HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Februari 2020

Pemberontakan Sarekat Rakyat 1926




Paska peristiwa afdeeling B di Cimareme Garut, pada tahun 1920-an, pergerakan Sarekat Islam (S.I.) di Tasikmalaya dan wilayah Priangan dilemahkan oleh pemerintah Kolonial. Pelemahan pergerakan ini diakibatkan banyaknya tokoh S.I. di Tasikmalaya dan Priangangan lainnya yang terlibat dalam aksi pemberontakan S.I. Afdeeling B pada tahun 1919.

Para tokoh S.I. tersebut banyak yang diadili, ditahan, dan dibuang ke pengasingan. Sebagian pengurus dan anggota Central dan Cabang S.I. di Tasikmalaya tetap melanjutkan perjuangannya, berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (P.K.I), berhimpun dalam gerakan Sarekat Rakjat.[1]

Sejak awal pembentukannya, Sarekat Rakyat dipersiapkan untuk meraih dukungan sekaligus mewadahi mantan aktifis Sarekat Islam (S.I.). Penamaan “Sarekat Rakyat” dinilai lebih bisa diterima ketimbang nama Partai Komunis Indonesia (P.K.I). Penamaan Sarekat Rakyat ini juga mencerminkan pandangan lokal para pemimpin pergerakan yang masil loyal dengan Sarekat Islam. Anggota S.R., yang umumnya mantan aktifis S.I., tidak begitu memahami ajaran ideologi komunis sebagaimana dianut oleh tokoh elit P.K.I.

Tampaknya, sebagian anggota S.R. tetap perpegang ajaran Islam yang menjadi platform ideologi gerakan Sarekat Islam. Maka tak heran, tak sedikit dari para haji dan guru-guru agama, di Tasikmalaya dan daerah Priangan lainnya, yang terlibat dalam gerakan berhaluaan sosialis ini.

Hubungan S.R. dan P.K.I. bukan pada kesamaan ideologi, namun lebih pada hubungan organisasi dan kesamaan cita-cita, yaitu kemerdekaan bangsa dari kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Secara organisasi, berdasarkan kongres tahun 1923, S.R. ditempatkan di bawah, sekaligus bergabung dengan P.K.I. Namun, bukan berarti anggota S.R. secara otomatis menjadi anggota P.K.I. Karena, anggota S.R. dipandang sebagai orang-orang tradisional yang memegang teguh ideologi agama dan tidak berwatak proletar. Sehingga, pengurus P.K.I. menerapkan beberapa syarat dan aturan khusus kepada anggota S.R. yang hendak bergabung dengan P.K.I, yaitu:[2]

Melek hurup.

Mempunyai pengetahuan cukup tentang doktrin komunis.
Cukup akrab dengan organisasi itu.
Dapat dipercaya sepenuhnya.
Akan tunduk pada disiplin partai tanpa sarat.
Mau melakukan tugas propaganda komunis.

Gerakan Sarekat Rakyat di afdeeling Priangan Timur (meliputi Tasikmalaya , Ciamis dan Garut) dipimpin sebagian mantan aktifis S.I. afdeeling B. yaitu Ditawilastra. Beliau adalah seorang mantri guru Panumbangan Ciamis, yang pada tahun 1920 dibuang ke Boven Digoel karena terlibat dalam gerakan S.I. afdeeling B. Berdasarkan informasi dari Batavia nieuws blad edisi 23 Mei 1924, Ditawilastra kembali dari pembuangannya di Digoel pada tahun 1924. Setelah kembali ke Ciamis, Ditawilastra bersama teman sepergerakannya bernama H. Achmad Djoenaedi (Bojong Menger Ciamis), terlibat aktif menjadi anggota Indonesische Studieclub Bandoeng tahun 1925 bersama Dr. Tjipto Mangoen Kusumo, Ir. Soekarno, dan tokoh nasional lainnya. Ditawilastra juga memimpin sebuah Majalah propaganda komunis bernama Proletar yang terbit di Surabaya.

Soedarman, pimpinan pemberontakan Sarekat Rakyat, 1926

Sarekat Rakyat (S.R.) adalah gerakan gerakan radikal dan non-kooperatif, tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Gerakan ini tidak menempatkan anggotanya untuk duduk dalam wadah raad (parlemen atau dewan perwakilan) yang dibentuk oleh pemerintah kolonial di setiap kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1925. S.R. adalah gerakan radikal yang banyak menyuarakan doktrin-doktrin sosialisme, anti-kapitalisme, anti-feodalisme, dan anti-imperalisme dengan prinsip internasionalisme. Gerakan ini banyak merekrut anggotanya dari kalangan masyarakat bawah, terutama para buruh dan petani. S.R. aktif melakukan propaganda diberbagai pelosok. S.R. berkembang pesat di Ciamis, Banjar, Cijulang dan sebagian wilayah utara Tasikmalaya.
Sementara wilayah kota Tasikmalaya, aktifis pergerakan lebih banyak yang bergabung dengan organ Pagojoeban Pasoendan yang memilih haluan politik kooperatif.

S.R. aktif mengkampanyekan ide-ide revolusi untuk merebut kemerdekaan. S.R. bersemangat untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial dan penguasa lokal yang dianggap kepanjangan tangan kolonial. Propaganda S.R., lebih memuat seputar isu politik dan ekonomi.
Sebagaimana faham komunisme, S.R. mengkapanyekan perlawanan terhadap kaum kapitalis, perusahaan-perusahaan asing yang telah menguasai kekayaan bangsa pribumi. Kapitaslime dianggap sudah menyebabkan kemiskinan rakyat. Propagandis S.R. aktif melakukan proganda mengenai; buruknya kesejahteraan rakyat; rendahnya daya beli; meningkatnya pengangguran; kurangnya bahan makanan; dan mahalnya harga kebutuhan rakyat.[3] Di Priangan Timur, S.R. memiliki koran “Soerapati” yang dipimpin oleh Kartawiria, sebagai corong untuk menyebarluaskan propaganda dan gagasan-gagasannya.

Berbeda dengan Sarekat Islam (S.I.) yang diidentikan dengan Islamisme radikal, Sarekat Rakyat (S.R.) sering diidentikan dengan komunisme. Sebagai faham baru, para pengamat dan aktifis pergerakan di Tasikmalaya banyak yang mendiskusikannya dalam koran lokal Sipatahoenan. Ramainya wacana mengenai S.R. ini dilatarbelakangi oleh banyaknya insiden dan keributan yang terjadi di Priangan Timur. Wacana perdebatan mengenai komunisme dapat disimak dalam koran Sipatahoenan selama tahun 1925 sampai dengan 1927. Para aktifis di Tasikmalaya aktif memberikan opini atas gerakan S.R. dan faham yang dibawanya.

Anggota S.R., yang sebagian besar anggotanya mantan aktifis S.I., sangat sulit melupakan peristiwa afdeeling B. di Cimareme Garut. Tindakan represif pangreh praja Garut, dalam peristiwa Cimareme, telah memicu kegusaran, kebencian, dan sikap memusuhi kepada para bupati dan pejabat rendahan di Priangan. Kondisi ini, diperkuat oleh banyaknya tindakan represif yang dilakukan oleh Sarekat Hejo bentukan bupati Sumedang.[4] Sehingga, mereka memiliki pandangan radikal yang anti terhadap berbagai atribut borjuasi baik kolonial mapun lokal. Para bupati dan pangreh praja dipandang sebagai borjuis lokal yang menjadi antek-antek kepanjangan imperialisme dan kapitalisme.

Bakrie Soeraatmadja dalam Sipatahoenan tahun 1925 menggambarkan bagaimana di setiap daerah yang ada cabang Sarekat Rakyat (S.R.) selalu muncul cabang Sarekat Hedjo (S.H.). Kedua kelompok ini saling bermusuhan. Anggota S.H. yang anti S.I. dan anti S.R., sering melakukan tindakan kekerasan. Sehingga selama tahun 1924 sampai 1925, sering terjadi kegaduhan diberbagai wilayah di Priangan. Dimana, S.H. menjadi biang kerusuhan. Anggota S.H. yang kebanyakan adalah centeng-centeng desa, seringkali melakukan pelemparan batu pada rumah-rumah anggota S.I. dan S.R. Aksi pelemparan batu itu kerap kali dilakukan pada malam hari.

Pada malam tanggal 12 November 1926, meletuslah aksi pemberontakan S. R. di Tasikmalaya dan wilayah Priangan lainnya. Soedarman, sekretaris S.R. Tasikmalaya, memimpin aksi pemberontakan. Aksi pemberontakan itu diarahkan pada sabotase jalur kereta api, telpon, telegraf, dan fasilitas umum lainnya. [5] Kelompok Egom dan Dirdja di Ciamis, mengarahkan aksi pemberontakan pada usaha pembunuhan bupati Ciamis R. Adipati Sastra Winata. Mereka membuat kekacauan di Chinees Chen wijkmeester dan Pegadaian.[6] Aksi percobaan pemberontakan ini tidak terarah dan mengalami kegagalan. Pemerintah kolonial mengerahkan serdadu militer untuk melakukan penangkapan para pemberontak. Pada tanggal 13 November, militer berhasil menangkap ±200 anggota pemberontakan termasuk haji-haji kaya yang terlibat. [7]

Aksi pemberontakan S.R. Tasikmalaya dan Priangan Timur dirancang oleh tokoh-tokoh muda revolusioner. Diantara nama tokoh pemberontakan itu adalah,[8] Soedarman, mantan pegawai perusahaan kereta api tinggal di kota Tasikmalaya. Beliau adalah ketua, organisasi buruh kereta api bernama Vereniging Spoor en Tramweg Personeel (V.S.T.P). Beliau juga menjabat sebagai ketua garda Dictatorial Organization (D.O.). Selain itu, beliau juga menjabat sebagai Sekretaris Sarekat Rakjat Tasikmalaya.
Haji Achmad Djoenaedi, berusia 31 tahun, dia adalah haji propagandis sosialis kerakyatan yang berasal dari Bojong Mengger Ciamis.

Ditawilastra, berusia 38 tahun, seorang mantri guru. Beliau adalah pensiunan asisten guru pemerintah yang menjadi Ketua Sarekat Rakjat Beliau juga seorang propagandis sosialis kerakyatan yang menjabat sebagai administratur koran harian “Proletar” di Surabaya.

Hermawan, berusia 26 tahun. Beliau adalah jurnalis, propagandis sosialis kerakyatan, dan pendidik pada sekolah Sarekat Rakjat tinggal di Garut.
Sambik Wiraamidjaja, berasal dari Wanaraja Garut, berusia 22 tahun. Beliau adalah seorang officer perusahaan kerata api pemerintah (S.S.).
 Beliau juga seorang pendidik di salah satu Sekolah Sarekat Islam
Terlepas, stigma buruk terhadap gerakan Sarekat Islam (S.I), dan Sarekat Rakyat (S.R), yang berafiliasi dengan Partai Komoenis Indonesia (P.K.I.), namun kedua gerakan itu adalah garda terdepan yang membuka kesadaran paling revolusioner dalam sejarah Tasikmalaya. Ide revolusioner mengenai pentingnya pembebasan diri dari imperialisme dan kapitalisme. Gagasan ini kelak membawa inspirasi sosial politik baru yang lebih dinamis dan maju. Tokoh-tokoh S.I. dan S.R. Tasikmalaya, baik yang berhaluan Islamis, sosialis, maupun komunis, adalah pahlawan besar yang harus tetap dikenang. Kontribusi mereka tidak tertandingi dalam sejarah pergerakan Tasikmalaya dan Priangan

Sumber:
[1] Yong Mun Cheong, Conficts within the Prijaji World of the Parahyangan in West Java 1914-1927. Field report Series I. (Singaphore, The Institute of Southeast Asia, 1973). hal 31.
[2] Ruth T. McVey, hal 330
[3] Ibid, hal 31
[4] Ibid, hal 33-34, diambil seperlunya.
[5] De Sumatra post, edisi 19 Januari 1927
[6] Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië; edisi 17-02-1927
[7] Batavia Nieuwsblad No.343 edisi 16 November 1926 pagina 2
[8] De Sumatra post edisi 03-01-1927.

Minggu, 09 Februari 2020

Ketika Indonesia Mendirikan CONEFO dan GANEFO Untuk Menandingi PBB dan Olimpiade

Penulis: Erik Hariansah - Minggu, 09 Februari 2020


Pada 7 Januari 1965, Presiden Sukarno mendeklarasikan Republik Indonesia keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan ini sebenarnya tidak pernah diterima secara resmi oleh PBB dan belum ada presedennya sejak organisasi internasional ini berdiri.

Keputusan Sukarno membuat Sekretaris Jenderal PBB yang saat itu dijabat oleh U Thant kebingungan. Ia perlu membongkar peraturan organisasi untuk menjawab dua pertanyaan pokok, yaitu apakah keputusan tersebut sah? Dan bagaimana sikap yang harus diambil PBB?

Butuh waktu dua bulan bagi U Thant untuk meresponnya. Dalam Piagam PBB menyatakan bahwa Majelis Umum memang diberi kewenangan untuk mengeluarkan negara anggota yang tidak patuh pada aturan. Namun tak ada keterangan jelas bagaimana sikap resmi PBB jika sebuah negara ingin keluar secara sukarela.

Setelah berkonsultasi dengan delegasi PBB dan staf resminya sendiri, U Thant akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mencegah sebuah negara yang ingin keluar dari organisasi PBB.

Mengapa Indonesia keluar dari PBB?

Semua bermula ketika Federasi Malaya yang dikenal dengan nama Persekutuan Tanah Melayu, ingin menggabungkan Borneo Utara, Sarawak, dan Singapura menjadi satu negara baru. Indonesia sudah mencurigainya sebagai intrik untuk memecah belah Asia Tenggara sejak 1961. Namun segala kecaman tak membuahkan hasil.

Justru pada September 1963 Malaysia lahir di bawah restu Inggris. Sukarno menilai pembentukan Malaysia adalah proyek kolonialisme Barat yang akan mengancam eksistensi Indonesia yang baru merdeka. Ia melabeli Malaysia sebagai boneka bentukan Inggris.

Inggris dianggap akan menggunakan negara baru di Semenanjung Malaya untuk mengetatkan kontrol dan kekuasaan. Dengan kata lain, mereka hendak melanjutkan kolonialisme gaya baru.

Saat suasana masih panas gara-gara konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, muncul rencana Malaysia akan dimasukkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Hal itu membuat Sukarno tambah geram. Pada tahun 1964, ia mengancam Indonesia akan keluar dari PBB jika rencana tersebut benar-benar diwujudkan.

Pada awal tahun 1965, Malaysia benar-benar diangkat sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Sukarno hilang kesabaran. Indonesia kemudian keluar dari keanggotaan PBB. Pada 20 Januari 1965 atau dua minggu usai deklarasi keluar dari PBB, Soebandrio mengirimkan surat resmi yang berisi pengunduran diri Indonesia dari PBB.

Indonesia mendirikan CONEFO

Setelah keluar dari PBB, Indonesia kemudian mendirikan Conferensi Negara-Negara Berkembang atau Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) pada tanggal 7 Januari 1965. Organisasi ini merupakan gagasan Presiden Sukarno yang dianggap sebagai tandingan terhadap PBB.

Penyelenggaraan CONEFO. Foto: boombastis.com

CONEFO merupakan bentuk kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi dua kekuatan blok sebelumnya, yaitu Blok Uni Soviet dan Blok Amerika Serikat.

Adapun negara-negara yang menjadi anggota CONEFO di antaranya Indonesia sebagai pendiri, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, dan Vietnam Utara. Selain negara-negara anggota, CONEFO juga memiliki negara-negara pengamat, di antaranya Uni Soviet, Kuba, Yugoslavia, dan Republik Arab Bersatu.

Untuk keperluan penyelenggaraan konferensi antara anggota-anggota CONEFO, dibangun suatu kompleks gedung di dekat Gelora Senayan yang mendapat bantuan antara lain dari Republik Rakyat Tiongkok.

Konferensi tersebut belum sempat diselenggarakan hingga CONEFO dibubarkan oleh Presiden Suharto pada tanggal 11 Agustus 1966. Sementara kompleks gedung yang telah dipersiapkan sebelumnya dialih fungsikan dan dipergunakan sebagai Gedung DPR/MPR.

Pembangunan Gedung DPR-MPR. Awalnya gedung ini dipersiapkan untuk CONEFO. Foto: liputan6.com


Indonesia menyelenggarakan GANEFO

Selain mendirikan CONEFO, Indonesia juga pernah menyelenggarakan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO), ini adalah suatu ajang olahraga yang didirikan oleh Soekarno pada akhir tahun 1962 sebagai tandingan Olimpiade.

GANEFO menegaskan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dengan olahraga, hal ini bertentangan dengan doktrin Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang memisahkan antara politik dan olahraga.

Indonesia mendirikan GANEFO setelah kecaman KOI yang bermuatan politis, di mana pada saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Pada perhelatan akbar olahraga negara-negara Asia itu, Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan dengan alasan simpati terhadap Tiongkok dan negara-negara Arab.

Aksi ini diprotes KOI karena Israel dan Taiwan merupakan anggota resmi KOI. Akhirnya KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia, dan Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo. Ini pertama kalinya KOI menangguhkan keanggotaan suatu negara.

Pembukaan GANEFO di GBK. Foto: historia.id

Tidak kehilangan akal, Indonesia kemudian menyelenggarakan GANEFO sebagai ajang olahraga tandingan terhadap Olimpiade. GANEFO sempat beberapa kali diselenggarakan dan diikuti oleh ribuan atlet dari puluhan negara.

GANEFO I diadakan di Jakarta pada tanggal 10-22 November 1963. Adapun jumlah peserta yang berpartisipasi pada GANEFO pertama yaitu sekitar 2.700 atlet dari 51 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Pada GANEFO I, Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan 65 medali emas, disusul Uni Soviet, Indonesia, Republik Arab Bersatu, dan Korea Utara.

Setelah sukses dengan pelaksanaan GANEFO I, kemudian direncanakan lagi untuk penyelenggaraan yang kedua kalinya. Awalnya GANEFO II akan diadakan di Kairo, Republik Arab Bersatu pada 1967. Namun karena pertimbangan politik, akhirnya dipindahkan ke Phnom Penh, Kamboja dan pelaksanaannya dimajukan pada tanggal 25 November-6 Desember 1966.

Adapun jumlah peserta yang berpartisipasi pada GANEFO II yaitu sekitar 2.000 atlet dari 17 negara. Pada GANEFO II, Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan 108 medali emas, disusul Korea Utara pada peringkat kedua, dan Kamboja pada peringkat ketiga.

Sementara itu, untuk pelaksanaan yang ketiga kalinya. Awalnya GANEFO III direncanakan diadakan di Beijing, Tiongkok. Namun Beijing membatalkan niatnya dan diserahkan ke Pyongyang, Korea Utara. Tetapi GANEFO III tidak pernah diadakan dan akhirnya GANEFO bubar.

Jumat, 27 Desember 2019

Kawan Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in di Medan Gerilya



Sumber foto: google maps
Sebuah sudut jalan di Kampung Loji Wetan, Surakarta.

Walaupun gencatan senjata telah diberlakukan, tapi suasananya masih tetap seperti dalam keadaan perang. Di beberapa tempat masih genting. Tentara Belanda pun sebagian masih berada di Kota Solo. Sementara laskar-laskar gerilya dan pasukan TNI tetap siaga dan dalam posisi siap tempur.

Dalam keadaan seperti itulah, di penghujung tahun 1949, kawan-kawan Tionghoa menyampaikan keinginannya untuk melihat langsung situasi di daerah basis gerilya. Mereka berkeinginan bisa bertatap muka, berdialog, bergaul, dan turut merasakan bagaimana kehidupan sehari-hari para gerilyawan.

Selama perang kemerdekaan berlangsung, kawan-kawan Tionghoa itu, tidak ada yang berani keluar Kota Solo. Tentu karena demi keselamatan jiwanya. Kalau pun terjadi pertempuran di dalam kota, pada saat pasukan gerilya menyerang tentara Belanda misalnya, mereka hanya mendengar suara tembakan dari dalam rumah. Itu pun biasanya terjadi pada malam hari. Jadi, mereka sama sekali belum pernah melihat langsung sosok gerilyawan itu seperti apa.

Mengenai kawan-kawan Tionghoa yang tinggal di Solo, sebagian memang ada yang menjadi anggota partai atau hanya simpatisan. Misalnya, seorang anggota RC Jebres, rumahnya di Kampung Warung Miri, bahkan dijadikan kantor RC. Ada lagi Bung Sie Sie-po, seorang intelektual lulusan MULO, rumahnya ada di Loji Wetan, dijadikan salah satu pos. Masih ada lagi Bung Tan Djiem-kwan, staf DPP Pesindo, dia anggota PKI ilegal pada zaman Jepang.

Siswoyo menyambut baik keinginan mereka. Meskipun harus berpikir panjang dan mempertimbangkannya secara matang. Sebab, pelaksanaannya tidak mudah serta cukup berisiko. Tidak hanya menyangkut bagaimana pengamanannya. Tapi juga masalah-masalah kecil yang terlihat sepele, tapi penting. Misalnya, faktor bahasa. Karena kawan Tionghoa itu tidak mengerti bahasa Jawa. Mereka Tionghoa totok.
 Paling mereka mengerti bahasa Jawa hanya sepatah dua kata saja.

Celakanya, bahasa Indonesia mereka pun tidak lancar. Belum lagi kehadiran mereka pasti akan mengundang perhatian masyarakat, karena jarang ada orang asing (Tionghoa totok) berada di daerah pedesaan.

Padahal mereka akan berada di daerah pedalaman, di daerah basis gerilya, selama berhari-hari. Ditambah lagi ada seorang wanita Tionghoa yang akan ikut. Sudah tentu, ini menambah soal.
Namun, pada prinsipnya Siswoyo setuju.
"Hanya saja saya mesti berunding dahulu dengan kawan komandan gerilya. Itu sebabnya, saya segera mengirim kurir untuk menyampaikan pesan singkat kepada Digdo di daerah basis gerilyanya."
Pendeknya Digdo siap melaksanakan. Dan tidak lama kemudian Digdo bersama sejumlah pengawalnya, tiba di pinggiran Kota Solo. Tepatnya di Kampung Pajang. Mereka siap menjemput kawan-kawan Tionghoa di situ.

Pagi hari, dengan mengendarai sepeda, Siswoyo menuju sebuah rumah di Kampung Loji Wetan, tempat berkumpulnya kawan-kawan Tionghoa. Tan Tse-thai dan seorang wanita bernama Oen Hwa-in sudah siap menunggu. Keduanya membawa pakaian secukupnya, untuk ganti selama berada di daerah basis.

Mengenai Tan Tse-thai, dia sehari-hari berprofesi sebagai pedagang berbagai jenis komoditas. Dialah orangnya yang berjasa membawa Bung Aidit ke Semarang. Sedangkan Oen Hwa-in, seorang wanita yang berprofesi sebagai guru di sebuah Sekolah Tionghoa di Kampung Kebalen, Solo.

Tidak sampai menunggu lama, mereka bertiga segera berangkat ke Pajang.
"Saya mengendarai sepeda. Sedang Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in menumpang becak, mengikuti saya dari belakang."
Selepas jembatan Jongke, di perbatasan Kota Solo dan Pajang, mereka berhenti. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sepeda dituntun.
"Sepintas saya melihat raut wajah kedua kawan Tionghoa ini kelihatan mulai tegang; terutama ketika mulai menyusuri lorong-lorong sempit jalan di sebuah perkampungan."
Maklum, daerah ini masih asing buat keduanya. Malah boleh jadi keduanya baru kali ini memasuki daerah itu.
Untuk diketahui, pada masa itu, tidak ada orang Tionghoa tinggal di daerah perkampungan di pinggir kota. Umumnya mereka tinggal di pusat-pusat kota.

Kita bertiga terus berjalan menyusuri gang-gang sempit, yang semakin lama semakin jarang penduduknya. Hanya sekali-kali berpapasan dengan penduduk setempat. Mereka terlihat heran dan penuh curiga.
"Tapi saya yakin daerah ini cukup aman. Sebab, beberapa hari sebelumnya saya sudah memberi tahu kepada kawan-kawan di Pajang mengenai kedatangan kedua tamu ini. Sehingga saya yakin mereka sudah melakukan pengamanan dengan baik. Apalagi saya lihat sendiri, dari kejauhan ada yang memberi kode bahwa situasi aman," cerita Siswoyo.
Ketika mulai mendekati pos singgah rombongan Mayor Digdo, terlihat ada petugas yang terus memantau kedatangan mereka bertiga. Begitu sampai di pos singgah, mereka segera dipersilahkan masuk ke sebuah bangunan berupa pendopo. Di situ terlihat sejumlah gerilyawan tengah istirahat, dengan senjata api digeletakkan begitu saja. Mereka ada yang sedang ngobrol, main gitar, tidur-tiduran, bersenandung, dan main catur. Pakaian mereka berbagai macam. Kedua kawan Tionghoa tampak sedikit grogi. Keduanya terpana. Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in kemudian diperkenalkan kepada para gerilyawan itu.

Di ruang tengah Digdo sudah menunggu. Dia berpakaian dinas gerilya, berupa baju dan celana warna hitam, dengan sapu tangan warna merah melilit di leher. Digdo didampingi beberapa stafnya. Siswoyo segera memperkenalkan kedua kawan Tionghoa kepada Digdo dan stafnya. Baik Tan Tse-thai maupun Oen Hwa-in terlihat senang. Wajah keduanya berseri-seri. Mereka bangga dapat bertemu sekaligus berkenalan dengan Mayor Digdo, seorang komandan batalyon yang disegani serta dihormati. Batalyon Digdo memang terkenal sebagai batalyon tempur, yang dekat hubungannya dengan rakyat. Tapi tidak sembarangan orang bisa bertemu dan berdialog dengan Mayor Digdo.

Sebaliknya bagi Digdo dan anggota pasukannya, mereka pun bangga mendapat kepercayaan untuk menerima tamu asing. Dan kepada Digdo, ia berpesan agar sebagai kader sekaligus komandan di daerah basis, bisa menyukseskan misi penting ini.
Sebagaimana watak Digdo, dia segera menjawab singkat: “Pokoknya siap, Bung Sis....”
Hanya sekitar setengah jam Siswoyo berada di tempat itu. Setelah menyerahkan kedua kawan Tionghoa kepada Digdo, ia pun segera berpamitan.

Kira-kira dua minggu kemudian Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in sudah kembali ke Solo dengan diantar kurir. Keduanya segera menemui Siswoyo untuk melapor. Banyak yang mereka ceritakan. Dari masalah yang penting sampai kesan-kesan keduanya selama di daerah basis gerilya. Antara lain keduanya terkesan dengan kemampuan anak buah Digdo dalam berintegrasi dengan massa pedesaan. Dengan kata lain, sebenarnya secara alamiah mereka telah melaksanakan metode “Tiga Sama”.

Metode yang dirumuskan pada 1960-an, dari hasil pengalaman praktek berintegrasi dengan massa, sebagai metode untuk turba.

Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in sangat terkesan melihat kerukunan dan keakraban pergaulan masyarakat pedesaan di daerah basis, juga tentang tersedianya logistik dalam jumlah yang memadai, serta adanya sarana pendidikan untuk anak-anak.

Selain itu ada cerita-cerita lucu yang disampaikan kurir. Selama di daerah basis, kawan Tionghoa itu selalu didampingi penerjemah. Tapi ada soal ketika Oen Hwa-in berkeinginan turut mandi di sendang. Tentu dia akan bertemu dengan banyak orang desa. Lagi pula, untuk keperluan ini, harus ada penerjemah yang ikut mendampingi. Banyak ungkapan-ungkapan lucu dan lugu yang keluar dari mulut simbok-simbok ndeso. 
“Lho, ono cino wedok melu adus ning sendang,” celetuk simbok ndeso.
Begitu pula ketika keduanya dijamu makan oleh keluarga seorang kawan. Seperti umumnya orang desa, mereka kalau makan nasi menggunakan suru, (sendok makan yang terbuat dari daun pisang). Jarang yang menggunakan sendok dan garpu.

Tentu saja Tan Tse-thai maupun Oen Hwa-in kebingungan, bagaimana cara menggunakannya? Sebab keduanya belum pernah sekalipun makan nasi memakai suru.

Selasa, 10 Desember 2019

Cikal Bakal Hari HAM Sedunia...


Kompas.com - 10/12/2019, 10:20 WIB

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum (Ormawa FH ) Universitas Malikussaleh menggelar aksi pawai obor memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10 Desember di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Senin (9/12/2019) malam. Dalam aksi unjuk rasa tersebut, mereka mendesak Presiden Joko Widodo dan Komnas HAM menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan di sejumlah daerah lainnya di Indonesia. ANTARA FOTO/Rahmad/wsj.(ANTARA FOTO/RAHMAD)

JAKARTA, KOMPAS.com - Hak asasi manusia ( HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat pada setiap orang yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi menjaga kehormatan serta memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang.

Sebagai bentuk pengakuan terhadap HAM, setiap 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM Sedunia. Peringatan ini dimulai sejak 1950 saat Rapat Pleno ke-317 Majelis Umum pada 4 Desember 1950.

Saat itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan Resolusi 423 (V) dan mengundang semua negara anggota dan organisasi lain menetapkan itu.

Adapun terpilihnya tanggal 10 Desember lantaran dua tahun sebelumnya atau pada 10 Desember 1948 digelar pembahasan secara khusus soal HAM dalam sidang PBB. Namun, pengakuan terhadap HAM di era modern saat ini tidak terlepas dari sebuah perjalanan panjang.

Pada tahun 539 sebelum masehi, pasukan Raja Cyrus, raja pertama dari Persia kuno, menaklukan wilayah Babilonia. Seperti dilansir dari Humanrights.com, bukannya menjajah, Raja Cyrus justru membebaskan para budak dan menyatakan bahwa mereka memiliki kemerdekaan untuk memeluk agama dan membangun ras mereka sendiri.

Seluruh kebijakannya itu kemudian dicatat di dalam sebuah tabung silinder yang terbuat dari tanah liat yang dipanggang dan ditulis dalam bahasa Akkadia dengan aksara runcing atau kemudian lebih dikenal dengan Cyrus Cylinder.

Catatan kuno ini sekarang telah diakui sebagai piagam hak asasi manusia pertama di dunia dan kini telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa resmi PBB dan isi ketentuannya paralel dengan empat artikel pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dari Babilonia, gagasan itu kemudian menyebar ke sejumlah wilayah mulai dari India, Yunani hingga Roma.

Di wilayah-wilayah tersebut saat itu berlaku konsep hukum adat, dimana faktanya orang mengikuti aturan tak tertulis yang didasarkan pada aturan dalam kehidupan. Sedangkan Roma telah menganut hukum Romawi yang didasarkan pada ide-ide rasional yang berasal dari sifat tertentu.

Adapun sejumlah dokumen yang menyatakan hak-hak individu seperti Magna Carta (1215), The Petition of Right (1628), The US Constitution (1787), The French Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (1789), dan The US Bill of Rights (1791) merupakan penjabaran dari banyaknya dokumen HAM pada masa ini.

Di Indonesia sendiri, pengakuan terhadap HAM termaktub di dalam sejumlah peraturan mulai dari Pembukaan, Pasal 27 hingga Pasal 34 UUD 1945, Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Hari HAM Sedunia, Perjalanan dari Magna Carta hingga Deklarasi Universal PBB

Kompas.com - 10/12/2018, 09:56 WIB
Penulis : Aswab Nanda Pratama
Editor : Bayu Galih

Ilustrasi hak asasi manusia(humanrights.gov)

KOMPAS.com - Pada dasarnya setiap manusia yang ada di dunia mempunyai nilai dan kedudukan yang sama. Mereka mempunyai hak, kewajiban dan perlakukan yang sama, yang dikenal juga sebagai hak asasi manusia.

Adanya kejahatan manusia terhadap manusia lain menjadikan hak asasi manusia seseorang kerap terampas. Adanya keinginan untuk memperjuangkan kebebasan HAM mulai muncul, terutama setelah banyak perang berkecamuk.

Persatuan Bangsa-Bangsa ( PBB) yang notabene organisasi yang dibentuk pasca Perang Dunia II mengambil inisiatif ini. Melalui PBB, isu-isu mengenai HAM mulai dikeluarkan ke publik. Tujuannya adalah agar masyarakat dunia paham dan menghargai bahwa setiap orang memiliki hak dasar yang harus dilindungi.

Sejak Magna Carta

Sejarah mencatat bahwa pada masa lalu tiap orang memiliki hak dan tanggung jawab melalui keanggotaan mereka dalam kelompok, keluarga, bangsa, agama, kelas, komunitas, atau negara.

Namun, kekuasaan menyebabkan munculnya penindasan terhadap hak manusia satu terhadap manusia lain. Kekuasaan golongan tertentu, terutama kelas bangsawan, menjadikan kebebasan dan hak tiap individu terampas.

Adanya pemahaman yang menyatakan bahwa keinginan raja harus dituruti membuat hak dasar warga terampas. Pada 15 Juni 1215, sebuah piagam dikeluarkan di Inggris. Piagam dengan nama "Magna Carta" ini secara tertulis berperan membatasi kekuasaan absolut raja. Pada piagam ini seorang raja diharuskan menghargai dan menjunjung beberapa prosedur legal dan hak tiap manusia. Selain itu, keinginan seorang raja juga dibatasi oleh hukum.

Magna Carta disebut sebagai sebuah kesepakatan pertama yang tercatat sejarah sebagai jalan menuju hukum konstitusi. Selain itu, Magna Carta juga kerap dianggap sebagai tonggak perjuangan lahirnya hak asasi manusia.

Setelah Magna Carta, muncul petisi-petisi lain yang menginginkan penguasa untuk lebih menghargai kebebasan dan hak individu. Pada 26 Agustus 1789, Revolusi Perancis berdampak langsung terhadap munculnya pengakuan atas hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia. pernyataan ini sering disebut Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (La Déclaration des droits de l'Homme et du Citoyen).

Setelah Revolusi Perancis, tiap negara mulai memahami pentingnya hak atas individu, baik itu kebebasan maupun yang lainnya. Berbagai petisi lain juga muncul untuk mendukung ini. Namun, kendala utamanya adalah kurangnya kesadaran dari pemimpin dan juga hasrat manusia untuk berperang yang menjadikan pengakuan atas hak asasi manusia terhambat.
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia. 
(KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)


Melalui PBB 

Perang dan keserakahan negara besar menyebabkan hak asasi tiap manusia terampas. Setelah Perang Dunia II, Majelis Umum PBB mulai berencana untuk membuat rencana terbaru untuk penegakan HAM. Dilansir dari situs resmi PBB, www.un.org, Hari Hak Asasi Manusia akhirnya bisa diperingati setiap tahun pada 10 Desember.

Pemilihan tanggal itu dipilih untuk menghormati pengesahan dan pernyataan Majelis Umum PBB bahwa pada 10 Desember 1948 terdapat sidang untuk membahas khusus tentang HAM.

Hasilnya adalah 48 negara menyetujui kesepakatan dan penandatanganan kesepakatan tentang Hak Asasi Manusia. Pertemuan itu mampu menghadirkan sebuah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).

Deklarasi ini menjadikan tonggak bersejarah yang mampu memperjuangkan hak-hak yang tidak dapat dicabut yang setiap orang sebagai manusia tanpa memandang ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, bahasa, pendapat politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.

Deklarasi tersebut juga menetapkan nilai-nilai universal dan standar umum pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa. Ini menetapkan martabat dan harga diri yang setara bagi setiap orang.

 Berkat Deklarasi Universal HAM dan komitmen banyak negara terhadap prinsip-prinsip HAM, martabat jutaan orang telah terangkat dan landasan untuk dunia yang lebih adil telah diletakkan.

Secara resmi, peringatan Hari HAM Sedunia dilakukan sejak 1950 pada Rapat Pleno ke-317 Majelis Umum pada 4 Desember 1950. Saat itu Majelis Umum menyatakan resolusi 423 (V) dan mengundang semua negara anggota dan organisasi lain menetapkan itu.

Pernyataan secara global pertama tentang hak asasi manusia merupakan salah satu pencapaian besar pertama sejak berdirinya PBB. Setelah itu, mulai muncul berbagai konferensi dan pertemuan politik tingkat tinggi, juga acara dan pameran budaya yang berkaitan dengan masalah HAM.

 Banyak organisasi pemerintah dan non-pemerintah yang aktif di bidang HAM menggelar acara khusus untuk memperingati Hari HAM Sedunia, seperti yang dilakukan banyak organisasi sipil dan lembaga swadaya masyarakat, termasuk di Indonesia.

Kompas.Com 

Kamis, 05 Desember 2019

Survei Litbang Kompas soal Nasib Kasus HAM di Era Jokowi Selengkapnya

Kompas.com - 05/12/2019, 09:19 WIB
Penulis : Deti Mega Purnamasari
Editor : Fabian Januarius Kuwado

Komisioner Komas HAM Muhammad Choirul Anam dorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) keluarkan Perppu terkait pemenuhan hak korban kejahatan HAM masa lalu.(KOMPAS.com/ACHMAD NASRUDIN YAHYA)


JAKARTA, KOMPAS.com - Litbang Kompas merilis hasil riset untuk Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Hasil survei menunjukkan bahwa publik meragukan pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dapat menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, tepatnya kasus penculikan aktivis.

Selain itu, publik kurang mengetahui kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Survei juga menunjukkan bahwa nuansa politik menjadi hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Riset Litbang Kompas ini dilaksanakan pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen.

Riset itu dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.

Empat Kasus HAM Masa Lalu 

Mengenai pemerintahan Jokowi-Ma'ruf diragukan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, survei menunjukkan bahwa keraguan itu muncul hanya dalam penyelesaian kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998.

Sebanyak 51,7 persen menilai bahwa Jokowi tak mampu menyelesaikan kasus penculikan aktivis 1997-1998 dan 13,8 persen responden menganggap sangat tidak mampu. Adapun, responden yang menjawab mampu, sebanyak 34,5 persen.
"Makanya tergantung Presiden mau tidak selesaikan sesuai harapan publik," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat pengumuman hasil riset Litbang Kompas untuk Komnas HAM yang dirilis pada Rabu (4/12/2019) di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.
Selain kasus penculikan aktivis 1997-1998, terdapat tiga kasus lain yang juga diteliti Litbang Kompas. Ketiganya, yakni penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Semanggi-Trisakti 1998 dan kerusuhan 1997.

 Untuk kasus penembakan misterius, sebanyak 42,6 persen responden menyatakan bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu tuntaskan kasus itu. Sebanyak 7,2 persen responden menyatakan sangat tidak mampu. Sebanyak 48 persen responden menyatakan mampu. Kemudian untuk kasus penembakan Trisakti-Semanggi 1998, sebanyak 41,8 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tidak mampu menuntaskannya.

 Selanjutnya 6,6 persen menyatakan sangat tidak mampu dan 48,9 persen menyatakan mampu. Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1997, sebanyak 42,7 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu menyelesaikannya, 8 persen menilai sangat tidak mampu dan 46,8 persen menilai mampu.

Hambatan Terbesar

Hasil riset juga menunjukkan, nuansa politik menjadi salah satu hambatan terbesar pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sebanyak 73,9 persen responden menyebutkan bahwa nuansa politik menjadi penghambat pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Sisanya, ada 23,6 persen responden yang menyatakan bahwa Jokowi memang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya.
"Ini hampir sesuai dengan dugaan Komnas HAM bahwa hambatan politik dalam pelanggaran HAM berat, khususnya masa lalu selalu mewarnai," ujar Choirul.
Menurut Choirul, persoalan politik yang menghambat penyelesaian kasus HAM ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain.
"Makanya harus menjadi komitmen, apalagi Presiden Jokowi mengatakan bahwa penuntasan HAM adalah utang, tapi dalam penyelesainnya sulit karena ada nuansa politik," kata dia.
Hasil survei itu, lanjut Choirul, menunjukkan bahwa persoalan utama dalam menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu bukanlah teknis hukum. Artinya, semestinya hukum di Indonesia dapat memuluskan jalan penyelesaian kasus itu.
"Masyarakat mengatakan, penyelesaian kasus ini adalah nuansa politis hambatannya sehingga kalau hambatan-hambatan ini bisa diselesaikan, maka sesuai UU, kalau kasus sudah 90 hari penyidikan masuk ke penuntutan bisa dilakukan," kata dia.
Dampaknya, kata dia, kurang dari setahun, kasus pun sudah bisa diselesaikan di pengadilan jika hambatan politisnya bisa dikurangi.

Diselesaikan Lewat Pengadilan

Hasil lain pada riset tersebut menunjukkan, publik menginginkan kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan. Publik memilih mekanisme pengadilan, baik nasional maupun internasional untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional. Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya.
"Kalau kami berangkat dari survei ini, ya hasilnya mengatakan bahwa pengadilan itu menjadi jalan yang terbaik di antara jalan yang ada," kata Choirul.

Dorong Agar Masuk ke Kurikulum

Survei selanjutnya menunjukkan kurangnya pengetahuan publik tentang pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebanyak 50 persen responden berusia kurang dari 22 tahun ( Gen Z) mengaku, tidak mengetahui apa saja kasus HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia.

Secara spesifik, peristiwa 1965 misalnya. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyatakan tidak tahu, sebanyak 39,6 persen menyebut kasus tersebut belum tuntas dan 11,3 persen menyebut sudah tuntas. Kemudian kasus penembakan misterius 1982-1985. Sebanyak 58,5 persen Gen Z mengaku tidak tahu kasus tersebut, sebanyak 37,7 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas.

Selanjutnya untuk kasus peristiwa Trisakti-Semanggi 1998. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, sebanyak 43,4 persen menyebut belum tuntas dan 7,5 persen menyebut sudah tuntas. Kasus penculikan aktivis 1997-1998 juga hampir mirip fenomenanya.

 Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, 47,2 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas. Sementara, dalam kasus kerusuhan Mei 1998, 52,8 persen responden Gen Z tidak tahu, 41,5 persen menyebut belum tuntas dan 5,7 persen menyebut sudah tuntas.

Oleh sebab itu, Komnas HAM mendorong agar materi kasus HAM masa lalu masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
"Ketidaktahuan kasus (HAM masa lalu) sendiri dan angka belum tuntas atau tuntas itu mengkonfirmasi bahwa kewajiban kita khususnya Mendikbud harus mensosialisasikan pendidikan HAM," kata Choirul.
"Jadi, ada baiknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasukkan kurikulum, agar orang tahu bahwa dulu kita pernah mengalami nuansa yang gelap," lanjut dia.
Ia mengatakan, materi kurikulum jangan hanya mengakomodasi inovasi, nilai-nilai toleransi, tapi juga konteks HAM.
"Kita menjaga agar kegelapan itu tidak terulang kembali. Itu tugasnya Menteri Pendidikan, mulai TK sampai perguruan tinggi, dengan berbagai metodologi agar kasus ini menjadi tidak berulang. Ini tantangan bagi Pak Nadiem Makarim," kata dia.

Rabu, 04 Desember 2019

Komnas HAM Minta Nadiem Masukan Kasus HAM Masa Lalu ke Kurikulum


Kompas.com - 04/12/2019, 19:06 WIB


Komisioner Komas HAM Muhammad Choirul Anam dorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) keluarkan Perppu terkait pemenuhan hak korban kejahatan HAM masa lalu.(KOMPAS.com/ACHMAD NASRUDIN YAHYA)

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mendorong Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memasukkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu ke dalam kurikulum pendidikan. 

"Ada baiknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasukkan kurikulum, agar orang tahu bahwa dulu kita pernah mengalami nuansa yang gelap," ujar Choirul dalam konferensi pers hasil riset Litbang KOMPAS untuk Komnas HAM, Rabu (4/12/2019).
Pasalnya, riset Litbang KOMPAS untuk Komnas HAM menunjukkan, responden yang berusia kurang kurang dari 22 tahun tidak mengetahui kasus pelanggaran HAM berat masa lalu apa saja yang pernah terjadi di Indonesia.

Mulai dari kasus penculikan aktivis 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti-Semanggi 1998, penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, serta peristiwa 1965. Rata-rata, sebanyak 50 persen responden yang berusia kurang dari 22 tahun (Gen Z) menyebut tidak tahu kasus-kasus tersebut
"Banyak juga yang mengatakan belum tuntas. Tapi angkanya di bawah 50 persen. Ketidaktahuan kasus sendiri dan angka belum tuntas atau tuntas itu mengkonfirmasi bahwa kewajiban kita, khususnya Mendikbud harus mensosialisasikan pendidikan HAM," kata Choirul.

Dari hasil riset, sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyatakan tidak tahu soal kasus peristiwa 1965, 39,6 persen menyebut kasus tersebut belum tuntas dan 11,3 persen menyebut sudah tuntas. Kemudian dalam kasus penembakan misterius 1982-1985, sebanyak 58,5 persen Gen Z mengaku tidak tahu kasus tersebut, 37,7 persen menyebut belum tuntas, dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas.

Selanjutnya untuk kasus peristiwa Trisakti-Semanggi 1998, sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, 43,4 persen menyebut belum tuntas, dan 7,5 persen menyebut sudah tuntas.

Dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998, sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, 47,2 persen menyebut belum tuntas, dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas. Sementara dalam kasus kerusuhan Mei 1998, 52,8 persen responden Gen Z tidak tahy, 41,5 persen menyebut belum tuntas, dan 5,7 persen menyebut sudah tuntas. "Jadi jangan hanya pendidikan yang menimbulkan inovasi dan toleran. Tetapi juga pendidikan yang mengetengahkan kebenaran dalam konteks HAM," kata dia.
 
"Kita menjaga agar kegelapan itu tidak terulang kembali. Itu tugasnya Menteri Pendidikan, mulai TK sampai perguruan tinggi, dengan berbagai metodologi agar kasus ini menjadi tidak berulang. Ini tantangan bagi Pak Nadiem Makarim," kata dia.
Diketahui, riset Litbang KOMPAS ini sendiri dilaksanakan pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen. Riset dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.

Senin, 25 November 2019

PGRI Non Vaksentral dan KAGI

 Didi Suprijadi*


PGRI Non Vaksentral adalah PGRI yang beranggotakan guru guru yang berafiliasi ke PKI, dipimpin oleh guru guru yang berafiliasi politik ke Pemerintah dalam hal ini Presiden Soekarno yang saat itu ditopang oleh PKI.

KAGI Kesatuan Aksi Guru Indonesia adalah kesatuan aksi yang dibentuk oleh guru guru, yang berafiliasi ke paham Nasionalis dan berazaskan Pancasila, KAGI dipimpin oleh salah satu Ketua PB PGRI yang ditopang oleh Tentara Angkatan Darat.

Awal perseteruan PKI dengan PGRI terasa saat Kongres IX (31 Oktober – 4 November 1959) di Surabaya.infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI benar terasa,dan lebih jelas lagi dalam kongres X di Jakarta (November 1962).

Di era Demokrasi Liberal antara tahun 1959 – 1965 ini biasa dikenal dengan prinsip “siapa kawan – siapa lawan”. Kiranya prinsip “siapa kawan siapa lawan” berlaku pula dalam tubuh PGRI.”kawan”adalah semua golongan pancasilais anti PKI yang Dalam Pendidikan mengamankan Pancasila,dan “Lawan”adalah PKI yang berusaha memaksakan pendidikan.”pancacinta”dan “pancatinggi”.

Di era ini kelompok yang dianggap lawan oleh PKI,hanya ada tiga kemungkinannya, di susupi,di pecah dua atau dibubarkan. PGRI oleh PKI berhasil dipecah dua, PGRI Kongres dan PGRI Non Vaksentral, Kemudian semua kita tahu kekuatan Pancasilais di PGRI masih lebih kuat dan mampu bertahan menghadapi tantangan tersebut.

Puncak dari perseteruan adalah ketika Kongres X PGRI dilangsungkan di Jakarta pada November 1962. Dengan semangat Manifesto Politik 1959, guru-guru yang disokong PKI melakukan “pembangkangan” di tubuh PGRI di dalam kongres.

Setelah PKI di wakili oleh guru yang ber orentasi ideology komunis tak mampu lagi melakukan taktik penyusupan terhadap PGRI, maka mereka mengubah siasat dengan melakukan usaha terang terangan untuk memisahkan dari PGRI.

Guru-guru itu melakukan eksodus besar-besaran dan membuat wadah tandingan PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV) pada Juni 1964. PGRI Non Vaksentral dipimpin oleh guru guru yang berafiliasi politik ke Pemerintah dalam hal ini Presiden Soekarno yang saat itu ditopang oleh PKI.
Sedangkan PGRI hasil kongres di pimpin oleh M E Subiadinata menamakan dirinya PGRI kongres dan berafiliasi ke TNI angkatan darat yang ditopang kelompok Nasionalis.

KAGI (Kesatuan Aksi Guru indonesia)

PGRI bersama-sama dengan guru NU, Ikatan Guru Muammadiyah, Ikatan Guru PSII (Serikat Islam Indonesia), Ikatan Guru Marhaenis (PNI Osausep), Persatuan Guru Kristen Indonesia, Ikatan Guru Katolik, Persatun Guru Islam Indonesia dan Persatuan Guru PERTI membentuk KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia).

KAGI dipimpin pertama kali oleh Drs. M. Rusli Yunus, salah seorang angguta PB PGRI, Selanjutnya KAGI terbentuk pula diberbagai provinsi.
Tiga tugas utama KAGI yaitu: Pertama, Membersihkan dunia pendidikan Indonesia dari urusan-urusan PKI dan Orde lama PGRI non Vaksentral, serikat sekerja pendidikan dan PETI (Persatun Guru Tekhnik Indonesia).

Kedua, Menyatukan guru didalam satu wadah organisasi guru yaitu PGRI.
Ketiga, Memperjuangkan agar PGRI menjadi organisasi guru unitaristik, independen dan non partai politik. Kelak dikemudian hari KAGI dijadikan musuh abadi oleh PKI, karena KAGI lah yang bergerak langsung menggayang dan menumpas PKI sampai akar-akarnya.

PGRI NV versus KAGI

Pergolakan keras ini menyeret PGRI Non Vaksenral ke dalam avonturisme politik baru yang selama ini samar-samar diakui.

PGRI Non-Vaksentral membawa guru bermain dalam politik praktis dengan mendukung Pemerintahan Soekarno yang didukung oleh PKI, justru awal dari hancurnya organisasi guru PGRI.

PGRI yang dibelakangnya ada Tentara, kemudian keluar sebagai pemenang dalam perebutan pengaruh politik berdarah di tahun 1965 melawan PGRI Non Vaksentral.

PGRI kongres dibantu dengan KAGI sepanjang 1966-1967 melakukan upaya pembersihan dan pengganyangan guru guru PGRI Non Vaksentral yang menjadi musuh dalam sejarah guru di Indonesia.

100 000 guru tewas dan hilang serta ribuan guru lainnya dipecat kehilangan jabatan sebagai guru. Tragedi kemanusian terhadap guru ini merupakan sejarah kelam bagi dunia guru dan pendidikan di Indonesia.

KAGI dan PGRI Kongres lah yang menekan terus untuk tidak munculnya paham Komunis di Indonesia, Sejarah mencatat PGRI hasil Kongres pimpinan ME Subiadinata bersama ABRI dan Orde Baru merupakan komponen utama dalam pemberantasan PKI di Indonesia.

Kelak dikemudian hari anak cucu keturunan PKI mempunyai perhatian tersendiri kepada PGRI ,ABRI dan Orde Baru.Untuk itu perlu kewaspadaan kita semua, anak turunan anggauta PGRI non Vaksentral dan simpatisan PKI tidak akan diam untuk melihat kejayaan PGRI.

PGRI kongres wajib meberlakukan AD ART secara benar dan konsekwen agar penyusup dan penumpang gelap tidak bisa masuk kedalam tataran pengurus, baik dari ranting sampai pengurus besar.

PGRI wajib dipimpin oleh orang yang berpaham kolektif kolegial bukan pemimpin yang otoriter dan mau menang sendiri. PGRI tetap pada jatidirinya sebagai organisasi perjuangan, profesi dan serikat pekerja.
PGRI tetap bersifat sebagai organisasi guru yang Independent, Unitaristik dan non Partai politik. Waspada..

Jakarta,29 Januari 2019

*Didi Suprijadi, Ketua MN KSPI

Jumat, 15 November 2019

Amir Sjarifuddin: Pahlawan yang Dilupakan

Akbar Sukimin



Tanggal 10 November 1945 adalah hari dimana massa rakyat dari berbagai elemen berhasil mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru saja diproklamirkan dari serangan Inggris dengan persenjataan modern yang memboncengi kekuasaan (NICA) Belanda di Surabaya. Peristiwa ini yang kemudian diperingati sebagai hari pahlawan oleh bangsa Indonesia.

Mereka yang terlibat dalam pertempuran dengan Inggris adalah merupakan gabungan dari para pejuang sipil (dari berbagai kalangan) maupun dari sebagian kalangan militer yang merupakan bekas KNIL[1] dan PETA[2]. Namun, hingga hari ini mereka-mereka yang dianggap sebagai “pahlawan” masih saja didominasi oleh unsur-unsur seperti militer, berkat propaganda Soeharto pada masa orde baru.

Sejak rezim Orba berkuasa selama 30-an tahun, praktis nama-nama mereka yang berada di simpang kiri jalan (meminjam istilah Soe Hok Gie), sengaja dilupakan, dimanipulasi atau bahkan dihapuskan sama sekali dalam catatan sejarah resmi pemerintah. Dan mereka-mereka yang ditonjolkan dalam peristiwa-peristiwa besar sejarah hampir selalu adalah mereka yang berlatar belakang militer. Semua itu dilakukan untuk menunjukkan, seolah-olah hanya militer lah yang paling terdepan melawan penjajahan, hanya dengan menjadi militer lah baru bisa disebut sebagai pahlawan bangsa.

Bukan percuma film seperti Janur Kuning diproduksi pada zaman Orba (1979) berkuasa yang sangat mengultuskan peran Suharto dalam perang kemerdekaan dengan perannya sebagai militer. Yang sangat menyedihkan, film yang sangat manipulatif seperti Pengkhianatan G 30 S PKI masih juga sempat-sempatnya diberi tempat oleh pemerintah Jokowi yang konon sebagai sosok “sipil”.

Kedua film tersebut selain begitu manipulatif dalam fakta-fakta sejarah, juga memberi tahu ke kita kalau militerlah yang paling jago dalam hal apa pun, sedangkan para pemimpin sipil seperti Sukarno-Hatta[3] dikerdilkan perannya atau ditiadakan sama sekali dalam sejarah seperti Amir Sjariffudin[4].

Padahal bila melihat proses kemerdekaan kita para pemimpin sipil terutama Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjariffudin, dll., sangat berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan, sampai-sampai hampir meregang nyawa.

Bila Sukarno, Hatta, dan Sjahrir mendapatkan konsekuensi penjara dan pembuangan, maka Amir Sjariffudin juga mengalami hal serupa. Bahkan Amir sampai mendapatkan perlakuan keji dari tentara (fasis) Jepang saat dipenjara. Jika Sukarno dan Hatta masih menyimpan harapan pada Jepang untuk kemerdekaan Indonesia, Amir adalah orang yang paling tidak mau mengharapkan belas kasih dan berkolaborasi dengan penjajah Jepang.

Sebelum dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang pada 29 Februari 1944, Amir dipaksa tentara Jepang untuk berkhianat pada rakyat Indonesia. Hampir setiap hari Amir disiksa agar mau membongkar jaringan Gerakan Anti Fasis (GERAF). Pernah, di sebuah sumur, dalam keadaan kaki terikat di atas dan kepalanya berada dibawah, tubuhnya diturunkan ke air sumur kemudian dinaikkan ke atas lagi. Itu dilakukan berkali-kali, yang hampir membuat Amir meregang nyawa. Tetapi, Amir tidak pernah menyerah pada kekuasaan penjajah, malahan dia menertawakan para tentara Jepang yang menyiksa dia[5].

Amir yang masih dipenjara saat saat proklamasi kemerdekaan, baru bebas dari penjara enam minggu setelahnya, yakni pada 1 Oktober 1945. Tetapi, walaupun masih dipenjara, Amir sudah diangkat menjadi Menteri Penerangan oleh Sukarno.

Saat menjadi Menteri Penerangan, Amir begitu lugas menjelaskan apa makna kemerdekaan bagi rakyat Indonesia, hingga mampu menjawab fitnahan pers dunia Barat dari Inggris dan Amerika Serikat yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan “pemberian” Jepang.

Apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya ini tentunya merupakan taktik untuk memecah belah rakyat Indonesia. Tetapi Amir menjawab fitnahan itu dengan gamblang, terlebih secara pribadi dia memang tak pernah kompromi dengan penjajahan Jepang, sehingga rakyat sangat mempercayainya.

Empat hari setelah peristiwa 10 November 1945 yang begitu heroik, Amir mendapatkan amanah untuk juga menjabat sekaligus sebagai Menteri Keamanan Rakyat disamping Menteri Penerangan.

Tetapi semua itu tidak membuat bangsa kita saat ini menghormati jasa-jasa Amir Sjariffudin, bukan hanya karena dia seorang sipil, tetapi terlebih karena dia sebagai seorang komunis dan didaulat “bersalah” dalam peristiwa konflik internal militer yang membuahkan malapetaka di Madiun pada 1948.

Tambah lagi peristiwa 1965 yang mengibliskan semua orang komunis dan tujuannya juga untuk menaikkan citra para pemimpin militer sebagai malaikat penyelamat bangsa.
___

Catatan Akhir:
1 Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL)—Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
2 Pembela Tanah Air—tentara bentukan Jepang saat menjajah Indonesia.
3 Dalam narasi-narasi Orba, peran Sukarno-Hatta direduksi sekadar menjadi proklamator saja.
4 https://islambergerak.com/2016/08/amir-sjarifuddin-seorang-komunis-sekaligus-kristen-taat-bagian-1
5 Amir Sjarifuddin lahir di Medan tanggal 27 Mei 1907. Catatan mengenai tanggal lahir Amir Sjarifuddin kebanyakan mengacu kepada buku “Antara Negara dan Revolusi”-nya Jacques Leclerc, yang menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 27 April 1907. Berdasarkan catatan yang dimiliki keluarga, Amir lahir di Medan pada tanggal 27 Mei 1907.

Akbar Sukimin, aktivis Pro-demokrasi Malang