HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Gusdurian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gusdurian. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Juli 2019

Taman Baca di Bali menyediakan literatur kiri, berniat 'mengusir kebodohan'

15 Juli 2019

Seorang pengunjung Taman Baca Kesiman di Denpasar, Bali, sedang memilih buku untuk dibaca. Foto: ANTON MUHAJIR

Sebuah taman baca di Denpasar, Bali, menjadi tempat bagi khalayak yang ingin membaca dan mendiskusikan buku-buku beraliran kiri. Pemiliknya menganggap stigmatisasi terhadap buku-buku kiri hanya akan melanggengkan pembodohan.

Deretan orang dari beragam usia duduk sembari memegang buku di Taman Baca Kesiman (TBK) Denpasar, Bali.

Mereka tenggelam dalam bacaan masing-masing, mulai dari Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka, sampai Sisi Gelap Pulau Dewata karya Geoffrey Robinson.

TBK didirikan pada 2014 lalu oleh pasangan suami-istri, Agung Alit dan Hani Duarsa, di atas sekitar 15 are lahan di Jalan Sedap Malam, Denpasar.
Keduanya kemudian menyediakan beragam buku ke dalam koleksi perpustakaan, termasuk buku-buku beraliran kiri
"Saya yakin membaca bisa mendorong perubahan. Membaca akan membuka wawasan. Mengusir kebodohan. Karena itu penting sekali untuk tidak hanya membaca, tetapi juga berdiskusi," paparnya kepada wartawan Anton Muhajir yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"TBK adalah tempat mendidik kesadaran kritis karena kehidupan berbangsa negara membutuhkan warga cerdas juga," lanjutnya.

Agung Alit, membuka Taman Baca Kesiman sejak 2014 lalu. Foto: Anton Muhajir

Shaumi Slamiaty termasuk salah satu mahasiswa yang mengaku semula apatis terhadap isu-isu di luar urusan kuliahnya. Namun, setelah rajin bermain ke TBK, mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Udayana ini mengaku mendapatkan perspektif kritis pada isu-isu lain.
"Sebagai mahasiswa, saya dulu benar-benar tidak tahu apa-apa. Paling hanya tahu sekadar teori kuliah, misalnya konservasi. Saya tidak pernah belajar ada apa di balik itu. Namun, di sini saya belajar tentang sistemnya, tidak hanya pengertian. Jadi lebih tahu ada apa di balik apa yang kita pelajari," kata Shaumi.
Dari semula hanya sebagai pengunjung, Shaumi kini bekerja pula di TBK sebagai asisten manajer program. Sehari-hari dia mengelola program dan kegiatan di TBK. Sebagai orang yang tidak dulu tidak terlalu suka baca buku, kini dia bisa memahami isu-isu lain melalui diskusi.
"Diskusi berguna untuk mereka yang tidak terlalu suka baca tetapi mendengarkan," lanjutnya. 
Pintu masuk Taman Baca Kesiman dilengkapi patung mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Stigmatisasi buku-buku kiri

Alit menilai stigmatisasi terhadap buku kiri yang selama ini terjadi di Indonesia hanya untuk melanggengkan pembodohan.
"Sekarang isu seperti itu tidak kena, tidak bisa dipakai lagi. Kalau masih menuduh seperti itu, datang saja dan ikut. Program-program di sini kan terbuka," jawabnya.
Menurutnya, pemberangusan buku adalah hal yang sia-sia.
"Sekarang jika toh buku dilarang, orang bisa mencari secara online. Sekarang ada Internet. Orang bisa mengakses dari mana-mana," ujarnya.
"Kalau ada sweeping buku, itu kemunduran. Kalau itu tetap terjadi, sumbernya tetap kepicikan. Itu sangat tidak mendidik. Kenapa memelihara kepicikan? Kita tidak bisa memperlakukan anak muda sekarang seperti itu. Lebih baik kita buka dan kasih tahu," lanjutnya.
Shaumi lantas menimpali. Dirinya mengaku heran dengan maraknya penyisiran buku yang dianggap berideologi kiri.
"Buku itu sangat berharga, tetapi kenapa ada pihak-pihak yang membredel tanpa tahu isinya. Kenapa? Apa yang salah?" tanyanya.
Diskusi rutin yang diadakan Taman Baca Kesiman.

Diskusi peristiwa 1965

Alit bersama kakaknya yang juga antropolog, Degung Santikarma, menggagas Taman 65 di rumah tua mereka di Kesiman, Denpasar.

Taman 65 pernah menjadi ruang untuk berdiskusi tentang isu-isu 1965, sesuatu yang kerap menjadi topik bahasan di TBK.

Pada Februari lalu, misalnya, TBK menggelar nonton bareng film berjudul Sekeping Kenangan.

Film dokumenter berdurasi 50 menit ini menceritakan tentang proses rekaman ulang lagu-lagu para tahanan politik (tapol) yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Hadhi Kusuma, pembuat film muda yang juga aktif di TBK, mendokumentasikan perekaman ulang lagu-lagu milik para tapol yang pernah dipenjara di Penjara Pekambingan, Denpasar.

Para mantan tapol yang rata-rata kini berusia di atas 70 tahun itu menyanyikan lagi lagu-lagu mereka selama di penjara.

Cara ini, menurut Alit, merupakan salah satu metode untuk membuka ingatan khalayak soal peristiwa kelam itu.
"Biar kejadian semacam itu tidak terulang lagi. Karena itu perlu membaca buku, termasuk soal 1965," katanya.
Pada saat kekerasan 1965 terjadi, orang tua Alit termasuk salah satu korban. Sampai saat ini jenazahnya tidak ditemukan.

Mural wajah Pramoedya Ananta Toer menghiasi salah satu sudut Taman Baca Kesiman.

Ruang diskusi

Toh, diskusi yang digelar di TBK tidak melulu soal peristiwa 1965.
Mengangkat tema Suka Duka di Tana Bali, diskusi bulanan TBK menyajikan polemik yang terjadi di Bali, seperti kisah pengguna narkoba, waria, pekerja seks komersial, hingga reklamasi Teluk Benoa.
"Di sisi lain kami sadar Bali dan Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Mumpung kita ada buku, kita bikin satu tempat di mana orang bisa membaca dan bertemu. Kami ingin berkontribusi dengan membangun Bali yang lebih toleran, menghargai kebhinekaan dan kesetaraan," kata Alit.
Ada pula diskusi bertema spesifik, seperti pada Februari lalu ketika TBK menggelar aneka kegiatan untuk merayakan hari kelahiran sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Merayakan Bulan Pram, begitu istilah merujuk pada perayaan itu, TBK menggelar pemutaran film, diskusi buku, pameran seni jalanan, dan temuwicara.

Karya-karya seniman jalanan menampilkan tidak hanya wajah Pram, tetapi juga kutipan-kutipan Pram, di media papan triplek berukuran 1x1 meter. 
"Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia." Demikian salah satu kutipan Pram yang terpampang.
Image captiBBC Indonesia 

Sabtu, 29 Desember 2018

Solusi Tragedi 1965: Langkah Maju Gus Dur, Langkah Mundur Jokowi

Oleh: Ivan Aulia Ahsan - 29 Desember 2018

  • Buku '65 yang Terbit pada 2018 
Salah satu banner yang terdapat dalam agenda Haul Gus Dur ke-9, di Ciganjur, Jakarta Selatan, yang diselenggarakan pada Jumat (21/12/2018) malam. tirto.id/Haris Prabowo

Dari seluruh presiden RI yang berkuasa pasca-1998, hanya Gus Dur yang berani minta maaf kepada korban pembantaian 1965.
Indonesia pasca-Soeharto memang dirundung demam keterbukaan di mana-mana. Tapi wacana soal pembantaian massal 1965-1966 seakan-akan terus menjadi aib yang harus ditutup-tutupi.

Dalam konteks dan derajat tertentu, upaya pengaburan fakta tentang pembantaian massal bahkan dijadikan komoditas politik. Wacana yang digulirkan Orde Baru selama tiga dasawarsa—bahwa pembantaian dilakukan atas inisiatif rakyat karena kebiadaban PKI di masa lalu—masih diteruskan oleh kelompok-kelompok yang lazimnya mengklaim sebagai “anti-komunis”, “penjaga NKRI”, atau “Muslim anti-PKI” di masa kini.

Pada situasi sosial-politik macam itulah, dalam Bab 10 buku Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 (2018), Geoffrey B. Robinson memaparkan hasil penelitiannya. Robinson adalah guru besar sejarah di University of California at Los Angeles (UCLA), AS. Selama bertahun-tahun ia menekuni studi tentang kekerasan politik, genosida, dan pelanggaran HAM di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Musim Menjagal merupakan riset terbarunya.

Robinson menyimpulkan, diskurus publik Indonesia tentang pembantaian massal 1965-1966 di era pasca-Soeharto ditandai dengan “satu langkah ke depan”. Tapi kemudian, dengan maraknya pembungkaman terhadap ekspresi keterbukaan peristiwa 1965, ia juga terseret dalam arus kemunduran; atau dalam kata-kata Robinson: “satu langkah ke belakang”.

Ia mengambil banyak contoh kasus tentang fenomena kemajuan dan kemunduran itu. Salah satu yang paling menonjol adalah bagaimana perbedaan penyelesaian tragedi 1965 di era kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Joko Widodo (Jokowi).

Langkah Maju Gus Dur

Lima bulan setelah dilantik jadi presiden, Gus Dur mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara sekaligus bekas Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, lelaki kelahiran Jombang itu meminta maaf atas peran NU dalam pembunuhan massal 1965-1966.

Pernyataan Gus Dur bikin kaget banyak orang. Peristiwa pembunuhan yang tenggelam selama lebih dari tiga dasawarsa di zaman Orde Baru dibuka kembali oleh seorang presiden.

Sebelumnya, dalam pidato Hari Hak Asasi Manusia Internasional 10 Desember 1999, ia mengundang para eksil yang tak bisa pulang ke Indonesia akibat peristiwa G30S untuk datang kembali ke negeri mereka. Gus Dur juga memerintahkan para menterinya untuk memulihkan hak-hak mantan tahanan politik dan orang-orang di pengasingan.

Langkah lebih berani dilakukannya dengan mewacanakan penghapusan Tap MPRS No. XXV/1966. Isi keputusan ini adalah pelarangan PKI beserta onderbouw-nya dan pengharaman ajaran komunisme, marxisme, leninisme di seluruh Indonesia. Bagi Gus Dur, Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Dengan langkah-langkah tersebut, seperti dinyatakan Robinson dalam buku ini, “[Gus Dur] secara terbuka menantang salah satu fondasi legal dan simbolis Orde Baru yang paling bertahan lama” (hlm. 374).
Gus Dur adalah pejabat tinggi Indonesia pertama yang secara terbuka meminta maaf atas pembunuhan massal 1965-1966 dan menyerukan pencabutan Tap MPRS XXV. Sikap itu harus dibayar mahal oleh Gus Dur. Robinson menyimpulkan, berdasarkan sejumlah informasi (sayangnya dia tak menyebut dari mana informasi yang dimaksud), “itulah yang menjadi salahsatu alasan mengapa dia [Gus Dur] dilengserkan dari jabatannya pada Juli 2001” (hlm. 390).
Dua belas tahun sesudah Gus Dur, Wali Kota Palu Rusdi Mastura melakukan hal serupa. Pada awal 2012, ia menyampaikan permohonan maaf kepada para korban kekerasan 1965-1966. Rusdi menyatakannya di hadapan publik dan berjanji akan memberikan program ganti rugi bagi para penyintas.

Meski Rusdi belum mendukung tuntutan hukum kepada orang-orang yang bertanggungjawab atas kekerasan, permintaan maafnya, menurut Robinson, menandai “pergeseran sikap publik mengenai peristiwa 1965-1966” (hlm. 375).

Pernyataan Gus Dur dan Rudi Mastura adalah dua contoh dari sedikit sekali ekspresi pejabat publik berkaitan dengan permintaan maaf atas pembantaian massal 1965-1966. Apa yang dilakukan Gus Dur dan Rusdi sebenarnya bisa dijadikan model bagi pejabat lain.

Langkah Mundur Jokowi

Sebenarnya sempat ada angin segar bagi penyelesaian komprehensif pembantaian 1965-1966 ketika Jokowi dilantik sebagai presiden. Di masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi memberi harapan kepada banyak orang bahwa pemerintahannya akan membuat perbedaan nyata dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Tapi, seperti janji politikus di mana pun, harapan yang diberikan Jokowi jadi angin lewat belaka.

Pada 14 Agustus 2015, Jokowi tidak mengabulkan tuntutan para pegiat HAM soal penyelesaian komprehensif atas kekerasan 1965-1966. Tuntutan itu sebenarnya mencakup hal yang bersahaja tapi substansial: penguakan kebenaran dan pemulihan keadilan.
Dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden RI ke-7 itu menyatakan, “Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu. Anak-anak bangsa harus bebas menatap masa depan yang terbentang luas.”
Dengan pernyataan itu, Jokowi mengesampingkan solusi penyelesaian komprehensif yang dituntut para pegiat HAM.

Rekonsiliasi seperti yang diusulkan Jokowi sebenarnya gagasan mulia dan patut dipuji. Tapi, wacana rekonsiliasi selalu meninggalkan catatan buruk bagi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara tuntas. 
“Bahasa rekonsiliasi lebih sering digunakan untuk menghindari seruan untuk keadilan dan mengatakan kebenaran,” tulis Robinson (hlm. 392).
Robinson mengungkapkan lebih jauh soal betapa lemahnya rekonsiliasi ala rezim Jokowi sebagai solusi menyeluruh. Rekonsiliasi dan solusi non-yudisial diajukan sebagai metode yang berdiri sendiri, bukannya dijadikan bagian dari proses keadilan dan pencarian kebenaran.

Bahkan, pejabat pemerintah kerap menggunakan dalih moralitas dan kultural atas upaya tersebut. Mereka beralasan, rekonsiliasi dan solusi non-yudisial tidak akan “membuka luka lama” dan lebih sesuai dengan “nilai-nilai Indonesia”. Lebih jauh lagi, beberapa di antara mereka malah menganggap kekerasan 1965-1966 bukan pelanggaran HAM.

Menkopolhukam Wiranto, misalnya, menyatakan secara terang-terangan bahwa pemerintah menganggap pembantaian 1965-1966 bisa dibenarkan secara hukum. 
“Dari peristiwa [pembantaian massal] tersebut juga dapat berlaku adagium ‘Abnormal recht voor abnoormale tijden’, tindakan darurat untuk kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang,” tutur bekas Panglima ABRI itu.

Infografik Serial Pembantaian 1965


Karena itu, bagi Wiranto, rekonsiliasi dan solusi non-yudisial adalah satu-satunya pilihan yang paling mungkin diambil pemerintah. 
“Tatkala pengadilan tidak bisa menyelesaikan konflik, maka seharusnya kita kembali [kepada] apa yang sudah ada pada kita yakni dengan cara musyawarah mufakat […] Nah, ini yang tengah kita rancang secara nasional. Win-win solution supaya bisa diperoleh,” katanya.
Sementara itu, menteri Jokowi yang lain, Ryamizard Ryacudu, pernah memberi pernyataan yang lebih tegas. Di depan para jurnalis pada Agustus 2015, Menteri Pertahanan itu mencerca tuntutan bahwa negara harus meminta maaf kepada para korban pembantaian. Dengan cara berpikir yang masih kuat semangat Orde Baru-nya, dia berkata:
“Maaf, kita pakai logika saja […] Yang memberontak siapa, yang membunuh duluan siapa, yang membunuh jenderal-jenderal TNI itu siapa. Masak yang dibunuh dan diberontakin minta maaf […] Yang benar saja.”
Bila pernyataan Wiranto dan Ryamizard—dua menteri terpenting kabinet Jokowi—dijadikan patokan, maka anggapan bahwa rezim Jokowi tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan tragedi 1965 kian terbukti.

Di balik pengabaian itu, ribuan korban masih menanti keadilan. 

_______________

Pembantaian 1965-66 adalah salah satu episode terburuk dalam sejarah Indonesia yang membentuk identitas kita sebagai bangsa. Meskipun telah lewat 50 tahun lebih, proses rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran kasus ini masih mengalami hambatan besar.
Tirto menayangkan serial khusus berupa nukilan atau ringkasan buku-buku akademik tentang pembantaian 1965-66 yang terbit sepanjang 2018. Serial ini terdiri dari empat artikel, ditayangkan setiap hari mulai Rabu (26/12/2018) hingga Sabtu (29/12/2018). Artikel ini adalah tulisan terakhir. 

"Solusi Tragedi 1965: Langkah Maju Gus Dur, Langkah Mundur Jokowi" adalah ringkasan dari bab "Kebenaran dan Keadilan?” dalam buku 
Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 yang diterbitkan Komunitas Bambu, Depok. Disarikan oleh Ivan Aulia Ahsan dan dikoreksi Geoffrey Robinson. Bukunya dapat dibeli melalui situs web resmi Komunitas Bambu.

Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Windu Jusuf

Sumber: Tirto.Id 

Jumat, 23 Februari 2018

Ahmad Tohari, Kisah ronggeng dan pembantaian PKI di Pekuncen


Pundra Rengga Andhita | 06:00 WIB - Jumat, 23 Februari 2018

Penulis Ahmad Tohari ketika ditemui di kediamannya di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah pada Rabu (14/02/2018). Pundra Rengga Andhita / Beritagar.id



Dengan alasan kemanusiaan, ia nekat menulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, walaupun ancaman di depan mata, termasuk tuduhan simpatisan PKI.
“Saya bukan simpatisan PKI. Saya NU tulen. Saya lahir dari keluarga NU," kata Ahmad Tohari ketika Beritagar.id menemuinya, Rabu (14/02/2018).
Tohari, 70 tahun, merupakan salah satu sastrawan masyhur di tanah air. Ronggeng Dukuh Paruk, trilogi yang ia tulis pada 1981, masuk dalam jajaran karya sastra berpengaruh di Indonesia. Novel ini telah disatukan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Cina, dan Jepang.

Keberaniannya dalam menulis tidak diragukan lagi. Ketika penekun sastra lain memilih diam, ia justru mengangkat tema paling sensitif di masanya. Ia mafhum, persepsi orang terhadap tulisannya pasti akan melekat juga di dirinya.

Setelah trilogi itu terbit, identitas Tohari disinyalir bagian dari kelompok tertentu. Namun ia menegaskan, dirinya warga Nahdliyin tulen. Lahir dan besar dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).

Tohari lahir pada 13 Juni 1948. Ia merupakan putra asli Banyumas. Ia menuntaskan jenjang pendidikan mulai tingkat dasar, menengah dan atas di kota di Jawa Tengah itu.

Ia juga pernah menimba ilmu di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).

Meski sempat bekerja sebagai redaktur di beberapa media cetak Jakarta, namun hampir sebagian besar hidupnya ia habiskan di kota kelahirannya.
Tohari besar dalam lingkungan keluarga santri. Ayahnya, Madiryat, pernah nyantri dan bekerja sebagai pegawai Kantor Urusan Agama. Ia merupakan tokoh NU terkemuka di desanya. Mardiyat sempat menjabat sebagai ketua NU setingkat cabang kala itu.

Sedangkan ibunya, Saliyem, merupakan tipe perempuan mandiri, ikut membantu suami melalui bertani dan berdagang. Diryat dan Saliyem berhasil mengantar 12 anaknya ke kehidupan mapan.

Tohari merupakan anak keempat dari pasangan itu. Ia tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang hangat. Nilai kasih sayang, kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan dan keharmonisan yang sarat akan muatan agama menjadi pemandangannya sehari-hari. Nilai itu juga yang mendekatkannya ke masyarakat.

Di kehidupan nyata, Tohari memang mengenal beberapa penari ronggeng. Namun Srintil, tokoh dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk, bukan yang dikenal akrab olehnya. Perjumpaan Tohari dengan Srintil terjadi secara tidak sengaja. Semua bermula dari bidikan pelurunya yang meleset. | Pundra Rengga Andhita /Beritagar.id

Bertemu "Srintil"

Sebelum Tohari memutuskan menulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, ada pergulatan keras di batinnya. Kontestasi politik nasional yang tidak mendukung, membuatnya ragu untuk lanjut menulis atau setop, membiarkan kisah itu hanya bersemayam di kepala.

Tohari menyadari, jika lanjut menulis ada dua kelompok yang harus dihadapi. Kelompok pertama dari kalangannya sendiri, yakni NU. Sedangkan yang kedua, tentara, perpanjangan tangan dari rezim Orde Baru.

Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel inspiratif yang melalui beberapa rezim kekuasaan di Indonesia. Terbit pada 1982, novel ini ditulis dalam tiga seri, yakni, Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala.

Selain difilmkan, Sang Penari (2011), novel ini juga diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, terbaru, Spanyol dan Italia.

Entah mengapa, ketika novel ini terbit, banyak pihak yang menganggap Tohari bagian dari kelompok kiri. Bahkan sampai sekarang, anggapan itu masih sayup terdengar di telinganya.

Anggapan itu juga yang menuntun langkah kami, menemui Tohari di rumahnya yang terletak di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto. 
"Dari masjid agung Jatilawang, ke arah barat sekitar tiga kilometer. Nanti setelah menemukan pangkalan becak di sebelah kiri, rumah saya tepat di seberang jalan," ujar Tohari memberikan lokasi rumahnya.
Awalnya kami agak kesulitan menemukan rumah Tohari, sempat terlewati cukup jauh. Kami menyadari setelah bertanya pada penduduk setempat. Semua orang yang kami tanya tahu letak rumah Tohari. Bahkan seorang polisi yang kebetulan sedang bertugas tidak keberatan mengantarkan kami.

Rumah Tohari terletak di pinggir ruas jalan raya nasional Jatilawang-Wangon. Rumahnya adem, banyak pohon besar menaungi. Keteduhannya mampu mengalihkan suara bising lalu lalang kendaraan.

Pintu rumahnya sudah terbuka, seolah menyadari kedatangan kami sebelum sang empunya rumah menyambut. Tak selang berapa lama, istri Tohari, Siti Syamsiah yang dinikahinya pada 1 Desember 1970, mempersilakan kami duduk. Sambutannya hangat sekali.

Belum genap sepuluh menit, Tohari menyusul keluar. Mengenakan peci hitam, sikapnya ramah, tanpa jarak dan senyum tidak berhenti tersungging di wajahnya.

Namun senyum itu sempat hilang ketika Tohari menceritakan masa mudanya yang muram, saat ia harus melihat guru sekolah dasarnya dieksekusi tentara di lapangan setempat.

Batinnya berontak kala melihat gurunya mati karena diduga terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia). Massa yang menonton kala itu justru bertepuk tangan seiring suara bedil dan timah panas menembus badan gurunya.

Ia menuturkan, sekitar tahun 1965, di desa Pekuncen, Jatilawang -- desa yang menginspirasi nama Dukuh Paruk -- masyarakatnya terbagi menjadi empat golongan. Nasionalis PNI (Partai Nasional Indonesia) sekitar 60 persen, NU 20 persen, PKI kira-kira 15 persen tapi menurutnya sangat aktif, dan sisanya Muhammadiyah.

Pemisahan ini cukup jelas. Jadi, kalau ada yang gabung dengan PKI, garis demarkasi siap memisahkan mereka. Seandainya pun bersaudara, bisa saling tak tegur sapa, putus hubungan.

Pemisahan itu diperparah dengan kondisi kemiskinan. Pekuncen kala itu dalam situasi kemarau panjang, tidak ada irigasi, persawahan kering.
"Politik ekonomi berdikari melarang impor beras. Kami makan apa yang ada di situ. Semuanya miskin, kurang makan, termasuk saya," katanya.
Berbarengan dengan kemiskinan yang melanda Jatilawang, Gerakan 30 September 1965 meledak, membuat pemilahan kelompok di masyarakat makin tajam. 
"Saya terhitung saksi mata, sekelas tukang kambing, tukang cari kayu, dihukum tanpa peradilan," tutur Tohari.
Ia tak sampai hati melihat orang-orang kampung yang masih diduga terlibat harus ikut menerima risiko. 
"Saya NU, sangat NU. Kalau pembubaran PKI saya setuju, penghukuman tokohnya juga setuju. Tapi orang kampung dibunuhi saya tidak setuju," tandasnya.
Sisi kemanusiaannya berontak. Ingatannya merekam semua kejadian di desanya. Rekaman itulah yang mendorongnya menulis novel Kubah (1980), yang diterbitkan Pustaka Jaya.

Kubah bercerita tentang seorang miskin bernama Karman yang menjadi anggota PKI. Setelah peristiwa Gerakan 30 Sepetember 1965, ia ditangkap dan dipenjara selama 12 tahun di Pulau Buru, sebelum akhirnya pulang kampung dan menjadi muslim yang taat.

Tohari tak bisa menahan diri untuk tak menuliskan kisah Karman. Ia mengaku telah sabar menunggu kemunculan karya sastra lain yang mau mengangkatnya. Masa tunggu itu ia tujukan kepada senior-seniornya yang tak berani menorehkan peristiwa tersebut dalam bentuk tulisan.
"Kalau pembubaran PKI saya setuju, penghukuman tokohnya juga setuju. Tapi orang kampung dibunuhi saya tidak setuju."

Ahmad Tohari

Jelang tahun 1982, Tohari tetap belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Ia merasa, Kubah belum tuntas mengangkat apa yang terjadi di era 1965. Setelah melewati pergulatan panjang, ia memantapkan diri, mengesampingkan kekuatirannya, lalu mulai menulis lagi.

Dalam bayangan Tohari, pintu masuk tragedi kemanusiaan 1965 bisa digambarkan melalui kisah penari ronggeng, yang kala itu identik dengan pelacuran. Namun kegundahannya kembali muncul. Jika ia lanjut menulis akan ada masalah besar yang menghampiri. Masalah itu datang dari pemerintah dan kalangan pemuka agama.

Namun Tohari yang sudah melahap karya Pramoedya Ananta Toer sampai tuntas ini lebih mengedepankan sisi kemanusian dibandingkan kecemasannya. Ia nekat, berhenti bekerja sebagai redaktur di harian Merdeka, Jakarta, agar fokus menulis. Tohari pulang ke Jatilawang menggunakan vespa sambil memboyong mesin tik Brother di boncengannya.

Setelah itu, lahir trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Novel yang berlatar belakang kondisi sosial budaya masyarakat setempat di era 1965an yang mengisahkan kisah cinta antara Srintil, penari ronggeng, dan Rasus, tentara.

Di kehidupan nyata, Tohari memang mengenal beberapa penari ronggeng. Namun Srintil bukan salah satu dari yang dikenal akrab olehnya. Perjumpaan Tohari dengan Srintil terjadi secara tidak sengaja.
Kisah itu bermula dari hobi Tohari berburu burung di pedalaman hutan Jatilawang. Tohari masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Biasanya bidikan Tohari akurat. Namun siang itu bidikannya meleset. Peluru yang hanya menyerempet sayap, membuat burung perkutut incarannya masih bisa terbang rendah.

Tohari lantas mengejarnya sampai masuk lebih dalam lagi ke hutan, mengarah ke curug (air terjun). Di situ langkahnya terhenti karena mendengar gemericik air yang tidak biasa. Tohari lalu mencari sumber suara, tak dinyanya, mendapati seorang perempuan muda berparas cantik nan elok sedang mandi.

Belakangan diketahui, perempuan itu penari ronggeng yang "dipelihara" pejabat setempat. Perempuan itu yang akhirnya menginspirasi Tohari melahirkan karakter Srintil di novelnya.

Ketika seri pertama selesai, Tohari membawa naskah itu ke penerbit Gramedia. Bak gayung bersambut, Gramedia memberikan respon positif, meminta Tohari agar menyodorkan seri berikutnya dengan cepat.
Proses penulisan seri kedua lebih mendebarkan bagi Tohari karena mulai masuk ke ranah sensitif, peristiwa pasca 1965. Untungnya penerbit masih mau menerima.

Selanjutnya, ketika seri ketiga selesai penerbit justru angkat tangan. Menurut mereka seri itu belum saatnya muncul karena rezim Soeharto masih berkuasa, kecuali dengan proses sensor di beberapa bagian. Alhasil naskah itu terbit namun tidak utuh.

Naskah yang tidak utuh membuat Tohari kesal. Ia ingin naskah ini terbit tanpa sensor, meski harus menunggu Soeharto lengser.

Dalam masa menunggu, seorang sastrawan Amerika yang juga pendiri Yayasan Lontar, John McGlynn mendatangi Tohari. Ia mengutarakan maksud ingin menerbitkan Ronggeng Dukuh Paruk dengan judul The Dancer tanpa sensor. Rencananya, McGlynn akan menerbitkan The Dancer bersama naskah terbungkam lain dari berbagai negara.

Tawaran dari McGlynn disampaikan Tohari ke Gramedia. Jika Gramedia tidak mau menerbitkannya tanpa sensor, Tohari akan mengambil semua naskahnya. Alhasil, trilogi tersebut terbit ulang secara utuh di kemudian hari, tahun 2002. Beberapa bagian yang hilang dikembalikan.

Foto yang terpajang di rumah sastrawan Ahmad Tohari. Tampak Gus Dur (Presiden RI keempat) sedang duduk di samping kirinya. Sejak 1981 keduanya berteman akrab dan aktif di lingkungan Nahdlatul Ulama. | Pundra Rengga Andhita /Beritagar.id

Diciduk tentara

Tohari paham betul, usai trilogi Ronggeng Dukuh Paruk terbit kali pertama pada 1986, hanya tinggal menunggu waktu masalah akan menghampiri. Benar saja. Matahari belum genap naik di atas kepala, rumahnya didatangi tentara. Mereka mengantarkan surat perintah untuk membawa Tohari.

Kebetulan Tohari sedang di Jakarta. Istrinya yang menerima surat. Sambil meneteskan air mata, pikiran Syamsiah berkecamuk. Tangannya gemetar memegang surat itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan kelima anaknya tanpa Tohari.

Mendapati Tohari tidak di rumah, rombongan tentara itu menanyakan posisi Tohari di Jakarta. Meski berat hati, tidak ada pilihan bagi Syamsiah untuk menutupi. Tepatnya 2 Juli 1986, Tohari diciduk tentara. Ia dibawa ke Kopkamtib, sejenis markas tentara kala itu.

Tohari dintegrogasi selama lima hari. Ia dipaksa mengaku sebagai PKI. Berulang-ulang kali Tohari menegaskan, 
"Saya bukan simpatisan PKI. Apalagi bagian dari PKI. Saya orang NU," kata Tohari berusaha meyakinkan sang interogator.
Ia juga mengungkapkan ke mereka alasan yang mendorongnya menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Tohari miris melihat orang-orang di kampungnya yang masih terduga PKI ikut menjadi korban eksekusi. Sisi kemanusiaannya terpanggil. Apalagi sedari kecil Tohari sudah diajarkan untuk mencintai sesama manusia.

Namun alasan itu tidak membuat mereka berhenti mengintegrogasinya. Baru di hari kelima Tohari dilepas. Itu pun karena salah satu dari mereka menyerahkan kertas, meminta Tohari untuk menulis, 
"Sebutkan orang yang bisa kami hubungi untuk meyakinkan kami bahwa kamu NU," kata interogator kepada Tohari.
Tanpa pikir panjang, Tohari mencantumkan nama Gus Dur, lengkap beserta nomor teleponnya. Sontak, nama itu membuat mereka diam. Sikap mereka langsung berubah menjadi lebih manis. Tohari diberikan nasi bungkus sebelum diantarkan pulang.
"Saya sempat menantang mereka, silakan jika masih ingin menginterogasi saya," katanya mantap. Satu nama itu membuat urusannya selesai. Kedekatan Tohari dengan Gus Dur sudah lama, dimulai dari tahun 1981.
"Saya sudah bareng Gus Dur di Muktamar NU Situbondo (1984). Sudah bareng merumuskan penerimaan asas tunggal," kisahnya. Bahkan Gus Dur terhitung beberapa kali menginap di rumahnya.
Namun, meski urusan dengan tentara selesai, masih ada kelompok lain yang harus dihadapi, yakni kalangannya sendiri, NU. Mereka mempertanyakan alasan Tohari mengangkat topik ronggeng yang memiliki citra buruk kala itu.

Meski berulang kali Tohari meyakinkan, Ronggeng Dukuh Paruk itu sarat muatan dakwah tapi tetap saja tidak membuat mereka puas. Menurut Tohari, Gus Dur pernah mengutarakan, di Indonesia ada dua penulis bergelar pengarang porno. Hanya saja mereka berbeda cara mengatasi tuduhan itu.
"Pengarang pertama memilih banting setir. Karyanya disisipi ayat. Kalau Tohari justru balik bicara: bukan novelnya yang porno tapi otakmu yang porno," kata Gus Dur dikisahkan oleh Tohari.
Tohari menilai mereka tidak mampu melihat pesan tersembunyi yang ingin disampaikan lewat novel itu. Salah satu pesannya terletak pada pergulatan batin Srintil yang akhirnya hijrah dari penari ronggeng menjadi ibu rumah tangga.

Seorang pelacur sekalipun berhak mendapat kesempatan kedua dalam hidupnya dan diterima kembali ke masyarakat. "Tuhan itu maha pemaaf," kata Tohari.

Kalangan itu juga mempertanyakan sikap Tohari yang terkesan mendukung kelompok kiri. Padahal Tohari sudah menegaskan bahwa itu semata-mata atas dasar kemanusiaan.
"Saya keberatan disebut simpatisan PKI. Saya tidak masuk kasta politik. Saya murni NU. Domain saya sastra," tegasnya.
Lewat Ronggeng Dukuh Paruk, Tohari ingin menyampaikan pesan agar semua manusia saling mencintai sesamanya. Menurut dia, dendam hanya akan membumihanguskan kemanusiaan.

Di kemudian hari, konsistensi Tohari menulis topik yang menitikberatkan pada kemanusiaan mengantarkan dirinya mendapatkan banyak penghargaan, dari dalam dan luar negeri. Ia sering diundang menjadi pembicara dalam forum ilmiah nasional dan internasional.

Semua itu tidak membuatnya jumawa, ia justru makin menunduk. Kini, di usianya yang senja, Tohari hanya ingin hidup damai dan tenteram. Ia tidak lagi menulis novel. Sisa hidupnya dihabiskan untuk mengasuh Pondok Pesantren Al Falah di desanya.

Sesekali, undangan menjadi pembicara tetap ia penuhi. Tujuannya bukan hanya sebatas membagi ilmu tetapi juga meluruskan persepsi orang terhadapnya: Tohari itu sastrawan dan budayawan yang NU tulen, bukan simpatisan PKI.

Penulis Ahmad Tohari ketika ditemui di kediamannya di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah pada Rabu (14/02/2018). Pundra Rengga Andhita /Beritagar.id

Sumber: Beritagar.Id 

Jumat, 29 September 2017

Rekonsiliasi 1965, Belajar dari Gus Dur

Jumat 29 September 2017, 11:45 WIB
Munawir Aziz* - detikNews

Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom

Jakarta - Di sebuah pagi yang cerah, Gus Dur menghadiri undangan untuk meresmikan sebuah Yayasan Panti Jompo. Panti ini terletak di kawasan Kramat V, Jakarta Pusat, di gedung bekas kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), pada 8 Februari 2004. Panti Jompo ini dikhususkan bagi perempuan-perempuan bekas tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol). 

Peresmian itu juga dihadiri SK Trimurti —wartawan tiga zaman— yang menjadi saksi sejarah keberpihakan Gus Dur pada perempuan-perempuan jompo yang menjadi korban Peristiwa 1965. Yayasan yang mengelola Panti Jompo itu digerakkan oleh keluarga mantan anggota PKI yang sering dicap negatif. Waluyo Sejati Abadi, nama panti jompo itu, menjadi saksi betapa luasnya bentang kemanusiaan Gus Dur. Di panti itu, perempuan-perempuan eks tapol yang direjam kesakitan pada masa Soeharto, menghabiskan usia dengan secercah cahaya. 

Di hadapan mereka, Gus Dur memotivasi agar tekanan-tekanan masa lalu bisa luluh, berganti dengan keceriaan. 

"Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena dituduh 'terlibat' PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda mereka dirampas. Sementara, stigma mereka adalah pengkhianat bangsa tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini," ungkap Gus Dur.
Di tengah cahaya kisah tentang kebesaran hati Gus Dur menerima persaudaraan dengan keluarga mantan PKI, hari ini kita tersentak dengan isu 1965 yang memanas. Pada September ini, gelombang isu tentang komunisme, PKI dan Tragedi 1965 terus membahana. Minggu (17/09/2017) lalu, massa mengepung kantor LBH Jakarta, yang dianggap menyelenggarakan pertemuan simpatisan PKI. 

Padahal, agenda di LBH merupakan acara kesenian 'AsikAsikAksi', yang salah ditafsir oleh massa. Mulanya 50 orang merangsek, tidak sampai lima jam, datang lebih dari 1.000 orang lintas ormas. Situasi memanas, yang diiringi teriakan kasar, intimidas, dan ucapan 'bunuh, halal darahnya' menggema hingga tengah malam. Betapa, imaji tentang 'hantu komunis' masih menjadi bagian dari rentetan sejarah kekinian bangsa ini. 

Rekonsiliasi, Jembatan Kemanusiaan

Dari serangkaian isu tentang 1965, yang penting untuk direnungkan adalah bagaimana membangun jembatan rekonsiliasi. Almarhum Gus Dur pernah mengupayakan rekonsiliasi nasional, meski mendapat pertentangan dahsyat dari pelbagai pihak. Keberpihakan Gus Dur terhadap korban 1965 sangat jelas. Gus Dur bergerak dalam dimensi kemanusiaan; beliau secara jelas membangun jembatan rekonsiliasi. 

Zastrow el-Ngatawi mengkonfirmasi permintaan maaf Gus Dur. Ia menjadi saksi ketika Gus Dur mengundang Pramoedya Ananta Toer ke Wisma Negara, 27 Oktober 1999. Dalam bedah buku karya Abdul Mun'im DZ, Benturan NU dan PKI: 1948-1965 (2014), Zastrow menjelaskan bagaimana kronologi pemaafan Gus Dur. 

"Saya klarifikasi tentang permintaan maaf Gus Dur itu. Saat itu, pertemuan antara Gus Dur dan Pram. Pram bilang: kita ini sudah dekat kok, tapi kok orang di luar masih ribut. Gus Dur menimpali: ya sudah, saya minta maaf dan kamu juga minta maaf. Setelah itu, Pram mengajukan tanya: kalau saya dengan Gus Dur nggak ada masalahtapi yang di luar itu perlu dijelaskan. Kemudian, Pram bertanya lagi: apa komentar tadi tentang permintaan maaf itu sebagai Gus Dur secara pribadi atau PBNU ataubagaimana? Gus Dur menjawab: ya sudah, kalau nggak mau repot anggap saja itu sebagai komentar dari PBNU."
Dalam agenda Secangkir Kopi bersama Gus Dur yang disiarkan langsung oleh TVRI, Selasa 15 Maret 2000 terhampar kesaksian bagaimana kebesaran jiwa Gus Dur. Di acara itu, Gus Dur secara langsung meminta maaf, kemudian mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Di hadapan Effendy Choirie, Franz Magnis Suseno, dan Noorca M. Massardi, Gus Dur berharap latar belakang sejarah di seputar 1965 harus dibuka secara gamblang. Hal ini penting, agar momen historis di sekitar 1965 tidak menjadi 'kabut sejarah' yang diwariskan dalam periode yang panjang.

Menurut Gus Dur, kabut gelap sejarah masa lampau Bangsa Indonesia harus disikapi secara jernih. "Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi dalam perspektif kemanusiaan, bukannya ideologis" ungkap Gus Dur dalam karyanya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006: 157). 

Lebih lanjut, Gus Dur mendorong rekonsiliasi nasional terhadap keluarga mantan anggota PKI dan DI/TII. Dengan ibarat konglomerat hitam yang mendapat pengampunan, dengan status release and discharge (bebas dari segala tuntutan), Gus Dur mengajak untuk memberi kesempatan yang sama kepada keluarga mantan PKI dan DI/TII. 

Lebih jauh, Gus Dur mengupayakan rekonsiliasi nasional, dengan beberapa langkah mendasar. 


"...mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau ada bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan. Di sinilah, keadilan harus ditegakkan di bumi Nusantara," ungkap Gus Dur.
Mengenai upaya rekonsiliasi nasional yang digagas Gus Dur, Alwi Shihab —yang waktu itu menjadi Menlu— menjelaskan bahwa upaya mencapai rekonsiliasi nasional, yakni membentuk undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tugas utamanya mengusut kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Rekonsiliasi ini, dimaksudkan dalam kerangka pembangunan nasional, integritas teritorial dan integrasi kebangsaan (Tempo, 22/03/2001). Menurut Alwi, rekonsiliasi nasional yang digagas Gus Dur merupakan sebuah cara menggapai reformasi politik, sosial dan ekonomi. 

Isu 1965 hanya akan menjadi 'ranjau sejarah' jika tidak ada upaya untuk mengawali langkah strategis menyelesaikan luka lama. Rekonsiliasi nasional yang dibangun Gus Dur, kemudian diteruskan jaringan anak muda nahdliyyin serta beberapa lingkar komunitas dengan rekonsiliasi kultural menjadi penting digemakan kembali. Upaya pemerintah menyelenggarakan Simposium Nasional 1965 harus diapresiasi sebagai langkah awal mencari titian rekonsiliasi.
Bangsa ini tidak akan bisa belajar dari sejarah, jika sejarah yang diwariskan gelap dan penuh misteri. Saatnya mematahkan warisan ingatan, dengan memulai riset komprehensif dalam bentang sejarah 1948-1965, yang dibarengi dengan keinginan kuat untuk rekonsiliasi nasional, rekonsiliasi untuk semua anak bangsa. 

Munawir Aziz peneliti, aktif di LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama & Jaringan GusDurian. Dapat disapa via@MunawirAziz
(mmu/mmu)
Sumber: NewsDetik 

Kamis, 21 September 2017

Kecam Aksi Penyerangan YLBHI, Jaringan Gusdurian juga Apresiasi Kinerja Kepolisian

Fahmy Fotaleno, Jurnalis | Kamis, 21 September 2017 - 07:28 WIB

Alissa Wahid (Foto: Antara)

JAKARTA - Jaringan Gusdurian Indonesia Mengecam keras ujaran kebencian dan hasutan tindakan kekerasan yang berlangsung masif, berisikan kabar bohong dan stigma kepada kelompok masyarakat target.
"Ini memicu prasangka buruk dan mengakibatkan aksi penyerbuan kepada YLBHI dan kelompok masyarakat yang sedang berada di sana.," ujar Alissa Wahid yang merupakan anak dari almarhum Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Dalam pernyataan sikapnya yang diterima Okezone, pihaknya juga mengapresiasi tindakan Pemerintah, khususnya Kapolda Metro Jaya , dalam menangani situasi Minggu 17 September 2017, yang walaupun terlambat bereaksi, pada akhirnya mengutamakan perlindungan kelompok masyarakat yang diserang oleh gelombang massa.
"Tindakan ini menjadi harapan perubahan cara pandang negara terhadap keseimbangan antara menjaga harmoni sosial dengan perlindungan hak konstitusional warga negara, tidak tunduk kepada tekanan massa," ungkapnya.
Olehnya itu, Alissa Wahid meminta pihak kepolisian untuk menemukan dan menindak tegas otak aksi massa, otak penyerangan, dan pelaku hasutan tindakan kekerasan, untuk memutus mata rantai lingkran kekerasan dan memberikan efek jera kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
"Meminta kepada Pemerintah, khususnya Kepolisian, untuk memperkuat perlindungan hak konstitusional warga negara dalam segala bentuknya," tegasnya.
Ia juga berharap agar para politisi untuk mengedepankan kepentingan bangsa dalam jangka panjang dan tidak menggunakan sentimen-sentimen primordial seperti sentimen agama atau golongan hanya untuk kepentingan politik praktis dan politik kekuasaan.(fin)
(amr)
Sumber: Okezone.Com 

Rabu, 20 September 2017

Gus Dur, Demokrasi, dan Paranoia Hantu PKI

Rabu, 20 September 2017
oleh : Muhammad Pandu

“TIDAK BOLEH LAGI ADA PEMBEDAAN KEPADA SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA BERDASARKAN AGAMA, BAHASA IBU, KEBUDAYAAN, SERTA IDEOLOGI.”
KH. ABDURRAHMAN WAHID


Selamat datang di bulan September, bulan di mana kita telah memasuki salah satu musim di antara empat musim besar di Indonesia: musim hujan, musim kemarau, musim ribut mengucapkan Selamat Hari Natal, dan musim ribut isu kebangkitan PKI.

Musim terakhir inilah yang kita rasakan sekarang. Saban tahun masyarakat (akar rumput) kita selalu mengalami “de javu paranoia” yang sama. Saya mengamati, setiap September datang, selalu saja ada kelompok yang kebakaran jenggot. Kemudian berbagai media menampilkan judul-judul yang naas untuk disimak: pelarangan diskusi, pembubaran seminar, pembubaran acara seni, dan segala jenis pembubaran tolol lainnya.

Tahun ini, pembubaran itu terulang kembali. Sabtu lalu (16/9/2017) terjadi pembubaran seminar “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta. 

Pembubaran tersebut dilakukan oleh polisi dengan dalih tidak adanya surat izin pelaksanaan acara. Padahal, mengutip laman resmi Polri, surat izin keramaian harus dibuat apabila ada kegiatan yang mendatangkan minimal 300 orang, sedangkan peserta seminar sendiri berjumlah kurang dari 50 orang.

Esoknya, Minggu malam (17/9/2017) LBH Jakarta, kantor bantuan hukum yang bernaung di bawah YLBHI, menjadi tuan rumah acara “AsikAsikAksi: Darurat Demokrasi”, sebagai respons atas pelarangan dan pembubaran acara seminar yang berlangsung sebelumnya. Tapi siapa mengira kegiatan seni yang berisi pembacaan puisi, pertunjukan musik, dan stand up comedy ini tidak berjalan dengan baik? Malam itu, sekelompok massa tiba-tiba datang dan mengepung Gedung YLBHI. Massa menuduh sedang berlangsung konsolidasi orang-orang PKI di dalam gedung.

Pengepungan berlangsung hingga dini hari. Tidak hanya mengepung, massa juga melempari gedung YLBHI dengan batu hingga sebagian kaca pecah. Bahkan tersebar kabar bahwa orang-orang di dalam gedung sedang menyusun rencana untuk membunuh para jenderal dan menyanyikan lagu Genjer-genjer.

Ini menggelikan sekali. Beberapa kawan dan kenalan saya yang berada di sana mengabarkan bahwa segala tuduhan yang ditujukan pada mereka sama sekali tidak benar. Tak ada konsolidasi PKI, tak ada rencana pembunuhan jenderal, pun tak ada nyanyian lagu Genjer-genjer di sana.

Yah, ada banyak kegilaan akhir-akhir ini. Dalam tulisan ini, saya hanya akan menyampaikan tiga hal saja yang menjadi kegelisahan besar saya terkait pembubaran seminar dan pengepungan Gedung YLBHI.

Pertama, soal malfungsi tugas (oknum) kepolisian dalam mengayomi masyarakat. Tidak hanya membubarkan seminar, mereka juga melakukan pengancaman, penggeledahan paksa, dan intimidasi terhadap peserta seminar (ingat, peserta seminar, bukan pelaku kriminal). Bahkan, blokade polisi membuat para lansia terjebak di luar dan tidak bisa masuk, meski hanya untuk sekadar menumpang kencing.

Kedua, pembubaran seminar dan acara seni kemarin adalah sebuah noktah besar yang menodai momentum Hari Demokrasi yang diperingati pada 15 September lalu. Bagaimana tidak, kebebasan berpendapat dibungkam, kebebasan berekspresi dikebiri, lantas apa yang masih tersisa dari rakyat untuk menyampaikan hak bersuaranya?

Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, masyarakat sipil selalu mendambakan sebuah kebebasan berpikir dan berpendapat dalam naungan negara demokrasi yang nyata. Tapi setelah reformasi terjadi, kejadian seperti ini masih saja berlangsung dan sering kali terulang. Sesungguhnya kita sedang melihat demokrasi kita berjalan mundur!

Ketiga, tentang sekumpulan massa dengan tindakan fasistik yang takut dengan bayang-bayang hantu komunisme. Sayangnya, sekumpulan massa ini adalah cerminan sebagian masyarakat kita yang masih belum bisa berdamai dengan keterbukaan sejarah. Mereka yang hanya mengonsumsi sejarah dari sumber “katanya”, “pokoknya”, dan “yang pasti”. Juga mereka yang sulit untuk menjadi kosmopolit dan lebih membuka diri dengan jalan dialog-dialektis.

Peristiwa ’65 adalah bahasan yang sangat sensitif bagi banyak kalangan sampai sekarang. Tapi bukan berarti kita sama sekali menutup peluang untuk mengungkap kebenaran sejarah dan saling memaafkan atas nama kemanusiaan. Saya sendiri tidak menyalahkan satupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Saya sepakat dengan apa yang pernah ditulis oleh Dr. Rumadi Ahmad, peneliti senior The Wahid Institute, dalam tulisan dialog imajinernya bersama Gus Dur. Bahwa beberapa pihak (akar rumput) yang terlibat, terutama NU (juga masyarakat Islam) dan PKI, dalam Peristiwa ’65 merupakan sama-sama korban keaadan. Tiada faktor tunggal dalam peristiwa tersebut.

Dalam sebuah wawancara, yang kelak dikumpulkan menjadi buku Pram Melawan! (2011), Pramoedya Ananta Toer pernah menyampaikan soal perjumpaannya dengan Gus Dur. Kala itu Gus Dur masih menjabat sebagai presiden. Pram mengaku dua kali bertemu dengan presiden keempat itu. 

Pertemuan pertama terjadi ketika Gus Dur mengundang Pram untuk datang ke Istana Negara. Sedangkan pertemuan kedua terjadi ketika Gus Dur mengunjungi Pram di rumahnya di Bojong Gede, Bogor.
“Waktu dia datang ke rumah saya sebagai presiden, saya bilang saya menolak permintaan maafnya sehubungan keterlibatan pemuda-pemuda NU dalam pembunuhan ’66,” kata Pram. “Saya nggak bisa terima dan dia bilang terima kasih. Sikap pribadinya saya hormati”.
Gus Dur adalah orang NU sekaligus presiden pertama yang meminta maaf kepada para korban ’65, termasuk kepada Pram. Permintaan maaf Gus Dur saya kira merupakan titik terang kita untuk mulai berdamai dengan luka lama. Ada yang mengatakan bahwa maaf diyakini sebagai salah satu penanda kebudayaan. Komunitas yang warganya mentradisikan kata maaf jika melakukan kesalahan maka ia dianggap memiliki tingkat keberbudayaan yang lebih tinggi dibanding yang tidak.

Perlu digarisbawahi di sini, bahwa memaafkan peristiwa sejarah tidak sama dengan mengamini segala pembantaian ataupun membangkitkan kembali PKI. Berhentilah berkhayal tentang hantu partai dan menyebarkan paranoia yang tidak perlu. Dalam hal ini, saya setuju dengan “cuitan” Goenawan Mohamad terkait soal PKI dan ideologinya.
“Menakut-nakuti rakyat dengan hantu PKI sama dengan menyatakan bahwa PKI begitu hebat hingga tak bisa mati. PKI tak akan bisa hidup lagi karena ideologinya sudah kacau balau. Di kalangan bekas PKI yang masih hidup juga berlangsung perpecahan ideologis yang sengit. Tanpa ideologi yang solid, partai hanya omong kosong.”
Jadi, saudara-saudaraku sekalian, mari kita memfokuskan diri pada persoalan bangsa yang lebih pelik ketimbang hantu PKI yang fana itu. Kita masih punya PR besar dalam bidang demokrasi. Perlu daya tahan yang kuat dan stamina tinggi untuk memperjuangkan cita-cita bersama tersebut. 
Di samping itu, bangsa kita juga masih berurusan dengan kemiskinan, perpecahan, ketidakadilan, budaya literasi rendah, pembangunan tidak merata, dan terlebih lagi: korupsi yang merajalela.

Sumber: GeoTimes