Kamis, 21 Juli 2016

Saya dan sejarah 1965

Teressa Warianto | Jul 21, 2016

Generation Clueless: Bagi anak-anak yang telah menghabiskan hidup mereka sama sekali tidak pernah mendengar kata-kata G30S PKI, apa sejarah itu tetap penting?
“If history is only written by the victors, how much do we really know about history?”
“Jika sejarah memang ditulis oleh para pemenang, berapa banyak yang kita tahu tentang sejarah?”
Saya lahir tahun 1990-an di Jakarta. Sudah terasa sangat jauh sekali dengan apapun yang berbau PKI atau peristiwa tahun 1965. Saya juga tidak mempunyai hubungan pribadi apapun dengan 1965, tidak ada sanak saudara, kakek atau nenek yang pernah ditangkap atau dibunuh pada saat itu.

Jadi bisa dikatakan saya benar-benar buta tentang peristiwa 1965.
Sejak kecil saya juga sudah disekolahkan di sekolah internasional, boro-boro tahu siapa itu D.N Aidit, Pancasila saja saya tidak hafal. Saya juga tidak pernah tahu tentang adanya film G30S/PKI sampai ibu saya bercerita dengan enggannya.
“Film-nya sadis; untung sekarang udah nggak ditayangkan lagi di TV,” ujarnya.
Tapi suatu ketika saat saya masih SMP, saya membaca majalah Tempo mingguan milik ayah saya. Saya masih ingat betul, sampul majalah Tempo minggu itu yang berwarna merah dengan skesta seorang D.N Aidit. 
Di artikel itu, Aidit tidak digambarkan sebagai seorang pembunuh berdarah dingin, seperti yang saya dapati di buku-buku sejarah. Ia hanya seorang politikus PKI yang (mungkin) saja sedang merencanakan sebuah revolusi. Partai Komunis Indonesia pun bukanlah sebuah kumpulan ‘iblis penyembah uang’ melainkan hanya salah satu dari banyaknya partai politik yang muncul di Indonesia pada masa itu. Ya, mereka memang mempunyai ideologi yang berbeda. Tetapi bukanlah itu inti dari sebuah partai? Sebuah organisasi bagi orang-orang yang mempunyai pemahaman dan ideologi sama yang kemudian bekerja untuk memenangkan pemilihan

Tanpa saya sadari, artikel yang saya baca tersebut menjadi salah satu tulisan pertama yang membuka pemahaman baru saya tentang peristiwa 1965.
Saya menyadari bahwa selama ini ada upaya untuk menghapus jejak PKI dan kesalahan-kesahalan Orde Baru dari ingatan orang-orang Indonesia terkait peristiwa 1965 sehingga anak-anak generasi masa kini, termasuk saya, betul-betul clueless tentang apa yang pernah terjadi dulu.

Sejak saat itu, saya selalu tertarik untuk mempelajari peristiwa 1965 yang masih menjadi misteri, baik tentang PKI maupun tentang peran Aidit dan Soeharto dalam peristiwa tersebut.

Untungnya di tempat kuliah saya di Kanada, saya bertemu dengan dosen-dosen yang ternyata mendalami peristiwa itu juga. Salah satunya ialah Prof. John Roosa yang telah bertahun-tahun mempelajari pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia di tahun 1965. Beliau telah begitu banyak berkontribusi dalam penyusunan dokumentasi dugaan pembunuhan massal tahun 1965 di Indonesia. 

Salah satu bukunya yang terkenal adalah Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup De’Etat in Indonesia (Dalih untuk Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto di Indonesia).

Setelah bertahun-tahun dalam kebingungan, senang sekali saya bisa bertukar pikiran dan belajar langsung dari pengalaman-pengalaman beliau. Tapi di sisi lain, saya juga merasa sedih dengan kenyataan bahwa orang asing lebih peduli pada bangsa saya sendiri, sedangkan saya dan teman-teman justru lebih mengerti sejarah negara orang lain.

Lewat cerita-ceritanya, John Roosa memberi tahu saya betapa sulitnya mencari fakta-fakta seputar kejadian tersebut. Banyak orang yang masih menutup-tutupi peristiwa itu dan lebih parahnya, banyak yang tidak tahu sama sekali. Sampai sekarang pun, tidak ada yang tahu jelas dimana jasad korban-korban tahun 1965 dikubur sehingga sungguh sulit bagi keluarga korban untuk melacak jejak mereka.

Satu cerita beliau yang masih saya ingat adalah terungkapnya sebuah kuburan massal korban pembunuhan tahun 1965 di Bali akhir-akhir ini. Sebelum terungkap, warga setempat mengatakan ada mahluk halus yang mengganggu mereka. Warga pun tergerak untuk mencari tahu apakah ada jasad yang dikubur secara tidak layak di daerah tersebut. Setelah diselidiki, ternyata ‘mahluk halus’ tersebut berasal dari sebuah tanah kosong yang menjadi tempat pembuangan jasad korban peristiwa 1965.

Lalu apa artinya semuanya ini buat saya?

Bahwa sejarah bukanlah sekedar rumus sederhana 1 + 1 = 2. Saya masih menyusun puzzle tentang apa yang terjadi di tahun 1965. Ya, memang terjadi pembantaian pada saat itu. Tetapi, berapa jumlahnya? Apakah ribuan, ratusan ribu atau jutaan, lalu siapa yang membunuh mereka? Dan siapa yang bertanggung jawab? Apakah TNI, Soeharto atau siapa?

Belajar sejarah memang bikin frustrasi, terlebih jika begitu banyak fakta yang saling kontradiksi antara satu dengan yang lainnya. Tapi janganlah sampai menghalangi niat kita untuk mempelajari dan terus mencari tahu.

Sejarah memang ditulis oleh siapupun yang memenangi perang. Ini bukan fenomena yang terjadi di Indonesia saja.

Kebetulan, ‘perang’ tahun 1965 di Indonesia dimenangi oleh Soeharto. Maka tertulislah di dalam buku sejarah bahwa Partai Komunis Indonesia ialah penjahat yang berusaha menghancurkan Pancasila . Diajarkan di sekolah bahwa Soeharto-lah yang berhasil menyelamatkan Indonesia dari serangan kudeta PKI yang menculik dan membunuh jendral-jendral TNI.

Banyak orang Indonesia yang saya temui mempunyai pemikiran, yang lalu biarkanlah berlalu. Mereka lebih memilih untuk mengabaikan kejadian-kejadian menyakitkan di masa lalu demi menghindari konflik di masa kini. Tetapi, sebesar itukah rasa takut kita terhadap sejarah sendiri sehingga kita lebih memilih untuk melupakannya?

Yang jelas ada ribuan, raturan ribu atau bahkan jutaan yang telah kehilangan suami, isteri atau orang tua mereka tanpa alasan yang jelas. Kenapa dan mengapa, saya pun masih mencari tahu. Menurut saya, yang paling penting adalah rasa ingin tahu untuk pengungkapan kebenaran dan keadilan karena menurut saya itu adalah modal besar dalam pelurusan sejarah 1965.

Source: Ingat 65 

0 komentar:

Posting Komentar