan Soeharto yang telah menjadi menteri panglima AD, sepanjang bagian kedua tahun 1966, serta mencoba mengandalkan sejumlah panglima kodam meskipun tentunya ia mengetahui bahwa sejumlah panglima kodam minum HR Dharsono dari Siliwingi yang berada di wilayah abu-abu antara dirinya dan Soeharto. Dalam kabinet Ampera pun sebenarnya masih terdapat sejumlah tokoh abu-abu, yakni tokoh-tokoh hasil kompromi antara Soeharto dan Soekarno. Apapun yang tejadi di latar belakang hubungan Soekarno dengan para Panglima ABRI yang dikeluarkan pada tanggal 21, adalah ibarat titik patah dari suatu curve yang menggambarkan sikap tentara terhadap Soekarno. Tetapi dalam pernyataan Desember ABRI yang muncul justru nada otoriter khas tentara. Para pimpinan ABRI memberi penegasan bahwa ABRI akan mengambil tindakan terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 serta siapa pun yang tidak melaksanakan keputusan-keputusan sidang umum IV MPRS. Hingga bulan Desember 1966, Soekarno bertahan dalam suatu keadaan dengan kesediaan melakukan sharing kekuasaan dengan Soeharto, asal tetap berada di posisi kekuasaan formal meskipun sebagian otoritas kekuasaan harus dilepaskannya ke tangan Soeharto. Kesediaan untuk berbagi kekuasaan pada saat yang sama juga ada pada Soeharto, namun dengan porsi tuntutan yang meningkat dari waktu ke waktu. Pada saat ia sudah menjadi pejabat presiden berdasarkan keputusan sidang umum MPRS Maret 1987, ia pun bahkan masih sempat berkata kepada Soekarno seperti yang dituturkannya sendiri bahwa mumpung dirinya masih menjadi pejabat presiden ia mengharapkan Bung karno masih akan bersedia memimpin negara ini dengan syarat seperti yang sudah dimaklumi Soekarno. Baginya tegesa-gesaan bukan cara yang terbaik, bahkan kerapkali malah menghapus kesempatan sama sekali. Dalam realita yang akan terbukti kemudian, ia memilih cara berjalan setapak dalam proses mematikan langkah Soekarno, dengan hasil yang meyakinkan. Sejak Desember 1966, hingga ke bulan-bulan awal tahun 1967 sebagai lanjutan dari masa-masa sebelumnya silih berganti berbagai pihak teutama kesatuan-kesatuan aksi, mengajukan tuntutan agar Soekarno mengundurkan diri atau diturunkan. Saat Soeharto sendiri masih pada awal masa kekuasaannya pernah berkali-kali menunjukkan kegusarannya yang menunjukkan betapa perlahan-lahan ia sebagai orang yang makin berkuasa telah mulai berubah. Saat Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng. Dan pada kesempatan lain, 8 November 1967, sekali lagi ia menunjukkan sikap yang telah berubah ketika menghadapi demonstrasi massa KAMI, KAPI dan KAPPI di depan Gedung presidium kabinet jalan merdeka barat, yang meminta perhatiannya selaku pejabat presiden mengenai makin melonjaknya harga beras. Reaksi Soeharto yang biasanya tenang dan murah senyum kepada massa mahasiswa dan pelajar di masa lampau itu, cukup mengejutkan banyak orang.

0 komentar:

Posting Komentar