Senin, 25 Juli 2016

Melawan Lupa Atas Ingatan Sejarah Masa Lalu

Oleh: Misbach Tamrin

Ilustrasi: "Dari Proklamasi ke Transisi" karya lukisan Misbach Tamrin



Indonesia dengan singkatannya NKRI. Terkenal di dunia sebagai negeri kepulauan yang menjembatani secara strategis di antara dua benua dan dua samudera di bawah lintang khatulistiwa yang sentral dan indah.

Sebenarnya, jika kita khayati melalui sejarah perjuangan kemerdekaan, adalah nyata terbangun atau tercipta dari curahan keringat, air mata dan darah para pejuang serta pahlawan Revolusi Agustus 1945. Mereka masing-masing berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Yang bersatu dalam tekad bersama: “Merdeka !”


Merujuk berdasarkan ajaran Bung Karno yang tercipta di sekitar tahun 1927 dengan istilah NASAKOM, maka lapisan masyarakat yang dimaksudkan, adalah terdiri dari golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis. Ini bukan hanya sekedar mengungkap fakta sejarah, tapi pada kenyataan fenomenal saat itu, demikianlah adanya.
Betapapun ditinjau dalam konteks sudut pandangan opini kita sekarang, banyak yang menganggap NASAKOM telah meredup tak relevan alias tak “up to date” lagi. Dianggap sudah lewat dan silam. Tentu, libatannya juga berdampak terhadap proporsi keterujian kebenaran ajaran Bung Karno itu sendiri. Memang demikian, tak terhindarkan.


Namun, sejarah tetap sejarah, tidak pernah pudar. Bahkan, kian lama semakin kemilau memperkokoh keberadaannya dalam mengusung kebenaran absolut yang universal. Tak akan pernah luntur tergerus arus zaman. 

Sehingga siapapun, di mana dan kapan saja, sudah menjadi keharusan untuk mengingat masa lalu yang bernilai dalam sejarah. Seperti dikatakan Milan Kundera: “Melawan lupa atas sejarah adalah perjuangan menegakkan kebenaran”.

Kita tahu lewat fakta sejarah, kepudaran formulasi tiga golongan masyarakat Indonesia oleh Bung Karno itu. Hanya berlaku dimulai sejak sistem Orde Baru mempreteli golongan Komunis keluar dari panggung politik “tiga-serangkai” (triumvirat) tersebut, setelah peritiwa ‘65. Itupun, rezim otoriter Orde Baru menuduh untuk dipersalahkan ditujukan kepada PKI. Secara resmi (formal), bukan terhadap kaum komunis. Di sini, walaupun ada segi persamaannya di antara kedua istilah tersebut, namun jelas terdapat perbedaannya.


Dalam konteks untuk memperjelas pengertian di antara istilah “kaum komunis (komunisme)” dan “PKI” ini. Barangkali kita perlu mencoba menganalisa kembali melalui pikiran jernih dan dingin. Karena terkait dengan berbagai peristiwa dan situasi yang berkembang di bulan-bulan belakangan ini. Terutama mengenai mulai soal komunisto-phobia, simposium peristiwa ’65 hingga keputusan sidang IPT 1965 di Den Haag.


Dalam suatu pernyataan, pernah Menhan Ryamizard mengatakan “Saya tidak benci dengan komunis. Tapi benci kepada PKI”. Berarti dengan demikian seorang petinggi negara sendiri dapat membedakan di antara 2 istilah tersebut. Betapapun beliau belum memaknai secara terperinci mengenai pengertian masing-masing kedua istilah tersebut dengan jelas, dari segi persamaan dan perbedaannya.


Beberapa ahli dan pakar politik, termasuk di bidang sejarah, selama ini telah melontarkan pendapatnya menyangkut masalah ini. Misalkan Ben Andersen mengatakan bahwa peristiwa G30S adalah merupakan masalah internal Angkatan Darat. 

Sedangkan John Roosa berpendapat bahwa PKI secara kepartaian tidak bersalah. Yang terlibat bersalah, berdasarkan acuan internal otokritik partai, adalah beberapa gelintir oknum tertentu pimpinan puncak partai yang secara khusus bekerja sama dengan beberapa orang militer, di luar setahu dan tanggungjawab partai.

Berdasarkan data-data ini, terutama merujuk kepada semua fakta yang ada. Sesungguhnya, kaum komunis dalam status sebagai golongan masyarakat Indonesia tetap terjaga keberadaan (eksistensi)nya. Seperti yang telah diakomodir dalam ajaran NASAKOM Bung Karno.


Karena disamping sebagai ideologi ia tetap memperoleh hak hidup dalam kerja sama dengan lapisan mayarakat lainnya di tengah kebebasan dari kehidupan demorasi. Sesuai dengan hak azasi kemanusiaan dan hak keberadaan dalam komunitas kehidupan bersama, yang berlaku secara universal di seluruh dunia, termasuk di negara-negara kapitalis industri di Eropa sekalipun. Kaum komunis, termasuk partainya, diterima untuk diperbolehkan hidup (eksist), selama taat dan tunduk di bawah kekuasaan hukum negara yang dihuni.


Pertanyaannya sekarang, bagaimana keberadaannya setelah 18 tahun era reformasi berjalan? Peribasa mengungkapkan : “Setiap kali air pasang, maka tepiannya pun berubah”. 

Dalam banyak hal memang dapat dibenarkan dan dibuktikan kenyataannya. Bahwa Reformasi 1998 banyak membawa perubahan cukup luas dan dalam, terutama di bidang-bidang kebebasan demokrasi.
Sebagai pengganti kekuasaan otoriter rezim Orde Baru yang ditumbangkan
Tapi, bukan berarti perubahannya otomatis merehabilitir sistem kekuasaan terdahulu yang telah ditumbangkan rezim Orde Baru. Seperti halnya pula penguasa Orde Baru tidak begitu saja menerima kembali status kepartaian Masyumi dan PSI yang dibubarkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin Bung Karno. Kecuali hak-hak sipil kewarganegaraan mereka dipulihkan.


Namun fakta yang terjadi kemudian ternyata “setiap panggung berubah, masih belum tentu aktornya berganti”. Bahkan bukti kongkritnya sekarang “walaupun panggungnya berubah, tapi aktornya kebanyakan masih tetap yang itu-itu juga”. Di mana, perubahan yang terjadi masih jauh dari sepenuhnya. Sebagai contoh terbukti Reformasi 1998 tidak atau belum bisa memulihkan atau merehabilitir hak demokrasi kebebasan paham ideologi yang dituangkan dalam ajaran Bung Karno “NASAKOM”


Dengan demikian, jikapun dianggap ada, kaum komunis Indonesia dalam sebarannya yang tersamar di tengah kependudukan kehidupan sosial demokrasi kita sekarang ini, sudah barang tentu penampilannya masih sangat dilematis. Betapapun, romantisme kehidupan illegal yang dinikmati dengan kepasrahan tersumbat selama ini, keteduhan berpayungkan ajaran Bung Karno “NASAKOM”, masih dalam idaman yang jauh.


Bagaimana bisa, suatu golongan mayarakat yang telah terusung lewat ajaran Bung Karno selaku proklamator sekaligus founding-father kemerdekaan kita, sejak tahun 1927, hingga kini tereliminasi menjadi tak berwujud tanpa bentuk? Atau berada dalam lingkaran zero yang besar, alias dianggap tidak ada?


Padahal jasa pengorbanan dari perjuangan mereka, golongan masyarakat yang termarginalkan ini; teramat tragis. Untuk tidak dikatakan patriotis sebagai pelopor di garis terdepan. Dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan kolonialis Belanda. Siapapun tak ada yang bisa meragukan kebenarannya dalam sejarah pembebasan bangsa Indonesia.


Pakar sejarah dari LIPI Asvi Marwan Adam mewakili selaku pengamat Sidang Pengadilan International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag, demi mengamankan jalan dalam memperjuangkan nasib korban Peristiwa ’65. 

Ia memperingatkan agar supaya keputusan sidang pengadilan tersebut, samasekali tidak ada kaitannya dengan peristiwa pemberontakan 1926, 1948, bahkan dengan aktivitas politik PKI dari Peristiwa ’65. 
Maksudnya ia ingin menegaskan bahwa ini murni mengenai perkara pelanggaran HAM berat dari Peristiwa ’65. Tanpa ada kaitannya dengan status dan peran PKI, karena sudah tidak berfungsi lagi alias dibubarkan.

Jadi sesungguhnya, jika Presiden Jokowi tak mau minta maaf terhadap PKI dapat dimaklumi. Yang tentu kita harapkan, akan berbeda sikap Presiden, jika yang menjadi focus perhatian untuk diperjuangkan adalah nasib korban peristiwa ’65. Dengan berbagai perlakuan pembantaian massal (genocida), pelenyapan nyawa secara sistematis oleh aparat negara (violence-state) dan ketidakadilan lainnya. Bukan samasekali demi PKI.


Bayangkan! Begitu nyata sekarang, demi memprioritaskan korban perkara kejahatan pelanggaran HAM berat yang meliputi massa komunis, simpatisan, kaum kiri lainnya, serta bahkan tak sedikit massa di luarnya yang tak tahu menahu sama sekali baik secara politis maupun ideologis. Mereka yang disebut golongan mayarakat komunis dalam ajaran Bung Karno tahun 1927 itu, terpaksa harus menyembunyikan peran positif, pengorbanan besar dan hak-hak kebermanfaatan, termasuk jasanya dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya sejak pasca masa Kebangkitan Nasional sekitar tahun 1920-an.


Apa arti pengorbanan mereka, sejak masa pemberontakan tahun 1926 dalam menggoyang buat pertama kali atas pilar-pilar penjajahan kolonialis Belanda? Ribuan pejuang mereka yang tewas, ditangkap dan dikurung dalam penjara ke penjara, yang luka-luka dengan meninggalkan cacat selamanya, hingga yang dibuang jauh di Digul (Papua), sarang nyamuk malaria yang mematikan.
Begitu pula di peristiwa Provokasi Madiun (1948), pimpinan senior teras partai mereka, habis disikat bersih oleh rezim militer sayap kanan, pendukung pemerintahan Hatta yang telah melakukan konspirasi kesepakatan jahat dengan Amerika (CIA) di perundingan Telaga Sarangan.


Sampai tiba di peristiwa tragedi ’65, di mana penulis menjadi salah seorang korban, tak ada kata yang bisa menuangkan tentang duka derita, keperihan siksa tiada tara, kekejaman barbar tindakan fasisme, dan pembantaian massal (genocide) yang luar biasa keji dan menjijikkan. Skala eskalasi pemusnahan nyawa manusia sungguh tidak cukup terukur oleh puluhan kali lipat dari korban peristiwa-peristiwa tragis sebelumnya.


Sebagai titik menjelang akhir penulisan ini, dapat digarisbawahi. Bahwa sang pencipta ajaran NASAKOM ini, pasti tidak pernah membayangkan sebelumnya. Jika salah satu golongan masyarakat yang dimasukkannya ke dalam ikatan “gotong-royong” kebersamaan bangsa sebagai sari buah perasan PANCASILA yang juga hasil temuannya yang brilyan, fenomenal dan bersejarah. Ternyata mengorbankan curahan keringat, airmata dan darah, bahkan nyawa anak bangsa yang begitu maha besar dalam sejarah.


Tapi bukanlah atas tanggungjawab kesalahan Bung Karno, tragedi bangsa ini terjadi. Semua ini akibat berbagai faktor penyebab yang multi-compleks, terutama karena gejala-gejala sistem sosial yang berkembang biak sebagai warisan penjajahan kolonialis Belanda selama 350 tahun


Pengaruhnya sampai begitu berkarat, ditanamkan secara melekat. Menyerabut berurat-berakar dalam mentalitas keterbelakangan bangsa kita sudah sejak lama. Yang telah tercabik-cabik oleh politik pecah-belah dan adu-domba sistem kolonialisme Belanda. Terus terbawa dalam pasang surut perjuangan nasional yang tidak lepas dari pengaruh tarik menarik kepentingan ideologi dan politik di antara dua kubu sistem global dunia yang saling bersengketa dan bermusuhan.


Pertanda dari latar belakang distorsi krusial inilah yang bisa kita ungkapkan melalui layar sejarah masa lalu. Sebagai biang pemicu terjadinya pergesekan (friksi) paham yang tak berkesudahan, di dalam masyarakat kita sekarang.


 “Sejarah adalah kritik”, tulis sejarawan Hilmar Farid. Dari pelbagai kritik bermakna dan terarah yang tertuai dalam sejarah adalah merupakan sumber pembelajaran yang penting bagi perjalanan anak bangsa ke depan...

***

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1571161496520596&id=100008802812263

0 komentar:

Posting Komentar