Senin, 19 September 2016

Mengenang Rapat Akbar Di Lapangan Ikada

19 September 2016 | 19:09


Rapat akbar alias vergadering bukan hal baru dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia. Ini adalah salah satu metode untuk memobilisasi massa, membahas tuntutan mereka, dan mendidik massa.

Metode ini mulai dikenal sejak awal pergerakan rakyat di permulaan abad ke-20. Rapat akbar pertama digelar oleh Sarekat Islam (SI), di Surabaya, tahun 1913. Kemudian metode itu diwarisi oleh Indische Partij, partai yang didirikan oleh tiga serangkai–Douwes Dekker, Suwardi, dan Tjipto.

Nah, rapat akbar yang dipelopori oleh pemuda Menteng 31, yang digelar di lapangan Ikada, dekat Monas sekarang, disebut-sebut sebagai rapat akbar atau vergadering terbesar dalam sejarah Indonesia. Rapat akbar itu diselenggarakan tanggal 19 September 1945. Menurut sejumlah dokumen, rapat akbar itu dihadiri oleh ratusan ribu rakyat Indonesia.

Sidik Kertapati, salah seorang bekas aktivis Menteng 31 yang terlibat dalam mengorganisir rapat akbar itu, mengulasnya sekilas dalam buku bertajuk Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam buku kecil setebal 152 halaman itu Sidik Kertapati menjelaskan latar-belakang, tujuan, dan proses pengorganisiran rapat akbar itu.

Tanggal 8 September 1945, tujuh orang tentara sekutu mendarat dengan parasut di lapangan Kemayoran. Mereka mendapat tugas dari pimpinan sekutu di Asia Tenggara, Lord Luis Mountbatten, untuk membuat laporan tentang keadaan Indonesia (Sidik Kertapati, 1961:115)

Seminggu kemudian, kapal perang sekutu mulai mendarat di Tanjung Priok. Namun, di dalam kapal itu ikut pula bekas gubernur kolonial di Jawa Timur, Van Der Plas. Kejadian ini mengundang kekhawatiran besar rakyat Indonesia, yang baru saja mengecap udara kemerdekaan, terhadap kembalinya kekuasaan kolonial.

Melihat gelagat itu, pemuda-pemuda revolusioner Menteng 31 bertindak cepat. Mereka kemudian menggelar pertemuan untuk membahas hal tersebut. Hasilnya: mereka akan menggelar rapat umum di lapangan Ikada guna membulatkan tekad rakyat Indonesia mempertahankan kemrdekaan. Rapat umum itu akan dihadiri oleh Bung Karno.

Namun, Jepang mencium rencana ini. Lalu, pada tanggal 18 September 1945, secara sepihak Saiko Sikikan (pemerintahan militer Jepang) mengeluarkan maklumat nomor 5 untuk melarang rapat akbar itu. Tetapi para pemuda tidak gentar. Sosialisasi dan pengorganisiran massa untuk pertemuan itu tetap dilakukan.

Famplet aksi disebar dan ditempel di mana-mana. Pemuda-pemuda revolusioner keluar-masuk kaum untuk mengagitasi massa agar terlibat pertemuan itu. Namun, perlu diketahui, pada awal September 1945, pemuda Menteng 31 sudah membentuk organisasi-organisasi perlawanan.

Ada organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API), yang diketuai oleh Wikana. Pengurus lainnya, antara lain: Chaerul Saleh, DN Aidit, Darwis, AM Hanafie, 
Kusnanadar, Djohar Nur, dan Chalid Rasjidi. Pemuda Menteng 31 juga mendirikan Barisan Buruh Indonesia (BBI), yang dipimpin oleh Njono, Jahja Liman, Pandu Kartawiguna, dan Kusnaeni.

Ada juga Barisan Rakyat (Bara), yang mengorganisasikan kaum tani, yang dipimpin oleh Maruto Nitimihardjo, MH Lukman, Suko, Gundiwan, Sjamsudin, Sidik Kertapati, dan lain-lain. Sementara para seniman mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM), yang seniman seperti Cornel Simanjuntak, Basuki Resobowo, Sudjono, dll.

Organisasi-organisasi rakyat itulah yang berperan dalam mengobarkan revolusi di kalangan rakyat. Organisasi-organisasi itu-lah, pada awal September 1945, yang mempelopori pengambil-alihan Djawatan Kereta Api dan perusahaan-perusahaan penting dari tangan Jepang.

Pada tanggal 19 September 1945 pagi, rakyat dari berbagai tempat di Jakarta dan luar Jakarta mulai berdatangan. Sidik Kertapati menceritakan, “Sejak 19 September itu berpuluh-puluh gerbong kereta api datang dari jurusan Cikampek, Bogor, Tangerang, dan lain-lain membawa massa rakyat ke lapangan Ikada. Malahan ada yang datang dari Cirebon, Tegal, Banten, Bandung, dan beberapa malam sebelumnya menginap di markas Menteng 31.”

Menjelang siang, lapangan Ikada sudah menjadi lautan massa. Bendera merah-putih dan spanduk-spanduk kebulatan tekad membela kemerdekaan diangkat tinggi meninju angkasa. Melihat arus massa yang sangat besar, militer Jepang bertindak. Mereka mengirim tentara dan tank ke sekitar lapangan Ikada.

Jumlah massa diperkirakan mencapai 200 ribu orang. Mereka rela terpanggang oleh sinar matahari. Berjam-jam mereka menunggu kedatangan pemimpin Republik. Untuk menyalurkan semangat massa yang meluap-luap itu, Sidik Kertapati dan DN Aidit naik ke panggung. Mereka mengambil mikofon dari pegawai Kotapraja. Lalu, DN Aidit mengajak rakyat menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan “Darah Ra’jat”. Teks lagu “Darah Ra’jat” sudah dibagikan dalam bentuk famplet kepada massa.

Sementara itu, dalam Sidang Kabinet, sikap Menteri-Menteri terbelah. Sebagian menteri setuju hadir di lapangan Ikada. Sebagian menolak dengan alasan takut terjadi pertumpahan darah. Namun, menjelang pukul empat sore, Bung Karno memutuskan datang ke lapangan Ikada.

Bung Karno datang dengan duduk di atas mobil. Ia dipagari oleh pemuda yang duduk di atas dan kap mobil. Begitu melangkah menuju ke mimbar, Bung Karno juga dipagari oleh pemuda-pemuda yang sudah siap menyerahkan nyawanya bagi Republik. Salah satunya adalah Kahar Muzakkar, yang kelak memimpin pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Dalam banyak penulusuran sejarah, termasuk menurut sejarawan Harry A Poeze, Tan Malaka ikut berjalan di samping Bung Karno saat menuju ke mimbar. Tan Malaka mengenakan topi helm, pakaian lengan panjang, dan bercelana pendek.

Bung Karno hanya bicara tidak sampai lima menit. Ia hanya meminta rakyat tetap tenang dan percaya kepada pemerintahan Republik yang akan tetap mempertahankan kemerdekaan. Namun, kendati pidato Bung Karno sangat singkat, dan mungkin agak mengecewakan, tetapi ratusan ribu massa itu patuh. Seruan Bung Karno ditaati. Dan mereka membubarkan diri dengan tenang.

Jepang menyadari arti penting rapat akbar itu. Dan, supaya tidak kehilangan muka di depan sekutu, mereka pun melancarkan serangan balasan terhadap pemuda. Pada tanggal 20 September 1945, tentara Jepang mengepung asrama Menteng 31 dan menangkapi para pemuda, seperti DN Aidit, Darwis, MH Lukman, AM Hanafie, Manaf Roni, Wahidin, dan Sidik Kertapati.

Mereka kemudian diangkut ke markas Kenpetai di Gambir barat. Namun, ada kejadian ganjil di kantor itu. Di sana para pemuda bertemu dengan Zulkifli Lubis dengan seragam Jepang. Belakangan Zulkifli Lubis ditangkap pemuda karena dianggap terkait dengan organisasi teror Jepang “Kipas Hitam” dan menjadi agen Jepang. Kelak, di tahun 1950-an, Zulkifli Lubis ini menjadi salah satu perwira AD yang melancarkan kudeta terhadap Bung Karno.

Pemuda-pemuda itu kemudian diangkut ke penjara Bukit Duri di Jatinegara. Di sini, dengan dukungan kepala penjara, Teuku H Moh Thayeb, mereka berhasil mendobrak pintu penjara dan melarikan diri. Tetapi Aidit ditangkap lagi oleh tentara Inggris dan dimasukkan ke penjara Glodok. Ia kemudian diserahkan ke Belanda lalu dibuang ke pulau Onrust.

MH Lukman lari ke pedalaman dan terlibat dalam pengorganisiran pemberontakan di tiga daerah. Wikana aktif di Pesindo. Sedangkan Sakirman mengorganisir laskar-laskar rakyat–kelak menjadi TNI masyarakat.

Rudi Hartono
 
http://www.berdikarionline.com/mengenang-rapat-akbar-di-lapangan-ikada/

0 komentar:

Posting Komentar