Jumat, 23 September 2016

Bantuan Dana dari LPSK kepada Keluarga PKI Melalui YPKP’65 Patut Dipertanyakan




“Tercium adanya sinyalemen  dugaan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban) bermain mata dengan pihak YPKP 65 untuk memberikan dana kepada keluarga PKI”

Jakarta—  Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) semakin akrab dengan YPKP 65 seiring upayanya untuk menyudutkan pemerintah Indonesia dalam peristiwa 65. Bukti-bukti kerjasama terselubung kedua pihak guna menggalang dukungan dari masyarakat terlihat dari kegiatan di beberapa daerah, diantaranya:

1. Pemberian Uang Saku TA. 2016 oleh pihak LPSK kepada anggota Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru) di Boyolali, Jateng.

Pencairan dana ini dilakukan pada tanggal 1 September 2016 di rumah Mardi Wiyono Dukuh Teras Kab. Boyolali. Dana ini diterimakan terhitung mulai bulan Januari sampai Agustus 2016 sebesar Rp. 180.000/bulan. Hadir dalam kegiatan tersebut diantaranya Supomo Ketua Pakorba Kab. Boyolali, Mardi Wiyono Bendahara Pakorba Kab. Boyolali, Karep Ketua Pakorba PAC Kec. Banyudono, Makno Ketua Pakorba PAC Kec. Karanggede, Aswin Komisionaris LPSK Jakarta, Udin dari LPSK Jakarta, Deby dari LPSK Jakarta dan anggota Pakorba 24 orang. 

Aswin (Komisionaris LPSK Jakarta) menyampaikan jika ada kendala mengenai pelayanan BPJS di Rumah Sakit, akan kita bantu dan akomodir. Anggota yang meninggal dunia bisa mengajukan dana kerohiman kepada LPSK, ada 9 orang yang sudah mengajukan ke LPSK Jakarta. Buku hijau merupakan buku untuk perorangan dari LPSK sebagai bukti, tambah Aswin.

2. Pertemuan YPKP 65 dan pencairan dana kompensasi di Pemalang, Jateng.

Pertemuan ini berlangsungpada tanggal 14 September 2016 di rumah Agus Wijoyo (Ketua YPKP 65 Kab. Pemalang) Dukuh Peron, Kab. Pemalang, Jateng dalam rangka pencairan dana kompensasi Kesehatan dan Sosial dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) Jakarta serta penandatanganan kontrak bagi para anggota baru YPKP 65 Kab. Pemalang yang dihadiri ± 160 orang, diantaranya Mbah Rahmat (Sesepuh YPKP 65 Kab. Pemalang), Agus Wijoyo (Ketua YPKP 65 Kab. Pemalang), Para Jaringan Kerja (Jaker) YPKP 65 Kab. Pemalang), Para Anggota YPKP 65 Kab. Pemalang. Agus Wijojo dalam pertemuan ini menekankan agar Jaker meningkatkan meningkatkan solidaritas anggota YPKP 65 Kab. Pemalang sehingga terjalin hubungan kekeluargaan yang baik dari setiap anggota. Ikhsan (Perwakilan LPSK) menjelaskan kegiatan pelaksanaan pembagian dana kompensasi pembayaran dari LPSK kepada para anggota YPKP 65 Kab. Pemalang terdiri dari uang makan, uang transport dan pelayanan kesehatan. Selain itu, pelaksanaan penandatangan kontrak bagi anggota YPKP baru yang belum pernah mendapatkan Kompensasi Kesehatan dan Penandatanganan perpanjangan kontrak untuk para anggota YPKP 65 Kab Pemalang, imbuh Ikhsan.

Tugas dan Wewenang LPSK.

Banyak kasus yang seharusnya mendapat penanganan serius dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seperti kekerasan dan penyiksaan, perlindungan anak, korupsi, korban terorisme, maupun pelanggaran HAM. Meskipun termasuk dalam lembaga mandiri, akan tetapi LPSK bertanggung jawab pada presiden dan tentunya LPSK harus jeli menyikapi setiap kasus yang ada. Kembali lagi pada tugas dan wewenang LPSK dalam UU No 13 Tahun 2006 yaitu memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana.

LPSK Harus Jeli

Mengacu pada tuntutan penyelesaian permasahan HAM di masa lalu oleh kelompok YPKP 65/65, diketahui bersama jika kasus ini selalu disulut oleh pihak-pihak kelompok kiri seperti Nursyahbani Katjasungkana dan Todung Mulya Lubis. Permasalahan 65/66 tidak bisa diselesaikan secara yudisial mengingat tidak adanya bukti-bukti kuat dan banyak saksi peristiwa maupun korban telah meninggal. Fakta-fakta tersebut cukup membuktikan jika LPSK seharusnya tidak bisa menangani kasus ini lebih jauh. Beberapa catatan yang menjadi pertimbangan, pertama yaitu fakta sejumlah korban yang telah dikoordinir sejauh ini hanya dari pihak kiri, sedangkan korban dari kekejaman PKI baik saksi nyata peristiwa, anak dan cucu korban tidak pernah mendapat perhatian serius. Kedua, masalah 65 tidak bisa diselesaikan melalui jalur yudisial atau proses pengadilan, akan tetapi pihak-pihak berkepentingan tersebut terus berupaya mendorong ke jalur hukum bahkan sampai ke luar negeri. Ketiga, pemerintah dan siapapun tidak bisa bertanggung jawab apalagi meminta maaf atas peristiwa 65 tersebut. Yang seharusnya minta maaf itu dari kelompok PKI karena mereka telah melakukan pemberontakan kepada negara secara kejam. Keempat, belum adanya keputusan lanjutan terkait rekonsiliasi kasus 65. Presiden dan pemerintah juga tidak akan meminta maaf terhadap peristiwa 65 di masa lalu.
Kesalahan LPSK.
Beberapa catatan tersebut harusnya menjadi acuan bagi LPSK untuk mengambil langkah dalam penanganan kasus 65. Namun, kenyataan sekarang terlihat jika LPSK terkesan salah langka dan cenderung membela pada kelompok kiri. Ini jelas tidak adil dan menjerumuskan pemerintah yang seakan-akan mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Bentuk kesalahan LPSK yaitu memberikan uang saku kepada Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba). Hal ini sama saja melangkahi presiden dan pemerintah selaku pengambil kebijakan dalam penyelesaian peristiwa 65. Meskipun LPSK berdalih sebagai bentuk kegiatan kemanusiaan, akan tetapi cara seperti ini tidak tepat dan seakan-akan mendukung kelompok yang mengatasnamakan sebagai korban. Jika berbicara korban, negara dan beberapa golongan masyarakat pada masa itu banyak yang menjadi korban kekejaman PKI. Dikaitkan dalam ranah persidangan, apakah Simposium 65 yang digelar beberapa waktu lalu merupakan jalur hukum? Kemudian sidang IPT 65 di Den Haag apakah termasuk dalam peradilan formal? Simposium dan IPT 65 bukanlah ranah hukum dan persidangan resmi, jadi LPSK tidak bisa menggunakan fungsi dan kewenangannya terkait peristiwa 65 sebelum ada keputusan bersama, tentunya dari presiden dan pemerintah Indonesia.
 
Misi Terselubung LPSK  Dibalik Pemberian Uang?

Jika hal tersebut benar sebagai ungkapan kemanusiaan, maka siapapun orangnya pasti akan memberikan acungan jempol kepada LPSK, bahkan tentunya masyarakat akan beramai-ramai memberikan acungan jempol kepada organisasi kemanusiaan tersebut. Cara seperti ini terlihat sekali jika LPSK berusaha menggalang dan ingin mendapatkan simpati dari masyarakat kelas bawah yang bisa dimanfaatkan dengan pemberian uang. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa kegiatan tersebut hanya dilakukan terhadap yang dianggap sebagai korban orde baru? Ini yang menjadi tanda tanya besar, karena seakan-akan hal tersebut ada misi besar dibalik kebaikan mereka. Dari fakta tersebut, maka semakin jelas, bahwa adanya upaya dan rencana besar untuk mencari target-target yang akan dijadikan sebagai anggota baru. Yang berpotensi menjadi target mereka adalah rakyat miskin, yang notabene hanya dengan 200 hingga 300 ribu perbulan, mereka bersedia menjadi anggota baru dari kelompok mereka. Padahal yang sebenarnya mereka tidak sedikitpun terkait dan bahkan tidak tahu menahu dengan tragedi 1965. Ini adalah sebuah strategi luar biasa yang sedang dimainkan. Dengan strategi itu, maka pelan tapi pasti, anggota YPKP 65 akan semakin banyak, dan ironisnya akan diisi oleh orang dari keluarga miskin yang tidak tahu menahu dengan tragedi 1965.

 Dana Lebih Tepat Disalurkan Pada Korban Kasus Lain
 
Banyak kasus yang seharusnya mendapat prioritas dari LPSK seperti kejahatan terhadap anak, perlindungan terhadap korban terorisme, perdagangan orang dan pelanggaran HAM lainnya. Banyak kasus selain peristiwa 65 yang sudah masuk dalam daftar LPSK namun terbengkalai dan tidak kunjung selesai, sehingga bermunculan terus kasus yang serupa. Masalah dana memang sangat rawan dan bisa disalahgunakan oleh yayasan atau kelompok berkepentingan seperti YPKP 65. Hal ini diperparah dengan adanya himbauan tanpa diseleksi secara ketat siapa-siapa yang benar korban atau sekedar mengaku saja untuk bisa mendapatkan uang tersebut. Dana tersebut akan lebih tepat jika disalurkan pada korban-korban kasus lain yang lebih prioritas dan nyata-nyata sudah dalam proses hukum atau persidangan. Pengakuan LPSK tentang terbatasnya anggaran harusnya menjadi koreksi untuk lebih selektif dalam menyalurkan bantuan dana kepada para korban

0 komentar:

Posting Komentar