Rabu, 07 September 2016

Pangkat Diloncati, Kehormatan Dilanggar, Protes Soeharto (Bagian-5)

Bahari
Rabu,  7 September 2016  −  05:27 WIB

Mengenang Bang Ali, Gubernur Legendaris Jakarta 1966-1977



KABAR duka itu mengejutkan. Bung Karno wafat, 21 Juni 1970. Innalillahi wainna Ilaihi rojiun. Saat ke rumah sakit tak sempat melihat jenasahnya. Lalu bergegas ke Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto. Di sini Bang Ali Sadikin baru bisa melihat jenazah Bung Karno. 

Sungguh Bang Ali merasa kehilangan. Kehilangan seorang bapak bangsa, kita telah kehilangan seorang pemimpin bangsa yang banyak dikagumi banyak bangsa di dunia.

Beliau penggugah seluruh bangsa untuk mengenal hak-haknya. Maka, terkenanglah kejadian di bulan bulan terakhir yang sempat Bang Ali dengar dan saksikan.
 
Bang Ali kembali teringat pernah menengok Bung Karno waktu ditahan di Wisma Yaso. Keadaan tempat tinggal itu kotornya bukan main. Kebunnya tidak terurus, debu dalam ruangan dimana-mana. 

Padahal, Bung Karno sangat menyukai kebersihan. Sangat tidak suka pada kotoran. Jangankan kekotoran yang begitu tampak dan bertumpuk, debu sedikit pun beliau tak senang. Beliau teliti, suka kebersihan dan keindahan.

Melihat kondisi itu, Bang Ali amat sedih. Kok, tega-teganya orang berbuat itu terhadap beliau. Masak, pemimpin bangsa diperlakukan demikian. Bang Ali yakin pasti Bung Karno menderita hidup dalam kondisi seperti itu. Apakah itu disengaja? Sampai meninggalnya, bang Ali belum dapat jawaban pasti.

Kebiasaan Bung Karno adalah ngobrol. Saat berada di Wisma Yaso tak ada orang yang jadi tempat mengeluarkan isi hatinya. Tentunya beliau merasa tertekan hidup seperti itu. 

Bang Ali sendiri tidak dekat Bung Karno kendati perasaannya merasakan sebaliknya. Tapi, beliau correct terhadap Bang Ali, juga istrinya. Jadinya, kami merasakan kehangatannya. Bang Ali kira banyak orang merasakan seperti itu bila berhubungan dengan Bung Karno. 

Yang Bang Ali rasakan, Bung Karno hebat rasa kemanusiaannya. Orang yang sebelumnya benci terhadap beliau, tapi begitu bertemu dan bergaul pasti berbalik mengaguminya. Soalnya, seperti yang Bang Ali rasakan, semua dianggap sebagai manusia yang sama derajatnya. Dus, kita tidak kikuk berhadapan denganya. Tidak ada rasa takut. Pokoknya, kita bebas.

Caranya juga enak. Tidak resmi-resmian. Kalau kita bertemu dalam resepsi, beliau datang menghampiri kita dan mengulurkan tangan. "Apa kabar kamu," sapanya. Itu kan enak.

Rasa kagum Bang Ali terhadap beliau menembus batin dan nuraninya. Dari hari ke hari Bang Ali tambah menghargainya. Bukan karena beliau yang mengangkat dan menjadikan Bang Ali Gubernur DKI Jaya. Tapi, karena renungan yang menimbang-nimbang antara kebaikannya dan kesalahannya. Bung Karno berhasil menyatukan bangsa. Tapi, Bang Ali tidak menutup mata, telinga dan batinnya. Toh, kalau dihitung-hitung  lebih banyak jasanya dibandingkan kesalahannya.

Karena itu lah, sekian waktu setelah meninggalnya Bung Karno, Bang Ali gantungkan potret Bung Karno yang besar di rumahnya. Potret yang charmant. Setiap kali saya menatapnya, rasa kekaguman Bang Ali terhadapnya bangkit, hidup dengan kehangatan serta mendorongnya untuk berbuat baik. Ya, Bang Ali pengagumnya.

Sepeningal Bung Karno, Bang Ali terharu melihat kondisi putra putrinya. Maka sekali waktu Bang Ali menghimpun dana. Ada pengusaha-pengusaha besar yang membantunya untuk bisa memberikan rumah kepada Megawati, Sukmawati dan Guruh Soekarnoputra yang waktu itu tidak punya rumah. 

Bang Ali mengambil inisitaif begitu karena tidak tega melihat mereka tidak punya atap. Bang Ali mengetuk hati pengusaha. Pak Hasjim Ning diminta bantuannya karena beliau dekat dengan Bung Karno dalam pengertian baik, bukan dekat untuk mendapatkan fasilitas. Sejak jaman Jepang pak hasjim sudah berdagang.

Ada yang mengatakan, bahwa dulu kemauan dan kehendak Bung Karno tidak ada yang bisa mencegah. Tapi, pengalaman Bang Ali bisa. Terbukti, sekali waktu Bung Karno memanggil Bang Ali saat masih menjadi Menko Urusan Maritim. BK minta bantuan untuk kepentingan mertuanya. Ia juga bilang tidak harus tapi bertanya. "Bisa nggak,". Bang Ali bawa berkas-berkasnya ke kantor. Semua berkas dipelajari masalahnya bersama stafnya. 

Ternyata permintaan tidak bisa dilaksanakan. Bang Ali pun mengatakan terus terang kepada Bung Karno. Setelah dijelaskan, BK berkata, "Baiklah kalau begitu,". Selesailah persoalan itu.
 
Dalam hati saya berkata,"Ini orang benar-benar hebat". Beliau tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk soal-soal begitu. Tapi, yang paling penting buat Bang Ali, beliau menghargai menteri sebagai pembantunya. Karena peraturan mengatakan tidak bisa dan Bang Ali sebagai bawahan berani berkata begitu. Itu berarti beliau menghargai bawahannya. Ia pun tidak marah. Apalagi, sentiment. Terbukti, Bang Ali sering diajak berlenso-lenso bersama istrinya, Nani. Dan, permintaan fasilitas, kalau dikatakan begitu  itu pun sekali itu saja.  
 
Terhadap Bung Hatta pun hubungan Bali Ali cukup baik. Saat menjabat gubernur, Bang Ali mendengar Bung Hatta kesulitan membayar air PDAM dan Ireda. Berapa persisnya uang pensiun yang diterima mantan Wapres itu, Bang Ali tidak tahu dan terharu mendengar kabar seorang tokoh bangsa tidak mampu membayar iuran PDAM.  

Akhirnya, dicarilah akal. Selain mengangkat Bung Hatta sebagai warga utama kota Jakarta, Bang Ali juga membicarakan dengan DPRD DKI agar bisa member fasilitas kepada Bung Hatta. Akhirnya, pemerintah pusat membebaskan tarif lisrik air, dan dapat sopir pribadi. Bang Ali bersyukur.

Hubungan dengan Presiden Soeharto pun Bang Ali baik-baik saja. Tidak ada masalah meski yang mengangkat dirinya jadi gubernur kali pertama adalah Bung Karno.

Hanya saja Bang Ali pernah protes kepada Presiden Soeharto karena pangkatnya diloncati adik angkatanya. Yakni, oleh Laksamana O.B Sjaff dan Laksamana Soebiakto yang ditugaskan di Hankam lalu pangkatnya dinaikkan menjadi bintang tiga. 

Padahal, Bang Ali lebih tua. Bang Ali satu angkatan bersama-sama Yos Soedarso dan Martadinata. Tapi, dua-duanya sudah tidak ada.

Karena diloncati, maka Bang Ali mengajukan surat keberatan kepada Presiden Soeharto. Itu sewaktu Bang Ali jadi gubernur. Resmi, Bang Ali mengirim surat ke Presiden Soeharto dan bertanya mengapa pangkatnya diloncati tanpa ditanya lebih dulu. Bang Ali tidak bisa terima begitu saja diloncati tanpa ditanya lebih dahulu. ALi Sadikin lebih senior. 

Bang Ali ingat, menurut kode etik di Angkatan Laut, kalau pangkatnya diloncati yang bersangkutan harus ditanya lebih dulu. Dan, Bang Ali punya kebebasan untuk menyatakan pendapat, keberatan atau tidak. Bang Ali terima atau tidak. Tak bisa diloncati begitu saja.

Kejadian yang menimpa dirinya, seolah-olah mereka tidak menggunakan daftar kepangkatan lagi. Kenapa Bang Ali tidak dinaikkan pangkat? Padahal, Bang Ali lebih tua. Apakah Bang Ali sebagai gubernur sudah dianggap di luar ranglijst (daftar kepengkatan) Dan, apakah kedudukan gubernur sebagai pejabat Negara dianggap lebih rendah dan notabene sebagai mantan Menko dan Menteri Maritim sudah tidak perlu diperhatikan lagi kepangkatannya? 

Padahal, Bang Ali belum pensiun. Masih muda! Atau karena konduitenya jelek? Dalam hati, Bang Ali berfikir, apa kesalahan dirinya? Dan, kalau ada kesalahan pada seharusnya mereka sampaikan. Terangkan kesalahan saya ini, itu dan ini.

Dalam kasus ini, Bang Ali menganggap, dilompati itu berarti kehormatannya dilanggar, tidak dihiraukan, kehormatannya ternoda. Ini bukan persoalan pangkat, melainkan masalah kehormatannya. 

Itu doktrin kehormatan perwira. Ini penting. Ini akan berpengaruh pada posisi seorang perwira. Baik secara kode etik maupun hukum. Dan, akan menegakan disiplin corps, menghapuskan like and dislike sehingga nanti menetapkan merit system. Dengan demikian semua merasa pembaktian kita sebagai perwira adalah tugas Negara bukan kepada seseorang. Bukan karena politik atau dekat atasan. 

Surat Bang Ali kepada Presiden Soeharto pun bikin geger karena memang belum terjadi sebelumnya. Gaduh, isu pun terdengar "Jadikan saja Ali Sadikin duta besar,". Terhadap sas sus itu Bang Ali jawab "Tidak mau. Saya tidak tepat untuk jadi dubes," kata Bang Ali. 

Orang yang merasa mengatur pangkat jadi kebingungan. "Kalau dia (Ali Sadikin) tetap jadi gubernur, masak seorang Letjen jadi gubernur," katanya.

Maka, kemudian dikeluarkan surat keputusan presiden, jabatan-jabatan gubernur mana saja yang bisa diisi seseorang yang berpangkat Letjen adalah DKI Jaya. "Jadi lah saya Letjen yang tetap menjabat gubernur," ungkap Bang Ali.

Meski demikian hubungan Bang Ali dan Presiden Soeharto tetap baik sampai berakhirnya jabatan gubernur kali kedua. Paling tepat dikatakan correct.

Saya merasa, tidak ada pernh ketegangan. Sampai pertemuan terakhir itu, Bang Ali tidak pernah dipersalahkan, tak pernah ditegur karena misalnya, Bang Ali diangap berbuat salah. Begitu juga halnya dengan Ibu Tien Soeharto. 

(bersambung) 
(ysw

http://metro.sindonews.com/read/1137157/173/pangkat-diloncati-kehormatan-dilanggar-protes-soeharto-bagian-5-1473155727

1 komentar: