Jumat, 16 September 2016

Jalan Terjal Penuntasan Peristiwa 1965

Jumat, 16 September 2016 | 07:51 WIB


Lestari, keluarga korban kekerasan peristiwa 1965 asal Blitar, Jawa Tengah, saat mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, Selasa (17/1/2012). Ia bersama puluhan keluarga korban lainya menagih janji Komnas HAM untuk segera mengumumkan hasil penyelidikan pro justisia dan segera mengumumkan temuan pelangaran berat pada peristiwa tersebut. Foto: LUCKY PRANSISKA


JAKARTA, KOMPAS.com
- Sejak Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965" digelar pada 18-19 April 2016, pemerintah hingga saat ini belum memberikan sinyal positif terkait penuntasan kasus peristiwa 1965.
Simposium Nasional yang diprakarsai oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa (FSAB), serta didukung Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, dimaksudkan sebagai dialog awal antara pemerintah dan korban untuk merumuskan pokok pikiran menuju rekonsiliasi nasional.

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu, khususnya peristiwa 1965.

Wiranto pun keberatan jika dirinya disebut-sebut mengabaikan persoalan tersebut.

"Saya akan menyelesaikannya, saya jamin. Pemerintah akan terus bekerja untuk menyelesaikan masalah itu," ujar Wiranto saat ditemui usai rapat di Badan Anggaran DPR RI, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/9/2016).

Namun, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bejo Untung justru mengaku menerima surat penolakan permohonan audiensi dari para korban dan Menko Polhukam pada Selasa (13/9/2016).

"Secara kebetulan Selasa kemarin saya baru menerima surat dari Kemenko Polhukam. Isi surat itu justru kontradiktif dengan pernyataan Wiranto. Intinya surat itu menolak permohonan audiensi yang kami ajukan," ujar Bejo saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/9/2016).

Bejo menuturkan, pada 8 Agustus 2016 YPKP 1965 mengirimkan surat permohonan audiensi ke Kemenko Polhukam.

Melalui surat tersebut, YPKP bermaksud untuk mempertanyakan seperti apa bentuk penyelesian kasus pelanggaran HAM 1965 yang akan diambil oleh Pemerintah.

Sebab, kata Bejo, sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari pemerintah terkait hasil rekomendasi Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 dari Perspektif Sejarah yang diadakan pada bulan April lalu oleh Wantimpres, Kemenko Polhukam, Lemhanas dan Komnas HAM.

Namun permohonan audiensi tersebut ditolak dengan alasan permasalahan yang disampaikan sudah pernah dibahas oleh Menko Polhukam dan belum ada tanda dari pemerintah akan menyelesaikan kasus tersebut.

"Ada kalimat itu dalam surat yang saya terima," ungkap Bejo.
Dalam surat tersebut, lanjutnya, juga disampaikan bahwa pada 8 Agustus 2016, Menko Polhukam telah menyerahkan hasil rekomendasi penyelesaian kasus 1965 kepada Presiden Joko Widodo.
 
Dengan adanya fakta tersebut, Bejo menilai pemerintah belum mengambil keputusan mengenai bentuk penyelesaian atas dugaan pelanggaran HAM pada kasus 1965.
"Saya masih mempertanyakan bentuk penyelesaiannya seperti apa, Wiranto hanya bilang akan saja tapi tidak menjelaskan bentuknya apa. Bentuk rekomendasi penyelesaian kasus 1965 harus diumumkan ke publik," tuturnya.


Mekanisme Hukum Internasional

Koordinator Yayasan International People’s Tribunal tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 (IPT 1965) Nursyahbani Katjasungkana menyesalkan penolakan permohonan audiensi para korban kasus 1965 oleh Wiranto

Menurutnya penolakan tersebut menjadi tanda bahwa komunikasi dan dialog antara korban dengan Pemerintah untuk penyelesaian kasus 1965 sudah tertutup.

"Jadi posisi pemerintah sudah jelas menolak permintaan audiensi baik ke Menko Polhukam, apalagi ke Presiden. Pintu komunikasi dan dialog dengan Pemerintah sudah ditutup," ujar Nursyahbani saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/9/2016).

Nursyahbani mengatakan, adanya penolakan audiensi bisa dijadikan sebagai bukti pelengkap adanya unsur ketidakmampuan dan ketidakinginan pemerintah untuk menyelesaikan kasus 1965.

Dua unsur tersebut, kata Nursyahbani, memenuhi syarat penyelesaian kasus 1965 menggunakan instrumen hukum internasional.

"Itu melengkapi bukti bahwa Pemerintah unwilling dan unable untuk menyelesaikan masalah 1965 dan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Karena itu cukup kuat untuk menggunakan mekanisme hukum internasional," ungkap Nursyahbani.

Penulis: Kristian Erdianto
Editor : Krisiandi
 
http://nasional.kompas.com/read/2016/09/16/07513211/jalan.terjal.penuntasan.peristiwa.1965.

0 komentar:

Posting Komentar