Rabu, 27 Juli 2016

Nasib Rekomendasi Simposium 1965 Diperkirakan Kandas di Tangan Wiranto

Rabu, 27/07/2016 15:26 WIB
Oleh : Agus Lukman


Agenda Simposium Nasional Tragedi 1965 kini masuk tahap rumusan rekomendasi. LSM Kontras khawatir upaya penyelesaian kasus 1965 oleh pemerintah bakal terhambat di era Menko Polhukam Wiranto. (Foto: polkam.go.id)

KBR, Jakarta - Kalangan aktivis hak asasi manusia memperkirakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965 akan menemui hambatan yang sangat besar dengan terpilihnya Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
Penyelesaian tragedi kemanusiaan 1965 oleh pemerintah saat ini masih menunggu rekomendasi dari tim perumus, pasca adanya Simposium Nasional Tragedi 1965 pada Mei lalu. Simposium saat itu mendapat dukungan dari Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan saat dipegang Luhut Panjaitan serta Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Wakil Koordinator LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri khawatir, di posisinya yang baru Wiranto bakal menghalangi upaya para korban tragedi 1965 dalam mendapatkan keadilan dan penyelesaian kasus. Bekas ajudan Presiden Soeharto itu dianggap menjadi beban di kabinet Jokowi.

"Orang-orang yang kita targetkan harus bertanggung jawab, sekarang justru menambah blokade yang besar--ketika proses ini sedang membangun dinamisasinya. Praktik simposium yang dilakukan negara, di Mei lalu, kemudian beberapa kasus-kasus pelanggaran HAM yang sedang digiring ke Kejaksaan Agung, itu potensial mentok, akan mengalami hambatan," kata Puri Kencana Putri kepada KBR, Rabu (27/7/2016).

Puri menyoroti latar belakang Wiranto yang tidak bersih dari keterlibatan dalam isu-isu pelanggaran HAM. Mulai dari kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan aktivis, Biak Berdarah dan lain-lain. Ia menilai latar belakang Wiranto sebagai militer dan orang yang terlibat kasus HAM akan membuatnya pasang badan melindungi dirinya dan korps militer. Termasuk dalam peristiwa penyerbuan berdarah kantor PDI pada 27 Juli 1996.

Baca: Angkat Wiranto Jadi Menteri, Jokowi Abaikan Komnas HAM dan PBB
"Ingat, hari ini juga bertepatan dengan peristiwa 27 Juli. Sudah 20 tahun kasus itu, dimana usai peristiwa itu Wiranto (oleh Soeharto) mendapat posisi dan promosi di struktur keamanan sebagai jenderal bintang empat, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Dia 'mengacak-acak' posisi-posisi yang seharusnya tidak boleh dilakukan, keputusan yang semestinya tidak dilakukan, akibat peristiwa 27 Juli. Dia bisa melakukan tindakan di luar hukum atas nama negara," lanjut Puri.

Kontras menilai keputusan Presiden Jokowi mengangkat Wiranto di posisi strategis di kabinet akan makin membuat banyak gerombolan-gerombolan pelanggaran HAM makin tidak tersentuh, dan para korban serta publik akan terus bertahan dalam kondisi impunitas (praktik bebas dari hukum) di Indonesia berjalan terus.

"Kita sudah lelah menghadapi muka-muka lama. Ryamizard Ryacudu sebagai contoh. Retorikanya panjang (soal tragedi 1965), soal pertahanan negara, isu HAM. Tapi sekarang dia menambah excess baggage, bagasi yang tidak diperlukan oleh kabinet kerja ini," kata Puri.

LSM Kontras juga mempertanyakan strategi Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus-kasus HAM. Puri Kencana Putri khawatir penyelesaian kasus HAM akan gagal karena Jokowi salah pilih orang untuk mengawal proses penyelesaian kasus HAM, termasuk dalam kasus tragedi 1965.

"Pada masa Menko Polhukam Pak Luhut, meski ia sangat kontroversial, tapi upaya itu masih terbuka. Tapi sekarang, ketika kita lihat posisi Pak Wiranto sangat defensif untuk isu HAM, untuk isu pertanggung jawaban apa yang terjadi di masa lalu, maka kans-nya makin sedikit. Dan kita melihat punya tanda-tanda, bahwa isu HAM itu sudah mengarah pada sifat statusquo," lanjut Puri Kencana.

 
http://m.kbr.id/berita/nasional/07-2016/nasib_rekomendasi_simposium_1965_diperkirakan_kandas_di_tangan_wiranto/83488.html

0 komentar:

Posting Komentar