Kamis, 28 Juli 2016

Wiranto Jadi Menko

Oleh: Made Supriatna 

Wiranto: Jadi, Jokowi sekarang memilih seseorang yang menjadi terdakwa melakukan 'kejahatan terhadap kemanusiaan' (crimes against humanity) menjadi menteri koordinator bidang politik, hukum, dan HAM? 

Apakah tidak ada orang lain? Apakah dia sudah memikirkan konsekuensinya?
Setahu saya, dakwaan itu tidak pernah ditanggalkan. Pengadilan HAM PBB memang tidak punya yurisdiksi terhadap Indonesia. Namun, persoalannya akan jadi lain kalau si terdakwa berjalan di wilayah internasional. 

Apakah Menko Polhukam yang baru akan berani pergi, katakanlah, ke Afrika Selatan? Saya ingat, sewaktu putranya -- yang sedang menempuh pendidiksn di sebuah madrasah di Afrika Selatan meninggal -- dia tidak pergi kesana. 

Adakah jaminan bahwa dia bisa leluasa pergi kemana saja? Bagaimana kalau dia pergi ke satu negara untuk melakukan kunjungan dan tiba-tiba dia ditangkap?
Saya tidak tahu apakah status Wiranto setara dengan status Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic, dua penjahat perang Serbia yang dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Internasional itu. 

Juga, bagaimana dengan performa Republik Indonesia menghadapi gugatan-gugatan HAM diluar negeri? Apakah RI masih memiliki 'credential' karena menteri koordinator HAM ini justru dikenal sebagai pelanggar HAM kelas berat? Sungguh ironis bukan?

Ingat, banyak kasus kekerasan di negeri ini melibatkan orang ini. Dia yang menciptakan PAM Swakarsa, yang kemudian meletuskan konflik dimana-mana. 

Tahun 2014, ketika memilih antara Jokowi dan Prabowo, saya memilih Jokowi. Saya tahu persis konsekuensinya. Pilihan saya ketika itu adalah pilihan 'the lesser evil.' Bahwa Jokowi mungkin akan memberikan awal baru (fresh start) untuk Indonesia. Optimisme saya ketika itu hanya 20% saja. Besar kemungkinan dia akan jatuh ke tangan para 'baron' kekuasaan yang sudah mengangkangi Indonesia sejak jaman Orde Baru. Dugaan itu tidak salah. 

Kita tahu bahwa Jokowi tidak memiliki basis organisasi kekuasaan. Dia tidak punya partai. Dia juga tidak berusaha untuk mengorganisasi pendukungnya dalam sebuah organisasi yang solid. Ketika berkuasa, dia harus bertransaksi -- berjualan kiri dan kanan. 

Jadilah pemerintahan yang mengandalkan kerja pada 'politicking' kiri kanan. Dia berusaha memperdagangkan posisi politik dan kontrak ekonomi dengan sekutu-sekutu politiknya. Sialnya, mereka yang menjadi sekutu itu tidak pernah benar-benar terikat dalam aliansi. Hubungan mereka adalah sepenuhnya transaksional. 

Dalam hal ini, Jokowi harus terus menerus bermanuver. Dia tidak memiliki institusi dan yang diurus adalah Indonesia yang sangat besar dan kompleks. Dia tidak memiliki orang yang diandalkan. Sangat menyedihkan melihat bahwa presiden dari sebuah negara yang begitu besar tidak memiliki tim apa pun dan (ini yang lebih penting) tidak mempercayai siapapun diluar yang dia kenal secara pribadi. 

Kabarnya, dia hanya mengandalkan penasehat dari 'kelompok Solo' dan keluarganya. Penasehat-penasehat ini pada hakekatnya sangat 'komunalistik.' 
Tentu, ini adalah sifat khas penguasa agraris. dan, Jokowi tidak jauh-jauh dari konsep itu. 
Saya kira, alam pikiran Jokowi tentang kekuasaan tidak jauh dari Sunan, Sultan ... atau bahkan Soeharto. Ya, Soeharto! Si Jagal besar itu. 

Saya curiga, Wiranto adalah usulan dari kelompok ini. Hanya sayangnya, kelompok ini sama sekali tidak punya perspektif nasional. Apalagi pengetahuan akan dunia internasional. Jangan lupa, Wiranto adalah orang Solo. 

https://www.facebook.com/m.supriatma/posts/10153987751118533

0 komentar:

Posting Komentar