Kamis, 21 Juli 2016

Putusan IPT, Gubernur Lemhanas: Peritiwa 1965 Bukan Genosida

Oleh : 

Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18 April 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah

TEMPO.COJakarta - Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional Letnan Jenderal (Purnawirawan) Agus Widjojo menilai majelis hakim Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal/IPT) salah mengartikan teori genosida dalam konteks tragedi 1965. Menurut dia, tragedi 1965 tidak dapat disebut sebagai genosida.
"Tidak ada perburuan atau pembunuhan secara habis-habisan terhadap kaum etnik tertentu," kata dia saat dihubungi Tempo, Kamis, 21 Juli 2016. "Sehingga tidak dapat dikatakan genosida."
Kalau pun ada kaum Tionghoa yang menjadi korban dalam tragedi 1965, kata Agus, tetap tidak bisa dikatakan sebagai genosida. Sebab, hanya sebagian kaum Tionghoa yang menjadi korban, bukan diburu secara habis.
Sebelumnya, majelis hakim IPT mengumumkan kesimpulan akhir bahwa telah terjadi genosida atau pembunuhan besar-besaran secara terencana pasca peristiwa September 1965.
Majelis merekomendasikan pemerintah Indonesia meminta maaf, memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya, serta melanjutkan penyelidikan dan penuntutan terhadap seluruh pelaku. Salah seorang pengambil kebijakan yang disebut ikut bertanggung jawab adalah Presiden kedua Indonesia Soeharto.
Pemerintah menolak putusan itu dengan dalih IPT 1965 tak memiliki legitimasi. Menurut Agus, pemerintah tidak harus mengikuti rekomendasi putusan IPT. Alasannya, putusan tersebut tidak berkekuatan hukum. Pemerintah, ujar Agus, sedang berupaya melakukan rekonsiliasi terhadap para korban.
Agus menepis anggapan upaya rekonsiliasi mendek di tengah jalan. Menteri Luhut, ujar dia, masih membuka peluang untuk menerima saran dari berbagai pihak. Dia menilai upaya rekonsiliasi tidak mudah karena mengandung konsensus. "Sangat bergantung pada kemauan politik pihak-pihak terkait untuk beban masa lalu," ujar dia.
Sebelumnya, Simposium '65 yang digelar awal Juni lalu menghasilkan sembilan rekomendasi. Dua di antaranya yakni menyimpulkan bahwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada Tahun 1948 merupakan pengkhianatan kepada negara dan seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, mereka menuntut permintaan maaf dari PKI kepada rakyat dan pemerintah Indonesia.
Kesembilan rekomendasi tersebut telah diserahkan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan. Saat ditanya apakah rekomendasi tersebut telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Agus menyatakan, "kami serahkan kepada Pak Luhut."
DEWI SUCI RAHAYU
Tempo.Co 

0 komentar:

Posting Komentar