Tampilkan postingan dengan label Musik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Musik. Tampilkan semua postingan
Kamis, 03 Oktober 2019
Soroti Tragedi Indonesia di Tahun 1965, Delacroix Musik Luncurkan "Kisah di Kamis Malam"
Oleh: Debby Utomo - 03 October 2019
Provoke Online.com
Sejarah kelam jangan sampai dilupakan!
Delacroix Musik, band yang terbentuk di Yogyakarta pada tahun 217 ini meluncurkan single dan video lirik berjudul “Kisah di Kamis Malam” pada Senin (30/09) sebagai respons mereka terhadap sejarah kelam tragedi 1965.
Sang vokalis, Alexander Haryanto, mengatakan, alasan mereka mengangkat persoalan 65' ke dalam lagu karena merasa tersentuh dengan kisah hidup para korban dan survivor yang masih hidup hingga saat ini namun masih mendapat stigma buruk di masyarakat. Menurut mereka bahkan ada yang terhinakan dan dikucilkan, padahal bagia Alexander mereka tidak bersalah lantaran tidak pernah diputuskan lewat putusan pengadilan. "Selama ini isu 65' telah menjadi komoditas politik yang muncul setiap tahun politik, bahkan dihadirkan untuk menakut-nakuti masyarakat, namun gagal memahami isu besar bahwa ada banyak korban tak bersalah yang telah dinistakan oleh rekayasa sejarah," imbuh Alexander, dikutip dari press release.
Para korban ini, mendapat hukuman penjara bahkan harus kehilangan nyawa hanya karena tuduhan yang mereka sendiri tidak pernah melakukannya, seperti yang dialami oleh Soekardjo Wilardjito, salah satu sekuriti Istana Bogor era Presiden Sukarno, yang dihukum penjara selama 14 tahun tanpa proses pengadilan. Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, penulis novel Bumi Manusia juga pernah menjadi korban penjara belasan tahun karena menjadi pihak yang dituduh.
Sementara itu, sang keyboardis Adi Wijaya menambahkan, tragedi 65' juga terjadi pembantaian besar-besaran, yang menurut sejarawan, mencapai 500 ribu sampai satu juta jiwa bahkan bisa lebih dari itu. Padahal, kehilangan satu nyawa pun tak dapat dibenarkan. Meski sudah terjadi hingga lebih dari setengah abad, luka masa lalu ini tak pernah diselesaikan oleh negara, tetapi justru dijadikan komoditas politik menjelang bulan September.
Dalam lagu berjudul “Kisah di Kamis Malam” ini, Delacroix dibantu oleh Momo Biru, eks vokalis band rock Captain Jack, dibagian mixing dan mastering. Sementara pengerjaan video lirik dibantu oleh Pepen Opehelia bagian editing dan Victor J bertindak sebagai art director dari Anak Rimba Studio, lagu ini dirilis oleh label rekaman independen Hell Hammer Record asal Yogyakarta.
Band yang diperkuat oleh Alexander Haryanto (vokal, gitar), Adi Wijaya (piano, keyboard) dan Tito (drum) ini sebelumnya udah pernah merilis mini album bertajuk Nyanyian Sang Enggang yang dirilis di bawah naungan Hell Hammer Record.
Senin, 30 September 2019
Sudharnoto, Pencipta Lagu Garuda Pancasila Ternyata Anggota PKI
30 September 2019 09:41
Sudharnoto, pencipta lagu
“Garuda Pancasila” (foto: taksama.id)
Kamu pasti tahu lagu "Garuda
Pancasila", yang menjadi lagu wajib bagi anak-anak sekolah. Lagu ini
memiliki lirik yang sangat patriotis dan menyiratkan kesetiaan bangsa Indonesia
terhadap ideologi Pancasila.
Lagu “Garuda Pancasila” ternyata diciptakan oleh
Sudharnoto, yang merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Sudharnoto
merupakan pria kelahiran Kendal, 24 Oktober 1925 yang berprofesi sebagai
komponis dan ilustrator film Indonesia.
Sudharnoto tergabung dalam organisasi seniman Lekra
(Lembaga Kesenian Rakyat). Sejak bergabung dengan Lekra, Sudharnoto
diberhentikan dari RRI Jakarta pada 1965.
Setelah peristiwa G/30S/PKI, anggota LEKRA ditangkap, dan
ditahan, karena tercatat sebagai organisasi "underbow" atau menginduk
pada PKI.
Sudharnoto merupakan salah satu seniman yang menjadi
tahanan politik karena dianggap sebagai anggota PKI. Sudharnoto pun dicap
sebagai komunis dan ditahan di Rutan Salemba.
Reporter : Yasserina Rawie
Redaktur : Maulin Nastria
Rabu, 20 Maret 2019
Dialita, Suara Hati Perempuan Penyintas G30S
March 12, 2018 | imajinasijoker
Dialita: “Dunia Milik
Kita” (2016)
Boleh jadi ini sentimental: beberapa tahun setelah saya
berpisah dengan pacar pertama sewaktu masih SMA, setiap angkutan kota di
kampung halaman mendadak hadir sebagai pengingat. Saya mengenang detik-detik
yang biasanya dianggap remeh dan bagaimana hal itu kemudian bisa sedemikian
jelas dikonstruksi oleh ingatan. Lalu saya menyadari betapa lucu (atau tragis) cara
ingatan manusia bekerja. Ketika saya merasa sudah genap melupakan,
kenangan-kenangan masa lalu datang menyergap layaknya sekumpulan bajingan yang
merampok kesadaran — bahwa ada yang belum selesai, kecuali saya berani
menghadapinya sendiri.
Ingatan adalah barang mewah di sini. Setiap upaya mengingat adalah pemberontakan melawan sebuah rezim yang otoriter, sebab di dalam ingatan tersimpan serangkaian peristiwa muram yang mampu melahirkan kesadaran untuk berjuang. Sejarah dipelintir, realitas ditekuk, sementara ingatan kolektif ditentukan oleh buku pelajaran di sekolah. Selain apa-apa yang ada di buku pelajaran adalah kebohongan, dan siapa saja yang ngototberkata sebaliknya dan berusaha melakukan rekonsiliasi dianggap sebagai pendusta jahat yang layak disiksa dan dihilangkan.
Ingatan adalah barang mewah di sini. Setiap upaya mengingat adalah pemberontakan melawan sebuah rezim yang otoriter, sebab di dalam ingatan tersimpan serangkaian peristiwa muram yang mampu melahirkan kesadaran untuk berjuang. Sejarah dipelintir, realitas ditekuk, sementara ingatan kolektif ditentukan oleh buku pelajaran di sekolah. Selain apa-apa yang ada di buku pelajaran adalah kebohongan, dan siapa saja yang ngototberkata sebaliknya dan berusaha melakukan rekonsiliasi dianggap sebagai pendusta jahat yang layak disiksa dan dihilangkan.
Album Dunia Milik Kita adalah sebuah rekaman
musik yang berupaya untuk menyajikan suara-suara yang dibungkam pada masa lalu,
suara-suara yang dipaksa sunyi karena dosa kolektif dari sebuah asosiasi yang
dianggap dan dituduh terlibat dalam peristiwa 1965, dari kelompok yang dicap
sebagai komunis dan pengkhianat. Saat rezim pemerintahan Orde Baru yang
otoriter itu tumbang, suara-suara yang dulunya dipaksa sunyi, dipaksa hilang,
dan dipaksa bungkam, sekarang kembali hadir dengan cara yang tegas, segar, dan
kuat. Paduan suara Dialita (Di atas lima puluh tahun) merupakan bebunyian
kolektif dari masa lalu, bebunyian yang dipaksa sunyi oleh rezim Orde Baru
setelah peristiwa 1965. Dialita beranggotakan para ibu tangguh dan perkasa yang
pernah ditahan, dipenjara, diasingkan, dan dihukum melakukan kerja paksa tanpa
pernah tahu kesalahannya — cuma karena mereka dituding terlibat dalam peristiwa
1965.
Formasi album ini terdiri dari sepuluh lagu lawas yang
diaransemen ulang beberapa musisi lintas-generasi, yang juga hadir untuk mengiringi
paduan suara Dialita. Dengan segala kerendahan hati yang ada, saya memohon agar
siapa saja yang mendengarkan album ini untuk menganggap nama-nama musisi
lintas-generasi di sini (Sisir Tanah, Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, Lintang
Radittya, Kroncongan Agawe Santosa, Frau, dan Cholil Mahmud) sebagai sesuatu
yang tidak signifikan, menempatkan mereka sebagai sekadar figuran saja, agar
mampu menangkap kenikmatan, keindahan, dan kesadaran album ini secara maksimal.
Album ini juga berperan sebagai sebuah arsip sejarah karena menghadirkan
kembali suara dari seniman-seniman besar Indonesia yang disingkirkan dari
manuskrip sejarah cuma karena mereka tercatat sebagai anggota Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), para maestro musik yang ditangkap pada masa pemerintahan
Orde Baru dan beberapa di antaranya harus meringkuk dalam kamp kerja paksa di
Pulau Buru, Kepulauan Maluku, Indonesia.
Berkumpul untuk bernyanyi, bercerita, dan berbagi
pengalaman bertahan hidup adalah upaya yang terus-menerus dilakukan oleh
keluarga penyintas tragedi kelam 1965 untuk merawat harapan. Bernyanyi
memberikan keluarga penyintas sebuah kapasitas suara untuk bicara dan didengar
bahwa mereka masih hidup dan menolak lupa, apalagi dibungkam dan dipaksa
menyerah-kalah. Ibu-ibu tangguh dan perkasa dalam paduan suara Dialita adalah
monumen hidup yang berusaha menuliskan sejarah baru agar bisa diingat
selamanya. Melalui album ini, Dialita tidak sedang mengasihani diri sendiri.
Dialita tegak bersuara untuk menyanyikan lagu-lagu dari masa lalu dengan tegas,
sesuatu yang membikin mereka kuat menghadapi jahatnya stigma, kejamnya sel
penjara, dan bengisnya perlakuan diskriminasi. Suara-suara yang dihadirkan oleh
album ini merupakan titik tengah pertemuan antara semangat masa lalu dan
estetika seni masa kini: sebuah kumpulan musik yang segar dengan susunan teks
dan komposisi nada yang berasal dari momen-momen kelam di masa lampau.
Dua sosok yang sangat berjasa mengumpulkan arsip
dokumentasi dan mencatat lagu-lagu dari dalam penjara adalah Ibu Utati dan Ibu
Mudjiati (dua anggota Dialita yang pernah dipenjara di Bukit Duri, Tebet,
Jakarta Selatan), di mana keduanya mencoba menuliskan kembali lirik-lirik yang
tidak lagi utuh dalam ingatan, kemudian secara perlahan berhasil menggenapi
bagian-bagian yang terpenggal, lalu diberi notasi nada dan selanjutnya disalin
ke dalam lembar partitur secara sederhana, lantas partitur-partitur sederhana
yang jauh dari sempurna itu diperkenalkan dan dipelajari bersama kawan-kawan
mereka dalam paduan suara Dialita.
Dialita membuka Dunia Milik Kita dengan trek Ujian —
jawara dan favorit saya di album ini — yang ditulis oleh Ibu Siti Jus Djubariah
dan diaransemen ulang oleh Frau. Saya ingin menuliskan sesuatu yang indah untuk
mendeskripsikan lagu ini, namun jujur saja — setiap kali mendengarkan lagu ini,
jantung persegi saya terenyuh dan rasa-rasanya hampir mustahil menahan air mata
untuk tidak merembes keluar. Lagu ini lahir di dalam Penjara Bukit Duri, sebuah
tempat di mana ratusan perempuan dan lelaki, tua dan muda, yang berasal dari
berbagai macam serikat pekerja dan organisasi mahasiswa, ditahan karena
dituding telah melakukan kesalahan yang entah apa. Para perempuan dan lelaki
yang ada di tempat tersebut dipenjara tanpa pernah tahu apa kesalahan mereka
dan tanpa proses pengadilan.
“Dari balik jeruji besi, hatiku diuji,” baris lirik
awal Ujian mengabarkan semangat para tahanan politik yang
dipecundangi oleh rezim pemerintahan pada masa itu, mereka yang dipenjara
tetapi menolak untuk larut dalam kekalahan, “apa aku emas sejati atau imitasi?”.
Suara denting piano yang dimainkan Frau sebagai musik
pengiring berhasil meruapkan atmosfer sendu dari manusia-manusia yang
sedemikian tegar dan kuat menahan derita.
Saya selalu membayangkan bahwa Ujian ditulis
dengan keteguhan dan sisa-sisa harapan sebagai upaya untuk tetap tegar
menghadapi gelapnya kehidupan di balik jeruji besi penjara yang pengap. Hidup
di penjara tanpa pernah tahu kapan bisa bebas adalah salah satu bentuk lain
dari vonis kematian. Banyak sekali tahanan politik yang melewati masa remajanya
dengan ketidak-pastian di dalam penjara. Ibu Siti adalah seorang guru yang
ditangkap dan ditahan di Penjara Bukit Duri pada tahun 1965. Kemudian, pada
pertengahan 1971, Ibu Siti — bersama dengan puluhan tahanan lainnya — dikirim
ke Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah, dan sempat dipindahkan ke Penjara
Bulu, Semarang, Jawa Tengah, sebelum akhirnya “dibebaskan” pada tahun 1978.
Lagu ini menjadi salah satu penyemangat dan upaya untuk tetap waras bagi para
tahanan politik yang direnggut-paksa kebebasan dan hak-haknya oleh Orde Baru.
Nomor Salam Harapan — karya Ibu Zubaedah
Nungtjik AR dan Ibu Murtiningrum (keduanya adalah tokoh Gerwani [Gerakan Wanita
Indonesia]) yang diaransemen ulang oleh Cholil — berfungsi sebagai doa yang
tulus, semacam niat untuk membesarkan hati yang dipersembahkan kepada
kawan-kawan sesama tahanan politik yang sedang berulang-tahun di Penjara Bukit
Duri. (“Salam harapan padamu kawan: semoga kau tetap sehat sentosa. Bagai
gunung karang di tengah lautan, tetap tegar didera gelombang.”)
Musik hadir sebagai medium kebersamaan dan bentuk lain
dari kebahagiaan di tengah-tengah keterbatasan dan penindasan. Menurut beberapa
artikel yang saya baca, ada tradisi menarik yang selalu dilakukan di dalam
penjara tersebut: setiap ada yang berulang tahun, semua tahanan politik bakal
berdiri berjajar di depan sel penjara yang bersangkutan pada pagi-pagi buta
untuk bersama-sama menyanyikan sebuah lagu sebagai ucapan selamat dan
memberikan sekuntum bunga apa pun yang bisa dipetik dari halaman penjara
sebagai hadiah. Cholil membikin lagu ini tetap sederhana dan bersahaja, namun
tidak menghilangkan ketulusan dan keteguhan yang menjadi karakter para ibu
penyintas tragedi 1965.
Kemudian ada materi Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu ciptaan
Putu Oka Sukanta dan Michiel Karatem yang dibuka dengan desir angin dan suara
gitar, kemudian suara-suara lirih mulai terdengar untuk mengabarkan semangat
para petani yang tidak akan pernah mati. Aransemen ulang lagu ini yang digarap
oleh Sisir Tanah, Lintang, dan Frau berhasil menyulap saya untuk sepenuhnya
luruh, tenggelam dalam rasa syukur dan rindu sekaligus sukacita menggairahkan
yang mirip dengan perasaan senang-gembira saat berdiri memandang hamparan sawah
dan mendengarkan suara angin bergesekan dengan padi.
“Malam dijemput suara
kecapi,” baris teks puitik lagu ini layak dibaca dan dipahami dengan serius, “siang
dibernasi suara aksi; di sini juang dipadu membina dunia baru nan jaya”.
Latar
belakang yang diabadikan oleh Putu dan Michiel dalam lagu ini adalah situasi
yang harus dihadapi oleh para petani di kaki Gunung Tangkuban Perahu saat
melawan dan menolak Undang-Undang Pokok Agraria pada dekade ‘60an. Saat itu,
para petani pejuang Tangkuban Perahu melakukan aksi protes sambil tetap bekerja
merawat sawah mereka di bawah terik mentari sianghari, sementara pada
malamhari, mereka berdiskusi sembari menikmati alunan kecapi dalam momen
kebersamaan yang hangat.
Lintasan perjalanan Dunia Milik Kita kemudian
dilanjutkan oleh trek Padi Untuk India: sebuah lagu yang bisa menjadi
arsip sejarah karena mendeskripsikan kontribusi Indonesia untuk dunia global di
masa lalu, tepatnya pada tahun 1946 saat India mengalami krisis pangan yang
cukup parah di bawah penjajahan kolonial Inggris. Meskipun pada saat itu
Indonesia merupakan bangsa bau kencur yang baru saja memproklamasikan
kemerdekaannya, sebagai bentuk solidaritas kepada negara yang masih terjajah,
Indonesia berhasil mengirimkan bantuan berupa 700 ton beras ke India setelah
sempat diadang oleh Belanda dengan aksi pembakaran dan pengeboman gudang
penyimpanan beras di Kota Banyuwangi, Jawa Timur. Lagu yang ditulis oleh A.
Alie (tidak ada catatan sejarah yang merekam sosoknya di dunia seni Indonesia)
ini diaransemen ulang oleh Sisir Tanah dan berhasil memaksimalkan keriangan
melodi lagu ini tanpa harus terdengar rumit. Saya bisa mendengar ritme
perjuangan yang menyenangkan dan merasakan semangat solidaritas kemanusiaan di
dalamnya.
Lagu berikutnya yang berjudul Taman Bunga Plantungan (karya
Ibu Zubaedah) diaransemen ulang dengan begitu indah oleh Kroncongan Agawe
Santosa. Lagu yang tercipta di Kamp Plantungan pada tahun 1971 ini merupakan
tanda cinta dan persahabatan para tahanan politik, menceritakan sebuah taman
kecil yang dibangun dengan swadaya oleh para tahanan politik di Kamp Plantungan
pada masa itu. Kamp Plantungan merupakan bekas rumah sakit yang dibangun pada
masa penjajahan kolonial Belanda untuk para penderita penyakit lepra / kusta.
Kondisi kamp ini mirip lapangan jagal yang dipenuhi “benda-benda ajaib” di mana
tidak jarang ditemukan potongan-potongan jari tangan atau jari kaki para
penderita lepra / kusta yang sempat dirawat di sana.
Bebunyian kolektif yang disuarakan oleh Dialita melalui
rekaman album ini adalah representasi dari ratusan ribu tahanan politik
Indonesia yang dipenjara tanpa proses pengadilan apa pun. Hak sipil para
tahanan politik tersebut sengaja dicabut, identitas dan jati diri mereka
dilecehkan, serta hak asasi mereka diludahi. Para tahanan politik itu dicap
sebagai komunis, seolah-olah hal itu merupakan dosa asal (original sin) yang
tidak layak untuk diampuni. Di Indonesia, ada semacam upaya sistematis untuk
menjadikan segala sesuatu yang terkait dengan komunisme sebagai pesakitan
menjijikkan. Keseluruhan album ini pada dasarnya bukanlah sekadar usaha untuk
menolak lupa saja, melainkan juga sebuah upaya kolektif untuk menempatkan
kembali sebuah konteks dari satu waktu di masa lalu. Dialita tidak sedang
menuntut dengan amarah dan dendam kesumat, namun mereka bernyanyi dengan tegas
untuk merayakan ingatan dan kenangan, serta memberikan suara dan perspektif
dari satu-dua peristiwa sejarah yang pernah dipaksa bungkam oleh penguasa agar
generasi mendatang bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Nomor Kupandang Langit (ciptaan Koesalah
Soebagyo Toer, diaransemen ulang oleh Lintang dan Frau) memberikan pengalaman
musikal dan efek magis yang serupa dengan Ujian. Terinspirasi oleh pohon
beringin pencekik di halaman Rutan (Rumah Tahanan) Salemba, Jakarta, Koesalah
berusaha menjaga kewarasan sekaligus juga untuk menyemangati kawan-kawan sesama
tahanan politik di sana dengan menciptakan Kupandang Langit. Bagi
saya, Kupandang Langit memiliki efek magis yang dramatis — semacam
menyeruput secangkir kopihitam pahit hangat saat hujan menderas seharian di luar kandang dan menyadari
bahwa ada hal-hal yang tidak bisa saya lawan, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa
saya selamatkan. Meski begitu, ada semacam kesadaran bahwa saya toh masih punya
kekuatan untuk mengakhiri tragedi dengan tangisan tidak berkesudahan perihal
betapa buruknya hidup ini, atau dengan kebanggaan bahwa sampai pada titik akhir
yang paling getir sekalipun, saya tidak memundurkan kaki setapak pun darinya.
Dan kebanggaan semacam itu, tentunya, tidak muncul dari fatalisme yang pasrah
menerima nasib apa adanya, melainkan lahir dari keberanian untuk mengafirmasi
kehidupan seutuhnya: amor fati — yang tragis dan yang manis.
Formasi album Dunia Milik Kita selanjutnya
dihuni oleh dua lagu yang punya konteks politik penting sebagai perwujudan dari
sikap perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di masa lalu: (1)
materi Viva Ganefo yang ditulis oleh Asmono Martodipoero dalam bahasa
Spanyol untuk merespons penyelenggaraan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang
[GANEFO: Games of the New Emerging Forces] pada dekade ‘60an dan
diaransemen ulang oleh Sisir Tanah; dan (2) trek Asia Afrika Bersatu yang
diciptakan oleh Sudharnoto untuk menyambut penyelenggaraan Konferensi
Asia–Afrika pada 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat,
dan lagu ini diaransemen ulang oleh Prihatmoko, Nadya, dan Lintang.
Dua lagu yang menggenapi perjalanan album ini
adalah Lagu Untuk Anakku (aransemen ulang oleh Cholil) dan Dunia
Milik Kita (aransemen ulang oleh Lintang dan Cholil). Nomor Lagu
Untuk Anakku disusun bersama oleh Ibu Heryani Busono Wiwoho (lirik) dan
Mayor Djuwito (notasi musik) saat dipenjara oleh tentara di Lapas (Lembaga
Pemasyarakatan) Kelas II Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah, untuk menyuarakan
kegelisahan tentang nasib anak-anak Indonesia yang mendadak harus kehilangan
orangtua karena dipenjara, diasingkan, atau dibunuh oleh rezim pemerintahan
otoriter pada saat itu. Sementara materi Dunia Milik Kita karangan
Sudharnoto, yang mulai ditulis pada saat reformasi politik Indonesia sedang
terjadi dan selesai bertepatan dengan perayaan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia
pada 10 Desember 1998, menyampaikan gagasan besar tentang satu bangsa yang
terdiri dari berbagai macam identitas yang berbeda-beda.
Album ini berhasil membikin suasana hati saya
campur-aduk: berkali-kali saya dibikin sedih, hancur, dan menangis, untuk
kemudian dikuatkan dengan harapan dan semangat yang menggembirakan sewaktu
memutarnya kencang-kencang di dalam kandang. Ibu-ibu tangguh dan perkasa yang
tergabung dalam paduan suara Dialita adalah pohon rindang yang mampu memberikan
ketenangan dan keteduhan magis layaknya kasih sayang dari nenek dan ibu saya
sendiri. Suara vokal Dialita mungkin saja bergetar dan tidak merdu, namun ada
sesuatu yang membikin jantung saya luruh dan terenyuh ketika mendengarkannya —
serupa perasaan sentimental saat melihat hujan untuk pertama kalinya setelah
musim kemarau berkepanjangan.
Pada akhirnya, Dialita dan Dunia Milik Kita-nya
merupakan ketulusan estetis yang mahategar dan memesona, bebunyian kolektif
dari orang-orang yang menolak menyerah-kalah ketika dipaksa tunduk oleh
otoritas bangsat. Suara yang ada di dalamnya mewartakan luka dengan tegas,
sekaligus juga memberikan harapan serta rasa nyaman dan aman. Ini adalah resep
mujarab dengan takaran yang pas — seperti pelukan ibu yang menghangatkan, atau
semacam aroma tubuh sang kekasih sehabis bercinta tetapi belum sempat mandi —
yang memberikan hasrat dan harapan sebagai fondasi untuk melakukan aksi
perjuangan melawan kondisi brengsek hari ini yang semakin tidak baik-baik saja.
— Daftar lagu Dunia Milik Kita —
1) Ujian [Frau]
2) Salam Harapan [Cholil Mahmud]
3) Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu [Sisir Tanah, Lintang Radittya, dan Frau]
4) Padi Untuk India [Sisir Tanah]
5) Taman Bunga Plantungan [Kroncongan Agawe Santosa]
6) Viva Ganefo [Sisir Tanah]
7) Lagu Untuk Anakku [Cholil]
8) Kupandang Langit [Lintang dan Frau]
9) Dunia Milik Kita [Lintang dan Cholil]
10) Asia Afrika Bersatu [Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, dan Lintang]
1) Ujian [Frau]
2) Salam Harapan [Cholil Mahmud]
3) Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu [Sisir Tanah, Lintang Radittya, dan Frau]
4) Padi Untuk India [Sisir Tanah]
5) Taman Bunga Plantungan [Kroncongan Agawe Santosa]
6) Viva Ganefo [Sisir Tanah]
7) Lagu Untuk Anakku [Cholil]
8) Kupandang Langit [Lintang dan Frau]
9) Dunia Milik Kita [Lintang dan Cholil]
10) Asia Afrika Bersatu [Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, dan Lintang]
Salam harapan dan peluk hangat, atas-nama cinta dan
anarki, untuk paduan suara Dialita dan seluruh ibu-ibu tangguh nan perkasa di
luar sana. {ѧ}
Sumber: MemoriSenja
Rabu, 02 Januari 2019
'Bangkit dari Keheningan' membawa suara 1965 korban selamat kepada generasi muda
NI NYOMAN WIRA - THE JAKARTA POST
Jakarta /
Rabu, 2 Januari 2019 / 06:36 sore
Dialita, paduan suara yang terdiri dari para penyintas tragedi 1965,
berlatih di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Desember tahun
lalu. (JP / Ben Latuihamallo)
Lagu berjudul "Taman Bunga Plantungan" (Taman
Plantungan) bercerita tentang sebuah taman yang indah di Plantungan di Jawa
Tengah, yang merupakan kamp yang diperuntukkan bagi tahanan politik wanita.
Ditulis oleh Zubaidah Nungtjik AR, "Taman Bunga
Plantungan" secara rutin dilakukan oleh paduan suara Dialita yang
anggotanya merupakan korban dari tragedi 1965 dan kerabat mereka. Lagu ini
juga ditetapkan sebagai nomor pembuka untuk Rising from Silence ,
sebuah film dokumenter 28 menit tentang perjalanan grup vokal sebelum merilis
album pertama mereka, Dunia
Milik Kita (Our Own World, 2016).
Disutradarai oleh Shalahuddin Siregar, Rising from
Silence menunjukkan potongan-potongan kehidupan anggota Dialita, termasuk
sesi latihan mereka sebelum acara peluncuran. Yang paling penting, ini
juga menunjukkan sekilas masa lalu kelam Indonesia yang masih belum
terselesaikan. Diproduksi oleh In-Docs dan ditayangkan perdana di NHK World
pada tahun 2016, film dokumenter ini akan memperkenalkan tragedi tersebut
kepada generasi muda melalui suara para penyintas.
Didirikan pada tahun 2011, anggota Dialita menggunakan
bernyanyi sebagai cara untuk menyembuhkan trauma mereka. Lagu-lagu yang
mereka tampilkan sebagian besar ditulis oleh para anggotanya selama di penjara,
dengan tema-tema mulai dari tindakan sederhana mengagumi alam dan dorongan yang
memilukan untuk diri sendiri dan teman-teman hingga program pemerintah pada
saat itu. “Viva Ganefo”, misalnya, terkait dengan acara olahraga Games New
Emerging Forces (Ganefo) yang diadakan selama era Sukarno pada 1960-an.
Foto dari 'Rising from Silence', yang ditayangkan perdana di NHK World
pada tahun 2016. (twitter.com/indocsnews/File)
Rising from Silence memenangkan penghargaan Best Short
Documentary di 2018 Indonesian Film Festival (FFI) , yang diadakan di
Jakarta pada bulan Desember.
"Ini merupakan peningkatan [bagi kami] bahwa film-film tentang tragedi 1965 dapat dimasukkan dalam bagian yang kami menangkan," kata Irawati Atmosukarto, manajer Dialita, selama acara pemutaran Rising from Silence Kamis lalu di Empu Sendok Arts Station (ESAS) ) di Jakarta Selatan.
"Untuk itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada FFI dan juri."
Paduan suara Dialita juga ditampilkan dalam film Shalahuddin
lainnya, Song for my Children . Dengan judul yang diambil dari
salah satu lagunya, film dokumenter lengkap ditampilkan di Good Pitch 2 (Good
Pitch Squared) Asia Tenggara 2017, sebuah platform yang menyatukan pembuat film
dokumenter dan pembuat perubahan untuk menyoroti masalah sosial dan lingkungan
yang mendesak.
Paduan suara juga berencana untuk merilis album kedua pada
31 Januari. Mengambil rute yang sama dengan album pertama, ia akan kembali
berkolaborasi dengan musisi muda Indonesia. (wng)
Sabtu, 29 September 2018
Geger “Gendjer-gendjer”
23.00
BTI, Genjer-genjer, Genosida 65, Kisah, Kliping #65, Musik, Persekusi, PKI, Stigma PKI
No comments
2018/09/29
Lirik lagu
"Gendjer-gendjer" asli tulisan tangan penciptanya, Mohamad Arif.
Lagu berjudul “Gendjer–gendjer”
menjadi salah satu lagu populer saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia
(PKI) terutama tahun 1965. Ternyata lagu ini ciptaan orang Banyuwangi.
Penciptanya bernama Sjamsul Arifin.
Lagu ini diciptakan tahun 1942 saat zaman pendudukan
penjajah Jepang. Sjamsul adalah tentara yang bertugas di Pemerintah Militer
O.D.M. Buduran, Sidoarjo dengan pangkat sersan. Ia menjabat sebagai Kepala
Pera/Masjarakat.
Selama aktif di militer, namanya adalah Sjamsul Arifin.
Setelah keluar dari militer dan aktif di PKI, berganti nama menjadi Mohamad
Arif dan biasa dipanggil Arif. Istri Arif, Suyekti, mengatakan lagu
“Gendjer-gendjer” ciptaan suaminya itu terinspirasi dengan kondisi masyarakat
yang miskin dan dirundung kelaparan saat dijajah Jepang tahun 1942.
Karena terbatasnya persediaan pangan, rakyat kecil waktu
itu memanfaatkan tanaman genjer sebagai lauk pauk. Genjer merupakan
salah satu jenis sayuran yang tumbuh liar di persawahan. Sebelumnya, genjer
hanya dijadikan makanan itik namun karena dalam kondisi darurat, genjer dimakan
sebagai lauk pauk.
Melihat realitas ini, Arif terinspirasi menciptakan lagu
untuk memberi semangat agar rakyat tidak putus asa dan bekerja giat.
“Dia mengingat-ingat waktu itu dia dan teman-temannya miskin,” tutur Suyekti semasa hidupnya, Oktober 2006. “Untuk memperingati rakyatku yang mlarat (miskin) agar semangat. Ayo sama-sama bekerja,” ujarnya menirukan perkataan suaminya.
Suyekti lahir di Malang tahun 1927. Lalu ikut pamannya di
Banyuwangi dan bertemu Arif. Januari 2007 Suyekti meninggal dunia.
Suyekti
Lirik lagu “Gendjer-gendjer” sebenarnya menceritakan
bagaimana rakyat yang memungut genjer di sawah untuk dimakan sebagai sayuran.
“Waktu itu zaman Jepang dimana rakyat kelaparan. Bapak, ibu dan teman-teman bapak mengalami sendiri bagaimana menderitanya,” kata putra tunggal Arif, Sinar Samsi.
Menurut pria kelahiran 25 Juni 1953 itu, kondisi
mengenaskan juga dialami keluarganya. Lagu ini akhirnya populer di kalangan
massa PKI. Saking populernya lagu ini, Arif menjadi tokoh penting PKI dan
selama tahun 1965 pernah diundang Presiden pertama RI Soekarno sebanyak tiga
kali. Bahkan pernah diundang ke RRC untuk pentas seni.
Lirik lagu “Gendjer-gendjer” asli tulisan tangan penciptanya, Mohamad Arif.
Inilah lirik lagu “Gendjer-gendjer” berbahasa Banyuwangi
(Osing) karya Arif yang dikutip dari buku kumpulan lagu Arif dan kami
terjemahkan dalam bahasa Indonesia:
Gendjer-gendjer
nong kedokan pating keleler (Genjer-genjer bertebaran di pematang sawah)
Emak’e thole
teko-teko muputi gendjer (Para ibu berdatangan mengambil genjer)
Oleh sak tenong
mungkur sedot sing toleh-toleh (Memperoleh satu bak, lalu langsung balik
badan tanpa lihat-lihat di sekeliling)
Gendjer-gendjer
saiki wis digowo mulih (Sekarang genjer-genjer sudah dibawa
pulang)
Gendjer-gendjer
esuk-esuk didol ring pasar (Genjer-genjer pagi-pagi dijual di pasar)
Didjejer-djedjer
diuntingi podo didasar (Ditata berbaris, diikat dan dijajakan)
Emak’e djebeng podo
tuku nggowo welasah (Ibu-ibu berbondong-bondong membeli dengan membawa
bak)
Gendjer-gendjer
saiki arep diolah (Genjer-genjer sekarang akan dimasak)
Gendjer-gendjer
mlebu pendil wedang gemulak (Genjer-genjer dimasukkan tungku yang berisi
air mendidih)
Setengah mateng
dientasi wong dienggo iwak (Dimasak setengah matang dan ditiris, dijadikan
lauk pauk)
Sego rong piring
sambel djerok nong pelontjo (Dimakan dengan nasi dua piring dan sambal
jeruk di atas meja)
Gendjer-gendjer
dipangan musuhe sego (Genjer-genjer sekarang siap dimakan dengan nasi)
Menurut Samsi, lirik lagu ini kemudian ada yang
mengubahnya. Namun ia tidak hafal dengan gubahan lagu tersebut. Samsi hanya
hafal gubahan kalimat pertama dalam bait pertama. Kalimat “Gendjer-gendjer ono
nang kedokan pating keleler” diubah menjadi “Gendjer-gendjer, dewan jendral
pating keleler” yang artinya “Gendjer-gendjer, dewan jendral mati
bergelimpangan“.
Gubahan lirik lagu itu pun jadi kontroversi karena
dianggap menghina para jendral yang dibunuh dalam pemberontakan PKI tahun 1965.
Samsi menunjukkan buku
tulisan tangan berisi lagu, sajak, dan puisi ciptaan Arif.
Meskipun aktif di militer, Arif berjiwa seni yang tinggi.
Samsi menunjukkan buku koleksi sajak, puisi, dan lagu karya ayahnya yang
mencapai 60 lebih dalam bahasa Osing dan Indonesia ejaan lama. Rumah Arif dulu
terletak di Temenggungan, Banyuwangi. Setelah penumpasan G30S/PKI, keluarga
Arif pindah ke Singotrunan, Banyuwangi.
Setelah bertugas di Sidoarjo, sekitar awal 1950 Arif
ditarik ke Markas Militer di Banyuwangi yang sekarang menjadi markas Kodim 0825
Banyuwangi. Namun tiba-tiba ia mengundurkan diri 30 Maret 1950 berdasarkan
Surat Tanda Pemberhentian No.303/Adm./Duc./Bdr./50 yang saat ini masih disimpan
Samsi.
Arif lebih memilih ke jalur politik dan masuk PKI. Arif
sempat menjadi Anggota DPRD Banyuwangi tahun 1963-1965. Menurut teman dekat
Arif yang juga seniman lagu, Basir Noerdian, selama duduk di DPRD tersebut Arif
tidak memperoleh gaji.
“Selama tiga tahun di DPRD itu nggak menerima gaji, berbeda dengan DPR sekarang yang gajinya jutaan,” tutur Basir. Hal ini dibenarkan istri Arif, Suyekti. “Di DPRD nggak ada yang bayar,” kata Suyekti.
Selain aktif di PKI, Arif juga aktif dalam bidang
kesenian. Arif dipercaya menjadi Kordinator Seni Rakyat Indonesia Muda (Sri
Muda). Berbeda dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), Sri Muda tidak memiliki
garis kordinasi langsung dengan PKI. Tapi Sri Muda mendukung aktivitas PKI.
Saat terjadi penumpasan G30S/PKI, Arif ditangkap dan
dijebloskan di Markas CPM yang terletak di Sukowidi, Banyuwangi. Hingga
akhirnya Arif dibawa ke sebuah markas militer di Malang. Setelah itu nasibnya
tidak diketahui lagi. (*)
Jumat, 30 Maret 2018
Dokumenter 'Sekeping Kenangan': Menyanyikan Tembang Sejarah Penyintas 1965
Anton Muhajir, Denpasar - 2018-03-30
Suasana nonton film
dokumenter ‘Sekeping Kenangan’ di Denpasar, Bali, 29 Maret 2018. [Anton
Muhajir/BeritaBenar]
Sekitar 500 warga memenuhi lapangan Taman Baca Kesiman di
Denpasar Timur, Bali, Kamis malam, 29 Maret 2018. Lesehan di rumput, sebagian
besar pemuda itu menyimak film dokumenter tentang penyintas tragedi 1965,
‘Sekeping Kenangan’.
Selama sekitar 50 menit film dokumenter karya sutradara muda,
Hadhi Kusuma tersebut mengisahkan perekaman lagu-lagu penyintas tragedi politik
1965. Tak hanya pembuatan album berisi lagu-lagu penyintas yang
berjudul Prison Songs, film juga menceritakan sisi lain sejarah
kekerasan kala itu.
Usai pemutaran film, tiga nara sumber film berdiskusi
dengan penonton. Jenawi, Badra, dan Natar adalah mantan narapidana politik
(Napol) yang pernah mendekam di Penjara Pekambingan, Denpasar.
Mereka dipenjara, tanpa pernah diadili, atas
tuduhan sebagai anggota Partai Komunitas Indonesia (PKI). Secara bergantian,
ketiganya menuturkan kisah yang pernah dialami kepada penonton, sebagian besar
kelahiran 1980an dan 1990-an.
Malam itu juga ada enam musisi yang menyanyi
album Prison Songs, kompilasi lagu-lagu karya para penyintas 1965.
Ingatan berkurang
‘Sekeping Kenangan’ adalah dokumenter produksi Komunitas
Taman 65, tempat anak-anak muda Denpasar, yang memberi perhatian pada
rekonsiliasi dan sejarah kekerasan 1965.
Sebelumnya, mereka telah membuat album lagu dan buku
‘Prison Songs, Nyanyian yang Dibungkam’.
Film, album lagu dan buku menjadi bagian keseluruhan
proses merekam ulang lagu-lagu para tahanan politik 1965.
Proses ini bermula pada 2012 ketika para pemuda berumur
antara 20-an – 30-an tahun awalnya sering berkumpul di Taman 65 dan berdiskusi
berbagai hal, termasuk tentang tragedi 1965.
Setelah melihat tayangan dokumenter proses berkarya ‘Kill
the DJ’, seorang musisi rap berbahasa Jawa dari Yogyakarta, muncul ide membuat
rekaman lagu-lagu penyintas 1965.
“Kenapa kami tidak membuat rekaman seperti itu juga,” kenang I Made Surya Candra, musisi blues salah satu penggagas kompilasi, yang diiyakan rekan-rekannya.
Mereka mengidentifikasi nama-nama penyintas yang masih
hidup dan pernah dipenjara.
Pendamping penyintas 1965 yang juga anggota Taman 65,
lalu mempertemukan mereka dengan mantan tapol yang masih hidup. Proses
berlanjut dengan pengumpulan lagu.
Menurut mereka, upaya itu tidak mudah. Selain ingatan
yang sudah berkurang karena trauma dan berusia lanjut, para penyintas tidak
mudah percaya begitu saja pada orang baru.
“Tidak semua penyintas punya memori yang sama tentang sebuah lagu atau peristiwa sehingga kami harus satu per satu mengumpulkannya,” kata Gde Putra, relawan Komunitas Taman 65.
Mencocokkan nada
Umur penyintas yang rata-rata di atas 70 tahun, membuat
tim pengumpul lagu bekerja lebih keras.
Ketika mewawancarai Bu Pasek, seorang penyintas,
misalnya, mereka harus tanya keras-keras di telinganya dan berulang-ulang
karena pendengaran yang sudah terganggu.
Selain keterbatasan indera nara sumber, tantangan lain
adalah ingatan yang tak terlalu kuat lagi.
Ketika disuruh menyanyi dengan memainkan alat musik,
misalnya gitar, tangan mereka bahkan gemetar karena sudah lama tidak bermain
musik.
“Untuk satu judul lagu, nadanya bisa berbeda meskipun lirik lagunya sama. Karena itu kami harus mencocokkan nadanya,” ujar Made Candra, yang lebih akrab dipanggil Made Mawut.
Berbekal lirik dalam tulisan tangan disertai partitur,
Made Mawut mengaransemen ulang lagu-lagu tersebut.
Dia menyanyikannya bersama penyintas baik secara terpisah
maupun bersama sampai kemudian mendapatkan nada yang tepat.
Dari keseluruhan proses pengumpulan lagu-lagu itu, mereka
mendapatkan enam lagu kenangan para penyintas yaitu Sekeping Kenangan, Di
Kala Sepi Mendamba, Si Buyung, Tini dan Yanti, Latini, dan Dekon.
Lagu-lagu itu bercerita tentang pengalaman penyintas
selama dipenjara.
Misalnya, lagu Si Buyung yang bercerita tentang
kelahiran anak kelima saat ayahnya dipenjara.
Kau hadir duhai Buyung dalam derita/Tangismu, ayah tiada
mendengarnya/Hanya diiring derai air mata suci bunda/Kau songsong hidup ini
penuh luka.
Demikian sebagian lirik lagu karya R. Amirudin Tjitraprawira,
salah satu Tapol saat itu.
Lagu Dekon, misalnya, merupakan singkatan dari pidato
Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963, Deklarasi Ekonomi. Lirik lagu dalam
bahasa Bali yang dibuat Ketut Putu ini sarat kritik terhadap koruptor.
Arti sebagian lirik lagu adalah: bersatu agar teguh,
rakyat buruh tani/musuh kita masih merajalela, tikus-tikus ekonomi/ jangan
percaya penghasut berbaju gagah/mari sekarang laki-perempuan, kecil-besar,
tua-muda bersatu agar teguh/mengikuti nasakom menjadi inti.
Made Mawut lalu mengajak musisi muda, seperti Jerinx dan
Dadang, untuk menyanyi ulang lagu-lagu tersebut. Dia menyesuaikan karakter
lirik dan nada dengan penyanyi yang diajak.
Salah satu adegan film
dokumenter ‘Sekeping Kenangan’ yang diputar di Denpasar, Bali, 29 Maret 2018.
(Anton Muhajir/BeritaBenar)
Jembatan sejarah
Bagi pegiat Komunitas Taman 65, upaya menghidupkan
lagu-lagu penyintas tak semata tentang lagu, tapi juga mengenalkan sejarah
kekerasan tragedi 1965, yang diperkirakan menewaskan ratusan ribu orang di
Bali, kepada anak-anak muda Pulau Dewata.
“Dengan mengajak musisi sebagai simbol budaya pop, kami ingin mengenalkan sejarah lain kepada kaum muda,” kata Putra.
Menurutnya, sejarah yang diceritakan dalam Prison
Songs dan ‘Sekeping Kenangan’, adalah hal-hal personal dan manusiawi,
seperti kerinduan pada kekasih, suasana dalam penjara, sampai doa untuk anak.
“Upaya semacam ini penting untuk meluruskan sejarah,” pungkasnya.
Kamis, 06 Oktober 2016
Dialita - Menyanyikan Lagu-Lagu Bisu
05 Oktober 2016 | Fahrezal Sillia at 00.13
“Sebagian lagu di album ini diciptakan sebelum ’65. Pasca ’65, lagu-lagu ini tak lagi terdengar. Kami menyebutnya lagu-lagu bisu. Lagu-lagu yang dibungkam.” – Dialita, 1 oktober 2016
Pasca tragedi ’65, ibu Siti Jus Djubariah ditangkap dan
ditahan di penjara perempuan Bukit Duri (1965-1971), lalu pada 1971 dikirim ke
kamp Plantungan bersama puluhan tahanan lainnya dan sempat dipindahkan ke
penjara di Bulu, Semarang, sebelum akhirnya bebas bersyarat pada 1978. Ibu Siti
Jus Djubariah yang seorang guru, ditahan dengan ratusan perempuan beragam
profesi lainnya tanpa pernah tahu apa kesalahannya. Mereka ditahan sebagai
tahanan politik tanpa proses pengadilan.
Ibu Jus menulis lagu “Ujian” di penjara Bukit Duri.
Bermula dari kegiatan bermain kasti bersama yang dilakukan seminggu sekali
–yang bahkan saat hujan pun tetap mereka lakukan- untuk menghibur dan
menumbuhkan semangat para tahanan. Pada suatu waktu, ibu Jus mengumpulkan
kawan-kawan untuk belajar bernyanyi bersama lagu “Ujian”, bati per bait, lagu
yang menjadi penyemangat bagi para tahanan.
“Dari balik jeruji besi hatiku diuji… apa aku emas sejati atau imitasi… ”
1 Oktober 2016, 51 tahun setelah tragedi ’65, lagu itu
dinyanyikan kembali dengan lirih oleh ibu Sri Nasti Rukmawati dan ibu-ibu
Paduan Suara Dialita di depan lebih dari 200 penonton di Taman Beringin
Soekarno, Universitas Sanata Dharma.
Ada sedikit kekhawatiran pertunjukan ini akan terganggu
oleh kehadiran ormas-ormas intoleran. Setahun terakhir “kenyamanan” Jogja
sebagai kota Seni dan Budaya –juga kota yang toleran— sedikit goyah akan
perilaku ormas-ormas ini. Pada 2016, setidaknya 2 pameran seni (Lady Fast di
Survive Garage dan Idola Remaja Nyeni di Galeri Independent Art Space) serta
acara diskusi dan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Sekretariat AJI
Yogyakarta dibubarkan.
Belum terhitung aksi-aksi damai di ruang publik yang
berakhir panas karena dihadang ormas.
Pemilihan Taman Beringin Soekarno sebagai venue
pertunjukan punya alasan yang kuat: berada di lingkungan kampus yang bebas dari
intimidasi ormas, pihak dosen maupun rektorat Universitas Sanata Dharma
mendukung rekonsiliasi tragedi 65 serta keberadaan pohon beringin yang ditanam
sendiri oleh Alm. Soekarno pada 1960.
Hadir sebagai pengiring Dialita: Leilani Hermiasih
(Frau), Nadya Octaria Hatta, Bagus Dwi Danto (Sisir Tanah), Prihatmoko Moki,
Lintang Raditya dan Kroncongan Agawe Santosa. Panggung malam ini tentu saja
milik ibu-ibu Paduan Suara Dialita: Utati Koesalah, Mudjiati, Elly Soetarjo,
Sri Nasti Rukmawati, Tuti Martoyo, Hartinah, Murti, Uchikowati, Kurnia, Titi
Ananta Toer, Yetti Hari Sapi’I, Irina Dayasih, Fidellia D., Hersiswanty, Mega
TRG., Nancy Sunarno, Yohana, Resi Prasasti dan Ira Atmosukarto.
Pada awalnya biduanita Dialita adalah bagian dari
“Keluarga Dalam Sejarah 65” (KDS 65), para keluarga penyintas tragedi peristiwa
1965, yang terdiri dari anak-anak yang ketika tragedi 1965 terjadi harus
berpisah dengan orang tua dan keluarga. Bernyanyi, berkumpul, bercerita dan
berbagi pengalaman dalam bertahan hidup adalah cara mereka, para keluarga
penyintas untuk merawat harapan. Dari saling menguatkan, mereka memutuskan
untuk membentuk sebuah paduan suara yang diberi nama Dialita, singkatan dari Di
Atas Lima Puluh Tahun, usia kebanyakan anggotanya. Dalam perjalanannya, banyak
kaum muda yang bergabung di kelompok paduan suara ini karena bersimpati pada
perjuangan dan semangat Dialita dalam merajut hidup.
Dialita dibentuk secara kolektif pada 2011 diantaranya
oleh ibu Uchikowati, ibu Mudjiati, ibu Astuti dan ibu Tunik. Dua anggota Paduan
Suara Dialita adalah eks tahanan politik tragedi ’65 yakni ibu Utati Koesalah
dan ibu Mudjiati.
Terbentuknya Dialita juga tak lepas dari upaya
penyelamatan lagu-lagu yang lahir di kamp konsentrasi. Sejak 2005, ibu Utati
Koesalah menulusuri kembali lagu-lagu ciptaan tahanan politik. Tujuannya untuk
kembali merawat harapan, sekaligus sejarah tentang apa yang pernah terjadi di
negara ini, agar tak terlupakan begitu saja. Perjalanan mengumpulkan lagu-lagu
ini tak mudah. Karena di penjara, para tapol tak diperkenankan untuk menulis
apapun. Sesederhananya bahagia, barangkali bahagianya ibu Utati Koesalah kala menemukan
potongan kecil pensil dan kertas di yang bisa dipakainya untuk menulis lirik di
dalam penjara.
***
Konser peluncuran album Dunia Milik Kita dibuka oleh Frau
yang memainkan “Tarian Sari”, lalu bersama Nadya Octaria Hatta memainkan
“Salahku, Sahabatku.” Frau kemudian mengundang ibu-ibu Dialita untuk tampil.
Mengenakan seragam kebaya biru-hijau dengan bawahan kain batik ibu-ibu
Dialita menempati panggung yang lebih tinggi dari dirigen dan musisi pengiring
–yang setara dengan penonton. Panggung malam itu tepat berada dibawah beringin
yang ditanam Alm. Soekarno.
Pada lagu pertama, Dialita menyanyikan “Salam Harapan”,
lagu yang diciptakan ibu Zubaedah Nungtjik AR. & Murtiningrum di penjara
Bukit Duri. Kala itu, lagu “Salam Harapan” dan “Tetap Senyum Menjelang Fajar”
biasa dinyanyikan oleh ibu-ibu di depan sel kawan yang sedang berulang tahun
dengan membawa sekuntum bunga yang dipetik di halaman penjara, sebagai ucapan
selamat.
Dialita kemudian melanjutkan dengan “Di Kaki-Kaki
Tangkuban Perahu”. Pada lagu “Ujian” suasana menjadi hening saaat ibu Sri Nasti
Rukmawati menyanyikan bagian pertama lagu itu dengan lirih bergetar, “dari
balik jeruji besi hatiku diuji, apa aku emas sejati atau imitasi.. tiap kita
menempa diri jadi kader teladan, yang tahan air tahan hujan, tahan musim dan
badai.” Dingin. Namun nuansanya berubah penuh harapan saat dinyanyikan bersama,
“…namun yakin dan pasti masa depan kan datang, kita pasti kembali.”
Pada “Lagu untuk Anakku”, Dialita hanya diiringi
dentingan gitar dan pianika. Ada kesepian saat Frau memainkan solo pianika.
Lagu ini diciptakan oleh Heryani Busani Wiwoho dan Mayor Djuwito yang gelisah
melihat ratusan ribu anak Indonesia yang tiba-tiba harus kehilangan orang
tuanya karena dibunuh, dibuang atau dipenjara. Ibu Heryani lantas menuliskan
lirik yang menggugah dan penuh rasa cinta kasih, “…Cita dan cinta lahirkan
segala nan indah, di hari mendatang sayangku, jadilah putra harapan bangsaku.”
Di jeda antar lagu ibu Uchi beberapa kali menyapa
penonton, menyatakan betapa bahagianya ibu-ibu Dialita bisa tampil di Taman
Beringin Soekarno dan melangsungkan pertunjukan dengan kerja sama lintas
generasi.
Konser ini dibagi dalam 3 sesi. Di jeda antar sesi,
musisi pengiring Dialita bergantian mengisi panggung. Kroncongan Agawe Santosa
mendapatkan kesempatan lebih dulu, saat ibu-ibu Dialita istirahat. Sambil
menikmati keroncong yang syahdu, penonton juga bisa mengambil kudapan yang
disajikan Bakudapan – Food Study Group di sisi barat panggung. Panganan macam
Lumpia Sintrong juga sayur genjer disediakan Bakudapan. Resep kudapan ini juga
disisipkan dalam booklet album Dunia Milik Kita.
Tuntas memainkan 2 lagu, Kroncongan Agawe Santosa
mengundang kembali Dialita untuk tampil dan menyanyikan lagu berirama keroncong
nan syahdu “Taman Bunga Plantungan.” Lagu ini diciptakan ibu Zubaidah Nungtjik
AR. pada 1971 di kamp Plantungan. Kala itu, ibu Nurcahya, ibu Mia Bustam, ibu
Rusiyati dan kawan-kawan bertugas membuat taman di kamp Plantungan yang semula
merupakan rumah sakit untuk penderita Lepra. Ibu-ibu itu merubah alang-alang
menjadi taman cantik dengan memanfaatkan bunga, batu-batu dan rumput dari area
di sekitar kamp. Hasil kerja keras ibu-ibu itu yang mendorong ibu Nungtjik
menciptakan lagu indah ini.
Pada sesi ketiga, ibu-ibu Dialita diiringi Sisir Tanah
(Bagus Dwi Danto) menyanyinyakan lagu-lagu yang bernada lebih riang dibanding
sesi sebelumnya. Lagu-lagu yang diciptakan sebelum ’65 lantas tak pernah
terdengar lagi pasca ’65, yakni lagu “Padi untuk India” dan “Viva Ganefo.”
Pada tahun 1946, India yang masih dibawah jajahan Inggris
mengalami krisis pangan sehingga rakyatnya menderita kelaparan. Sebagai bentuk
solidaritas, Indonesia yang baru setahun merdeka mengirim 700 ton beras ke
India. A. Alie kemudian merekam peristiwa itu dalam lagu “Padi untuk India.”
Sedang “Viva GANEFO”, diciptakan Asmono Martodipoero untuk perayaan GANEFO
(Games of New Emerging Forces), ajang olahraga yang diikuti oleh negara-negara
Asia, Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Amerika selatan. Perhelatan ini dimotori
oleh Soekarno sebagai “balasan” atas skors terhadap Indonesia oleh Komite
Olimpiade Internasional kala itu.
Dialita menutup konser malam itu dengan memainkan lagu
“Persahabatan.” Di akhir pertunjukan tangan kanan ibu-ibu Dialita terkepal di
udara. Mereka baru saja menuntaskan pertunjukan diiringi tepuk tangan panjang
penonton. Mewakili Dialita, ibu Uchi mengaku bahagia melihat sebagian besar
penonton yang datang adalah anak-anak muda –selain kerabat-kerabat dekat
Dialita.
Walau kebanyakan sudah berusia lebih dari 50 tahun (ibu
Utati Koesalah bahkan berusia 72 tahun), namun semangat ibu-ibu Dialita rasanya
masih membara. 3 kali tangan-tangan itu terkepal di udara –saat meneriakkan
Merdeka dengan lantang di lagu “Asia Afrika Bersatu” dan di akhir lagu “Viva
GANEFO”.
Taman Beringin Soekarno, 1 oktober 2016. 51 tahun setelah
tragedi ’65, lagu-lagu yang dibungkam: lagu-lagu yang diciptakan diam-diam dan
dituliskan di potongan kertas, di tanah, di tembok penjara bukit duri, di
salemba, di kamp pembuangan para tahanan politik; lagu-lagu bisu itu kini telah
dinyanyikan kembali dengan lirih dan merdu.
Sumber: Membunuh-Matahari
Senin, 29 Desember 2014
Jerinx 'SID' hingga Navicula Garap 'Prisons Songs'
Senin, 29 Des 2014 10:34 WIB
Para pengisi di proyek
'Prisons Songs' (Facebook Superman Is Dead)
Jakarta - Lagi, musisi Bali berbicara musik dengan
cara yang tidak biasa. Setelah menggagas aksi perlawanan 'Bali Tolak
Reklamasi', gabungan musisi Bali kini sedang menggarap proyek yang diberi nama
'Prisons Songs'.
Proyek 'Prisons Songs' berangkat dari aksi mengumpulkan lagu yang ditulis di dalam penjara oleh tahanan politik di era 1965 sampai awal 1970-an. Digagas oleh komunitas bernama Komunitas Taman 65, drummer Superman Is Dead (SID) Jerinx, vokalis Navicula, Dadang Pranoto dan sejumlah musisi lain terlibat di dalamnya.
"Proyek brillian itu lahir dari ide Made Mawut dan Gede Putra dari komunitas Taman 65. Terkumpul enam lagu, dan tak satu pun lagu tersebut pernah direkam. Menariknya, beberapa lagu bahkan tidak diketahui bagaimana cara menyanyikannya karena penulisnya sendiri sudah tidak ingat bagaimana lagu tersebut dinyanyikan," tulis Jerinx di halaman Facebook resmi bandnya, Superman Is Dead, seperti dilansir detikHOT, Senin (29/12/2014).
Proyek 'Prisons Songs' berangkat dari aksi mengumpulkan lagu yang ditulis di dalam penjara oleh tahanan politik di era 1965 sampai awal 1970-an. Digagas oleh komunitas bernama Komunitas Taman 65, drummer Superman Is Dead (SID) Jerinx, vokalis Navicula, Dadang Pranoto dan sejumlah musisi lain terlibat di dalamnya.
"Proyek brillian itu lahir dari ide Made Mawut dan Gede Putra dari komunitas Taman 65. Terkumpul enam lagu, dan tak satu pun lagu tersebut pernah direkam. Menariknya, beberapa lagu bahkan tidak diketahui bagaimana cara menyanyikannya karena penulisnya sendiri sudah tidak ingat bagaimana lagu tersebut dinyanyikan," tulis Jerinx di halaman Facebook resmi bandnya, Superman Is Dead, seperti dilansir detikHOT, Senin (29/12/2014).
"Akhirnya, hanya bermodalkan partitur dan lirik,
Made Mawut me-reka ulang lagu-lagu tersebut sebisa mungkin," tulis Jerinx
lagi.
Meski tidak membocorkan enam materi lagu di dalamnya, drummer penuh tato itu memberi sedikit gambaran lagu yang akan dinyanyikannya. Yaitu lagu berjudul 'Dikala Sepi Mendamba'.
"Saya kebagian menyanyikan lagu 'Dikala Sepi Mendamba' karya Ibu Pasek (menjadi tahanan politik karena terlibat Gerwani) yang ditulis tahun 1974. Lagu ini sama sekali belum pernah direkam, dan Ibu Pasek sudah lupa bagaimana menyanyikannya," jelasnya.
"Untung beliau masih menyimpan lirik dan partitur karya tangan beliau di buku harian-nya. Sebuah romansa noir yg begitu menyayat," tandas musisi bernama asli I Gede Ari Astina itu.
Secara lengkap, musisi yang mengisi adalah Kupit dan Man Angga dari Nosstress, Dadang Pranoto dari Navicula/Dialog Dini Hari, Banda Neira serta Made Mawut sendiri yang merupakan solois blues. Menurut rencana, proyek 'Prisons Songs' akan dirilis dalam bentuk album pada Februari tahun depan.
(mif/hkm)
Meski tidak membocorkan enam materi lagu di dalamnya, drummer penuh tato itu memberi sedikit gambaran lagu yang akan dinyanyikannya. Yaitu lagu berjudul 'Dikala Sepi Mendamba'.
"Saya kebagian menyanyikan lagu 'Dikala Sepi Mendamba' karya Ibu Pasek (menjadi tahanan politik karena terlibat Gerwani) yang ditulis tahun 1974. Lagu ini sama sekali belum pernah direkam, dan Ibu Pasek sudah lupa bagaimana menyanyikannya," jelasnya.
"Untung beliau masih menyimpan lirik dan partitur karya tangan beliau di buku harian-nya. Sebuah romansa noir yg begitu menyayat," tandas musisi bernama asli I Gede Ari Astina itu.
Secara lengkap, musisi yang mengisi adalah Kupit dan Man Angga dari Nosstress, Dadang Pranoto dari Navicula/Dialog Dini Hari, Banda Neira serta Made Mawut sendiri yang merupakan solois blues. Menurut rencana, proyek 'Prisons Songs' akan dirilis dalam bentuk album pada Februari tahun depan.
(mif/hkm)
Langganan:
Postingan (Atom)