HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 19 April 2007

Tahun-Tahun Bersama Sudjojono


April 19, 2007  - Oleh Ade Tanesia

ilustrasi: Lukisan karya Sudjojono

Kalau orang bertanya, apakah aku masih mencintai Sudjojono? Aku jawab tidak, yang tertinggal hanya iba padanya.

Wanita itu Mia Bustam namanya. Usianya kini sudah 84 tahun, tapi ingatannya masih cemerlang. Dalam sejarah seni rupa modern Indonesia, nama Mia Bustam hanya lamat-lamat terdengar. Tak banyak orang tahu bahwa wanita ningrat itu istri pertama pelukis besar Indonesia, S Sudjojono. Dialah pendamping sosok Sudjojono di masa ”bapak seni lukis modern Indonesia” itu melahirkan pemikiran dan karya-karya terbaiknya.

Pertama kali saya jumpa dengannya di tahun 1980-an. Dua puluh lima tahun telah berlalu, toh tak banyak yang berubah dalam dirinya. Ia masih cantik. Saat bertemu dengannya, semangatnya untuk berkarya masih membara.
“Kartika Affandi sudah memberikan saya kanvas dan cat. Ingin sekali melukis lagi. Selama ini saya juga menyulam. Mau lihat karya sulam saya?” ungkap Ibu Mia sembari masuk kamar mengambil karya sulamnya.
“Saya sedang membuat silsilah keluarga,” lanjutnya memperlihatkan sulaman gambar pohon silsilah.
“Nanti di bulatan ini akan saya taruh foto anak-anak dan cucu saya. Tapi Sudjojono saya taruh di bawah saja. Hanya tulisan Ayah: S Sudjojono. Di bawahnya saya taruh daun-daun yang mengering, karena cintanya pun sudah kering,” ungkapnya sambil tertawa lirih.
Matanya lalu menerawang jauh saat ia mulai bercerita tentang tahun-tahun penuh keindahan dan kegetiran bersama Sudjojono. Saat itu ia masih menyandang nama pemberian orang tuanya: Sasmiya Sasmojo. Gedung Bataviasche Kunstkring (sekarang gedung bekas kantor imigrasi) di Jalan Teuku Umar, Jakarta, menjadi saksi pertemuan pertamanya dengan Sudjojono.

Bataviasche Kunstkring merupakan gedung kesenian milik pemerintah kolonial Belanda. Ayahanda Mia Bustam, Raden Ngabehi Sasmojo, bekerja sebagai concierge dan tinggal bersama keluarganya di paviliun gedung. Dari beranda muka paviliunnya itu, Mia Bustam yang saat itu berumur 22 tahun mengamati seorang pria sedang bercakap-cakap dengan ayahnya. Pria berambut agak gondrong itu lalu menoleh dan tersenyum padanya. Sontak hati Mia Bustam berdebar sembari bertanya dalam hati: ”Siapakah pria itu?”

Dari ibundanya, Mia Bustam tahu bahwa pria itu bernama Sudjojono, seorang pelukis dari Sunter. Cinta pada pandangan pertama itu rupanya yang terjadi di antara mereka.
”Mas Djon tak terlalu tampan, tapi saya tidak akan pernah lupa senyumnya. Selain itu kebetulan saya suka baca, jadi kita bisa berdiskusi beragam topik,” kenangnya.
Pertemuan itu berlangsung pada 1943 dan pada tahun yang sama Sudjojono melamarnya, akhirnya mereka menikah di Solo, Jawa Tengah.

Dari Solo, pasangan pengantin baru ini tinggal di Jalan Kawi, Jakarta. Saat itu Sudjojono bekerja di Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh empat serangkai, Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan KH Mansjur.

Sejak bulan-bulan pertama pernikahannya dengan Sudjojono, Mia makin tahu bahwa dia merajut hidupnya dengan seniman yang memegang keras prinsip. Pernah suatu kali Sudjojono bersitegang dengan Bung Karno karena perbedaan pendapat.
“Saat itu Poesat Tenaga Rakyat sering mengadakan pameran. Salah satunya adalah pameran pelukis Kartono Yudokusumo. Ketika itu Sudjojono membuat tulisan di katalognya. Dalam tulisannya ia berpendapat bahwa ”bakat melukis Kartono Yudokusumo sangat besar, bisa dikatakan sama dengan bakat Basuki Abdullah”.
Membaca tulisan itu, Basuki Abdullah sangat marah dan mengadu pada Bung Karno serta menuntut agar kalimat itu dicoret. Bung Karno menyampaikannya pada Sudjojono seraya minta agar kalimat itu dibuang saja. Kontan Sudjojono menolak karena ia merasa punya alasan kuat atas pendapatnya.

Perdebatan makin memanas, akhirnya pendiri Persagi itu menyatakan mundur dari Poesat Tenaga Rakyat.
”Hari itu Mas Djon pulang cepat. Saya heran kok dia sudah pulang padahal baru pukul 11. Akhirnya saya tahu bahwa dia keluar dari Pusat Tenaga Rakyat dan tentu gaji sebesar Rp 100 juga hilang. Meskipun kala itu sedang hamil anak pertama, saya tidak marah atau takut. Tenang saja, karena menjadi istri Sudjojono harus siap menghadapi apa pun yang ia lakukan. Bahkan waktu itu Bung Karno mengutus Affandi dan Dullah untuk membujuk Mas Djon agar bekerja kembali dan gajinya masih diantar selama tiga bulan. Tapi selama kalimat itu masih dicoret, Mas Djon tetap menolak,” tuturnya menghela napas, seakan peristiwa itu baru saja berlangsung.
Kekuatan hati Mia tentunya berasal dari cintanya yang sangat besar pada Sudjojono. Masih di masa dirinya mengandung anak pertama, ia mendengar pengakuan suaminya mengenai cerita dibalik lukisan Di Depan Kelambu Terbuka. Pengakuan itu bermula dari komentar Sanusi Pane yang mengatakan bahwa wanita dalam lukisan itu seperti menyimpan derita. Lalu Mia pun bertanya pada sang suami: ”Siapakah sebenarnya wanita itu?” Ternyata wanita itu adalah seorang pekerja seks di daerah Senen yang kerap menjadi langganan Sudjojono di masa bujangnya.

Wanita itu bernama Adhesi sebuah nama yang diberikan oleh salah seorang langganannya yang lain. Terdorong oleh rasa kasihan dan keinginan agar perempuan itu keluar dari kehidupan gelapnya, Sudjojono membawa Adhesi ke rumah orang tuanya di Sunter. Walaupun tidak menikah secara legal, mereka hidup seperti layaknya suami istri. Tentu peristiwa ini membuat kedua orang tua Sudjojono, Pak Sindhudarma dan Ibu Marijem, sangat terpukul, tapi toh akhirnya mereka tetap menerima.

 Untuk menandai perubahan kehidupan perempuan pelacur itu, Sudjojono mengubah nama Adhesi menjadi Miryam. Sementara Miryam berperan sebagai ”ibu rumah tangga” yang mengurusi dirinya dan orang tuanya, Sudjojono bekerja menjadi guru di Ardjoenaschool dengan gaji 35 gulden, jumlah yang cukup besar di masa itu.

Selang beberapa waktu, Sudjojono keluar dari pekerjaannya dan mendirikan sekolah untuk anak-anak nelayan di Sunter yang diberi nama Poelasara. Tentu gaji 35 gulden hilang, dan ternyata Miryam tidak mampu hidup melarat. Ia akhirnya lari dari Sunter dan kembali hidup sebagai pelacur di Senen. Beberapa kali Sudjojono berusaha menjemputnya dan membawanya pulang, tetapi Miryam terus kabur. Setelah empat kali, akhirnya Sudjojono tidak lagi berusaha mencarinya, karena mungkin itulah jalan yang dipilih oleh Miryam. Akibat hubungannya dengan Miryam, rupanya Sudjojono tertular penyakit gonorrhoe.
“Saat mendengar ia mengidap penyakit itu, saya langsung mengelus anak yang ada dalam kandunganku. Rasanya campur aduk, antara takut dan juga kasihan sama wanita itu. Tapi Mas Djon langsung bilang bahwa sebelum menikah ia telah memeriksakan dirinya ke dokter dan dinyatakan negatif. Aku lega dan memang ke delapan anakku sehat semua,” tutur Mia lebih lanjut.
Kegalauan hati kerap timbul dalam hatinya, tetapi saat itu kejujuran Sudjojono selalu sanggup menenangkan hatinya. Mia Bustam teringat pada lukisan Sayang Aku Bukan Anjing, di mana dirinya dilanda rasa cemburu yang hebat. Lukisan itu berkisah tentang dua anjing mereka yang berkelahi memperebutkan tulang. Namun kepala anjingnya diganti dengan kepala Sudjojono dan seorang wanita bernama Patty, salah seorang Ah murid sanggar yang didirikan oleh Sudjojono saat tinggal di Jalan Segaran, Jakarta.

Awalnya Mia Bustam tidak masalah dengan lukisan itu sampai muncul sebuah ulasan di koran Kedaulatan Rakyat. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa judul lukisan itu sebenarnya Sayang Kami Bukan Anjing. Dituliskan pula seandainya mereka anjing maka akan lebih gampang untuk bersatu, tapi berdasarkan moral Sudjojono tidak akan meninggalkan istrinya.
“Sewaktu saya baca Koran Kedaulatan Rakyat itu, langsung saja muka saya panas, karena yang saya tahu lukisan itu berjudul Sayang Aku Bukan Anjing. Korannya langsung saya uwel-uwel. Pikir saya berarti ada apa Mas Djon dengan Patty. Berhari-hari saya ngambek dan Mas Djon sangat bingung. Tapi akhirnya dia mengaku juga bahwa dia pernah tertarik dengan Patty. Kalau Mas Djon sudah cerita, saya sudah tenang,” ujar Mia.
***
Memasuki masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Sudjojono dan seniman Indonesia lainnya tidak tinggal diam. Mia Bustam masih ingat mereka sibuk membuat poster-poster perjuangan, dan yang terkenal adalah karya poster Bung Ayo Bung.
Ada cerita menarik di balik poster itu.

“Saat itu Bung Karno minta pada Sudjojono dan kawan seniman lainnya untuk membuat karya yang bisa mengobarkan semangat juang rakyat. Sementara mereka sedang berdiskusi, datanglah Chairil Anwar yang baru plesir di Senen. Ia bercerita bahwa pelacur di Senen memanggil setiap pria yang lewat dengan kata-kata “Bung Sini Bung”. Mendengar cerita lucu Chairil Anwar, para seniman itu langsung mendapat inspirasi untuk membuat karya poster dengan kalimat Bung Ayo Bung.

Pada 1946, saat pusat pemerintahan Indonesia dipindah ke Yogyakarta, banyak seniman ikut pindah, termasuk Sudjojono. Lalu pada 1947, SIM (Seniman Indonesia Muda), kelompok yang didirikan oleh Sudjojono dan kawan-kawannya di Madiun, Jawa Timur, pindah ke Solo untuk berkarya di gedung Miss Ribut. Di sana cukup banyak lukisan perjuangan diciptakan, salah satunya yang terkenal adalah Kawan-Kawan Revolusi.

 Selain itu Sudjojono juga membuat lukisan berjudul Pejuang, menggambarkan seorang pejuang asal Batak bermarga Napitupulu. Juga ada lukisan berjudul Pandanglah Mataku mengenai seorang mata-mata Belanda yang diinterogasi oleh pejuang.

Sayangnya seluruh lukisan itu akhirnya harus musnah saat terjadi peristiwa serangan Agresi Belanda II pada1948. Sebelum peristiwa itu, Sudjojono dan keluarga pindah ke Bogem, Prambanan.

Tepat pada 19 Desember, rupanya Belanda menyerang dari arah timur, artinya melewati kawasan Prambanan. Segera mereka harus mengungsi dan masih segar dalam ingatan Mia bagaimana mereka menanam sekitar 45 lukisan dan perabotan berharga lainnya di dalam tanah. Setelah perang usai, seluruh lukisan Sudjojono itu telah musnah, baik lukisan yang dibuat di zaman Persagi, zaman perjuangan, sampai lukisan terbaru yang dibuat di Bogem.

 Untung lukisan berjudul Kawan-Kawan Revolusi sempat diambil oleh Bung Karno. Namun yang juga ikut musnah adalah lukisan keluarga, termasuk lukisan potret Mia Bustam berjudul Habis Mandi. Juga lukisan Tirtosamudra, nama kain yang dikenakan oleh Mia saat dirinya baru menikah dan diperkenalkan oleh Sudjojono kepada tokoh empat serangkai. Masa Agresi Belanda II merupakan saat pahit. Tak hanya kehilangan lukisan, Sudjojono juga kehilangan ayahnya yang tertembak bedil Belanda.

***
Tahun berganti, sampai akhirnya Sudjojono diminta jadi calon anggota DPR dari Partai Komunis Indonesia pada pemilu 1955.
“Saat jadi anggota DPR ia makin jarang melukis. Ia tinggal di Jakarta dan hanya akhir minggu saja ke Yogya,” tutur Mia.
Menurutnya, ada perubahan dalam diri Sudjojono setelah menjadi anggota DPR, jika dulu dirinya sangat rendah hati kini lagaknya menjadi pembela rakyat.
“Sejak jadi anggota DPR mungkin dia akan puas diri. Pernah ada rombongan kesenian dari Praha ke Yogyakarta. Saat itu kami datang terlambat, jadi kursi di depan sudah penuh, kami dapat kursi di belakang. Terus Mas Djon bilang, ’Wah, wakil rakyat kok duduk di belakang.’ Saya pikir, apakah wakil rakyat harus duduk di depan, kursinya diberi nama, terus dipersilakan dengan ibu jari. Dari kejadian itu saya rasanya malu sekali. Ini bukan Mas Djon yang saya kenal, dulu ia sangat rendah hati,” tutur Mia.
***
Menjadi anggota DPR, berkantor di Jakarta, rupanya menjadi awal dari kehancuran rumah tangga mereka. Sudjojono yang saat kampanye pemilu 1955 memperjuangkan hak-hak perempuan ternyata mulai berpaling pada wanita lain. Hubungannya dengan Rose Pandanwangi tidak bisa dihentikan.
“Saat itu pada 1957 akhirnya Mas Djon mengaku. Ia katakan jika kami seumpama wayang, maukah aku menjadi Sembadra.” 
Aku langsung menyahut, ”Dan Rose menjadi Srikandi?”
Lalu Mia melanjutkan tuturannya: ”Aku tidak bisa seperti Sembadra yang toleran pada Arjuna untuk mempunyai istri berlusin-lusin. Lagian kok dia membayangkan dirinya jadi Arjuna? Arjuna kok elek. Aku tidak mau poligami, yang penting cerai. Dulu dia seperti dewa bagi saya. Tapi setelah itu, dia hanya dewa yang kemudian turun derajatnya menjadi manusia biasa. Setelah menunggu kepastian selama dua tahun, akhirnya kami memutuskan berpisah pada 1959.”
Menurut Mia, hubungannya dengan wanita lain ini pula yang menyebabkan Sudjojono dipecat oleh pimpinan PKI, ia pun mundur dari Lekra.
“Setelah meninggalkan saya, Gerwani sempat mau menuntut janji-janji beliau saat kampanye. Tapi Sudjojono terus menghindar. Padahal anggota Gerwani sudah mondar-mandir di depan rumah saya,” ujar Mia.
Untuk menandai hidup barunya, mantan istri Sudjojono itu mengganti namanya menjadi Mia Bustam yang diambil dari nama leluhurnya. Saat itu belum lagi berumur 40 tahun, Mia Bustam dengan tegar hati membesarkan kedelapan anaknya seorang diri. Ia memperdalam keterampilan melukis dengan bergabung menjadi anggota di Seniman Indonesia Muda (SIM), lalu sempat aktif pula di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Setelah berpisah, Sudjojono tetap memberikan nafkah bagi kedelapan anaknya sebesar Rp 2.000 per bulan. Jumlah yang sangat minim, sehingga mereka harus makan pagi dengan tiwul, beras campur jagung. Kehidupan terus berlangsung sampai terjadi peristiwa 1965.
”Waktu itu ulang tahun anak saya yang ketiga, Watugunung, pada 23 November 1965. Tiba-tiba sebuah truk tentara berhenti di depan rumah. Saya harus naik truk dibawa tentara. Sedih sekali harus meninggalkan tujuh anak saya yang masih kecil-kecil. Saya tak sangka bahwa harus meninggalkan anak sebegitu lama,” tutur Mia lirih.
Tiga belas tahun hidup di penjara bukanlah sebentar. Mia berpindah dari Penjara Sleman, ke Benteng Vredeburg, lalu ke Penjara Wirogunan, dipindah lagi ke Pelantungan, sampai akhirnya pada 1978, ia bisa bebas dari Penjara Bulu, Semarang.

Keluar dari penjara, Mia Bustam tidak tinggal diam. Seluruh riwayat hidupnya ia tumpahkan dalam tulisan. Ia kini telah menyiapkan dua buku yang rencananya akan diterbitkan tahun ini, yaitu Sudjojono dan Aku serta Dari Kamp ke Kamp. Buku itu kelak akan menjadi sangat penting dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Di sanalah sejarah bangsa, sejarah seni rupa Indonesia, tercatat melalui kehidupan seorang wanita yang sangat kuat, Mia Bustam.
Di akhir pertemuan, saya bertanya apakah ia memaafkan Sudjojono. Dengan tegas ia katakan, “Saya telah memaafkan dia. Sudah sejak lama. Sebagaimana saya telah mengikhlaskan masa lalu saya.”