HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Musik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Musik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Oktober 2019

Soroti Tragedi Indonesia di Tahun 1965, Delacroix Musik Luncurkan "Kisah di Kamis Malam"

Oleh: Debby Utomo - 03 October 2019


Sejarah kelam jangan sampai dilupakan!
Delacroix Musik, band yang terbentuk di Yogyakarta pada tahun 217 ini meluncurkan single dan video lirik berjudul “Kisah di Kamis Malam” pada Senin (30/09) sebagai respons mereka terhadap sejarah kelam tragedi 1965.
Sang vokalis, Alexander Haryanto, mengatakan, alasan mereka mengangkat persoalan 65' ke dalam lagu karena merasa tersentuh dengan kisah hidup para korban dan survivor yang masih hidup hingga saat ini namun masih mendapat stigma buruk di masyarakat. Menurut mereka bahkan ada yang terhinakan dan dikucilkan, padahal bagia Alexander mereka tidak bersalah lantaran tidak pernah diputuskan lewat putusan pengadilan. "Selama ini isu 65' telah menjadi komoditas politik yang muncul setiap tahun politik, bahkan dihadirkan untuk menakut-nakuti masyarakat, namun gagal memahami isu besar bahwa ada banyak korban tak bersalah yang telah dinistakan oleh rekayasa sejarah," imbuh Alexander, dikutip dari press release. 
Para korban ini, mendapat hukuman penjara bahkan harus kehilangan nyawa hanya karena tuduhan yang mereka sendiri tidak pernah melakukannya, seperti yang dialami oleh Soekardjo Wilardjito, salah satu sekuriti Istana Bogor era Presiden Sukarno, yang dihukum penjara selama 14 tahun tanpa proses pengadilan. Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, penulis novel Bumi Manusia juga pernah menjadi korban penjara belasan tahun karena menjadi pihak yang dituduh.
Sementara itu, sang keyboardis Adi Wijaya menambahkan, tragedi 65' juga terjadi pembantaian besar-besaran, yang menurut sejarawan, mencapai 500 ribu sampai satu juta jiwa bahkan bisa lebih dari itu. Padahal, kehilangan satu nyawa pun tak dapat dibenarkan. Meski sudah terjadi hingga lebih dari setengah abad, luka masa lalu ini tak pernah diselesaikan oleh negara, tetapi justru dijadikan komoditas politik menjelang bulan September. 
Dalam lagu berjudul “Kisah di Kamis Malam” ini, Delacroix dibantu oleh Momo Biru, eks vokalis band rock Captain Jack, dibagian mixing dan mastering. Sementara pengerjaan video lirik dibantu oleh Pepen Opehelia bagian editing dan Victor J bertindak sebagai art director dari Anak Rimba Studio, lagu ini dirilis oleh label rekaman independen Hell Hammer Record asal Yogyakarta. 
Band yang diperkuat oleh Alexander Haryanto (vokal, gitar), Adi Wijaya (piano, keyboard) dan Tito (drum) ini sebelumnya udah pernah merilis mini album bertajuk Nyanyian Sang Enggang yang dirilis di bawah naungan Hell Hammer Record.

Provoke Online.com 

Senin, 30 September 2019

Sudharnoto, Pencipta Lagu Garuda Pancasila Ternyata Anggota PKI


30 September 2019 09:41

Sudharnoto, pencipta lagu “Garuda Pancasila” (foto: taksama.id)

Kamu pasti tahu lagu "Garuda Pancasila", yang menjadi lagu wajib bagi anak-anak sekolah. Lagu ini memiliki lirik yang sangat patriotis dan menyiratkan kesetiaan bangsa Indonesia terhadap ideologi Pancasila.

Lagu “Garuda Pancasila” ternyata diciptakan oleh Sudharnoto, yang merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Sudharnoto merupakan pria kelahiran Kendal, 24 Oktober 1925 yang berprofesi sebagai komponis dan ilustrator film Indonesia. 

Sudharnoto tergabung dalam organisasi seniman Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat). Sejak bergabung dengan Lekra, Sudharnoto diberhentikan dari RRI Jakarta pada 1965.

Setelah peristiwa G/30S/PKI, anggota LEKRA ditangkap, dan ditahan, karena tercatat sebagai organisasi "underbow" atau menginduk pada PKI. 

Sudharnoto merupakan salah satu seniman yang menjadi tahanan politik karena dianggap sebagai anggota PKI. Sudharnoto pun dicap sebagai komunis dan ditahan di Rutan Salemba.

Reporter : Yasserina Rawie
Redaktur : Maulin Nastria

Rabu, 20 Maret 2019

Dialita, Suara Hati Perempuan Penyintas G30S


March 12, 2018 | imajinasijoker



Dialita: “Dunia Milik Kita” (2016)

Boleh jadi ini sentimental: beberapa tahun setelah saya berpisah dengan pacar pertama sewaktu masih SMA, setiap angkutan kota di kampung halaman mendadak hadir sebagai pengingat. Saya mengenang detik-detik yang biasanya dianggap remeh dan bagaimana hal itu kemudian bisa sedemikian jelas dikonstruksi oleh ingatan. Lalu saya menyadari betapa lucu (atau tragis) cara ingatan manusia bekerja. Ketika saya merasa sudah genap melupakan, kenangan-kenangan masa lalu datang menyergap layaknya sekumpulan bajingan yang merampok kesadaran — bahwa ada yang belum selesai, kecuali saya berani menghadapinya sendiri.

Ingatan adalah barang mewah di sini. Setiap upaya mengingat adalah pemberontakan melawan sebuah rezim yang otoriter, sebab di dalam ingatan tersimpan serangkaian peristiwa muram yang mampu melahirkan kesadaran untuk berjuang. Sejarah dipelintir, realitas ditekuk, sementara ingatan kolektif ditentukan oleh buku pelajaran di sekolah. Selain apa-apa yang ada di buku pelajaran adalah kebohongan, dan siapa saja yang ngototberkata sebaliknya dan berusaha melakukan rekonsiliasi dianggap sebagai pendusta jahat yang layak disiksa dan dihilangkan.

Album Dunia Milik Kita adalah sebuah rekaman musik yang berupaya untuk menyajikan suara-suara yang dibungkam pada masa lalu, suara-suara yang dipaksa sunyi karena dosa kolektif dari sebuah asosiasi yang dianggap dan dituduh terlibat dalam peristiwa 1965, dari kelompok yang dicap sebagai komunis dan pengkhianat. Saat rezim pemerintahan Orde Baru yang otoriter itu tumbang, suara-suara yang dulunya dipaksa sunyi, dipaksa hilang, dan dipaksa bungkam, sekarang kembali hadir dengan cara yang tegas, segar, dan kuat. Paduan suara Dialita (Di atas lima puluh tahun) merupakan bebunyian kolektif dari masa lalu, bebunyian yang dipaksa sunyi oleh rezim Orde Baru setelah peristiwa 1965. Dialita beranggotakan para ibu tangguh dan perkasa yang pernah ditahan, dipenjara, diasingkan, dan dihukum melakukan kerja paksa tanpa pernah tahu kesalahannya — cuma karena mereka dituding terlibat dalam peristiwa 1965.

Formasi album ini terdiri dari sepuluh lagu lawas yang diaransemen ulang beberapa musisi lintas-generasi, yang juga hadir untuk mengiringi paduan suara Dialita. Dengan segala kerendahan hati yang ada, saya memohon agar siapa saja yang mendengarkan album ini untuk menganggap nama-nama musisi lintas-generasi di sini (Sisir Tanah, Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, Lintang Radittya, Kroncongan Agawe Santosa, Frau, dan Cholil Mahmud) sebagai sesuatu yang tidak signifikan, menempatkan mereka sebagai sekadar figuran saja, agar mampu menangkap kenikmatan, keindahan, dan kesadaran album ini secara maksimal. Album ini juga berperan sebagai sebuah arsip sejarah karena menghadirkan kembali suara dari seniman-seniman besar Indonesia yang disingkirkan dari manuskrip sejarah cuma karena mereka tercatat sebagai anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), para maestro musik yang ditangkap pada masa pemerintahan Orde Baru dan beberapa di antaranya harus meringkuk dalam kamp kerja paksa di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, Indonesia.

Berkumpul untuk bernyanyi, bercerita, dan berbagi pengalaman bertahan hidup adalah upaya yang terus-menerus dilakukan oleh keluarga penyintas tragedi kelam 1965 untuk merawat harapan. Bernyanyi memberikan keluarga penyintas sebuah kapasitas suara untuk bicara dan didengar bahwa mereka masih hidup dan menolak lupa, apalagi dibungkam dan dipaksa menyerah-kalah. Ibu-ibu tangguh dan perkasa dalam paduan suara Dialita adalah monumen hidup yang berusaha menuliskan sejarah baru agar bisa diingat selamanya. Melalui album ini, Dialita tidak sedang mengasihani diri sendiri. Dialita tegak bersuara untuk menyanyikan lagu-lagu dari masa lalu dengan tegas, sesuatu yang membikin mereka kuat menghadapi jahatnya stigma, kejamnya sel penjara, dan bengisnya perlakuan diskriminasi. Suara-suara yang dihadirkan oleh album ini merupakan titik tengah pertemuan antara semangat masa lalu dan estetika seni masa kini: sebuah kumpulan musik yang segar dengan susunan teks dan komposisi nada yang berasal dari momen-momen kelam di masa lampau.

Dua sosok yang sangat berjasa mengumpulkan arsip dokumentasi dan mencatat lagu-lagu dari dalam penjara adalah Ibu Utati dan Ibu Mudjiati (dua anggota Dialita yang pernah dipenjara di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan), di mana keduanya mencoba menuliskan kembali lirik-lirik yang tidak lagi utuh dalam ingatan, kemudian secara perlahan berhasil menggenapi bagian-bagian yang terpenggal, lalu diberi notasi nada dan selanjutnya disalin ke dalam lembar partitur secara sederhana, lantas partitur-partitur sederhana yang jauh dari sempurna itu diperkenalkan dan dipelajari bersama kawan-kawan mereka dalam paduan suara Dialita.

Dialita membuka Dunia Milik Kita dengan trek Ujian — jawara dan favorit saya di album ini — yang ditulis oleh Ibu Siti Jus Djubariah dan diaransemen ulang oleh Frau. Saya ingin menuliskan sesuatu yang indah untuk mendeskripsikan lagu ini, namun jujur saja — setiap kali mendengarkan lagu ini, jantung persegi saya terenyuh dan rasa-rasanya hampir mustahil menahan air mata untuk tidak merembes keluar. Lagu ini lahir di dalam Penjara Bukit Duri, sebuah tempat di mana ratusan perempuan dan lelaki, tua dan muda, yang berasal dari berbagai macam serikat pekerja dan organisasi mahasiswa, ditahan karena dituding telah melakukan kesalahan yang entah apa. Para perempuan dan lelaki yang ada di tempat tersebut dipenjara tanpa pernah tahu apa kesalahan mereka dan tanpa proses pengadilan.

“Dari balik jeruji besi, hatiku diuji,” baris lirik awal Ujian mengabarkan semangat para tahanan politik yang dipecundangi oleh rezim pemerintahan pada masa itu, mereka yang dipenjara tetapi menolak untuk larut dalam kekalahan, “apa aku emas sejati atau imitasi?”.
Suara denting piano yang dimainkan Frau sebagai musik pengiring berhasil meruapkan atmosfer sendu dari manusia-manusia yang sedemikian tegar dan kuat menahan derita.

Saya selalu membayangkan bahwa Ujian ditulis dengan keteguhan dan sisa-sisa harapan sebagai upaya untuk tetap tegar menghadapi gelapnya kehidupan di balik jeruji besi penjara yang pengap. Hidup di penjara tanpa pernah tahu kapan bisa bebas adalah salah satu bentuk lain dari vonis kematian. Banyak sekali tahanan politik yang melewati masa remajanya dengan ketidak-pastian di dalam penjara. Ibu Siti adalah seorang guru yang ditangkap dan ditahan di Penjara Bukit Duri pada tahun 1965. Kemudian, pada pertengahan 1971, Ibu Siti — bersama dengan puluhan tahanan lainnya — dikirim ke Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah, dan sempat dipindahkan ke Penjara Bulu, Semarang, Jawa Tengah, sebelum akhirnya “dibebaskan” pada tahun 1978. Lagu ini menjadi salah satu penyemangat dan upaya untuk tetap waras bagi para tahanan politik yang direnggut-paksa kebebasan dan hak-haknya oleh Orde Baru.

Nomor Salam Harapan — karya Ibu Zubaedah Nungtjik AR dan Ibu Murtiningrum (keduanya adalah tokoh Gerwani [Gerakan Wanita Indonesia]) yang diaransemen ulang oleh Cholil — berfungsi sebagai doa yang tulus, semacam niat untuk membesarkan hati yang dipersembahkan kepada kawan-kawan sesama tahanan politik yang sedang berulang-tahun di Penjara Bukit Duri. (“Salam harapan padamu kawan: semoga kau tetap sehat sentosa. Bagai gunung karang di tengah lautan, tetap tegar didera gelombang.”)
Musik hadir sebagai medium kebersamaan dan bentuk lain dari kebahagiaan di tengah-tengah keterbatasan dan penindasan. Menurut beberapa artikel yang saya baca, ada tradisi menarik yang selalu dilakukan di dalam penjara tersebut: setiap ada yang berulang tahun, semua tahanan politik bakal berdiri berjajar di depan sel penjara yang bersangkutan pada pagi-pagi buta untuk bersama-sama menyanyikan sebuah lagu sebagai ucapan selamat dan memberikan sekuntum bunga apa pun yang bisa dipetik dari halaman penjara sebagai hadiah. Cholil membikin lagu ini tetap sederhana dan bersahaja, namun tidak menghilangkan ketulusan dan keteguhan yang menjadi karakter para ibu penyintas tragedi 1965.

Kemudian ada materi Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu ciptaan Putu Oka Sukanta dan Michiel Karatem yang dibuka dengan desir angin dan suara gitar, kemudian suara-suara lirih mulai terdengar untuk mengabarkan semangat para petani yang tidak akan pernah mati. Aransemen ulang lagu ini yang digarap oleh Sisir Tanah, Lintang, dan Frau berhasil menyulap saya untuk sepenuhnya luruh, tenggelam dalam rasa syukur dan rindu sekaligus sukacita menggairahkan yang mirip dengan perasaan senang-gembira saat berdiri memandang hamparan sawah dan mendengarkan suara angin bergesekan dengan padi. 
“Malam dijemput suara kecapi,” baris teks puitik lagu ini layak dibaca dan dipahami dengan serius, “siang dibernasi suara aksi; di sini juang dipadu membina dunia baru nan jaya”. 
Latar belakang yang diabadikan oleh Putu dan Michiel dalam lagu ini adalah situasi yang harus dihadapi oleh para petani di kaki Gunung Tangkuban Perahu saat melawan dan menolak Undang-Undang Pokok Agraria pada dekade ‘60an. Saat itu, para petani pejuang Tangkuban Perahu melakukan aksi protes sambil tetap bekerja merawat sawah mereka di bawah terik mentari sianghari, sementara pada malamhari, mereka berdiskusi sembari menikmati alunan kecapi dalam momen kebersamaan yang hangat.

Lintasan perjalanan Dunia Milik Kita kemudian dilanjutkan oleh trek Padi Untuk India: sebuah lagu yang bisa menjadi arsip sejarah karena mendeskripsikan kontribusi Indonesia untuk dunia global di masa lalu, tepatnya pada tahun 1946 saat India mengalami krisis pangan yang cukup parah di bawah penjajahan kolonial Inggris. Meskipun pada saat itu Indonesia merupakan bangsa bau kencur yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, sebagai bentuk solidaritas kepada negara yang masih terjajah, Indonesia berhasil mengirimkan bantuan berupa 700 ton beras ke India setelah sempat diadang oleh Belanda dengan aksi pembakaran dan pengeboman gudang penyimpanan beras di Kota Banyuwangi, Jawa Timur. Lagu yang ditulis oleh A. Alie (tidak ada catatan sejarah yang merekam sosoknya di dunia seni Indonesia) ini diaransemen ulang oleh Sisir Tanah dan berhasil memaksimalkan keriangan melodi lagu ini tanpa harus terdengar rumit. Saya bisa mendengar ritme perjuangan yang menyenangkan dan merasakan semangat solidaritas kemanusiaan di dalamnya.

Lagu berikutnya yang berjudul Taman Bunga Plantungan (karya Ibu Zubaedah) diaransemen ulang dengan begitu indah oleh Kroncongan Agawe Santosa. Lagu yang tercipta di Kamp Plantungan pada tahun 1971 ini merupakan tanda cinta dan persahabatan para tahanan politik, menceritakan sebuah taman kecil yang dibangun dengan swadaya oleh para tahanan politik di Kamp Plantungan pada masa itu. Kamp Plantungan merupakan bekas rumah sakit yang dibangun pada masa penjajahan kolonial Belanda untuk para penderita penyakit lepra / kusta. Kondisi kamp ini mirip lapangan jagal yang dipenuhi “benda-benda ajaib” di mana tidak jarang ditemukan potongan-potongan jari tangan atau jari kaki para penderita lepra / kusta yang sempat dirawat di sana.

Bebunyian kolektif yang disuarakan oleh Dialita melalui rekaman album ini adalah representasi dari ratusan ribu tahanan politik Indonesia yang dipenjara tanpa proses pengadilan apa pun. Hak sipil para tahanan politik tersebut sengaja dicabut, identitas dan jati diri mereka dilecehkan, serta hak asasi mereka diludahi. Para tahanan politik itu dicap sebagai komunis, seolah-olah hal itu merupakan dosa asal (original sin) yang tidak layak untuk diampuni. Di Indonesia, ada semacam upaya sistematis untuk menjadikan segala sesuatu yang terkait dengan komunisme sebagai pesakitan menjijikkan. Keseluruhan album ini pada dasarnya bukanlah sekadar usaha untuk menolak lupa saja, melainkan juga sebuah upaya kolektif untuk menempatkan kembali sebuah konteks dari satu waktu di masa lalu. Dialita tidak sedang menuntut dengan amarah dan dendam kesumat, namun mereka bernyanyi dengan tegas untuk merayakan ingatan dan kenangan, serta memberikan suara dan perspektif dari satu-dua peristiwa sejarah yang pernah dipaksa bungkam oleh penguasa agar generasi mendatang bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Nomor Kupandang Langit (ciptaan Koesalah Soebagyo Toer, diaransemen ulang oleh Lintang dan Frau) memberikan pengalaman musikal dan efek magis yang serupa dengan Ujian. Terinspirasi oleh pohon beringin pencekik di halaman Rutan (Rumah Tahanan) Salemba, Jakarta, Koesalah berusaha menjaga kewarasan sekaligus juga untuk menyemangati kawan-kawan sesama tahanan politik di sana dengan menciptakan Kupandang Langit. Bagi saya, Kupandang Langit memiliki efek magis yang dramatis — semacam menyeruput secangkir kopihitam pahit hangat saat hujan menderas seharian di luar kandang dan menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa saya lawan, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa saya selamatkan. Meski begitu, ada semacam kesadaran bahwa saya toh masih punya kekuatan untuk mengakhiri tragedi dengan tangisan tidak berkesudahan perihal betapa buruknya hidup ini, atau dengan kebanggaan bahwa sampai pada titik akhir yang paling getir sekalipun, saya tidak memundurkan kaki setapak pun darinya. Dan kebanggaan semacam itu, tentunya, tidak muncul dari fatalisme yang pasrah menerima nasib apa adanya, melainkan lahir dari keberanian untuk mengafirmasi kehidupan seutuhnya: amor fati — yang tragis dan yang manis.

Formasi album Dunia Milik Kita selanjutnya dihuni oleh dua lagu yang punya konteks politik penting sebagai perwujudan dari sikap perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di masa lalu: (1) materi Viva Ganefo yang ditulis oleh Asmono Martodipoero dalam bahasa Spanyol untuk merespons penyelenggaraan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang [GANEFO: Games of the New Emerging Forces] pada dekade ‘60an dan diaransemen ulang oleh Sisir Tanah; dan (2) trek Asia Afrika Bersatu yang diciptakan oleh Sudharnoto untuk menyambut penyelenggaraan Konferensi Asia–Afrika pada 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, dan lagu ini diaransemen ulang oleh Prihatmoko, Nadya, dan Lintang.

Dua lagu yang menggenapi perjalanan album ini adalah Lagu Untuk Anakku (aransemen ulang oleh Cholil) dan Dunia Milik Kita (aransemen ulang oleh Lintang dan Cholil). Nomor Lagu Untuk Anakku disusun bersama oleh Ibu Heryani Busono Wiwoho (lirik) dan Mayor Djuwito (notasi musik) saat dipenjara oleh tentara di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Kelas II Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah, untuk menyuarakan kegelisahan tentang nasib anak-anak Indonesia yang mendadak harus kehilangan orangtua karena dipenjara, diasingkan, atau dibunuh oleh rezim pemerintahan otoriter pada saat itu. Sementara materi Dunia Milik Kita karangan Sudharnoto, yang mulai ditulis pada saat reformasi politik Indonesia sedang terjadi dan selesai bertepatan dengan perayaan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember 1998, menyampaikan gagasan besar tentang satu bangsa yang terdiri dari berbagai macam identitas yang berbeda-beda.

Album ini berhasil membikin suasana hati saya campur-aduk: berkali-kali saya dibikin sedih, hancur, dan menangis, untuk kemudian dikuatkan dengan harapan dan semangat yang menggembirakan sewaktu memutarnya kencang-kencang di dalam kandang. Ibu-ibu tangguh dan perkasa yang tergabung dalam paduan suara Dialita adalah pohon rindang yang mampu memberikan ketenangan dan keteduhan magis layaknya kasih sayang dari nenek dan ibu saya sendiri. Suara vokal Dialita mungkin saja bergetar dan tidak merdu, namun ada sesuatu yang membikin jantung saya luruh dan terenyuh ketika mendengarkannya — serupa perasaan sentimental saat melihat hujan untuk pertama kalinya setelah musim kemarau berkepanjangan.

Pada akhirnya, Dialita dan Dunia Milik Kita-nya merupakan ketulusan estetis yang mahategar dan memesona, bebunyian kolektif dari orang-orang yang menolak menyerah-kalah ketika dipaksa tunduk oleh otoritas bangsat. Suara yang ada di dalamnya mewartakan luka dengan tegas, sekaligus juga memberikan harapan serta rasa nyaman dan aman. Ini adalah resep mujarab dengan takaran yang pas — seperti pelukan ibu yang menghangatkan, atau semacam aroma tubuh sang kekasih sehabis bercinta tetapi belum sempat mandi — yang memberikan hasrat dan harapan sebagai fondasi untuk melakukan aksi perjuangan melawan kondisi brengsek hari ini yang semakin tidak baik-baik saja.

— Daftar lagu Dunia Milik Kita —
1) Ujian [Frau]
2) Salam Harapan [Cholil Mahmud]
3) Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu [Sisir Tanah, Lintang Radittya, dan Frau]
4) Padi Untuk India [Sisir Tanah]
5) Taman Bunga Plantungan [Kroncongan Agawe Santosa]
6) Viva Ganefo [Sisir Tanah]
7) Lagu Untuk Anakku [Cholil]
8) Kupandang Langit [Lintang dan Frau]
9) Dunia Milik Kita [Lintang dan Cholil]
10) Asia Afrika Bersatu [Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, dan Lintang]

Salam harapan dan peluk hangat, atas-nama cinta dan anarki, untuk paduan suara Dialita dan seluruh ibu-ibu tangguh nan perkasa di luar sana. {ѧ}

Sumber: MemoriSenja 

Rabu, 02 Januari 2019

'Bangkit dari Keheningan' membawa suara 1965 korban selamat kepada generasi muda


NI NYOMAN WIRA - THE JAKARTA POST
Jakarta  / Rabu, 2 Januari 2019  / 06:36 sore

Dialita, paduan suara yang terdiri dari para penyintas tragedi 1965, berlatih di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Desember tahun lalu. (JP / Ben Latuihamallo)

Lagu berjudul "Taman Bunga Plantungan" (Taman Plantungan) bercerita tentang sebuah taman yang indah di Plantungan di Jawa Tengah, yang merupakan kamp yang diperuntukkan bagi tahanan politik wanita.

Ditulis oleh Zubaidah Nungtjik AR, "Taman Bunga Plantungan" secara rutin dilakukan oleh paduan suara Dialita yang anggotanya merupakan korban dari tragedi 1965 dan kerabat mereka. Lagu ini juga ditetapkan sebagai nomor pembuka untuk  Rising from Silence , sebuah film dokumenter 28 menit tentang perjalanan grup vokal sebelum merilis album pertama mereka, Dunia Milik Kita (Our Own World, 2016).

Disutradarai oleh Shalahuddin Siregar, Rising from Silence menunjukkan potongan-potongan kehidupan anggota Dialita, termasuk sesi latihan mereka sebelum acara peluncuran. Yang paling penting, ini juga menunjukkan sekilas masa lalu kelam Indonesia yang masih belum terselesaikan. Diproduksi oleh In-Docs dan ditayangkan perdana di NHK World pada tahun 2016, film dokumenter ini akan memperkenalkan tragedi tersebut kepada generasi muda melalui suara para penyintas.

Didirikan pada tahun 2011, anggota Dialita menggunakan bernyanyi sebagai cara untuk menyembuhkan trauma mereka. Lagu-lagu yang mereka tampilkan sebagian besar ditulis oleh para anggotanya selama di penjara, dengan tema-tema mulai dari tindakan sederhana mengagumi alam dan dorongan yang memilukan untuk diri sendiri dan teman-teman hingga program pemerintah pada saat itu. “Viva Ganefo”, misalnya, terkait dengan acara olahraga Games New Emerging Forces (Ganefo) yang diadakan selama era Sukarno pada 1960-an.

Foto dari 'Rising from Silence', yang ditayangkan perdana di NHK World pada tahun 2016. (twitter.com/indocsnews/File)

Rising from Silence memenangkan penghargaan Best Short Documentary di 2018 Indonesian Film Festival (FFI) , yang diadakan di Jakarta pada bulan Desember. 
 "Ini merupakan peningkatan [bagi kami] bahwa film-film tentang tragedi 1965 dapat dimasukkan dalam bagian yang kami menangkan," kata Irawati Atmosukarto, manajer Dialita, selama acara pemutaran Rising from Silence Kamis lalu di Empu Sendok Arts Station (ESAS) ) di Jakarta Selatan. 
 "Untuk itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada FFI dan juri."
Paduan suara Dialita juga ditampilkan dalam film Shalahuddin lainnya, Song for my Children . Dengan judul yang diambil dari salah satu lagunya, film dokumenter lengkap ditampilkan di Good Pitch 2 (Good Pitch Squared) Asia Tenggara 2017, sebuah platform yang menyatukan pembuat film dokumenter dan pembuat perubahan untuk menyoroti masalah sosial dan lingkungan yang mendesak.

Paduan suara juga berencana untuk merilis album kedua pada 31 Januari. Mengambil rute yang sama dengan album pertama, ia akan kembali berkolaborasi dengan musisi muda Indonesia. (wng)

Sabtu, 29 September 2018

Geger “Gendjer-gendjer”


2018/09/29

Lirik lagu "Gendjer-gendjer" asli tulisan tangan penciptanya, Mohamad Arif.

Lagu berjudul “Gendjer–gendjer” menjadi salah satu lagu populer saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) terutama tahun 1965. Ternyata lagu ini ciptaan orang Banyuwangi. Penciptanya bernama Sjamsul Arifin.

Lagu ini diciptakan tahun 1942 saat zaman pendudukan penjajah Jepang. Sjamsul adalah tentara yang bertugas di Pemerintah Militer O.D.M. Buduran, Sidoarjo dengan pangkat sersan. Ia menjabat sebagai Kepala Pera/Masjarakat.

Selama aktif di militer, namanya adalah Sjamsul Arifin. Setelah keluar dari militer dan aktif di PKI, berganti nama menjadi Mohamad Arif dan biasa dipanggil Arif. Istri Arif, Suyekti, mengatakan lagu “Gendjer-gendjer” ciptaan suaminya itu terinspirasi dengan kondisi masyarakat yang miskin dan dirundung kelaparan saat dijajah Jepang tahun 1942.

Karena terbatasnya persediaan pangan, rakyat kecil waktu itu memanfaatkan tanaman genjer sebagai lauk pauk. Genjer merupakan salah satu jenis sayuran yang tumbuh liar di persawahan. Sebelumnya, genjer hanya dijadikan makanan itik namun karena dalam kondisi darurat, genjer dimakan sebagai lauk pauk.

Melihat realitas ini, Arif terinspirasi menciptakan lagu untuk memberi semangat agar rakyat tidak putus asa dan bekerja giat.
“Dia mengingat-ingat waktu itu dia dan teman-temannya miskin,” tutur Suyekti semasa hidupnya, Oktober 2006. “Untuk memperingati rakyatku yang mlarat  (miskin) agar semangat. Ayo sama-sama bekerja,” ujarnya menirukan perkataan suaminya.
Suyekti lahir di Malang tahun 1927. Lalu ikut pamannya di Banyuwangi dan bertemu Arif. Januari 2007 Suyekti meninggal dunia.

Suyekti

Lirik lagu “Gendjer-gendjer” sebenarnya menceritakan bagaimana rakyat yang memungut genjer di sawah untuk dimakan sebagai sayuran.
“Waktu itu zaman Jepang dimana rakyat kelaparan. Bapak, ibu dan teman-teman bapak mengalami sendiri bagaimana menderitanya,” kata putra tunggal Arif, Sinar Samsi.
Menurut pria kelahiran 25 Juni 1953 itu, kondisi mengenaskan juga dialami keluarganya. Lagu ini akhirnya populer di kalangan massa PKI. Saking populernya lagu ini, Arif menjadi tokoh penting PKI dan selama tahun 1965 pernah diundang Presiden pertama RI Soekarno sebanyak tiga kali. Bahkan pernah diundang ke RRC untuk pentas seni.

Lirik lagu “Gendjer-gendjer” asli tulisan tangan penciptanya, Mohamad Arif.

Inilah lirik lagu “Gendjer-gendjer” berbahasa Banyuwangi (Osing) karya Arif yang dikutip dari buku kumpulan lagu Arif dan kami terjemahkan dalam bahasa Indonesia:

Gendjer-gendjer nong kedokan pating keleler (Genjer-genjer bertebaran di pematang sawah)
Emak’e thole teko-teko muputi gendjer (Para ibu berdatangan mengambil genjer)
Oleh sak tenong mungkur sedot sing toleh-toleh (Memperoleh satu bak, lalu langsung balik badan tanpa lihat-lihat di sekeliling)
Gendjer-gendjer saiki wis digowo mulih (Sekarang genjer-genjer sudah dibawa pulang)
Gendjer-gendjer esuk-esuk didol ring pasar (Genjer-genjer pagi-pagi dijual di pasar)
Didjejer-djedjer diuntingi podo didasar (Ditata berbaris, diikat dan dijajakan)
Emak’e djebeng podo tuku nggowo welasah (Ibu-ibu berbondong-bondong membeli dengan membawa bak)
Gendjer-gendjer saiki arep diolah (Genjer-genjer sekarang akan dimasak)
Gendjer-gendjer mlebu pendil wedang gemulak (Genjer-genjer dimasukkan tungku yang berisi air mendidih)
Setengah mateng dientasi wong dienggo iwak (Dimasak setengah matang dan ditiris, dijadikan lauk pauk)
Sego rong piring sambel djerok nong pelontjo (Dimakan dengan nasi dua piring dan sambal jeruk di atas meja)
Gendjer-gendjer dipangan musuhe sego (Genjer-genjer sekarang siap dimakan dengan nasi)

Menurut Samsi, lirik lagu ini kemudian ada yang mengubahnya. Namun ia tidak hafal dengan gubahan lagu tersebut. Samsi hanya hafal gubahan kalimat pertama dalam bait pertama. Kalimat “Gendjer-gendjer ono nang kedokan pating keleler” diubah menjadi “Gendjer-gendjer, dewan jendral pating keleler” yang artinya “Gendjer-gendjer, dewan jendral mati bergelimpangan“.

Gubahan lirik lagu itu pun jadi kontroversi karena dianggap menghina para jendral yang dibunuh dalam pemberontakan PKI tahun 1965.

Samsi menunjukkan buku tulisan tangan berisi lagu, sajak, dan puisi ciptaan Arif.

Meskipun aktif di militer, Arif berjiwa seni yang tinggi. Samsi menunjukkan buku koleksi sajak, puisi, dan lagu karya ayahnya yang mencapai 60 lebih dalam bahasa Osing dan Indonesia ejaan lama. Rumah Arif dulu terletak di Temenggungan, Banyuwangi. Setelah penumpasan G30S/PKI, keluarga Arif pindah ke Singotrunan, Banyuwangi.

Setelah bertugas di Sidoarjo, sekitar awal 1950 Arif ditarik ke Markas Militer di Banyuwangi yang sekarang menjadi markas Kodim 0825 Banyuwangi. Namun tiba-tiba ia mengundurkan diri 30 Maret 1950 berdasarkan Surat Tanda Pemberhentian No.303/Adm./Duc./Bdr./50 yang saat ini masih disimpan Samsi.

Arif lebih memilih ke jalur politik dan masuk PKI. Arif sempat menjadi Anggota DPRD Banyuwangi tahun 1963-1965. Menurut teman dekat Arif yang juga seniman lagu, Basir Noerdian, selama duduk di DPRD tersebut Arif tidak memperoleh gaji.
“Selama tiga tahun di DPRD itu nggak menerima gaji, berbeda dengan DPR sekarang yang gajinya jutaan,” tutur Basir. Hal ini dibenarkan istri Arif, Suyekti. “Di DPRD nggak ada yang bayar,” kata Suyekti.
Selain aktif di PKI, Arif juga aktif dalam bidang kesenian. Arif dipercaya menjadi Kordinator Seni Rakyat Indonesia Muda (Sri Muda). Berbeda dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), Sri Muda tidak memiliki garis kordinasi langsung dengan PKI. Tapi Sri Muda mendukung aktivitas PKI.

Saat terjadi penumpasan G30S/PKI, Arif ditangkap dan dijebloskan di Markas CPM yang terletak di Sukowidi, Banyuwangi. Hingga akhirnya Arif dibawa ke sebuah markas militer di Malang. Setelah itu nasibnya tidak diketahui lagi. (*)

Jumat, 30 Maret 2018

Dokumenter 'Sekeping Kenangan': Menyanyikan Tembang Sejarah Penyintas 1965


Anton Muhajir, Denpasar - 2018-03-30

Suasana nonton film dokumenter ‘Sekeping Kenangan’ di Denpasar, Bali, 29 Maret 2018. [Anton Muhajir/BeritaBenar]

Sekitar 500 warga memenuhi lapangan Taman Baca Kesiman di Denpasar Timur, Bali, Kamis malam, 29 Maret 2018. Lesehan di rumput, sebagian besar pemuda itu menyimak film dokumenter tentang penyintas tragedi 1965, ‘Sekeping Kenangan’.

Selama sekitar 50 menit film dokumenter karya sutradara muda, Hadhi Kusuma tersebut mengisahkan perekaman lagu-lagu penyintas tragedi politik 1965. Tak hanya pembuatan album berisi lagu-lagu penyintas yang berjudul Prison Songs, film juga menceritakan sisi lain sejarah kekerasan kala itu.

Usai pemutaran film, tiga nara sumber film berdiskusi dengan penonton. Jenawi, Badra, dan Natar adalah mantan narapidana politik (Napol) yang pernah mendekam di Penjara Pekambingan, Denpasar.

Mereka dipenjara, tanpa pernah diadili,  atas tuduhan sebagai anggota Partai Komunitas Indonesia (PKI). Secara bergantian, ketiganya menuturkan kisah yang pernah dialami kepada penonton, sebagian besar kelahiran 1980an dan 1990-an.

Malam itu juga ada enam musisi yang menyanyi album Prison Songs, kompilasi lagu-lagu karya para penyintas 1965.

Ingatan berkurang

‘Sekeping Kenangan’ adalah dokumenter produksi Komunitas Taman 65, tempat anak-anak muda Denpasar, yang memberi perhatian pada rekonsiliasi dan sejarah kekerasan 1965.

Sebelumnya, mereka telah membuat album lagu dan buku ‘Prison Songs, Nyanyian yang Dibungkam’.

Film, album lagu dan buku menjadi bagian keseluruhan proses merekam ulang lagu-lagu para tahanan politik 1965.

Proses ini bermula pada 2012 ketika para pemuda berumur antara 20-an – 30-an tahun awalnya sering berkumpul di Taman 65 dan berdiskusi berbagai hal, termasuk tentang tragedi 1965.

Setelah melihat tayangan dokumenter proses berkarya ‘Kill the DJ’, seorang musisi rap berbahasa Jawa dari Yogyakarta, muncul ide membuat rekaman lagu-lagu penyintas 1965.
“Kenapa kami tidak membuat rekaman seperti itu juga,” kenang I Made Surya Candra, musisi blues salah satu penggagas kompilasi, yang diiyakan rekan-rekannya.
Mereka mengidentifikasi nama-nama penyintas yang masih hidup dan pernah dipenjara.

Pendamping penyintas 1965 yang juga anggota Taman 65, lalu mempertemukan mereka dengan mantan tapol yang masih hidup. Proses berlanjut dengan pengumpulan lagu.

Menurut mereka, upaya itu tidak mudah. Selain ingatan yang sudah berkurang karena trauma dan berusia lanjut, para penyintas tidak mudah percaya begitu saja pada orang baru.
“Tidak semua penyintas punya memori yang sama tentang sebuah lagu atau peristiwa sehingga kami harus satu per satu mengumpulkannya,” kata Gde Putra, relawan Komunitas Taman 65.

Mencocokkan nada

Umur penyintas yang rata-rata di atas 70 tahun, membuat tim pengumpul lagu bekerja lebih keras.

Ketika mewawancarai Bu Pasek, seorang penyintas, misalnya, mereka harus tanya keras-keras di telinganya dan berulang-ulang karena pendengaran yang sudah terganggu.

Selain keterbatasan indera nara sumber, tantangan lain adalah ingatan yang tak terlalu kuat lagi.

Ketika disuruh menyanyi dengan memainkan alat musik, misalnya gitar, tangan mereka bahkan gemetar karena sudah lama tidak bermain musik.
“Untuk satu judul lagu, nadanya bisa berbeda meskipun lirik lagunya sama. Karena itu kami harus mencocokkan nadanya,” ujar Made Candra, yang lebih akrab dipanggil Made Mawut.
Berbekal lirik dalam tulisan tangan disertai partitur, Made Mawut mengaransemen ulang lagu-lagu tersebut.

Dia menyanyikannya bersama penyintas baik secara terpisah maupun bersama sampai kemudian mendapatkan nada yang tepat.

Dari keseluruhan proses pengumpulan lagu-lagu itu, mereka mendapatkan enam lagu kenangan para penyintas yaitu Sekeping Kenangan, Di Kala Sepi Mendamba, Si Buyung, Tini dan Yanti, Latini, dan Dekon.

Lagu-lagu itu bercerita tentang pengalaman penyintas selama dipenjara.
Misalnya, lagu Si Buyung yang bercerita tentang kelahiran anak kelima saat ayahnya dipenjara.

Kau hadir duhai Buyung dalam derita/Tangismu, ayah tiada mendengarnya/Hanya diiring derai air mata suci bunda/Kau songsong hidup ini penuh luka. 
Demikian sebagian lirik lagu karya R. Amirudin Tjitraprawira, salah satu Tapol saat itu.

Lagu Dekon, misalnya, merupakan singkatan dari pidato Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963, Deklarasi Ekonomi. Lirik lagu dalam bahasa Bali yang dibuat Ketut Putu ini sarat kritik terhadap koruptor.

Arti sebagian lirik lagu adalah: bersatu agar teguh, rakyat buruh tani/musuh kita masih merajalela, tikus-tikus ekonomi/ jangan percaya penghasut berbaju gagah/mari sekarang laki-perempuan, kecil-besar, tua-muda bersatu agar teguh/mengikuti nasakom menjadi inti.

Made Mawut lalu mengajak musisi muda, seperti Jerinx dan Dadang, untuk menyanyi ulang lagu-lagu tersebut. Dia menyesuaikan karakter lirik dan nada dengan penyanyi yang diajak.

Salah satu adegan film dokumenter ‘Sekeping Kenangan’ yang diputar di Denpasar, Bali, 29 Maret 2018. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

Jembatan sejarah

Bagi pegiat Komunitas Taman 65, upaya menghidupkan lagu-lagu penyintas tak semata tentang lagu, tapi juga mengenalkan sejarah kekerasan tragedi 1965, yang diperkirakan menewaskan ratusan ribu orang di Bali, kepada anak-anak muda Pulau Dewata.
“Dengan mengajak musisi sebagai simbol budaya pop, kami ingin mengenalkan sejarah lain kepada kaum muda,” kata Putra.
Menurutnya, sejarah yang diceritakan dalam Prison Songs dan ‘Sekeping Kenangan’, adalah hal-hal personal dan manusiawi, seperti kerinduan pada kekasih, suasana dalam penjara, sampai doa untuk anak.
“Upaya semacam ini penting untuk meluruskan sejarah,” pungkasnya.

Kamis, 06 Oktober 2016

Dialita - Menyanyikan Lagu-Lagu Bisu


05 Oktober 2016 | Fahrezal Sillia at 00.13 

“Sebagian lagu di album ini diciptakan sebelum ’65. Pasca ’65, lagu-lagu ini tak lagi terdengar. Kami  menyebutnya lagu-lagu bisu. Lagu-lagu yang dibungkam.” – Dialita, 1 oktober 2016

Pasca tragedi ’65, ibu Siti Jus Djubariah ditangkap dan ditahan di penjara perempuan Bukit Duri (1965-1971), lalu pada 1971 dikirim ke kamp Plantungan bersama puluhan tahanan lainnya dan sempat dipindahkan ke penjara di Bulu, Semarang, sebelum akhirnya bebas bersyarat pada 1978. Ibu Siti Jus Djubariah yang seorang guru, ditahan dengan ratusan perempuan beragam profesi lainnya tanpa pernah tahu apa kesalahannya. Mereka ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

Ibu Jus menulis lagu “Ujian” di penjara Bukit Duri. Bermula dari kegiatan bermain kasti bersama yang dilakukan seminggu sekali –yang bahkan saat hujan pun tetap mereka lakukan- untuk menghibur dan menumbuhkan semangat para tahanan. Pada suatu waktu, ibu Jus mengumpulkan kawan-kawan untuk belajar bernyanyi bersama lagu “Ujian”, bati per bait, lagu yang menjadi penyemangat bagi para tahanan.
“Dari balik jeruji besi hatiku diuji… apa aku emas sejati atau imitasi… ”
1 Oktober 2016, 51 tahun setelah tragedi ’65, lagu itu dinyanyikan kembali dengan lirih oleh ibu Sri Nasti Rukmawati dan ibu-ibu Paduan Suara Dialita di depan lebih dari 200 penonton di Taman Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma.

Ada sedikit kekhawatiran pertunjukan ini akan terganggu oleh kehadiran ormas-ormas intoleran. Setahun terakhir “kenyamanan” Jogja sebagai kota Seni dan Budaya –juga kota yang toleran— sedikit goyah akan perilaku ormas-ormas ini. Pada 2016, setidaknya 2 pameran seni (Lady Fast di Survive Garage dan Idola Remaja Nyeni di Galeri Independent Art Space) serta acara diskusi dan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Sekretariat AJI Yogyakarta dibubarkan.
Belum terhitung aksi-aksi damai di ruang publik yang berakhir panas karena dihadang ormas.

Pemilihan Taman Beringin Soekarno sebagai venue pertunjukan punya alasan yang kuat: berada di lingkungan kampus yang bebas dari intimidasi ormas, pihak dosen maupun rektorat Universitas Sanata Dharma mendukung rekonsiliasi tragedi 65 serta keberadaan pohon beringin yang ditanam sendiri oleh Alm. Soekarno pada 1960.

Hadir sebagai pengiring Dialita: Leilani Hermiasih (Frau), Nadya Octaria Hatta, Bagus Dwi Danto (Sisir Tanah), Prihatmoko Moki, Lintang Raditya dan Kroncongan Agawe Santosa. Panggung malam ini tentu saja milik ibu-ibu Paduan Suara Dialita: Utati Koesalah, Mudjiati, Elly Soetarjo, Sri Nasti Rukmawati, Tuti Martoyo, Hartinah, Murti, Uchikowati, Kurnia, Titi Ananta Toer, Yetti Hari Sapi’I, Irina Dayasih, Fidellia D., Hersiswanty, Mega TRG., Nancy Sunarno, Yohana, Resi Prasasti dan Ira Atmosukarto.

Pada awalnya biduanita Dialita adalah bagian dari “Keluarga Dalam Sejarah 65” (KDS 65), para keluarga penyintas tragedi peristiwa 1965, yang terdiri dari anak-anak yang ketika tragedi 1965 terjadi harus berpisah dengan orang tua dan keluarga. Bernyanyi, berkumpul, bercerita dan berbagi pengalaman dalam bertahan hidup adalah cara mereka, para keluarga penyintas untuk merawat harapan. Dari saling menguatkan, mereka memutuskan untuk membentuk sebuah paduan suara yang diberi nama Dialita, singkatan dari Di Atas Lima Puluh Tahun, usia kebanyakan anggotanya. Dalam perjalanannya, banyak kaum muda yang bergabung di kelompok paduan suara ini karena bersimpati pada perjuangan dan semangat Dialita dalam merajut hidup.

Dialita dibentuk secara kolektif pada 2011 diantaranya oleh ibu Uchikowati, ibu Mudjiati, ibu Astuti dan ibu Tunik. Dua anggota Paduan Suara Dialita adalah eks tahanan politik tragedi ’65 yakni ibu Utati Koesalah dan ibu Mudjiati.

Terbentuknya Dialita juga tak lepas dari upaya penyelamatan lagu-lagu yang lahir di kamp konsentrasi. Sejak 2005, ibu Utati Koesalah menulusuri kembali lagu-lagu ciptaan tahanan politik. Tujuannya untuk kembali merawat harapan, sekaligus sejarah tentang apa yang pernah terjadi di negara ini, agar tak terlupakan begitu saja. Perjalanan mengumpulkan lagu-lagu ini tak mudah. Karena di penjara, para tapol tak diperkenankan untuk menulis apapun. Sesederhananya bahagia, barangkali bahagianya ibu Utati Koesalah kala menemukan potongan kecil pensil dan kertas di yang bisa dipakainya untuk menulis lirik di dalam penjara.

***

Konser peluncuran album Dunia Milik Kita dibuka oleh Frau yang memainkan “Tarian Sari”, lalu bersama Nadya Octaria Hatta memainkan “Salahku, Sahabatku.” Frau kemudian mengundang ibu-ibu Dialita untuk tampil. Mengenakan seragam  kebaya biru-hijau dengan bawahan kain batik ibu-ibu Dialita menempati panggung yang lebih tinggi dari dirigen dan musisi pengiring –yang setara dengan penonton. Panggung malam itu tepat berada dibawah beringin yang ditanam Alm. Soekarno.

Pada lagu pertama, Dialita menyanyikan “Salam Harapan”, lagu yang diciptakan ibu Zubaedah Nungtjik AR. & Murtiningrum di penjara Bukit Duri. Kala itu, lagu “Salam Harapan” dan “Tetap Senyum Menjelang Fajar” biasa dinyanyikan oleh ibu-ibu di depan sel kawan yang sedang berulang tahun dengan membawa sekuntum bunga yang dipetik di halaman penjara, sebagai ucapan selamat.

Dialita kemudian melanjutkan dengan “Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu”. Pada lagu “Ujian” suasana menjadi hening saaat ibu Sri Nasti Rukmawati menyanyikan bagian pertama lagu itu dengan lirih bergetar, “dari balik jeruji besi hatiku diuji, apa aku emas sejati atau imitasi.. tiap kita menempa diri jadi kader teladan, yang tahan air tahan hujan, tahan musim dan badai.” Dingin. Namun nuansanya berubah penuh harapan saat dinyanyikan bersama, “…namun yakin dan pasti masa depan kan datang, kita pasti kembali.”

Pada “Lagu untuk Anakku”, Dialita hanya diiringi dentingan gitar dan pianika. Ada kesepian saat Frau memainkan solo pianika. Lagu ini diciptakan oleh Heryani Busani Wiwoho dan Mayor Djuwito yang gelisah melihat ratusan ribu anak Indonesia yang tiba-tiba harus kehilangan orang tuanya karena dibunuh, dibuang atau dipenjara. Ibu Heryani lantas menuliskan lirik yang menggugah dan penuh rasa cinta kasih, “…Cita dan cinta lahirkan segala nan indah, di hari mendatang sayangku, jadilah putra harapan bangsaku.”

Di jeda antar lagu ibu Uchi beberapa kali menyapa penonton, menyatakan betapa bahagianya ibu-ibu Dialita bisa tampil di Taman Beringin Soekarno dan melangsungkan pertunjukan dengan kerja sama lintas generasi.

Konser ini dibagi dalam 3 sesi. Di jeda antar sesi, musisi pengiring Dialita bergantian mengisi panggung. Kroncongan Agawe Santosa mendapatkan kesempatan lebih dulu, saat ibu-ibu Dialita istirahat. Sambil menikmati keroncong yang syahdu, penonton juga bisa mengambil kudapan yang disajikan Bakudapan – Food Study Group di sisi barat panggung. Panganan macam Lumpia Sintrong juga sayur genjer disediakan Bakudapan. Resep kudapan ini juga disisipkan dalam booklet album Dunia Milik Kita.

Tuntas memainkan 2 lagu, Kroncongan Agawe Santosa mengundang kembali Dialita untuk tampil dan menyanyikan lagu berirama keroncong nan syahdu “Taman Bunga Plantungan.” Lagu ini diciptakan ibu Zubaidah Nungtjik AR. pada 1971 di kamp Plantungan. Kala itu, ibu Nurcahya, ibu Mia Bustam, ibu Rusiyati dan kawan-kawan bertugas membuat taman di kamp Plantungan yang semula merupakan rumah sakit untuk penderita Lepra. Ibu-ibu itu merubah alang-alang menjadi taman cantik dengan memanfaatkan bunga, batu-batu dan rumput dari area di sekitar kamp. Hasil kerja keras ibu-ibu itu yang mendorong ibu Nungtjik menciptakan lagu indah ini.

Pada sesi ketiga, ibu-ibu Dialita diiringi Sisir Tanah (Bagus Dwi Danto) menyanyinyakan lagu-lagu yang bernada lebih riang dibanding sesi sebelumnya. Lagu-lagu yang diciptakan sebelum ’65 lantas tak pernah terdengar lagi pasca ’65, yakni lagu “Padi untuk India” dan “Viva Ganefo.”

Pada tahun 1946, India yang masih dibawah jajahan Inggris mengalami krisis pangan sehingga rakyatnya menderita kelaparan. Sebagai bentuk solidaritas, Indonesia yang baru setahun merdeka mengirim 700 ton beras ke India. A. Alie kemudian merekam peristiwa itu dalam lagu “Padi untuk India.” Sedang “Viva GANEFO”, diciptakan Asmono Martodipoero untuk perayaan GANEFO (Games of New Emerging Forces), ajang olahraga yang diikuti oleh negara-negara Asia, Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Amerika selatan. Perhelatan ini dimotori oleh Soekarno sebagai “balasan” atas skors terhadap Indonesia oleh Komite Olimpiade Internasional kala itu.

Dialita menutup konser malam itu dengan memainkan lagu “Persahabatan.” Di akhir pertunjukan tangan kanan ibu-ibu Dialita terkepal di udara. Mereka baru saja menuntaskan pertunjukan diiringi tepuk tangan panjang penonton. Mewakili Dialita, ibu Uchi mengaku bahagia melihat sebagian besar penonton yang datang adalah anak-anak muda –selain kerabat-kerabat dekat Dialita.

Walau kebanyakan sudah berusia lebih dari 50 tahun (ibu Utati Koesalah bahkan berusia 72 tahun), namun semangat ibu-ibu Dialita rasanya masih membara. 3 kali tangan-tangan itu terkepal di udara –saat meneriakkan Merdeka dengan lantang di lagu “Asia Afrika Bersatu” dan di akhir lagu “Viva GANEFO”.

Taman Beringin Soekarno, 1 oktober 2016. 51 tahun setelah tragedi ’65, lagu-lagu yang dibungkam: lagu-lagu yang diciptakan diam-diam dan dituliskan di potongan kertas, di tanah, di tembok penjara bukit duri, di salemba, di kamp pembuangan para tahanan politik; lagu-lagu bisu itu kini telah dinyanyikan kembali dengan lirih dan merdu.

Senin, 29 Desember 2014

Jerinx 'SID' hingga Navicula Garap 'Prisons Songs'


Senin, 29 Des 2014 10:34 WIB

Para pengisi di proyek 'Prisons Songs' (Facebook Superman Is Dead)

Jakarta - Lagi, musisi Bali berbicara musik dengan cara yang tidak biasa. Setelah menggagas aksi perlawanan 'Bali Tolak Reklamasi', gabungan musisi Bali kini sedang menggarap proyek yang diberi nama 'Prisons Songs'.

Proyek 'Prisons Songs' berangkat dari aksi mengumpulkan lagu yang ditulis di dalam penjara oleh tahanan politik di era 1965 sampai awal 1970-an. Digagas oleh komunitas bernama Komunitas Taman 65, drummer Superman Is Dead (SID) Jerinx, vokalis Navicula, Dadang Pranoto dan sejumlah musisi lain terlibat di dalamnya.

"Proyek brillian itu lahir dari ide Made Mawut dan Gede Putra dari komunitas Taman 65. Terkumpul enam lagu, dan tak satu pun lagu tersebut pernah direkam. Menariknya, beberapa lagu bahkan tidak diketahui bagaimana cara menyanyikannya karena penulisnya sendiri sudah tidak ingat bagaimana lagu tersebut dinyanyikan," tulis Jerinx di halaman Facebook resmi bandnya, Superman Is Dead, seperti dilansir detikHOT, Senin (29/12/2014).
"Akhirnya, hanya bermodalkan partitur dan lirik, Made Mawut me-reka ulang lagu-lagu tersebut sebisa mungkin," tulis Jerinx lagi.

Meski tidak membocorkan enam materi lagu di dalamnya, drummer penuh tato itu memberi sedikit gambaran lagu yang akan dinyanyikannya. Yaitu lagu berjudul 'Dikala Sepi Mendamba'.

"Saya kebagian menyanyikan lagu 'Dikala Sepi Mendamba' karya Ibu Pasek (menjadi tahanan politik karena terlibat Gerwani) yang ditulis tahun 1974. Lagu ini sama sekali belum pernah direkam, dan Ibu Pasek sudah lupa bagaimana menyanyikannya," jelasnya.

"Untung beliau masih menyimpan lirik dan partitur karya tangan beliau di buku harian-nya. Sebuah romansa noir yg begitu menyayat," tandas musisi bernama asli I Gede Ari Astina itu.

Secara lengkap, musisi yang mengisi adalah Kupit dan Man Angga dari Nosstress, Dadang Pranoto dari Navicula/Dialog Dini Hari, Banda Neira serta Made Mawut sendiri yang merupakan solois blues. Menurut rencana, proyek 'Prisons Songs' akan dirilis dalam bentuk album pada Februari tahun depan.
(mif/hkm)