Kamis, 21 Juli 2016

Tragedi 65, Komnas HAM: Ini Kejahatan Kemanusiaan, Bukan Genosida


Kamis, 21 Jul 2016 14:57 WIB | Sasmito

Ini crimes against humanity, bukan genosida.

Aksi menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tragedi 1965. Foto: komnasham

Jakarta- Komnas HAM memiliki pendapat yang berbeda dengan putusan Majelis Hakim Sidang Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang menyebut telah terjadi genosida dalam tragedi 1965. Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, berdasarkan penyelidikan lembaganya, tragedi itu belum memenuhi unsur untuk disebut sebagai genosida. 
"Kalau genosida itu tindakan-tindakan kekerasan yang sengaja tujuan akhirnya adalah melenyapkan satu kelompok tertentu berdasarkan ras, agama atau kelompok politik antara lain dengan unsur-unsur yang mengarah habisnya regenerasi. Misalnya pelarangan kehamilan, pernikahan kelompok itu dan seterusnya," jelasnya saat dihubungi KBR, Kamis (21/7/2016).
Imdadun melanjutkan, “Kita melihat unsur-unsur yang ditemukan dalam penyelidikan lebih ke crimes against humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Sementara terkait 9 temuan IPT 65 lainnya, Komnas HAM membenarkan bahwa temuan itu juga sama dengan hasil penyelidikan pihaknya atas tragedi tersebut. 
"Betul memang ada pembunuhan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, perbudaan. Hampir sama lah dengan temuan IPT 65. Ini crimes against humanity. Masuk pelanggaran HAM berat juga," jelasnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) terkait tragedi kemanusiaan 1965 memutuskan Indonesia bersalah dan harus bertanggungjawab atas 10 kejahatan HAM berat pada 1965-1966. Di antaranya pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida.

Terkait dorongan dari Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana agar Komnas HAM membuka proses penyelidikan tragedi 1965 kepada publik, Imdadun menyebut tidak ada yang harus dibuka lagi oleh lembaganya. Sebab, kata dia, Komnas HAM telah membuka hasil penyelidikan tersebut melalui eksekutif summary peristiwa 1965 pada 3 tahun lalu.

"Kita sudah buka tentang hasil penyelidikan 65 (summary) itu 3 tahun lalu. Kalau substansi seperti hasil BAP dan sebagainya ke publik itu sifatnya rahasia. Kalau kasus ini belum selesai nanti ditanya ke Kejaksaan Agung," tambahnya.
Menurut Imdadun, mandeknya penyelesaian kasus 1965, karena ada perbedaan interpretasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Terutama soal penyelidikan 
"Kejaksaan Agung berpendapat penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM berat masa lalu itu harus didahului oleh rekomendasi DPR. Sehingga Presiden bisa membentuk pengadilan dulu, baru kejaksaan agung bisa mendapatkan kewenangan melakukan penyitaan dan panggil paksa sebagainya karena atas izin pengadilan.”

Sementara kata dia, Komnas HAM berpendapat bahwa tanpa ada pengadilan terlebih dahulu hal itu bisa dilakukan. “Semisal pada kasus Tanjung Priok, Timor-timor dan Abepura. Jadi preseden hukum bisa dijadikan landasan acuan atas tafsir UU No 26 Tahun 2000," kata dia.

Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) terkait tragedi kemanusiaan 1965 memutuskan Indonesia bersalah dan harus bertanggungjawab atas 10 kejahatan HAM berat pada 1965-1966.

Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 digelar di Den Haag, Belanda, November tahun lalu. Di pengadilan itu, untuk pertama kalinya kesaksian korban dibuka ke publik. Hasil IPT 1965 tidak mengikat secara hukum, melainkan sebagai tekanan politik untuk dibawa ke ranah internasional. (mlk)

Source: KBR.ID 

0 komentar:

Posting Komentar