Jumat, 30 September 2016

TNI Juga Dinilai Jadi Korban Kudeta 1965, Kekuatan Melemah akibat Dwifungsi

Jumat, 30 September 2016 | 20:50 WIB


Pengamat Politik dan Keamanan Kusnanto Anggoro dalam senuah diskusi yang digelar oleh PARA Syndicate, Jumat (30/9/2016). Foto: Kristian Erdianto


JAKARTA, KOMPAS.com
- Banyak teori yang dikemukakan oleh para akademisi, sejarawan, maupun pengamat seputar peristiwa pembunuhan tujuh perwira militer Angkatan Darat pada 30 September-1 Oktober 1965 atau dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S).

Hingga saat ini tidak diketahui siapa dalang di balik peristiwa tersebut. Pengamat politik dan keamanan, Kusnanto Anggoro, meyakini satu teori yang mengatakan bahwa G30S merupakan upaya kudeta Soeharto terhadap Presiden Soekarno.
Kudeta tersebut didorong oleh kekhawatiran pihak militer, khususnya AD, atas kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Saya meyakini saat 1965 itu adalah kudeta Soeharto," ujar Kusnanto dalam sebuah diskusi "Gerakan 30 September Hari Ini: Rekonsiliasi dan Sejarah Masa Depan Indonesia" di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2016).
Imbas dari peristiwa tersebut, terjadi pembunuhan massal terhadap orang-orang yang diduga berafiliasi dengan PKI.

Namun, menurut Kusnanto, tidak hanya PKI yang menjadi korban dari upaya kudeta tersebut, tetapi juga TNI sebagai sebuah institusi.
"TNI itu korban kudeta 1965 sebagai sebuah institusi. Sejak saat itu kekuatan militer menurun di Asia Tenggara," kata Kusnanto.

Kusnanto menjelaskan, pasca-1965 Soeharto memegang peranan dan kendali yang besar di tubuh militer.

Namun, Soeharto keliru dalam menerapkan konsep dwifungsi ABRI yang digagas oleh Jenderal AH Nasution.

Menurut Kusnanto, saat itu Nasution menerapkan konsep dwifungsi ABRI terkait urusan di luar pertahanan dan perang hanya berlaku saat keadaan darurat.

Sementara di mata Soeharto, tugas TNI dalam bidang non-pertahanan dipahami sebagai sesuatu yang melekat dalam kegiatan sehari-hari. Artinya, tidak ada lagi pemisahan antara fungsi TNI dalam keadaan darurat dan situasi damai.
Kusnanto menyebutnya sebagai penyimpangan doktrinal.

"Ini sebenarnya merupakan suatu penyimpangan doktrinal dari apa yang sebelumnya digariskan oleh Jenderal Sudirman dan Nasution," ucapnya.

Akibat dari penyimpangan tersebut, kata Kusnanto, TNI melakukan pekerjaan terlalu banyak. Konsekuensinya, TNI menjadi tidak terlalu banyak berpikir tentang bagaimana meningkatkan kapasitas pertahanan Indonesia.

Menurut Kusnanto, sebelum Soeharto berkuasa, kemampuan militer indonesia jauh lebih baik dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Peranan Soeharto dalam tubuh militer membuat TNI memainkan banyak sektor di luar pertahanan, seperti misalnya dunia politik praktis.

Di sisi lain, TNI tidak menaruh perhatian yang maksimal untuk meningkatkan kapasitas kemiliterannya.

Oleh sebab itu, sejak 1965, kata Kusnanto, militer Indonesia tidak memiliki kekuatan yang membuat negara lain berdecak kagum.

"Nah, setelah itu kan kekuatan Indonesia ya begitu-begitu saja sampai sekarang. Ya Anda tahu kekuatan militer Indonesia saat ini cuma sedikit," ucap Kusnanto.
"Berbeda kalau seandainya TNI tidak terlalu sibuk dengan hal-hal politik setelah Soeharto menjadi presiden," ujarnya.

Penulis: Kristian Erdianto
Editor : Bayu Galih

http://nasional.kompas.com/read/2016/09/30/20504951/tni.juga.dinilai.jadi.korban.kudeta.1965.kekuatan.melemah.akibat.dwi.fungsi

0 komentar:

Posting Komentar