Jumat, 29 Juli 2016

Warisan Terkutuk Soeharto

SAAT di meja makan rumah, ayah saya membuka obrolan politik. Ketika itu kami berbincang soal kelompok teroris Islamic State Iraq and Suriah (ISIS) sebagai fenomena politik global. Tentu saja, obrolan ini berbicara tentang beberapa pemberitaan ISIS; strategi militer hingga kekejaman saat menggorok sanderanya yang diuploud ke Youtube. Kami memang sepakat, bahwa ISIS bukan Islam. 
Namun ketika membahas tentang kekejaman ISIS, seketika ayah saya membuat korelasi mengejutkan: “mereka bukan Islam, mereka seperti PKI.”

Dari sanalah saya berkali-kali mengatakan pada diri saya bahwa– betapa jahatnya Soeharto.

Tentu saja, wacana dijadikannya Soeharto sebagai pahlawan melukai kesadaran saya. Kesadaran yang dibangun atas keberuntungan tidak pernah menonton Film G30S/PKI sewaktu kecil (baru ketika kuliah saya sengaja menontonnya). Kesadaran generasi yang tumbuh dari imajinasi film jepang tahun 1990an; Doraemon, Chibimaruko Chan, Detective Conan, dan yang sangat legendaris; Dragon Ball. Dari sanalah ruang imajinasi generasi saya dimulai. Saya bermain nitento, sega, mario bross hingga Playstation yang pertama. Saya hidup tanpa ketakutan akan PKI.

Saya malah takut bila Freezer datang ke bumi mengalahkan Son Goku atau Madara berhasil menguasai dunia Ninja. Beruntunglah, saya menjadari bahwa mereka hanyalah tokoh fiktif. Berbeda dengan generasi orang tua saya; yang pernah hidup di era 1965, atau mengalami propaganda-dipropaganda setiap tahun sejak tahun 1980an oleh film karya Arifin C Noer tentang kekejaman kelompok yang akan menggulingkan Negara–kudeta atau menghancurkan bangsa Indonesia, sekali lagi atau mereka yang dianggap sebagai PKI. Mereka percaya bahwa film tersebut adalah kenyataan.

Persoalan ini sangatlah berbahaya. Saya mengenal orang-orang yang sangat santun, baik, dan ramah dari generasi ayah saya, namun laksana tombol pengendali jarak jauh, seketika wacana komunis atau PKI terdengar oleh mereka– tiba-tiba generasi tersebut, termasuk ayah saya,– menjadi kelompok yang siap membunuh dan mati demi melawan PKI. Persoalannya PKI sudah tidak ada, lalu siapa yang mereka lawan?

Kita menyaksikan orang-orang di sekitar kita meracau dalam ilusi bahwa “sesuatu” yang berbahaya akan datang menghancurkan kita semua. Dan mereka percaya itu adalah PKI (kemanakah setan dan iblis yang biasa dipersalahkan?). Orang-orang tersebut merupakan alasan bagi saya untuk menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Proses ini memang merupakan rekayasa psikologis massal yang sangat besar dan luas; meliputi 17.000 pulau dan hampir 200 juta kesadaran, untuk mengubah kosakata “Kejam”, “Penghianat”, “Pembunuh”, Pembantai”, “Anti-agama”, “Atheis”, “Pembunuh Ulama”, “Bahaya laten” dan lainnya pada satu kosakata saja. Sehingga amat mudah – bahkan untuk mengatakan ISIS mirip PKI—yang secara epistemologis dan ontologis sangat memalukan untuk dibahas persamaannya. Kita menghadapi sebuah kenyataan bahwa semua kosakata tendensius dan buruk tersebut, cukup dijelaskan dalam satu ucapan “Pekai” atau huruf; PKI.

Sebagaimana ahli semiotik yang percaya bahwa pada dasarnya manusia membentuk beragam simbol untuk menafsirkan kenyaan, maka segenap pengetahuan kita yang melahirkan jutaan simbol, bahkan ‘kata’ yang bisa dikatakan sebagai susunan simbol realitas tersebut, disederhanakan menjadi padanan kata PKI. Secara intelektual, pengetahuan kosakata yang kita miliki di-ekstrak oleh kekuasaan Negara yang bernama rezim Soeharto. 
Ia telah menanamkan semacam chip imajinatif yang bila ditekan dengan bunyi “PEKAI” seketika, segala kelembutan yang ada pada sanubari manusia menjadi hilang, berubah ganas dan siap memangsa siapa saja yang terdeteksi sebagai “PEKAI”.

Soeharto telah mengubah wajah Indonesia. Identitas Nasional Indonesia yang termaktub dalam kalimat “Bhineka Tunggal Ika” telah menjadi miniatur taman di pojok timur Jakarta bernama “Taman Mini”. Dari sanalah hadir kurva kesejahteraan yang meningkat di era Orde Baru, sekali lagi, dengan menganalisa Taman Mini, bukan Indonesia-nya. Sejatinya, kita tidak benar-benar bhineka kala itu. 
Semuanya ada dalam ilusi pembangunan berfondasi hutang. Salah satu bangunan terbaik politik Soeharto adalah mental korupsi yang sulit dihilangkan selama puluhan tahun terakhir ini, bahkan ketika Polisi, Jaksa, Hakim dan KPK mencoba membersihkan pemerintahan dari mental korupsi secara keroyokan–kalo tidak ingin disebut saling cakar-cakaran.

Soeharto mengubah nasionalisme Indonesia. Kini kita menyadari betul dengan sebenar-benarnya, bahwa dengan berkarya menghasilkan sesuatu, hal tersebut bisa menjadi kebanggaan nasional. Apa yang kita lakukan di ajang internasional akan mengharumkan nama bangsa Indonesia. Namun, Nasionalisme ala Soeharto telah menjadi kosakata sempit yang hanya bisa hidup dengan kata lawannya. 
Artinya kita bisa memperkuat nasionalisme dengan menciptakan musuh-musuh imajinatif, seperti “separatis”, “liberal”, “asing” dan tidak lupa PKI. Jadi, ketika kata-kata itu muncul, seakan-akan nasionalisme kita didesak untuk memilih Nasionalisme atau PKI? Bagaimana bila kita menyaksikan bahwa Nasionalisme justru kata yang bisa menyatu dengan kata PKI? Bahwa PKI merupakan bagian dari Nasionalisme bangsa Indonesia?

Faktanya, bukan hanya satu buku sejarah yang menunjukkan bahwa PKI hadir dalam proses pembentukan Nasionalisme Indonesia. Sesungguhnya saya bosan menunjukan fakta-fakta ini; Pemberontakan PKI 1926 terhadap kolonial Belanda, dan orang-orang seperti Tan Malaka, Semaun, Aidit yang tidak dapat dipisahkan namanya dari pembentukan kesadaran Nasional era1900an awal hingga perjuangan kemerdekaan Indonesia.[1]

Soehato telah memaksa beberapa generasi bangsa Indonesia untuk kebingungan bahkan menolak kenyataan, untuk menerima fakta bahwa PKI, sebagai gerakan sosial-politik, memiliki sumbangsih terhadap kemerdekaan. Selama 32 tahun, generasi tersebut dipaksa untuk berfikir hitam-putih. Menerima kenyataan tersebut bukanlah persoalan ilmiah lagi, namun persoalan psikologis. Artinya, meski mereka yang di-ekstrak otaknya oleh rezim soeharto menyadari bahwa fakta tersebut benar adanya, persoalannya bahwa mereka tidak menerima adalah karena persoalan psikologis. Dan Soeharto melakukan itu pada jutaan kesadaran yang kini sering berteriak “NKRI Harga Mati” untuk musuh-musuh kelompoknya.

Saya kira perubahan makna Nasionalisme seperti itu adalah kerusakan ideologi yang cukup parah, sehingga memonopoli Pancasila sebagai mata rajawali yang siap mencari musuh (hampir mirip dengan mata elang, sebutan pencari motor kredit nunggak). Keberagaman menjadi seragam. Bahkan kegugupan kita untuk mengatakan bahwa Papua adalah Saudara Kita yang layak mendapatkan haknya, membuat kita malu dengan kenyataan bahwa sudah terlalu lama kita menghancurkan imajinasi bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Saya sangat merasa malu untuk mengatakan hal tersebut di depan wajah seorang Papua yang pernah kehilangan ayah dan sanak saudaranya, yang diculik tak kembali. Soeharto melalui restunya atas kehadiran Freeport di Papua, memperjelas rasa malu itu untuk membungkam kita ketika harus menjelaskan rasa manis dari Nasionalisme yang telah terlebih dahulu diwariskan penderitaan dan penindasan olehnya: bagaimana mungkin kita tersenyum manis mengatakan bahwa nasionalisme adalah berkah di depan makam seorang Papua korban militer?

Rasa malu ini terikat oleh sejarah panjang kuburan massal tanpa makam di tanah Papua atas arogannya sepatu militer di sana. Maka wajar bila kegaduhan mahasiswa Papua di Jogjakarta lalu diramaikan oleh kelompok-kelompok atas nama NKRI buta sejarah, yang bahkan tidak layak membayangkan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa. Secara seragam mereka akan serentak menyatakan kerinduannya terhadap era Orde Baru.

Dan untuk secuil fakta ini, sudah mencukupi buat saya untuk menolak Soeharto sebagai pahlawan nasional.

***

Penulis adalah alumni Prodi Pendidikan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Jakarta. Pustakawan Kandangbuku dan setelah berhenti bekerja (di)kontrak, memilih untuk membuka galeri seni atau memilih hidup sebagai manusia.

[1] Referensi bisa dilihat di Wiliams “Pemberontakan Komunis di Banten”, Takashi Siraishi “Zaman Bergerak”, Tan Malaka “Thesis”, Ben Anderson “Revolusi Pemuda”, Soe Hok Gie “Dibawah Lentera Merah”. Mengenai Aidit, pada detik-detik proklamasi, ia termasuk beberapa pemuda yang mendesak segera dilakukannya proklamasi.

0 komentar:

Posting Komentar